KEBEBASAN HAKIM MENJATUHKAN PIDANA MINIMUM KHUSUS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh :

Indra Bayu Mulyadi**

I Ketut Rai Setiabudhi***

I Wayan Suardana****

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Hakim memiliki kebebasan untuk melakukan suatu penilaian berdasarkan pandangan serta keyakinannya untuk menentukan salah tidaknya terdakwa. hakim harus mempertimbangkan fakta-fakta di dalam persidangan den melihat juga faktor-faktor yang meringankan atau memperberat. Dalam prakteknya, ada hakim yang sengaja memberikan putusan dibawah batas minimum dalam kasus tindak pidana korupsi. Permasalahan Hukum dalam penelitian ini mengenaipengaturan kebebasan hakim mengenai penjatuhan pidana minimum khusus dalam tindak pidana korupsi dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana minimum khusus dalam tindak pidana korupsi.

Metode penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode penelitian normatif, dimana penelitian hukum yang berfungsi dengan meneliti buku-buku hukum yang berkaitan permasalahan serta penelitian ini ditunjang dengan data empiris yang berupa wawancara yang dilakukan penulis kepada para ahli hukum yang ahli dibidangnya.

Hasil penelitian menunjukan pengaturan kebebasan hakim dalam memutus suatu perkara korupsi di bawah batas minimum khusus selain didasarkan pada kemandirian hakim yang secara konstitusional diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, juga harus mempertimbangkan asas keadilan baik keadilan moral maupun keadilan sosial, asas minimum pembuktian secara negative, itikad baik yang di miliki terdakwa, Peran dan kedudukan terdakwa, bukti-bukti yang meringankan atau memperberat terdakwa serta ditambah adanya keyakinan hakim.

Kata Kunci : Kebebasan, Hakim, Pidana Minimum Khusus, Tindak Pidana Korupsi

ABSTRACT

The judge has the freedom to make an assessment based on his views and beliefs to determine whether or not the defendant is wrong. the judge should consider the facts in the trial and see also the mitigating or aggravating factors. In practice, there are judges who deliberately give a decision below the minimum level in cases of corruption. This can be done because it is not regulated in Corruption Law and is guided by the principle of Judicial Power and the principle of justice. Legal problems that arise in this research is the regulation of judge freedom concerning specific minimum criminal imposition in corruption crime and judges' consideration in imposing a special minimum punishment in corruption crime.

The research method used in this journal is the normative research method, where the legal research functioning by examining the legal books related to the problem and this research is supported by empirical data in the form of interviews conducted by the author to the expert jurists in their field.

The result of the research shows that the regulation of judges' freedom in deciding a corruption case is below the specified minimum limit other than based on the independence of judges constitutionally stipulated in Article 3 paragraph (1) and paragraph (2) of Law no. 48/2009 concerning Judicial Power must also consider the principles of justice both moral justice and social justice, the minimum principle of verification in a negative way, the good faith that the defendant has, the role and position of the defendant, the evidence that lightens or aggravates the defendant and added to the judge's conviction .

Keywords : Freedom, Judge, special minimum penalty, and The Action of Corruption Case.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Melonjaknya jumlah kasus korupsi belakangan ini yang terjadi di Indonesia membuat pemerintah bertindak dengan dibentuknya suatu lembaga pemerintah yang indipenden dan mandiri yang di namakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini disebabkan karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistemis dan meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara, tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas. 1 Seiring dengan dibentuknya KPK, permasalahan mulai muncul khususnya dalam segi korupsi yang dimana mendorong dibentuknya UU No. 20 Thn 2001 yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Uniknya, Pembentukan UU Tipikor mencantumkan ketentuan pidana minimum untuk terdakwa yang melanggar ketentuan pasal tersebut. Sebagaimana yang kita ketahui, di dalam KUHP yang dita gunakan, hanya mengenal ketentuan pidana maksimum bukan minimum.

Pemberian sanksi pidana dibawah batas minimum khusus dalam UU Tipikor ini sebagai bentuk upaya guna pemberantasan tipikor yang marak terjadi di Indonesia belakangan ini, sudah seharusnya pembentukan UU Tipikor ini diimbangi dengan berbagai ketentuan dan kaidah hukum yang berlaku khususnya dalam rumusan delik pidana minimum. Dalam UU Tipikor ini yang pada dasarnya memberikan suatu pemaksaan untuk menunjukan adanya keinginan untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya standar minimal objektif dalam suatu pengambilan keputusan oleh hakim. Hal ini disebabkan ketidakpercayaan oleh masyarakat luat terhadap kinerja hakim itu sendiri dalam hal memutus suatu perkara tipikor.

Diberlakukannya pidana minimum dalam UU Tipikor ini tidak disertai dengan adanya ketentuan tentang aturan atau pedoman pemidanaan yang merupakan suatu aturan khusus di luar KUHP yang mencantumkan pidana minimum khusus dalam rumusan pasalnya. Setidaknya ketika hakim yang mengadili perkara pidana yang bersangkutan dihadapkan pada fakta banyaknya faktor-faktor yang meringankan pidana. Artinya bahwa, meskipun di rumusan pasalnya dalam UU Tipikor sudah ditentukan pidana minimum khususnya, namun dengan pertimbangan hukum tertentu, tetap saja batas limit pidana minimum khusus tersebut dilanggar oleh hakim. Dalam hal ini pada tataran pelaksanaanya, terdapat putusan hakim yang menjatuhkan pidana penjara di bawah batas ancaman pidana minimum khusus dengan penjelasannya masing-masing. Sehingga problem yang muncul kemudian adalah adanya bentrok antara kepastian hukum di satu pihak dengan keadilan hukum di lain pihak. Hakim bukan lagi menafsirkan sama seperti di dalam UU dan hakim juga tidak boleh tetap atau terus berpedoman dengan rumusan UU ketika dihadapkan pada fakta-fakta di persidangan yang meringankan dan berasaskan keadilan. Misalnya faktor meringankan yang terkait dengan perbuatannya, dan yang terkait dengan orangnya

Dalam hal ini, terdapat putusan hakim yang menjatuhkan pidana penjara di bawah batas limit ancaman pidana minimum khusus, dengan alasannya masing-masing setelah melakukan penemuan hukum serta fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan. Sehingga problem yang muncul kemudian adalah adanya friksi antara kepastian hukum (rechtszekerheid) di satu pihak dengan keadilan hukum (gerechtigheid) di lain pihak.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan yang dikemukakan di atas, maka beberapa permasalahan yang didentifikasi sebagai fokus kajian dalam penelitian ini sebagai berikut:

  • 1)    Bagaimana pengaturan kebebasan hakim menjatuhan pidana minimum khusus dalam tindak pidana korupsi?

  • 2)    Apa pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana minimum khusus dalam tindak pidana korupsi?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Artikel ini bertujuan memahami dan menganalisa bagaimana pengaturan kebebasan hakim mengenai penjatuhan pidana minimum khusus dalam tindak pidana korupsi serta memahami kriteria yang menjadi pertimbangan seorang hakim dalam menjatuhkan pidana minimum khusus dalam tindak pidana korupsi.

  • II.    Isi Makalah

    2.1    Metode Penelitian

jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan kepustakaan yang ada seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku yang berkaitan dengan hukum, serta kamus atau ensiklopedi. 2 Penelitian ini menggunakan metode sesuai dengan karakter yang khas dari ilmu hukum yang berbeda dengan ilmu

sosial atau ilmu alam. 3 Selain menggunakan metode penelitian

yuridis normatif, penelitian ini juga di tunjang dengan data empiris berupa wawancara. Jenis pendekatan yang digunakan dalam jurnal ini adalah pendekatan perundang-undangan (the statue approach) yaitu pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. 4 Pendekatan kasus (case approach) yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. 5 Sumber bahan hukum yang digunakan adalah Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum yang penulis gunakan adalah teknik studi kepustakaan dengan metode deduksi yaitu teknik pengumpulan bahan hukum untuk mendapat gambaran atau informasi tentang penelitian sejenis dan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, serta mendapatkan data untuk menunjang penelitian. 6 Dan teknik analisis yang digunakan yaitu Teknik deskripsi, teknik argumentasi, dan teknik interpretasi.

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Pengaturan Kebebasan Hakim Mengenai Penjatuhan

Pidana Minimum Khusus Dalam Tindak Pidana Korupsi

Pengaturan kebebasan hakim dalam memutus suatu perkara didasarkan pada kemandirian kekuasaan kehakiman yang secara konstitusional yang diatur dalam UUD Negara Repubik Indonesia tahun 1945, yang selanjutnya diimplementasikan ke dalam UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam memeriksa dan memutus perkara pidana yang dihadapannya, hakim memiliki kebebasan untuk melakukan suatu penemuan hukum dan melakukan suatu penilaian. Segala keputusan dari seorang hakim diserahkan pada pandangan serta keyakinannya dari hakim tersebut untuk menentukan salah tidaknya terdakwa. Dalam hal ini hakim diwajibkan melakukan penemuan-penemuan hukum. Penemuan yang dimaksud adalah fakta-fakta yang terungkap di persidangan disini hakim wajib menggali setiap keterangan yang diberikan dan menilai apakah keterangan yang di berikan sudah valid kebenarannya atau tidak.

Dalam melakukan suatu penemuan-penemuan hukum wajib bebas, bebas dalam artian lepas dari segala intervensi baik di persidangan yaitu pihak-pihak yang terlibat di persidangan maupun luar persidangan yaitu masyarakat luas itu sendiri. Yang terpernting dalam suatu penemuan hukum adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukum untuk peristiwa konkret. Selain itu tugas hakim bukan untuk menghukum dan menghukum, melainkan untuk membuat putusan yang seadil-adilnya, yaitu: jika terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, maka terdakwa harus dipidana dengan pidana yang juga harus proporsional sesuai berat ringan tindak pidanan yang

dilakukannya.7 Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pengaturan kebebasan hakim menjatuhkan pidana minimum khusus dalan tindak pidana korupsi belum diatur dalam UU hanya saja pemberian sanksi di bawah Minimum bertentangan dengan KUHP yang hanya mengenal pidana maksimum serta bertentangan dengan asas legalitas. Selama ini hakim hanya bersandar pada asas kekuasaan kehakiman dan hati nurani dalam menjatuhkan suatu putusan yang didasari dengan asas keadilan itu sendiri.

Lebih dari sekedar alasan secara filosofis, bahwa menerobos batas ketentuan formal pidana minimum khusus sebagai bagian dari kinerja hakim yang bersifat independent atau bebas dalam menemukan suatu norma hukum.8 Senada dengan hal tersebut, Satjipto Raharjo menggambarkan bahwa tidaklah haram bagi hakim untuk menyimpangi undang-undang jika keadilan dapat diperoleh dengan menyimpangi undang-undang tersebut dan justru ketidakadilan akan muncul jika ketentuan dalam aturan perundang-undangan tersebut diterapkan. 9 Menurut Chairul Huda bahwa hakim terikat untuk menjatuhkan pidana antara pidana minimal dan maksimal namun, hakim dapat mengabaikan jika hukuman pidana minimal masih dirasa terlalu berat. 10 Apabila kepastian hukum dan keadilan tidak dapat dipertemukan,

hakim dapat saja mengambil sikap untuk lebih mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum.

  • 2.2.2    Pertimbangan Hakim Menjatuhkan Pidana Minimum Khusus Dalam Tindak Pidana Korupsi

Pada dasarnya hakim dapat saja menjatuhan putusan dalam perkara tindak pidana korupsi di bawah ancaman pidana minimum khusus. Hal tersebut bisa dilakukan oleh hakim tergantung dari segi mana melihat/perspektif. Hakim harus mengedepankan asas keadilan bagi semua pihak dalam memutus perkara khususnya korupsi yang tentunya di tunjang alat bukti dan peranan tersangka. Pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara khususnya dalam kasus korupsi itu dilihat dari tingkat kesalahan dari pelaku. Dalam hal adalah kerugian yang timbulkannya dan setelah itu dilihat pula apakah tersangka sudah mempunyai itikad baik dengan mengembalikan apa yang sudah ia ambil dari negara. Itikad baik yang di maksud juga dari segi apakah selama pemeriksaan terdakwa sudah koperatif memberikan keterangan kepada penyidik dan bersikap baik di depan pengadilan dengan tidak memberikan keterangan palsu.

Hakim di dalam menjatuhkan sanksi minimum khusus jika dilihat dari undang-Undang tindak pidana korupsi tidak ada ketentuan yang mengaturnya. Hakim hanya menggunakan asas kekuasaan kehakiman dan kebebasan kehakiman di tunjang dengan bukti-bukti di lapangan. Penjatuhan putusan di bawah ancaman minimum khusus itu dapat disimpangi dengan pertimbangan asas keadilan hal itu dikarenakan banyaknya sanksi yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tidak sesuai dengan lamanya masa tahanan atau hukuman yang ia peroleh.

Kurangnya alat bukti dan saksi-saksi yang memberatkan tersangka menjadi penyebabnya. Akan tetapi penjatuhan sanksi

pidana di bawah batas minimum masih bisa diberikan asalkan hakim melihat bahwa tersangka sudah memiliki itikad baik seperti mengembalikan apa yang telah ia ambil/korupsi kepada negara. Dalam hal pidana maksimum barulah hakim tidak dapat melampauinya. Itu dikarenakan jika dilampaui bukannya rasa keadilan yang diciptakan melainkan melanggar hak asasi manusia itu sendiri.

Pemberian sanksi di bawah batas minimum khususnya dalam bidang korupsi pun bisa diberikan asalkan harus di pikirkankan dipertimbangkan matang–matang guna memenuhi dari rasa keadilan bagi seluruh pihak. Pertimbanhgan yang di maksud adalah hakim harus benar-benar memperhatihan dalam segi pemidanaan integrative yang harus memenuhi berbagai unsur. korupsi itu memiliki tujuan utama yaitu pengembalian kerugian negara (recovery asset) yang artinya jika kerugian yang diderita negara atas perbuatan terdakwa itu sudah dikembalikan terlebih jika kerugian yang ditimbulkan tersebut kecil dan terdakwa sudah mempunyai inisiatif untuk mengembalikannya, hal tersebut bisa disimpangi dengan ancaman pidana di bawah batas minimal. Penjatuhan putusan di bawah batas minimal harus betul-betul selektif. Jika seorang terdakwa sudah memiliki inisiatif untuk mengembalikan kerugian Negara, hal tersebut tidak menghapus pemidanaan sehingga agar memenuhi dari asas keadilan tersebut maka terdakwa tetap dipidana tetapi penjatuhan putusannya bisa di bawah batas minimal dari undang-undang.

Hakim dalam penjatuhkan putusan harus sesuai dengan bunyi pasal dakwaan dalam arti hakim terikat dengan batas minimal dan batas maksimal sehingga hakim dinilai telah menegakkan UU dengan tepat dan benar. Pada kenyataannya ada hakim yang berani memberikan putusan di bawah batas minimum

khusus dan bahkan di bawah tuntutan jaksa penuntut umum dengan alasan untuk memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak tak terkecuali terdakwa dan mengikuti hati nurani yang dimana banyak orang menyebut hati nurani sebagai kata-kata dari tuhan. Putusan yang menyimpangi aturan tersebut bepedoman pada rasa keadilan masyarakat, karena ada juga hakim yang berpandangan bahwa seorang hakim tidak dapat hanya berlindung di belakang UU, lebih dari itu hakim bisa saja menjatuhkan pidana di bawah ancaman minimal asal putusan tersebut tidak mengandung unsur kepentingan yang menintervensi keputusan hakim, putusan hakim tersebut harus benar-benar objektif dengan menjunjung tinggi rasa keadilan.

  • III.    Penutup

    3.1.    Kesimpulan

  • 1.    Pengaturan kebebasan hakim dalam memutus suatu perkara didasarkan pada asas kemandirian kekuasaan kehakiman dengan menjunjung tinggi asas keadilan. Hakim memiliki kebebasan untuk melakukan suatu penemuan hukum dan melakukan penilaian. Segala keputusan dari seorang hakim diserahkan pada pandangan atau keyakinannya dari hakim tersebut untuk menentukan salah tidaknya terdakwa

  • 2.    Bahan pertimbangan hakim dalam memutus perkara dibawah batas minimum khusus terhadap kasus tindak pidana korupsi adalah adanya pertimbangan bahwa terdakwa sudah memiliki itikad baik baik di persidangan dengan mau mengembalikan besarnya uang yang telah ia ambil dari negara, serta peranan terdakwa dalam kasus ini besar atau hanya sebagai pembantu, jumlah kerugian

oleh negara yang ditumbulkan oleh terdakwa atas perbuatannya, adanya bukti-bukti di persidangan yang memberatkan atau meringankan terdakwa serta didasarkan pada asas keadilan baik keadilan moral dan keadilan sosial dengan didukung pula dengan pertimbangan putusan yang matang yang dalam hal ini adalah hati nurani hakim itu sendiri.

  • 3.2.    Saran

  • 1.    Diharapkan kepada peran pemerintah yang dalam hal ini DPR untuk melakukan penyempurnaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya terhadap peran hakim demi keadilan untuk menjatuhkan pidana minimum khusus bukan hanya bersandar pada asas kebebasan dan kekuasaan hakim semata.

  • 2.    Diharapkan kepada seluruh hakim agar dalam putusan penjatuhan sanksi di bawah batas minimum khusus dalam menangani perkara korupsi agar benar-benar mempertimbangkan dan memperhatikan serta bertitik tolak kepada kepastian hukum yang berasaskan keadilan dan asas kemanfaatan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial Prudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana Prenadamedia Group, Jakarta.

Mulyadi, Lilik, 2013, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Teori dan Praktek, PT Alumni, Bandung.

Mahmud, Peter Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Pesada, Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Yuti, Darmoko, Witanto, 2013, Diskresi Hakim: Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-perkara Pidana, ALFABETA, Bandung,

Jurnal

Ismail, Rumadan 2013, Penapsiran Hakim Terhadap Pidana minimum khusus Undang-Undang No. 20 tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi (Suatu Kajian Asas, Teori, Norma dan Praktik Penerapan), Jurnal Mahkamah Agung RI, Jakarta.

Internet

Tanpa Nama, 2014, Pro Kontra Putusan Videotron, Terobosan atau Kekeliruan?,    Hukum    Online,    Jakarta.    Diakses:

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54043284bf38a /pro-kontra-putusan-videotron--terobosan-atau-kekeliruan (diakses pada tanggal 9 juni 2016)

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Daftar Informan

Nama : Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H.

NIP : 19610823186121002

Jabatan : Hakim Tinggi Jakarta yang diperbantukan di litbang Mahkamah Agung

Nama : Dr. Ifa Sudewi, S.H.,M.Hum.

NIP : 196109091986122001

Jabatan : Hakim Tinggi Denpasar

Nama : H. Dwiarso Budi Santiarto, S.H.,M.Hum.

NIP :196203141986121001

Jabatan : Hakim Tinggi Denpasar

14