IMPLEMENTASI DIVERSI TERHADAP PELAKU TINDAK

PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI KEJAKSAAN

NEGERI DENPASAR

Oleh :

Adia Pratistia**

I Dewa Made Suartha*** Ni Nengah Adiyaryani**** Program Kekhususan Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Penanganan perkara tindak pidana oleh anak berdasarkan sistem peradilan pidana anak dalam tahap penuntutan harus mengutamakan pendekatan keadilan restroratif, yang diwujudkan melalui upaya diversi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum empiris, yaitu menganalisa hasil penelitian langsung di Kejaksaan Negeri Denpasar perihal pelaksanaan diversi terhadap pelaku anak pada tahap penuntutan di Kejaksaan Negeri Denpasar serta faktor-faktor penghambat pelaksanaan diversi di tahap penuntutan tersebut. Penelitian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan diversi pada tahap penuntutan di Kejaksaan Negeri Denpasar sudah dilaksanakan menurut Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai diversi pada tahap penuntutan. Adapun faktor-faktor penghambat, antara lain: kurangnya pemahaman para pihak, perbedaan persepsi, jaksa menggangap diversi sebagai hal yang baru; dan kurangnya sarana atau fasilitas.

Kata Kunci : Diversi, Tindak Pidana Anak, Penuntutan.

Abstract

The handling of criminal cases committed by child, based upon child criminal justice system in the prosecution phase should prioritize a restorative justice approach, which can be accomplished through diversion measure. This research applied empirical legal

research methodology, by analyzing research results from District Attorney Office of Denpasar, as well as the factors hindering the implementation of diversion in the prosecution phase. This research concluded that the implementation of diversion in prosecution phase in District Attorney of Denpasar has been carried out in accordance with the laws regulating diversion in prosecution phase. The inhibiting factors are: the parties’ lack of understanding, differences in perceptions, the prosecutor considers the diversion as a new thing, and lack of facilities.

Keywords: Diversion, Child Criminal Offense, Prosecution.

  • I.   PENDAHULUAN

    • 1.1.  Latar Belakang

Dewasa ini, marak terjadi tindak pidana yang pelakunya

adalah Anak. Anak memiliki karekteristik yang lebih spesifik dibandingkan orang dewasa dan merupakan salah satu kelompok rentan yang haknya sering terabaikan, sehingga memerlukan penanganan dan pembinaan khusus dalam rangka menjamin perlindungan bagi anak sekalipun anak tersebut telah melakukan tindak pidana.

Terbentuknya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

11 Tahun 2011 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU Sistem Peradilan Pidana Anak), Pasal 5 ayat 1 menentukan bahwa “Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan Restoratif”. “Konsep restorative justice ini melibatkan berbagai pihak yaitu pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, kepolisian, kejaksaan, hakim dan Lembaga Swadaya Masyarakat terkait untuk penyelesaian suatu permasalahan terkait dengan adanya tindak pidana yang dilakukan oleh anak.”1

Berdasarkan penjelasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak menerangkan bahwa “Keadilan Restoratif ini merupakan suatu proses diversi.” Penggunaan frasa “Sistem Peradilan Pidana Anak” tidak hanya ditujukan kepada hakim saja melainkan seluruh aparat penegak hukum lain sebagai suatu sistem.2 Sehingga upaya diversi harus dilaksanakan oleh seluruh aparat penegak hukum di Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Salah satunya adalah Jaksa sebagai penuntut umum.

UU Sistem Peradilan Pidana Anak terdapat kekhususan yaitu yang dimaksud dengan penuntut umum adalah penuntut umum anak. Berlaku hal tersebut karena walaupun anak secara kualitas dan kuantitas dapat melakukan perbuatan melanggar hukum seperti yang dilakukan orang dewasa, tetapi penanganan yang diberikan tidak harus sama dengan penanganan bagi orang dewasa yang melakukan kejahatan.3

Diwajibkannya Diversi pada tahap penuntutan membuat “Jaksa Penuntut Umum memiliki peran penting karena diharapkan akan mengurangi dampak negatif akibat keterlibatan anak dalam proses peradilan.”4 Jika semakin lama proses peradilan dikenal oleh anak, maka akan semakin mempengaruhi kejiwaan anak tersebut. Padahal anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus mendapatkan perhatian khusus demi menciptakan bibit-bibit unggul untuk kemajuan bangsa Indonesia.

Kota Denpasar yang merupakan ibu kota dari Provinsi Bali tercatat sebagai daerah paling rawan kriminalitas dibandingkan dengan kabupaten lain di seluruh Bali. Berdasarkan data yang telah diperoleh dari Ibu Assri Susantina, selaku Kasi Keamanan

Negara dan Ketertiban Umum (Kamnegtibum) Kejaksaan Tinggi Bali, setiap tahun anak yang menjadi pelaku tindak pidana di Provinsi Bali meningkat dari tahun sebelumnya. Data menunjukkan, perkara anak yang paling sering terjadi adalah pada wilayah hukum Kejaksaan Negeri Denpasar yaitu 20 (dua puluh) kasus anak pada tahun 2015, 36 (tiga puluh enam) kasus anak pada tahun 2016 dan 43 (empat puluh tiga) kasus anak pada tahun 2017. Peningkatan masuknya perkara pidana anak ke Kejaksaan merupakan akibat dari gagalnya diversi di tingkat penyidikan atau Kepolisian. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas kemudian dirasa perlu melakukan penelitian mengenai upaya diversi oleh penegak hukum terutama pada proses penuntutan jika pada proses penyidikan upaya diversi tidak berhasil dilaksanakan, dan masyarakat banyak yang belum memahami mengenai proses diversi pada proses penuntutan ini jika anggota keluarganya terutama anak dibawah umur yang sedang berhadapan dengan hukum.

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan, maka penulis tertarik melakukan penelitian hukum dengan

mengangkat judul :“Implementasi Diversi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak di Kejaksaan Negeri Denpasar”

  • 1.2.    Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan Diversi terhadap pelaku tindak pidana anak oleh jaksa penuntut umum di Kejaksaan Negeri Denpasar, dan untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat pelaksaan Diversi terhadap pelaku tindak pidana anak di Kejaksaan Negeri Denpasar.

  • II.   ISI MAKALAH

    • 2.1.  Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum empiris, yang terdiri dari “penelitian terhadap identifikasi hukum dan efektivitas hukum.”5 Data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan dari penelitian langsung ke lapangan yakni di Kejaksaan Negeri Denpasar untuk menghasilkan data primer (field research) dan penelitian kepustakaan untuk menghasilkan data sekunder (library research).

“Data Primer (field research) yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya, baik melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti.”6 Mengenai Data Sekunder (library research), antara lain mencakup “dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya.”7 2.2. Hasil dan Pembahasan

  • 2.2.1    Pelaksanaan Diversi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Anak oleh Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Denpasar

Pelaksanaan Diversi pada tingkat penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Denpasar didasari oleh terbentuknya UU Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mana pada Pasal 7 ayat 1 menentukan bahwa “pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri wajib diupayakan diversi.” Adanya kata wajib dalam isi Pasal tersebut mengharuskan setiap subsistem peradilan pidana anak, yang salah satunya adalah Kejaksaan yang bertindak sebagai

penuntut umum untuk melaksanakan diversi dalam menangani perkara pidana anak.

Dalam penanganan perkara anak yang berhadapan dengan hukum juga harus benar-benar menjamin perlindungan bagi anak, kepentingan terbaik anak dan harus tercipta keadilan restroratif. Demi mewujudkan keadilan restoratif tersebut, pada proses penututan Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi.

Selain itu yang menjadi latar belakang dilakukannya diversi pada perkara pidana anak di Kejaksaan Negeri Denpasar menurut Bapak I Made Lovi Purnawan, selaku jaksa penuntut umum di bagian pidana umum (wawancara pada tanggal 13 Februari 2018) menyatakan hal terpenting ialah menjamin, memelihara dan mengamankan kepentingan terbaik bagi anak. Dalam melakukan penegakan hukum bagi anak yang bekonflik dengan hukum, maka harus memperhatikan hak-hak anak sebagai generasi penerus bangsa. Hak-hak anak tersebut sesuai dalam Pasal 3 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Adapun hak-hak anak dalam proses penuntutan, menurut Ibu Ni Luh Oka Ariani Adikarini, selaku jaksa penuntut umum yang sering menangani perkara anak di Kejaksaan Negeri Denpasar (wawancara pada tanggal 13 Februari 2018) meliputi hak-hak yakni:

  • “1 . menetapkan masa tahanan anak cuma pada sudut urgensi pemeriksaan;

  • 2.    membuat dakwaan yang dimengerti anak;

  • 4.    secepatnya melimpahkan perkara ke Pengadilan;

  • 3.    melaksanakan ketetapan hakim dengan jiwa dan semangat pembinaan atau mengadakan rehabilitasi.”

Setiap anak yang berkonflik dengan hukum harus ditahan apabila diperlukan selama proses pemeriksaan, selebihnya sebisa mungkin anak untuk dihindarkan dari penahanan yang notabene

di dalam satu sel bersama penjahat-penjahat lain. Hal tersebut ditakutkan karena akan berakibat buruk bagi perkembangan metal dan psikis anak. Kemudian anak berhak mengetahui isi surat dakwaan yang didakwakan terhadapnya. Oleh sebab itu jaksa penuntut umum wajib membuat surat dakwaan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak. Selanjutnya sesegera mungkin dilimpahkan perkara ke Pengadilan jika tidak berhasil dilakukan upaya diversi. Hal tersebut dilakukan agar anak tidak semakin lama mengenal proses peradilan yang dapat memepengaruhi kejiwaannya. Setelah ketiga hak tersebut sudah didapat maka hak terakhir yakni anak berhak mendapatkan pembinaan dan/atau rehabilitasi setelah mendapatkan putusan hakim.

Adapun hak-hak yang didapatkan anak pada saat pemeriksaan di Kejaksaan Negeri Denpasar menurut Ibu Ni Luh Oka Ariani Adikarini, selaku jaksa penuntut umum anak (wawancara pada tanggal 13 Februari 2018) yakni:

  • “1 . hak untuk mendapatkan keringanan masa/waktu penahanan;

  • 2.    hak untuk mengganti status penahanan dari penahanan Rutan (Rumah Tahanan Negara) menjadi berada dalam tahanan rumah atau kota;

  • 3.    hak untuk mendapatkan perlindungan dari ancaman, penganiayaan, pemerasan dari pihak yang melakukan pemeriksaan;

  • 4.    hak untuk mendapatkan fasilitas dalam rangka pemeriksaan dan penuntutan;

  • 5.    hak untuk didampingi oleh penasehat hukum.“

Anak berhak untuk mendapatkan keringanan masa/waktu penahanan selama proses pemeriksaan di Kejaksaan, karena anak

mempunyai karakter khusus sehingga juga harus mendapatkan perhatian khusus. Semakin lama anak berada di dalam tahanan maka semakin terganggu mental dan psikisnya. Hak mendapatkan keringanan waktu penahanan akan meminimalisir pengaruh buruk yang didapatkan anak dari lingkungan tahanan.

Hak lain yang diberikan kepada anak yang berkonflik dengan hukum adalah dapat mengganti status penahanan dari Rutan menjadi tahanan rumah atau tahanan kota. Hak tersebut diberlakukan bagi pelaku tindak pidana anak agar anak tidak dapat pengaruh buruk dengan lingkungan tahanan dimana merupakan sarang penjahat, yang ditakutkan jika anak dimasukkan ke rutan adalah bukan menjadi lebih baik malah akan dipelajari oleh anak untuk berbuat yang sama dengan penghuni rutan, karena pada dasarnya anak mudah terpengaruh oleh lingkungannya. Jika anak melakukan kesalahan dan sampai harus di proses peradilan, sebenarnya masih bisa dimaafkan selama kejahatan yang dilakukan berupa pelanggaran dan bukan merupakan tindak pidana pengulangan.

Anak juga mendapatkan jaminan perlindungan dari berbagai ancaman selama proses pemeriksaan di Kejaksaan Negeri Denpasar, seperti paksaan untuk mengakui perbuatnya dengan cara penganiayaan dan lain sebagainya. Hak tersebut sebenarnya diberlakukan bukan saja terhadap anak, melainkan kepada semua orang yang berkonflik dengan hukum. Hal ini sesuai dengan Konstitusi bangsa Indonesia yakni menjamin Hak Asasi Manusia setiap warga negaranya sekalipun mereka telah melakukan tindak pidana.

Setiap anak yang sedang mejalani proses pemeriksaan dan penuntutan atas perbuatan pidana yang telah dilakukan, maka anak berhak mendapatkan fasilitas yang memadai dan khusus

diperuntukan bagi anak, karena anak tidak dapat disamakan dengan orang dewasa, anak harus mendapatkan perlakuan khusus guna mengutamakan kepentingan pribadi anak. Seperti adanya Ruang Khusus Anak (RKA) yang dipergunakan selama proses diversi dan pemeriksaan guna penuntutan di Kejaksaan berlangsung.

Hak yang terpenting lain yang diperoleh anak ialah hak untuk memperoleh pendampingan. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 23 ayat 1 UU Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu :“dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan batuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Adanya hak pendampingan bagi anak, karena anak secara hukum dianggap belum cakap hukum, anak dinilai belum bisa melakukan perbuatan hukum dan belum mengerti hukum sehingga harus didampingi oleh pihak-pihak yang paham dan dapat membantu anak selama berhadapan dengan hukum.

Mengenai pola penerapan diversi, berdasarkan informasi yang didapat melalui wawancara dengan Bapak I Made Lovi Purnawan, (wawancara pada tanggal 15 Februari 2018) selaku jaksa penuntut umum di bagian pidana umum mengenai pola penerapan diversi di Kejaksaan Negeri Denpasar, mengatakan bahwaupaya diversi,dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun yang terdapat dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 48 dan secara khusus menganut Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No. KEP-006/A/JA/05/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi pada Tingkat Penuntutan yakni :

“1. upaya diversi (persiapan);

  • 2.    musyawarah Diversi;

  • 3.    kesepakatan Diversi;

  • 4.    pelaksanaan kesepakatan Diversi;

  • 5.    pengawasan dan pelaporan pelaksanaan kesepakatan Diversi;

  • 6.    penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan;

  • 7.    registrasi Diversi.”

  • 2.2.2 Faktor-Faktor Penghambat Pelaksanaan Diversi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Anak Di Kejaksaan Negeri Denpasar

  • 1.   Kurangnya Pemahaman Para Pihak tentang Pelaksanaan

Diversi

Berdasarkan pendapat dari Bapak I Made Lovi Purnawan, selaku Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Denpasar (wawancara pada tanggal 19 Februari 2018) menyampaikan bahwa faktor paling utama yang menghambat upaya diversi dalam penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan anak adalah Korban dan/atau keluarga atas tindak pidana yang telah dilakukan oleh pelaku anak tersebut. Bagi pihak korban, sering merasa tidak adil jika dalam penyelesaian perkara melalui diversi karena menganggap diversi hanya berpihak dan menguntungkan pada pelaku. Bagi korban dan/atau keluarga, rasa keadilan sudah terpenuhi apabila pelaku telah mendapatkan ganjaran setimpal atas perbuatannya. Namun dalam sistem peradilan pidana anak, makna keadilan tidaklah demikian. Keadilan pada sistem peradilan pidana anak adalah penggunaan keadilan Restoratif yang artinya konsep pemidanaan bukan berdasar pada pembalasan yang setimpal, akan tetapi berusaha menyelesaikan perkara pidana secara adil bagi semua pihak (win-win solutions), mendorong pertanggung jawaban pelaku dan tidak mengulangi

perbuatannya lagi, serta berusaha menyelesaikan diluar peradilan atau secara informal. Ketidak pahaman masyarakat terutama korban tindak pidana mengenai makna keadilan ini yang menyebabkan kegagalan upaya diversi dalam penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum khususnya pada tingkat penuntutan di Kejaksaan Negeri Denpasar.

Namun berdasarkan informasi dari Ibu Ni Luh Oka Ariani Adikarini, selaku Jaksa Penuntut Umum yang beberapa kali menangani perkara anak di Kejaksaan Negeri Denpasar (wawancara pada tanggal 22 Februari 2018) mengatakan bahwa pada kasus-kasus tertentu pihak korban tidak menghadiri panggilan penuntut umum anak untuk melakukan upaya diversi. Sehingga musyawarah diversi secara otomatis tidak dapat dilaksanakan karena ketidak hadiran pihak korban.

  • 2.    Perbedaan Persepsi Antara Pihak Pelaku Anak dan Pihak Korban

Dalam menentukan Kesepakatan Diversi antara pihak anak yang berkonflik dengan hukum dan pihak korban tidak semudah mengembalikan telapak tangan. Berdasarkan wawancara dengan Ibu Ni Luh Oka Ariani Adikarini, selaku Jaksa Penuntut Umum yang sering menangani perkara anak di Kejaksaan Negeri Denpasar (wawancara pada tanggal 22 Februari 2018), mengatakan bahwa pada saat musyawarah diversi dilakukan terhadap pihak anak yang melakukan tindak pidana dengan pihak korban tindak pidana tersebut, sering terjadi pertengkaran atau keributan yang mengakibatkan musyawarah diversi tidak dapat berjalan kondusif. Keributan tersebut disebabkan karena baik salah satu maupun kedua belah pihak memiliki pemikiran yang berbeda. Selain itu, perbedaan kepentingan antara kedua belah pihak merupakan masalah mendasar dalam penentuan

kesepakatan. Hal ini menyebabkan pelaksanaan diversi untuk menyelesaikan perkara tindak pidana anak gagal mencapai Kesepakatan Diversi.

  • 3.    Paradigma Dari Jaksa Bahwa Diversi Merupakan Hal Yang Baru

Pada kenyataannya jaksa sebagai penuntut umum dalam menangani perkara anak lebih memilih untuk tidak melakukan upaya diversi, karena prosedur pelaksanaannya yang bisa dibilang rumit dan masih dianggap sebagai hal yang baru. Namun menurut amanat yang tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) UU Sistem Peradilan Pidana Anak yakni mewajibkan bagi penegak hukum di setiap tingkat proses peradilan yakni pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan negeri untuk melakukan upaya diversi, maka diversi harus tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut.

Diversi yang masih dianggap hal baru oleh jaksa, juga mempengarungi kurangnya keahlian yang dimiliki seorang jaksa untuk menjadi fasilitator. Dalam penanganan perkara anak yang berkonflik dengan hukum, diperlukan suatu keahlian dari para jaksa anak yang dapat memahami dan mengerti anak nilai-nilai dalam menerapkan konsep diversi yang berorientasi pada pendekatan restorative justice. Berdasarkan infomasi dari Ibu Ni Luh Oka Ariani Adikarini, selaku Jaksa Penuntut umum yang beberapa kali menangani perkara anak di Kejaksaan Negeri Denpasar (wawancara pada tanggal 22 Februari 2018), mengatakan bahwa tidak semua penuntut umum mengikuti Diklat Anak yang Berhadapan dengan Hukum yang dilakukan Badan Kejaksaan RI mengenai pemahaman menjadi fasilitator dalam upaya diversi pada tingkat penuntutan, karena untuk mengikuti

diklat tersebut berdasarkan penunjukan dari Pimpinan melalui Surat Perintah. Sehingga dalam pelaksaanan praktik di lapangan masih banyak jaksa yang belum paham karena kurangnya keahlian dalam penangani perkara anak.

  • 4.    Kurangnya Sarana atau Fasilitas

Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No. PER-006/A/J.A/04/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntutan, disebutkan bahwa pelaksanaan musyawarah diversi dilakukan di RKA yaitu ruang khusus yang responsif terhadap anak yang sedang berkonflik dengan hukum. RKA tersebut digunakan untuk melaksanakan penerimaan tanggung jawab atas anak dan barang bukti dalam perkara anak dan sedang melaksanakan proses diversi pada tahap penuntutan. Namun, berdasarkan informasi yang didapat dari Ibu Ni Luh Oka Ariani Adikarini, selaku Jaksa Penuntut Umum, mengatakan bahwa di Kejaksaan Negeri Denpasar (wawancara pada tanggal 22 Februari 2018) belum terdapat RKA untuk musyawarah diversi suatu perkara yang pelakunya adalah anak. Sehingga ini menjadi faktor yang menghambat dilakukannya diversi di Kejaksaan Negeri Denpasar. Pada kenyataanya pelaksanaan musyawarah diversi pada Kejaksaan Negeri Denpasar dilakukan di ruang yang sama dengan pemeriksaan perkara untuk orang dewasa pada saat pelaksanaan tahap II, yang notabene ruang pemeriksaan tersebut tidak layak untuk anak. Sehingga dapat dikatakan bahwa penanganan perkara anak di Kejaksaan Negeri Denpasar dilakukan seadanya dan upaya diversi tidak dapat berjalan dengan semestinya.

  • III.  PENUTUP

    • 3.1 .  Kesimpulan

Pelaksanaan diversi pada tahap penuntutan di Kejaksaan Negeri Denpasar dilatar belakangi oleh terbentuknya UU Sistem Peradilan Pidana Anak dan sudah dilaksanakan menurut Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai diversi pada tahap penuntutan.

Faktor-faktor penghambat pelaksanaan diversi di Kejaksaan Negeri Denpasar, antara lain kurangnya pemahaman para pihak, perbedaan persepsi antara para pihak, jaksa masih menganggap bahwa diversi merupakan hal yang baru; dan kurangnya sarana atau fasilitas.

  • 3.2    Saran

Bagi Penuntut Umum Anak di Kejaksaan Negeri Denpasar, diharapkan dalam menangani perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak yakni pada tahap penuntutan agar dapat diupayakan diversi dan pelaksanaan diversi selalu berpedoman pada peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan diversi pada tingkat penuntutan, agar setiap tindak pidana yang melibatkan anak bisa diselesaikan melalui proses diluar peradilan.

Bagi Kejaksaan Republik Indonesia, agar diadakan sosialisasi bagi penuntut umum anak mengenai teknis pelaksanaan diversi demi membentuk fasilitator diversi yang terampil sehingga dapat mengupayakan proses diversi berhasil di tahap penuntutan.

DAFTAR PUSTAKA

  • A.    Buku

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2014, Pengantar Metode

Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Nashriana, 2011, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 1999, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Wahyudi, Setya, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembangunan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta.

Wiyono, R, 2016, Sistem Peradilan Anak Di Indonesia, Cetakan I, Sinar Grafika, Jakarta.

  • B.    Jurnal Ilmiah

I Putu Asajania, Gde Made Swardhana, Anak Agung Ngurah Wirasila, 2017, “Penerapan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Kasus Di Kejaksaan Negeri Singaraja)”, Jurnal Kertha Wicara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Volume 06, Nomor 04, Denpasar, h. 9, ojs.unud.ac.id, URL : https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view /33383, diakses pada tanggal 11 April 2018, pukul 17.30 Wita.

  • C.    Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5732.

Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No. PER-006/A/J.A/ 04/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntutan

15