KRIMINALISASI TERHADAP PERILAKU CABUL ANTAR ORANG DEWASA SESAMA JENIS (LESBIAN DAN GAY)

Oleh:

I Wayan Agus Harry Saputra∗∗ I Made Arya Utama∗∗∗

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Pembicaraan perihal perlunya perilaku cabul antar orang dewasa sesama jenis untuk diberlakukan hukum pidana menjadi pro dan kontra di kalangan akademisi, praktisi serta masyarakat. Penilaian terhadap perbuatan tersebut meletakkan titik urgensi pada norma kesusilaan dan kepatutan masyarakat yang dilanggar oleh kaum pelaku perbuatan cabul antar orang dewasa sesama jenis (lesbian atau gay). Upaya kriminalisasi terhadap perilaku cabul antar orang dewasa sesama jenis perlu dikaji dalam perspektif kebijakan hukum pidana sehingga keberlakuannya menjadi efektif dan efisien.

Tujuan dari kajian ini adalah demi memberikan masukan secara teoritis terhadap legislatif perihal wacana kriminalisasi perbuatan cabul antar orang dewasa sesama jenis (lesbian atau gay) di Indonesia.

Adapun simpulan dari pembahasan ini adalah perbuatan cabul yang dilakukan antar orang dewasa dengan jenis kelamin yang sama (lesbian atau gay) tidak sesuai dengan nilai Pancasila. Namun demikian, mengingat lesbian atau gay merupakan kelaianan kejiwaan berupa penyimpangan orientasi seksual, sehingga akan lebih tepat untuk diberlakukan sanksi tindakan dengan melibatkan tenaga medis dan tenaga psikolog daripada pengenaan sanksi pidana.

Kata kunci: Kriminalisasi, Perilaku Cabul, Dewasa, Sesama Jenis

Abstract

Talks about the need for obscene behavior between same-sex adult to apply criminal law become the pros and cons in the

Tulisan yang berjudul “Kriminalisasi Terhadap Prilaku Cabul Antar Orang Dewasa Sesama Jenis (Lesbian dan Gay) adalah tulisan diluar skripsi yang ditulis bersama pembimbing akademik.

∗∗ I Wayan Agus Harry Saputra sebagai penulis pertama, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, Korespondensi : harrysaputra1604@gmail.com

∗∗∗ I Made Arya Utama sebagai penulis kedua sekaligus sebagai pembimbing akademik

academics, practitioners and society. Assessment of such acts places a point of urgency on the morality and propriety norms of society violated by perpetrators of lewd deeds between same-sex (lesbian or gay) adults. Criminalization efforts against obscene behavior among same-sex adults need to be examined in a criminal law policy perspective so that their effectiveness becomes effective and efficient.

The purpose of this study is to provide theoretical input to the legislature concerning the discourse of criminalization of lewd deeds among the same sex (lesbian or gay) in Indonesia.

The conclusions of this discussion are lewd acts committed between adults with the same gender (lesbian or gay) is not in accordance with the value of Pancasila. However, since lesbians or gays are psychiatric in the form of sexual orientation deviations, so it would be more appropriate to enact action sanctions involving medical personnel and psychologists than the imposition of criminal sanctions.

Keywords: Criminalization, Sloppy Behavior, Adult, Fellow Type

  • I.    Pendahuluan

    I.1.    Latar belakang masalah

Hukum tertulis yang berlaku merupakan nilai-nilai luhur masyarakat yang tertuang dalam nilai-nilai luhur Pancasila. Agar hukum yang terbentuk tidak menjadi benda mati, maka perlu dipertimbangkan berbagai aspek termasuk masyarakat. Pada tanggal 19 April 2016 terdapat permohonan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi terkait bunyi beberapa pasal perihal kesusilaan, salah satunya Pasal 292 KUHP yang dianggap inkonstitusional. Permohonan uji materiil terhadap Pasal 292 KUHP mengganggap bahwa frasa “dewasa” dan frasa “dengan dia yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa“ dihilangkan. Sehingga Pasal 292 mampu digunakan untuk menjerat pelaku perbuatan cabul antar orang dewasa yang berjenis kelamin sama. Adapun bunyi Pasal 292 KUHP sebagai berikut: “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya dengan dia

yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”. Pasal ini jelas tertuju pada perbuatan percabulan yang dilakukan terhadap anak di bawah umur yang berjenis kelamin sama.

Permohonan terhadap Pasal ini memperluas cakupan pelaku serta perbuatan melawan hukum yang lazim disebit sebagai kebijakan kriminalisasi terhadap suatu perbuatan atau pelaku tertentu. Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 46/ PUU-XIV/2016 diputuskanlah bahwa permohonan uji materiil yang diajukan ditolak untuk seluruhnya. Berarti permohonan perluasan pelaku dan jenis perbuatan melawan hukum pada Pasal 292 KUHP juga ditolak. Terlepas hasil putusan MK tersebut di atas, kiranya menarik untuk dibahas perihal kebijakan hukum pidana yaitu kebijakan kriminalisasi terhadap perilaku cabul antar orang dewasa sesama jenis yang diistilahkan bagi pelakunya sebagai lesbian dan gay.

  • I.2.    Rumusan masalah

Beranjak dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka terdapat beberapa masalah yang akan dikaji, adapun rumusan masalah yang akan dibahas antara lain:

  • 1.    Apakah perilaku cabul antar orang dewasa sesama jenis (lesbian atau gay) sesuai dengan nilai Pancasila?

  • 2.    Apakah sanksi pidana tepat dikenakan kepada perilaku cabul antar orang dewasa sesama jenis (lesbian atau gay)?

  • II.    Isi Makalah

    2.1.    Metode

Kajian dalam tulisan ini merupakan kajian/penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan

penelitian dari perspektif internal dengan obyek penelitiannya adalah norma hukum.1 Dalam tulisan ini akan dipakai beberapa pendekatan antara lain pendekatan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan obyek pembahasan (statue approach) serta pendekatan konsep “orang miskin’ dan konsep lain terkait obyek pembasahan (conseptual approach).2 Adapaun bahan primer diperoleh melalui peraturan perundang-undangan terkait dengan kebijakan kriminalisasi dalam hukum pidana, sedangkan bahan hukum sekunder diperoleh dari buku dan literatur penunjang lainnya. Bahan yang diperoleh akan dianalisa dengan beberapa teknik anatara lain teknik deskripsi, komparasi, evaluasi serta argumentasi. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah diperolehnya sebuah kesimpulan mengenai tepat atau tidak tepatnya perilaku cabul orang dewasa sesama jenis dijatuhi sanksi pidana sehingga aturan hukum yang tercipta akan dapat berlaku efektif.

  • 2.2.    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1.    Perilaku cabul antar orang dewasa sesama jenis (lesbian dan gay) dalam perspektif nilai Pancasila

Negara hukum merupakan negara dimana kekuasaan pemerintah diperoleh bukan dari Tuhan, raja maupun negara, akan tetapi berdasarkan hukum, yang berdaulat adalah hukum.3 Terdapat beberapa faktor negara hukum, antara lain: pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan, terdapat

peradilan yaang bebas dan tidak memihak, tedapat jaminan persamaan kedudukan setiap warga negara dalam hukum, terdapat peradilan administrasi negara.4 Satu-satunya landasan ideologis sekaligus landasan filosofis dalam negara hukum Indoensia ialah Pancasila. Dalam kedudukan Pancasila sebagai landasan ideologi, maka Pancasila memberikan orientasi terhadap keberlakuan hukum di negara Indonesia.5 Pancasila juga memberikan gagasan-gagasan, ide-ide, keyakinan-keyakinan yang menyeluruh dan sistematis yang menyangkut tingkah laku manusia dalam berbagai bidang, melingkupi bidang politik, bidang sosial, bidang kebudayaan, serta bidang keagamaan.6 Maka dari itu, hukum Indonesia semestinya sesuai dengan ideologi Pancasila, termasuk pula hukum yang mengatur perbuatan cabul yang dilakukan kepada korban sesama jenis.

Permohonan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi tertanggal 19 April 2016 merupakan permohonan terhadap beberapa pasal terkait dengan kesusilaan salah satunya adalah Pasal 292 KUHP. Pasal 292 KUHP berbunyi sebagai berikut: “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya dengan dia yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.

Sejatinya Pasal 292 KUHP merupakan pasal yang perbuatan melanggar kesusilaan (cabul) dengan seorang anak anak di bawah umur dari jenis kelamin yang sama yang dalam doktrin disebut sebagai homoseksualitas. Pemohonan dimaksud terkait

Pasal 292 ialah penghapusan frasa “dewasa” dan frasa ”dengan dia yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa”. Sehingga Pasal 292 dimohonkan menjadi “Orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun“. Permohonan redaksi pasal tersebut jelas dimaksudkan menambah cakupan atau memperluas kategori pelaku dan perbuatan melawan hukum. Hal mana, perbuatan cabul dalam Pasal 292 diperluas cakupannya melingkupi orang dewasa. Dapat dikatakan perbuatan cabul antar orang dewasa yang berjenis kelamin sama (lesbian atau gay).

Perbuatan cabul atau perbuatan melanggar kesusilaan (ontucht) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 292 KUHP merupakan salah satu unsur obyektif dalam rumusan delik pasal. Simons dalam Lamintang memberikan penjelasan mengenai frasa Perbuatan cabul atau perbuatan melanggar kesusilaan dalam Pasal 292 KUHP, merupakan perbuatan atau tindakan yang berkenaan dengan kehidupan dalam bidang seksual, yang dilakukan dengan maksud-maksud untuk memperoleh kenikmatan dengan cara yang sifatnya bertentangan dengan pandangan umum tentang kesusilaan, sehingga harus juga dimasukkan ke dalam pengertiannya, yakni perbuatan-perbuatan melakukan hubungan kelamin.7 Pasal ini dengan tegas mengatur bahwa syarat obyektif berikutnya adalah adanya korban tertuju perbuatan cabul ialah anak yang berjenis kelamin sama.

Aktifitas seksual yang dilakukan terhadap anak atau sesama orang dewasa yang berjenis kelamin sama dapat digolongkan sebagai perbuatan cabul. Sejatinya aktifitas seksual dalam

bentuk hubungan badan (hubungan intim) lazim dilakukan dalam bingkai ikatan suami-istri (perkawinan). Stigma masyarakat menganggap bahwa aktifitas seksual menjadi tidak tabu jika dilakukan oleh sepasang suami-istri yang telah sah secara adat, agama dan hukum. Hanya saja terhadap aktifitas seksual yang dilakukan oleh pasangan dewasa yang berjenis kelamin sama merupakan pengecualian dari itu. Aktifitas seksual sesama jenis kelamin dianggap tabu dan tidak sesuai dengan agama manapun di Indonesia.

Sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila, maka segala aktifitas kehidupan senantiasa harus berpatokan pada hukum yang bersumber dari nilai Pancasila. Merujuk pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan). Melalui Pasal 1 UU Perkawinan, dapat diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan ialah ikatan lahir batin yang disebut sebuah perkawinan hanya dapat dilangsungkan oleh 2 orang yang berjenis kelamin berbeda.

Dikarenakan pengaturan Pasal 1 UU Perkawinan hanya mengatur bahwa perkawinan sebagai ikatan seorang pria dan seorang wanita, maka selain hubungan pria dengan wanita (lawan jenis) bukanlah dianggap sebagai suatu perkawinan. Implikasinya ialah segala bentuk perbuatan cabul (aktifitas seksual) yang dilakukan antar orang dewasa dengan jenis kelamin yang sama (lesbian atau gay), menjadi tidak memiliki nilai kepatutan secara sosial maupun secara yuridis dalam pandangan negara hukum Pancasila.

  • 2.2.2.    Kebijakan kriminalisasi terhadap perilaku cabul antar orang dewasa sesama jenis (lesbian dan gay)

Perbuatan cabul (aktifitas seksual) yang dilakukan antar orang dewasa dengan jenis kelamin yang sama (lesbian atau gay) tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam konsep negara hukum Pancasila. Permohonan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi tertanggal 19 April 2016 terkait Pasal 292 KUHP menghendaki agar perbuatan cabul (aktifitas seksual) yang dilakukan antar orang dewasa dengan jenis kelamin yang sama diancam sebagaimana bunyi Pasal 292 yaitu ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara. Menganut pada asas legalitas sebagai pilar utama dalam hukum pidana, maka upaya untuk memasukan sebuah perbuatan yang sebelumnya tidak dianggap perbuatan melawan hukum menjadi perbuatan melawan hukum pidana disebut sebagai kebijakan kriminalisasi. Barda Nawawi Arief bahwa kebijakan kriminalisasi adalah suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindakan pidana (perbuatan yang dapat dipidana).8 Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana.

Berkenaan dengan kebijakan hukum pidana, Barda Nawawi mengutip pendapat Sudarto mengungkapkan bahwa kebijakan hukum pidana (penal policy) dipersamakan dengan politik hukum pidana atau “strafrechtspolitiek” adalah:

  • a.    Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat

  • b.    Kebijakan dari suatu negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan utnuk

mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.9

Untuk menentukan suatu perbuatan yang sebelumnya tidak dianggap perbuatan melawan hukum menjadi perbuatan melawan hukum memerlukan beberapa pertimbangan. Pertimbangan dimaksud sangat diperlukan agar terjadi sinkronisasi antara aturan hukum, penegak hukum serta masyarakat yang kepentingannya mampu terakomodir melalui kriminalisasi sebuah perbuatan.Terkait dengan perbuatan cabul (aktifitas seksual) yang dilakukan antar orang dewasa dengan jenis kelamin yang sama yang dilarag agama, pada prinsipnya dianggap perbuatan tabu (melanggar norma kesusilaan, norma agama serta norma kesopanan). Pembahasan berikutnya adalah, apakah setiap perbuatan yang melanggar norma kesusilaan, norma agama serta norma kesopanan patut untuk dikriminalisasi atau dipidanakan?

Sudarto dalam Teguh Prasetyo menjabarkan bahwa kriminalisasi harus memperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:

  • 1.    Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila.

  • 2.    Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau siritual) atas warga masyarakat.

  • 3.    Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost benefit principle).

  • 4.    Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan

penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).10

Poin pertama, telah dibahas pada bagian sebelumnya bahwa perbuatan cabul sesama jenis merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur yang tumbuh dan berkembang di masyarakat berdasarkan Pancasila. Poin kedua, ketika suatu perbuatan tidak sesuai dengan nilai luhur Pancasila di masyarakat, akan berimplikasi pada pandangan masyarakat yang tidak mengkehendaki perbuatan tersebut karena dianggap tabu dan mengganggu keseimbangan kosmis pada komunitas masyarakat tradisional Indonesia. Mengingat perbuatan cabul sejenis dianggap perbuatan tabu, maka perbuatan tabu akan mendatangkan “kekotoran” batin, atau malapetaka dan aib jika dibiarkan terjadi. Poin ketiga, erat kaitannya dengan prinsip kemanfaatan. Suatu perbuatan melawan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan akan memerlukan proses penegakan dengan melewati berbagai tahapan sistem peradilan pidana (criminal justice process). Biaya yang dikeluarkan negara untuk menangani sebuah kasus pada masing-masing tahap tidaklah kecil. Di lain sisi, terdapat berbagai kasus besar yang lebih mendesak untuk ditangani dan memerlukan biaya yang lebih besar. Permasalah kepuasaan batiniah (keseimbangan kosmis) masyarakat dapat diselesaikan dengan metode yang lebih persuasif atau tanpa melalui jalur litigasi.

Poin keempat, pertimbangan ini terkait dengan poin ketiga yang telah dipaparkan sebelumnya. Bahwa penegakan hukum suatu kasus melibatkan banyak penegak hukum dalam setiap tahapan proses peradilan pidana. Selain jumlah anggaran dalam penangan sebuah kasus, perlu pula dipertimbangan

permasalahan kuantitas serta kualitas sumber daya manusia (penegak hukum). Upaya penegakan hukum terhadap perbuatan cabul sesama jenis hanya akan menambah beban kerja penegak hukum dan beban anggaran negara dalam penanganan setiap kasus hukum.

Pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) 2015 (selanjutnya RKUHP 2015), perihal zina diatur pada Pasal 484 sebagai berikut:

  • 1)    Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun:

  • a.    laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;

  • b.    perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya;

  • c.    laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;

  • d.    perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau

  • e.    laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.

  • 2)    Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar.

  • 3)    Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 29.

  • 4)    Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

Dapat diperhatikan bahwa dalam RKUHP 2015 tidak memuat pengaturan yang mengarah pada kriminalisasi perbuatan cabul sesama jenis (lesbian dan gay). Berdasarkan pertimbangan moral yang mengacu pada Pancasila, dapat saja perbuatan dimaksud dilakukan kriminalisasi. Hanya perlu dikaji apakah terhadap perbuatan dimaksud layak dikenakan sanksi pidana ataukah sanksi tindakan. Sejalan dengan pendapat Hofnegel bahwa

penanganan sebuah kejahatan dapat ditempuh dengan beberapa cara antara lain:

  • a.    Penerapan hukum pidana (criminal law application)

  • b.    Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)

  • c.    Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media)11

Perbuatan cabul sesama jenis yang dianggap kejahatan tidak mutlak harus dikenakan sanksi pidana. Terdapat pula pencegahan terhadap kejahatan tanpa memperguanakan pidana, salah satunya dengan penerapan sanksi tindakan.

Mengalihkan dimensi pembahasan perihal perbuatan cabul sesama jenis (lesbian dan gay), maka ilmu yang sangat berguna ialah ilmu psikologi. Psikologi merupakan ilmu pengetahuan tentang tingkah laku dan kehidupan psikis (jiwani) manusia.12 Bagaimanapun juga, atauran hukum termasuk aturan hukum pidana diterapkan di masyarakat. hal mana masyarakat terdiri dari indovidual-individual mandiri dengan berbagai karakter kejiwaannya masing-masing. Dalam pandangan modern, kejiwaan individual tidak dapat dilepaskan terhadap perilakunya untuk mentaati atau justru melakukan perilaku menyimpang dari norma yang ada (norma hukum,agama, kesopanan dan kesusilaan)/ delinquency.

Perbuatan cabul sesama jenis berawal dari hasrat untuk melakukan aktifitas seksual terhadap orang lain dengan jenis kelamin yang sama. Hasrat ini dapat digolongkan sebagai kelainan psiskis atau kejiwaan seseorang, dapat saja dikarenakan bawaan lahir, pengalaman masa kecil ataupun pendidikan tidak langsung dari lingkungan. Apapun sebabnya,

perbuatan cabul sesama jenis (lesbian atau gay) meruapakn sebauah kelainan kejiawaan di bidang orientasi seksual. Penerapan hukum pidana dalam menaggulangi perbuatan cabul sesama jenis (lesbian atau gay) akan menjadi kurang efektif untuk tujuan menyadarkan pelaku.

Menganut pada prinsip hukum pidana “ultimum remidium”, bahwa hukum pidana sedapat mungkin dijadikan sarana terakhir dalam penanggulangan sebuah kejahatan. Dapat diartikan pula bahwa suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai kepatutan di masyarakat tidak serta merta harus dikenakan sanksi pidana. Diperlukan pencegahan tanpa pidana melalui sanksi tindakan, dengan memberikan perawatan (rehabilitasi) melibatkan tenaga medis dan psikolog agar orientasi seksual yang bersangkutan kembali normal. Sanksi tindakan akan lebih efektif dalam memperbaiki pelaku perbuatan cabul sesama jenis agar tidak melakukan lagi perbuatan yang bertentangan dengan norma yang berlaku dan nilai-nilai luhur Pancasila.

  • III.    Penutup

    3.1.    Kesimpulan

Beranjak dari kajian permasalahan sebagaimana dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa poin sebagai hasil penelitian, sebagai berikut:

  • 1.    Perbuatan cabul (aktifitas seksual) yang dilakukan antar orang dewasa dengan jenis kelamin yang sama (lesbian atau gay) tidak sesuai dengan nilai Pancasila.

  • 2.    Meskipun Perbuatan cabul (aktifitas seksual) yang dilakukan antar orang dewasa dengan jenis kelamin yang sama (lesbian atau gay) tidak sesuai dengan nilai Pancasila

namun tidak serta merta pemberlakuan sanksi pidana tepat dilakukan. Terlebih lesbian atau gay merupakan kelaianan kejiwaan beruapa penyimpangan orientasi seksual, sehingga akan lebih tepat untuk diberlakukan sanksi tindakan dengan melibatkan tenaga medis dan tenaga psikolog.

  • 3.2.    Saran

Adapun hal-hal yang dapat direkomendasikan sehubungan dengan permasalahan yang dibahas adalah:

  • 1.    Lembaga legislatif hendaknya mempertimbangkan faktor kriminogen dari pelaku perbuatan cabul antar orang dewasa yang berjenis kelamin sama (lesbian atau gay) sehingga diperoleh pilihan yang tepat untuk menerapkan sanksi pidana, sanksi tindkaan ataupun kedua jenis sanksi tersebut secara bersamaan.

  • 2.    Lembaga legislatif hendaknya menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kebijakan kriminalisasi terhadap suatu perbuatan meskipun secara nyata perbuatan dimaksud bertentangan dengan nilai kepatutan di masyarakat. Kehati-hatian tersebut dimaksudkan agar penerapan kebijakan kriminalisasi tidak justru menambah beban negara di bidang anggaran, beban kerja aparat ataupun kemanfaatan langsung bagi masyarakat dan pembangunan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arief, Barda Nawawi, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan penyusunan konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group, Jakarta

, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung

Diantha, I Made Pasek,2016, Metodelogi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum, Prenada Media Group,

Jakarta.

Kaelan dan Zumaidi, Achmad, 2010, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, Paradigma, Yogyakarta

, 2002, Filsafat Pancasila (Pandangan Hidup Bangsa),

Paradigma, Yogyakarta, hlm.53

,2014, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta

Kansil, C.S.T dan Kansil, Christine S.T., 2004, Ilmu negara (Umum dan Indoensia), PT. Pradnya Paramita, Jakarta

Kartono, Kartini,1990, Psikologi Umum, Penerbit Mandar Maju, Bandung

Lamintang, P.A.F. dan Lamintang, Theo, 2009, Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, Sinar Grafika, Jakarta

Putra, Ida Bagus Wyasa, 2016, Teori Hukum dengan Orientasi Kebijakan, Udayana University Press, Denpasar.

,  2015, Filsafat Ilmu Filsafat Ilmu Hukum,  Udayana

University Press, Denpasar.

Prasetyo, Teguh, 2013, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana RKUHP) 2015

15