DISKRIMINASI PENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA*

Oleh:

Ni Putu Sri Utari ** I Made Sarjana*** I Ketut Rai Setiabudhi****

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak:

Judul dari jurnal ini Diskriminasi Penerapan Diversi Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana, diskriminasi merupakan suatu perlakuan perlakuan yang tidak adil terhadap individu atau golongan. Diskriminasi ini di temukan dalam UU No.11 tahun 2012 yaitu Pasal 7, yang mana dalam pasal tersebut mencerminkan pembedan yakni diversi hanya berlaku untuk tindak pidana dengan ancaman pidana di bawah 7 tahun saja. Permasalahan pada penulisan ini adalah bagaimana penyelesaian tindak pidana yang diancam lebih dari 7 tahun dan bagaimana perbandingan undang-undang sistem peradilan anak di Indonesia dengan di Filipina. Tujuan penulisannya adalah untuk mengetahui bagaimana pemyelesaian jika diversi tidak dapat diupayakan dan mengetahui perbandingan diversi di Indonesia dengan Negara Filipina. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif, menganalisis ketentuan pasal 7 dianggap bertentangan karena mengandung unsur diskriminasi terhadap Anak. Hasil penulisan ini adalah anak yang melakukan tindak pidana yang serius dibawa ke proses peradilan pidana anak dan mendapatkan sanksi sesuai dengan perbuatannya sedangkan diversi yang diatur di Filipina, semua tindak pidana yang dilakukan oleh anak dapat diupayakan diversi. Kesimpulan dari penulisan ini anak yang melakukan tindak pidana serius di kenakan sanksi ½ dari sanksi orang dewasa dan jika di cermati Filipina lebih mencerminkan memberikan perlindungan terhadap anak. Di harapkan semua anak di beri kesempatan untuk menjalani proses diversi dan ketentuan pasal 7 perlu untuk di revisi lagi.

Kata Kunci : Diversi, Pidana Anak, Batasan Pidana

Abstract

Title of this journal Discrimination Implementation of Diversity Against Children Who Conduct Crime, discrimination is a treatment of unfair treatment of individuals or groups. This discrimination is found in Law No.11 of 2012, Article 7, which in that article reflects the pembedan which is a version only applicable for criminal offenses with criminal threats under 7 years. The problem in this paper is how to solve the criminal offense that is threatened more than 7 years and how the comparative law of juvenile justice system in Indonesia with in Philippines. The purpose of writing is to find out how the settlement if diversion can not be attempted and to know the comparison of diversigions in Indonesia with the Philippines. Writing this using the normative juridical method, analyzing the provisions of article 7 is considered contradictory because it contains elements of discrimination against Children. The result of this writing is a child who commits a serious criminal offense brought to the criminal justice process of the child and gets sanctioned in accordance with his actions while the diversion is regulated in the Philippines, all crimes committed by the child can be attempted diversion. The conclusion of this paper is that children who commit serious crimes are imposed sanction ½ of adult sanctions and if in the Philippines look more reflective of providing protection to children. In expecting all children are given the opportunity to undergo the process of diversion and the provisions of article 7 need to be revised again.

Keywords: Diversity, Child Crime, Criminal Boundary

PENDAHULUAN

  • 1.1    Latar Belakang

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi serta penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis serta mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, juga seimbang. Pembinaan dan pemberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan

maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai. Oleh karena itu ketentuan mengenai penyelengaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus.1

Prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan Konvensi Hak Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi HakHak Anak) yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.2 Diversi dianggap salah satu jalan alternatif yang sesuai dengan berbagai konvensi hukum internasional. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, maka khusus untuk perkara Anak dikenal mekanisme untuk mengalihkan penyelesaian perkara dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, yang dinamakan dengan Diversi. Pelaksanaan Diversi ada beberapa persyaratan terkait dengan pelaksanaannya yang diatur pada Pasal 7 ayat (2)3, dan Pada Pasal 9 Ayat (1) huruf (a) berbunyi : “ penyidik, penuntut umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan “kategori tindak pidana” dan dilihat dalam penjelasannya ketentuan ini merupakan indikator bagi aparat penegak hukum bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin tinggi prioritas Diversi, dan Diversi tidak dimaksudkan untuk

dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba dan terorisme, yang diancam pidana diatas 7 tahun.

Pada Pasal 7 ayat (2) Huruf (a) UU SPPA terdapat pembatasan pelaksaan diversi yaitu hanya dapat dilaksakan terhadap anak yang melakukan tindak pidana yang diancam pidana dibawah 7 tahun, dalam ketentuan pasal ini adanya unsur pembedaan atau diskriminasi terhadap anak, yang mana anak yang bisa menjalani proses diversi hanya anak yang melakukan tindak pidana ringan, jika dilihat ketika Anak melakukan tindak pidana, dalam kategori apapun Anak ini seharusnya berhak mendapatkan penyelesaian perkara melalui proses Diversi. Menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada Pasal 64 Huruf (g) disebutkan bahwa “ salah satu hal yang dilakukan untuk memberikan perlindungan khusus bagi Anak yang berhadapan dengan hukum ialah dilakukannya penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat.

Pasal 3 di UU 31 tahun 2014 yang mengatakan bahwa saksi dan korban wajib diberikan perlindungan atas ; (1) penghargaan atas harkat dan martabat manusia; (2) rasa aman; (3) keadilan; (4) tidak diskriminatif dan kepastian hukum, dan ketika korban tidak setuju untuk dilakukannya Diversi maka pihak korban masih bisa menuntut untuk tetap dilakukan proses peradilan pidana. Disini jelas terlihat bahwa, perumusan Pasal 7 ayat (2) Huruf (a) UU SPPA ini mengabaikan ketentuan ketentuan yang sudah dijelaskan diatas

dan perampasan kemerdekaan Anak dapat dilakukan sebagai upaya terakhir, dalam asas hukum pidana dikenal dengan asas ultimum remedium, karena Anak tidak diijinkan untuk menyelesaikan kasusnya dengan menggunakan Diversi, melainkan langsung dimasukan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang tentu akan berdampak buruk pada kondisi Anak dimasa yang akan datang, sebagai pembanding penelitian ini membandingkan undang-undang sistem peradilan anak di Indonesia dan undang undang tentang perlindungan anak di Filipina yang sama sama merupakan Negara asia, dan didalam Juvenile Justice and Welfare Act of 2006 (Republic Act No. 9344) Filiphina, Diversi dapat dilakukan terhadap semua jenis tindak pidana yang dilakukan anak.

  • 1.2    Tujuan Penulisan

Tujuan umum dari penulisan ini yaitu untuk mengetahui bagaimana penyesaian perkara tindak pidana anak yang diancam pidana penjara lebih dari 7 tahun karena tindak pidana dengan sanksi yang berat tidak dapat di upayakan diversi dan bagaimana perbandingan pengaturan pembatasan diversi Antara Indonesia dengan Negara Filipina, Fiipina di pilih sebagai bahan perbandingan selain karena Negara tetangga sama-sama Negara Asia, Filipina dan Indonesia juga memiliki Sistem hukum yang sama.

II ISI MAKALAH

  • 2.1    Metode Penelitian

Penulisan ini merupakan jenis penulisan hukum normative untuk menganalisis Pasal 7 UU No.11 tahun 2012 yang dianggap telah bertentang dengan Asas perlindungan Anak dan UU yang terkait dengan perlindungan Anak, yang didasarkan pada data primer

dan sekunder. Data primer yaitu dengan menganalisis peraturan perundangan-undangan yang sudah ada sedangkan data sekunder dilakukan dengan menganalisis bahan-bahan kepustakaan seperti buku, diktat, dan lain-lain yang dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan dan konsep para ahli hukum sebagai basis penelitiannya.4

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Penyelesaian Perkara Anak yang Melakukan Tindak pidana yang Serius atau Berat

Anak diasumsikan sebagai pihak yang belum cukup matang untuk lebih jauh memikirkan akibat dari suatu tindakan yang dilakukannya. Meskipun begitu, bukan berarti anak juga dianggap tidak dapat mempertanggungjawabkan suatu perbuatan pidana yang dilakukannya. Di batas usia berdasarkan ketentuan yang berlaku, seorang anak yang  melakukan  tindak pidana tetap harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya, meskipun ada perbedaan dengan orang dewasa, baik dalam memprosesnya secara hukum

maupun akibat yang harus dihadapinya jika terbukti melakukan tindak pidana. Secara teoritis, peradilan pidana anak secara umum harus diarahkan untuk mewujudkan hal yang terbaik bagi diri anak.5

Tujuan SPPA menurut The Beijing Rules yang tercantum dalam Rule 5.1. sebagai berikut: “bahwa sistem peradilan untuk Anak akan mengutamakan kesejahteraan Anak dan akan meyakinkan bahwa reaksi apapun untuk Anak yang melanggar hukum akan selalu

sepadan dengan situasi-situai baik pada para pelanggar hukumnya maupun pelanggaran hukum.” terlihat jelas bahwa yang menjadi tujuan utama dari Sistem Peradilan Pidana Anak adalah memajukan kesejahteraan Anak, yang mempunyai arti menghindari penggunaan sanksi pidana yang hanya bersifat menghukum, dan tujuan lainnya adalah, harus memperhatikan prinsip proposionalitas yang berarti mengekang penggunaan sanksi-sanksi, yang kebanyakan dinyatakan dalam batasan-batasan ganjaran yang setimpal dengan beratnya pelanggaran hukumnya, tetapi juga memperhatikan pada pertimbangan keadaan pribadinya.6

The Beijing Rules pada bagian satu prinsip-prinsip umum butir ke-5 tentang tujuan peradilan pidana bagi Anak, dijelaskan pula bahwa, menghilangkan kebebasan seorang Anak merupakan keputusan yang diambil sebagai pilihan terakhir dan dalam masa yang minimum serta terbatas pada kasus yang luar biasa Diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri. Bahkan bagi penyidik, penuntut umum dan hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban yakni mengupayakan diversi berdasarkan Pasal 96 UU SPPA dijerat dengan sanksi pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak dua ratus juta rupiah. 7

Upaya diversi wajib dilakukan terhadap tindak pidana dengan syarat yang tercantum dalam Pasal 7 ayat 2 UU SPPA yakni tindak

pidana tersebut diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Syarat sebagaimana tersebut di atas bersifat komulatif atau harus terpenuhi dua-duanya karena ada kata “dan”, sehingga apabila salah satu tidak terpenuhi maka diversi tidak dapat dilakukan. Misalkan penyelesaian perkara Pencabulan yang di lakukan oleh anak, pencabulan salah satu contoh tindak pidana yang serius. Bagi anak pelaku pencabulan yang melanggar Pasal 76 D atau 76E UU No.35 tahun 2014 dan pelaku telah berusia 14 tahun maka diversi tidak dapat dilakukan, karena syarat sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat 2 UU SPPA tidak terpenuhi. Syarat pertama dari diversi adalah tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun, sedangkan pelanggaran terhadap Pasal 76 D dan E UU No. 35 tahun 2014 pelaku diancam dengan pidana penjara maksimum 15 tahun dan apabila pelakunya anak sesuai Pasal 81 ayat 2 UU SPPA pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.Dengan demikian dalam penerapan ketentuan tersebut berlaku asas Lex specialis derogat legi generalis Oleh karena itu anak yang telah berusia 14 tahun tetapi belum 18 tahun sebagai pelaku pencabulan dapat dijatuhi pidana penjara maksimum 7,5 tahun.

Diversi adalah hak setiap anak sehingga tidak perlu dibatasi. Anak yang terpaksa terjerat kasus narkotika, terorisme, pemerkosaan, dan tindak pidana serius lainnya juga berhak mendapat akses untuk memperoleh diversi. Setidaknya setiap anak di berikan kesempatan untuk memperbaiki diri dan perbuatannya, dalam hal ini tujuan pidana sebagai ultimum remidium masih sangat

kental, berharap dengan di berikan pidana anak bisa menjadi lebih baik dan kapok untuk mengulang perbuatannya tanpa mempertimbangkan efek negative dari pemberian pidana tersebut, sehingga ketentuan pasal 7 ayat (1) SPPA perlu di revisi lagi atau dibuatkan pengaturan lain sebagai alternative untuk menangani anak yang melakukan tindak pidana yang berat.Diversi saat ini dianggap sebagai proses yang telah diakui secara Internasional sebagai cara penyelesaian terbaik dan paling efektif bagi perkara Anak yang berkonflik dengan hukum sebagai bentuk penerapan perlindungan Anak.

  • 1.4.2 Perbandingan pengaturan diversi Antara Indonesia dengan Filipina

    Ketentuan

    UU No. 11 tahun 2012 tentang SPPA

    Juvenile Justice and Welfare Act of 2006 (Republic Act No. 9344) Filiphina

    1. Batasan umur

    Anak        yang

    Berkonflik   dengan

    Hukum      yang

    selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12    (dua    belas)

    tahun, tetapi belum berumur        18

    (delapan      belas)

    tahun yang diduga

    SEC. 4. Definition of Terms. -The following terms as used in this Act shall be defined as follows:

    (e) "Child" refers to a person under the age of eighteen (18) years.

    Terjemahan :

    DETIK. 4. Definisi Istilah. -Istilah-istilah berikut yang

    melakukan   tindak

    pidana.

    Pasal 1 ayat 3

    digunakan dalam Undang-Undang ini harus didefinisikan sebagai berikut:

    (e) "Anak" mengacu pada seseorang di bawah usia delapan belas (18) tahun.

    Tindak Pidana

    Yang Dapat Diupayakan Diversi

    Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Pasal 7 ayat (2)

    (Section 4 i) “Diversion” refers to an alternative,child appropriate process of determining the responsibility and treatment of a child in conflict with the law on the basis of hisher social, cultural, economic, psychological or educational background without resorting to formal court proceedings.

    Terjemahan :

    Diversi sebagai upaya alternatif yang tepat bagi anak untuk bertanggung    jawab    dan

    menangani     anak    yang

    berhadapan  dengan  hukum

    denganlatarbelakang social,budaya,ekonomi,sikologi tanpa  menggunakan  system

    peradilan formal.)

(Section 4 J) “Diversion” refers to an alternative, child-appropriate process of determining the responsibility and treatment of a child in conflict with the law on the basis of hisher social, cultural, economic, psychological or educational background without resorting to formal court proceedings.

Terjemahan :

"program diversi” ditujukan kepada anak yang berkonflik dengan hukum, setelah ia diketahui bertanggung jawab atas sebuah pelanggaran tanpa menggunakan proses pengadilan formal.

Sumber: UU No. 12 tahun 2012 tentang SPPA, Juvenile Justice and Welfare Act of 2006 (Republic Act No. 9344) Filiphina.

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa Filiphina dalam aturan hukumnya bisa menyeimbangkan antara kepentingan Anak sebagai pelaku dan Anak sebagai korban secara seimbang. Artinya selain memikirkan kepentingan korban Filiphina juga memikirkan kepentingan pelaku, karena dalam posisi apapun mereka tetaplah seorang manusia yang dikatergorikan sebagai Anak yang memiliki karakter khusus yang harus diberikan perlidungan. Di Indonesia

Diversi hanya dapat diupayakan untuk Tindak pidana yang ancamannya dibawah 7 tahun dan bukan residivis, padahal akan lebih baik jika Diversi dapat diupayakan untuk setiap jenis tindak pidana yang dilakukan oleh Anak, hal itu terlihat akan lebih memberikan perlindungan bagi pelaku Anak. Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa Negara filiphina melakukan/menerapkan proses Diversi pada semua jenis tindak pidana yang dilakukan oleh Anak , Artinya dalam setiap penyelesaian perkara Anak berhadapan dengan hukum negara ini selalu melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku dan korban serat pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam hal ini untuk sama-sama mencari penyelesaian dan kesepakatan tanpa dibatasi oleh jenis atau ancaman pidana yang dilakukan.

Negara ini benar-benar memberikan perlindungan yang mengedepankan kesejahteraan demi kepentingan terbaik bagi Anak. Sesuai dengan asas dalam pembentukan Sistem Peradilan pidana Anak Pasal 2 UU SPPA yang menyangkut: perlindungan, keadilan, nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi Anak, penghargaan terhadap pendapat Anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak, pembinaan dan pembimbingan Anak, proposional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, dan penghindaran pembalasan.

Sedangkan tabel yang menjelaskan mengenai pelaksanaan divesi di Indonesia terlihat memang hanya melindung Anak yang melakukan tindak pidana dalam perbuatan tertentu karna memang dalam penjelasan Pasal 9 ayat (1) dijelaskan Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba

dan terorisme, yang diancam pidana diatas 7 tahun. apakah tidak bisa di lakukan perubahan terhadap batasan pelaksanaan diversi di Indonesia agar sama dengan di Filipina semua tindak pidana dapat diupayakan diversi

III Penutup

3.1    Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat di tarik 2 kesimpulan yaitu :

  • 1.    Anak yang melakukan tindak pidana yang berat yang diancam pidana di atas 7 tahun di lakukan proses peradilan anak biasa dan penjatuhan sanksinya sesuai Pasal 81 ayat 2 UU SPPA pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

  • 2.    Pengaturan diversi di Indonesia jika di bandingkan dengan negara filipina dalam hal batasan tindak pidana yang dapat diupayakan diversi berbeda, di filipina semua tindak pidana dapat diupayakan diversi sehingga bisa di katakan diversi di Filipina lebih mencerminkan memberikan perlindungan terhadap anak

  • 3.2    Saran

  • 1.    Pasal 7 ayat (2) huruf (a) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA tidak mencerminkan prinsip non diskriminasi, perlakuan yang sama dihadapan Hukum, dan perampasan kemerdekaan sebagai upaya terakhir, sehingga belum sepenuhnya mencerminkan Prinsip Perlindungan Anak, sehingga Perlu dilakukannya Reformulasi terhadap Pasal 7 ayat (2) Huruf

  • (a) UU SPPA, yang mengedepankan prinsip non diskriminasi

  • 2.    Lembaga legeslatif maupun eksekutif segera menghapus ketentuan Pasal 7 ayat (2) agar diversi bisa di terapkan untuk semua jenis tindak pidana

DAFTAR PUSTAKA

Nashriana, 2012, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Taufik Makro,dkk, 2003, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Koesno Adi, 2014, Diversi Tindak Pidana Narkotika Anak, Setara Press, Malang.

Wiyono, 2015, Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Wagiati Soetedjo, Melani, 2013, Hukum Pidana Anak. Refika Aditama, Bandung.

Gultom , Maidin , 2014, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama , Bandung.

Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan restorative Justice, Refika Aditama, Bandung.

Abintoro Prakoso, 2016, Hukum Perlindungan Anak, LaksBang PressIndo, Jember.

Wagiati Soetodjo, 2005, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung

Sholehuddin, 2002, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana ( Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya), Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 1996, Pengantar Penelitian Hukum, UI, Jakarta.

Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, hlm.2.

15