PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PENGEMBALIAN KERUSAKAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG
on
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PENGEMBALIAN KERUSAKAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG
Oleh:
Ni Putu Desy Pradnya Wati* Ibrahim R**
I Made Walesa Putra***
Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Indonesia memiliki potensi sumber daya alam di dalam laut, salah satunya adalah terumbu karang. Terumbu karang sebagai ekosistem yang dilindungi mengalami kerusakan yang disebabkan oleh faktor alam, termasuk ulah manusia. Permasalahan dalam penelitian ini adalah terkait dengan pengaturan mengenai penanggulangan kerusakan terumbu karang serta pertanggungjawaban pidananya terhadap pengembalian kerusakan terumbu karang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode penelitian yuridis normatif, yang dikaji dengan pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan penanggulangan terhadap kerusakan terumbu karang terdapat dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang ada berbagai upaya yang dapat dilakukan sebagai penanggulangan kerusakan terumbu karang. Agar kerusakan tidak berlanjut, harus adanya pertanggungjawaban pidana terhadap pengembalian kerusakan terumbu karang yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan, dan kepada pelaku pengrusakan terumbu karang diberikan penjatuhan sanksi pidana penjara dan denda yang terdapat pada ketentuan Pasal 98 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Pengembalian, Kerusakan, Terumbu
Karang
ABSTRACT
Indonesia has many potentials of natural resources in the sea, one of which are coral reefs. Coral reefs as protected ecosystems are damaged by natural factors, including human activities. The problems in this study are related to the regulation of overcoming the damage to coral reefs and the criminal liability in restoring the coral reefs. The method used in this research is the normative juridical research method, which is studied with the approach to the legislation. The result of the research shows that the controlling arrangement for coral reef damage is found in the Decree of State Minister of Environment Number 4 Year 2001 about Criteria of Coral Reef Damage Standard there are various efforts that can be done to overcome the damage of coral reefs. In order that the damage will not continue, there must be criminal liability for the return of coral reef damage that has not been regulated in the legislation, and to the perpetrators of coral reef destruction shall be given the imposition of criminal sanction of imprisonment and the fine contained in Article 98 Paragraph (1) Of Law Number 32 Year 2009 on Environmental Protection and Management.
Keywords: Criminal Liability, Restoration, Damage, Coral Reefs
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.466 pulau dengan luas daratan 1.922.570 km2 dan luas perairan 3.257.483 km2, dari perbandingan luas tersebut dimana dunia Indonesia diakui sebagai Negara maritim.1 Indonesia terkenal dengan keindahan dan kekayaan alam bawah lautnya. Terdapat beranekaragam ekosistem yang tumbuh di laut Indonesia, yang mampu menjadi daya tarik wisatawan untuk menjelajah surga bawah lautnya. Indonesia memiliki letak geografis yang sangat strategis, sehingga berpotensi memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengembangkan perekonomian rakyat Indonesia.
Salah satu potensi sumber daya alam yang ada di dalam laut Indonesia, yaitu terumbu karang. Terumbu karang merupakan
kumpulan karang yang dibangun oleh biota laut penghasil kapur.2 Berdasarkan kebijakan satu peta (one map policy) yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi “Geospasial”, yaitu peraturan yang memuat informasi dan berbagai jenis data mengenai penampakan bumi, merilis bahwa luas terumbu karang di Indonesia berdasar analisis dari citra satelit adalah sekitar 2,5 juta hektar.3 Hal ini yang menjadikan terumbu karang sebagai salah satu aset yang dimiliki laut Indonesia, yang seharusnya dapat memberikan kesadaran terhadap manusia untuk mengelolanya dengan baik. Dewasa ini, terumbu karang merupakan ekosistem yang memiliki peran penting sebagai suatu habitat yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan biota laut, oleh karena itu terumbu karang harus selalu dilindungi, agar terhindar dari kerusakan-kerusakan akibat perbuatan manusia yang disengaja maupun tidak.
Pada umumnya, kerusakan terumbu karang yang terjadi di wilayah perairan Indonesia disebabkan oleh tekanan manusia, seperti pencemaran air laut oleh limbah dan sampah, menangkap ikan dengan bahan peledak, membuang jangkar kapal sebarangan, menyentuh, bahkan mengambil keutuhan terumbu karang untuk kepentingan kehidupan sehari-hari. Kerusakan terumbu karang di Indonesia memberikan kerugian yang sangat berarti kepada pemerintah dan masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. Melihat dari kondisi yang sudah memprihatinkan, maka perlunya penegakan hukum yang jelas dalam pengelolaan dan perlindungan ekosistem terumbu karang di Indonesia.
Pengrusakan ekosistem terumbu karang oleh manusia, merupakan tindakan melanggar hukum yang dapat dikenakan
sanksi pidana. Kategori perusakan lingkungan khususnya terhadap terumbu karang sangat jelas, yaitu tindakan yang dapat menimbulkan perubahan langsung, maupun tidak langsung terhadap sifat fisik dari terumbu karang. Kenyataan menunjukkan bahwa terjadinya insiden sebuah kapal pesiar yang kandas diantara sekumpulan terumbu karang di Raja Ampat, dimana seorang kapten kapal tersebut berupaya untuk mengeluarkan kapalnya dan berhasil. Dibalik usahanya, kapten kapal tidak mempertimbangkan faktor gelombang dan kondisi alam, dan akibat dari kelalaian kapten tersebut berimbas pada rusaknya terumbu karang.4
Agar kerusakan tidak berlanjut menjadi masalah yang lebih serius bagi Negara, maka dari itu perlu diketahui pengaturan mengenai penanggulangan kerusakan terhadap terumbu karang, serta terhadap pelaku harus adanya pertanggungjawaban pengembalian ekosistem atas tindak pidana pengrusakan terumbu karang di Indonesia.
-
1. Bagaimanakah pengaturan mengenai penanggulangan kerusakan terhadap terumbu karang di Indonesia?
-
2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pengembalian kerusakan ekosistem terumbu karang di Indonesia?
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami pengaturan
mengenai penanggulangan kerusakan terhadap terumbu karang di Indonesia dan mengetahui pertanggungjawaban pidana pengembalian kerusakan ekosistem terumbu karang yang dapat diberikan terhadap pelaku tindak pidana pengrusakan terumbu karang di Indonesia.
II ISI MAKALAH
Jurnal ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif, yaitu menguraikan permasalahan yang akan dibahas dan selanjutnya dikaji dengan dua jenis pendekatan yaitu pendekatan kasus (The Case Approach) dan pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach).5 Perlunya penelitian yuridis normatif karena adanya kekosongan norma terkait pertanggungjawaban pengembalian kerusakan ekosistem terumbu karang yang belum di atur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Metode ini menggunakan dua sumber bahan hukum yaitu bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder yang meliputi buku-buku hukum, jurnal hukum, dan internet guna mendapatkan jawaban dari permasalahan hukum tersebut.6 Teknik analisis yang digunakan yaitu teknik deskripsi yang berupa uraian terhadap suatu kondisi hukum dalam penelitian ini.
-
2.2 HASIL DAN ANALISIS
Ekosistem terumbu karang merupakan sumber mata pencaharian bagi sebagaiana masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. Mengingat kondisi terumbu karang di perairan Indonesia menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pemerintah serta masyarakat pesisir, karena suatu kenyataan menunjukkan bahwa luasan terumbu karang di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan dan kerusakan yang berakibat. Kerusakan terumbu karang dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor penyebab, seperti tindakan manusia yang dengan sengaja dilakukan untuk mencari keuntungannya sendiri dan lemahnya penegakan hukum serta kebijakan pemerintah Indonesia yang belum sepenuhnya menunjukkan perhatiannya dalam mengelola kualitas lingkungan kawasan pesisir dan lautan, khususnya terhadap ekosistem terumbu karang.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dari 50.000 km2 cakupan luas terumbu karang yang tersebar di Indonesia, persentase kondisi terumbu karang dengan predikat sangat baik diperkirakan hanya 7%, 33% dengan kondisi yang baik, 46%
kondisinya rusak, dan 15% dalam kondisi sudah kritis.7 Adapun hasil survei dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) hingga akhir 2012, menyebutkan bahwa 30% kondisi terumbu karang Indonesia dalam kondisi yang baik, 37% dengan kondisi sedang, dan 33% sisanya memiliki kondisi rusak parah.8 Pemantauan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tersebut dilakukan di
77 daerah dari Sabang sampai Kepulauan Raja Ampat. Terhitung selama 50 tahun terakhir, proporsi penurunan kondisi terumbu karang di Indonesia mengalami peningkatan dari 10% menjadi 50%.9 Kondisi ini menunjukkan jika kerusakan terhadap terumbu karang masih berlanjut akan berdampak besar pada sektor pariwisata khususnya pendapatan ekonomi Negara.
Lampiran II Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang menjelaskan pedoman tata cara pencegahan, penanggulangan dan pemulihan kerusakan terumbu karang, dimana pengaturan tersebut menjabarkan beberapa upaya yang dapat dilakukan sebagai bentuk penanggulangan kerusakan yang terjadi pada ekosistem terumbu karang, antara lain sebagai berikut: 1. Peningkatan Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat
Upaya ini dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya peranan terumbu karang bagi kehidupan, dan mengajak masyarakat untuk berperan secara aktif dan memiliki kemampuan bertanggungjawab dalam mengelola, menjaga dan memanfaatkan terumbu karang secara lestari. Dan mulai menanamkan arti dan manfaat terumbu karang bagi kelangsungan hidup masyarakat pesisir sejak dini. Selain itu, upaya dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya peranan terumbu karang, diantaranya dengan melakukan pengembangan tempat wisata sebagai wisata bahari. Akan tetapi, dalam pemanfaatan terumbu karang tersebut, tidak diperkenankan nya dan dilarang keras untuk mengambil terumbu karang di dalam laut tersebut.
-
2. Pengelolaan Berbasis Masyarakat
-
a. Memberikan pembinaan kepada masyarakat untuk melakukan beberapa opsi kegiatan seperti budidaya terumbu karang, menjadi pemandu wisata dan membuat usaha kerajinan tangan yang dapat meningkatkan penghasilan dari masyarakat setempat. Pembinaan ini akan lebih seimbang jikalau disertai dengan bantuan pendanaan yang dapat disalurkan melalui sistem yang telah ada dan tidak menjadi beban untuk masyarakat.
-
b. Upaya untuk menerapkan pengetahuan tentang terumbu karang, penerapan teknologi pemulihan atau rehabilitasi, serta pengelolaan terumbu karang agar keberadaannya dapat dimanfaatkan secara baik dan lestari.
-
3. Pengembangan Kelembagaan
-
a. Upaya untuk memperkuat komunikasi dan koordinasi antar instansi terkait yang berperan dalam penanganan terumbu karang, baik dari pihak pengelola kawasan, satuan petugas keamanan, pemanfaatan sumber daya terumbu karang, dan pemerhati lingkungan khususnya lingkungan yang memiliki potensi tumbuh dan berkembangnya terumbu karang.
-
b. Upaya dalam meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang dilakukan melalui berbagai cara, seperti halnya dengan melaksanakan pelatihan atau penyuluhan tentang tata cara pengelolaan dan teknik rehabilitasi yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang.
-
4. Penelitian, Monitoring dan Evaluasi
Upaya ini merupakan kegiatan pemantauan terhadap masyarakat yang berhubungan secara langsung dengan terumbu karang, dengan dibentuknya sistem jaringan yang digunakan untuk pemantauan dan informasi yang berkaitan
dengan terumbu karang melalui simpul-simpul yang dibangun di beberapa provinsi. Kegiatan ini diawasi langsung oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang memiliki stasiun di beberapa tempat, seperti Lombok.
-
5. Penegakan Hukum
Upaya penegakan hukum untuk menanggulangi kerusakan terumbu karang merupakan komponen yang sangat penting dan sebagai kunci dalam usaha mencapai tujuan program pemulihan dan pengelolaan terumbu karang. Perlu diketahui masyarakat memiliki peranan penting dalam mencapai tujuan penegakan hukum itu. Peranan masyarakat dalam upaya ini, antara lain masyarakat dapat menjadi pengamat terumbu karang atau reef watcher, yang memiliki kewajiban untuk meneruskan informasi kepada penegak hukum perihal pelanggaran dan perbuatan yang merusak terumbu karang di daerah tersebut.
Pengaturan diharapkan dapat membantu pemerintah dan masyarakat untuk menanggulangi kerusakan-kerusakan terhadap terumbu karang. Agar keindahan alam bawah laut Indonesia tidak punah, dan tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi laut Indonesia khususnya daerah-daerah yang memiliki potensi terumbu karang.
-
2.2.2 Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pengembalian Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang di Indonesia Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat), hal tersebut terdapat pada Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.10 Hukum merupakan suatu rangkaian peraturan yang menguasai tingkah laku maupun perbuatan
tertentu dari hidup manusia dalam hidup bermasyarakat.11 Setiap perbuatan yang dilakukan, jika melawan hukum wajib dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban pidana merupakan suatu pertanggungjawaban oleh orang terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannya. Pada hakikatnya pertanggungjawaban pidana merupakan suatu proses hukum pidana untuk bereaksi atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.12
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai “toereken-baarheid”, “criminal responsibility”, “criminal liability”, pertanggungjawaban pidana ini dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut melakukan suatu perbuatan melawan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan pidananya atau tidak terhadap tindakan yang dilakukan.13 Mengenai asas legalitas dalam hukum pidana dapat dilihat dalam Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa seseorang baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana apabila perbuatannya tersebut telah diatur dan sesuai dengan rumusan dalam Undang-Undang Hukum Pidana. Meski demikian, orang tersebut belum tentu dapat dijatuhi hukuman pidana karena harus adanya pembuktian terhadap perbuatan atau kesalahan tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
J.E Jonkers dalam bukunya Hanafi Amrani merumuskan peristiwa pidana sebagai “suatu perbuatan melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan”.14 Terhadap suatu perbuatan pelanggaran akan ditindak dengan melakukan penyitaan dan diberikan sanksi administrasi yang meliputi peringatan, sanksi penjara dan/atau kurungan, dan denda.15 Menurut Van Hamel, tindak pidana merupakan kelakuan dari manusia yang dirumuskan dalam Undang-Undang, sifatnya melawan hukum dan patut dijatuhi pidana dan dilakukan dengan adanya kesalahan.16
Bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap pengembalian kerusakan ekosistem terumbu karang di Indonesia dapat dilihat dari insiden sebuah kapal pesiar yang kandas diantara sekumpulan terumbu karang, dimana kapal yang dinakhodai oleh seorang kapten tersebut berupaya untuk mengeluarkan kapalnya tanpa mempertimbangkan faktor gelombang maupun kondisi alam di sekitarnya. Upaya yang dilakukan oleh kapten tersebut berhasil. Dibalik usahanya, ada akibat yang ditimbulkan dari kelalaian kapten tersebut yang berimbas pada rusaknya terumbu karang. Perlu diketahui bahwa pengrusakan terumbu karang sangat tidak diperkenankan bahkan dapat dikenakan sanksi pidana.
Kelalaian kapten sebagai pelaku pengrusakan terumbu karang tersebut dapat dijerat dengan Pasal 98 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dengan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 dan paling banyak Rp10.000.000.000,00. Sanksi pidana bersifat nestapa atau memberikan efek jera terhadap pelakunya, dan sanksi pidana
sebagai rehabilitasi terhadap pelakunya, dan merupakan suatu ancaman bagi kebebasan manusia itu sendiri.17
Pertanggungjawaban pidana yang diberikan tidak hanya pidana penjara dan denda, melainkan harus adanya pertanggungjawaban pidana terhadap pengembalian kerusakan ekosistem terumbu karang. Pertanggungjawaban pengembalian ini sangat diperlukan mengingat terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat sensitif, dan jika dirusak memerlukan waktu yang sangat lama dalam pemulihan serta pengembalian kerusakan tersebut. Pertanggungjawaban pengembalian kerusakan ekosistem terumbu karang oleh pelaku tersebut belum diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan, dimana pengaturan ini sangat diperlukan untuk masa yang akan datang.
Pengembalian tersebut dapat dilakukan dengan upaya yang diatur dalam Lampiran II Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang, antara lain peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat, pengelolaan berbasis masyarakat, pengembangan kelembagaan, penelitian, monitoring dan evaluasi, serta penegakan hukum.
Pelaku dapat dipidana karena adanya unsur kesalahan yang melanggar hukum, yaitu suatu tindakan yang mengakibatkan adanya kerusakan secara langsung terhadap terumbu karang sebagai ekosistem yang dilindungi. Sehingga tindakan tersebut melampaui kriteria baku kerusakan terumbu karang yang tertuang dalam Lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Karena itu, sudah seharusnya pihak yang dapat di
mintakan pertanggungjawaban diproses sesuai ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
III PENUTUP
Berdasarkan pembahasan tujuan penulisan diatas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
-
1. Pengaturan mengenai penanggulangan kerusakan terhadap terumbu karang diatur dalam Lampiran II Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang menjelaskan upaya yang dapat dilakukan sebagai bentuk menanggulangi kerusakan terumbu karang di Indonesia, ialah melaksanakan kegiatan yang dapat menunjang kesadaran dan partisipasi masyarakat, melakukan pembinaan kepada masyarakat, menerapkan pengetahuan dan teknologi pemulihan terumbu karang, serta koordinasi yang baik antar masyarakat dan instansi yang berhubungan langsung terhadap permasalahan terumbu karang.
-
2. Peraturan mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pengembalian kerusakan ekosistem terumbu karang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pelaku pengrusakan terumbu karang, harus adanya unsur kesalahan yang sifatnya melawan hukum. Pelaku dapat dijatuhi pidana dengan Pasal 98 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang sanksinya berupa pidana penjara dan denda.
Saran yang dapat diberikan dari pembahasan tersebut ialah
sebagai berikut:
-
1. Perlunya ditingkatkan koordinasi dan komunikasi masyarakat, pemerintah serta aparat penegak hukum agar informasi yang di dapatkan lebih jelas dan segera ditindaklanjuti oleh petugas yang berwenang. Masyarakat dan pemerintah harus memiliki komitmen dan tujuan yang sama untuk menjaga terumbu karang, dan lebih giat melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dapat membantu menambah ilmu pengetahuan dan wawasan tentang pentingnya peranan terumbu karang bagi kehidupan.
-
2. Perlu adanya pengaturan yang jelas dan lebih konkrit mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap
pengembalian kerusakan ekosistem terumbu karang di Indonesia. Kepada aparat penegak hukum dan pemerintah agar memberikan sanksi yang lebih tegas sesuai dengan aturan hukum positif di Indonesia, yang diharapkan
memberikan efek jera dan mampu mengatasi angka
kerusakan terumbu karang di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Amrani, Hanafi dan Mahrus Ali, 2015, Sistem Pertanggungjawaban Pidana: Perkembangan dan Penerapan, Rajawali Pers.
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jenderal dan Kepanitiaan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
Giyanto, dkk, 2017, Status Terumbu Karang Indonesia 2017, Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Hamzah, Andi, 1993, Sistem dan Pemidanaan di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta.
, 1999, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
Hopley, D and Suharsono, 2000, The Status of Coral Reefs in Eastern Indonesia, Australian Institute of Marine Science, Australia.
Huda, Chairul, 2011, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ menuju kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’, Kencana, Jakarta.
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
Poernomo, Bambang, 1978, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta.
Sianturi, S.R, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Pateheam, Jakarta.
Jurnal Ilmiah:
Sanjaya, IGN Hendra dan Yusa, I Gede, Sanksi Pidana Bagi Pelaku Penangkapan Ikan Dengan Menggunakan Bahan Peledak (Dynamite Fishing), Jurnal Fakultas Hukum Universitas
Udayana, Bali.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2001 Tentang: Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang.
Internet:
www.detik.com, kapten kapal gegabah ini kronologi hancurnya karang di Raja Ampat, URL: https://news.detik.com/berita/d-3446226/kapten-kapal-gegabah-ini-kronologi-hancurnya-karang-di-raja-ampat, diakses tanggal 8 Maret 2018.
Zainur Rahman, 2015, Penyebab Rusaknya Terumbu Karang di Indonesia Beserta Solusinya, URL: zainorrohman-rusaknya-terumbu-karang-blogspot.co.id, diakses tanggal 9 April 2018.
15
Discussion and feedback