TELECONFERENCE SEBAGAI BENTUK KEMAJUAN TEKNOLOGI DALAM HUKUM ACARA PIDANA SEBAGAI SALAH SATU CARA MENDAPATKAN KEBENARAN MATERIIL
on
TELECONFERENCE SEBAGAI BENTUK KEMAJUAN TEKNOLOGI
DALAM HUKUM ACARA PIDANA SEBAGAI SALAH SATU CARA
MENDAPATKAN KEBENARAN MATERIIL
Oleh :
Putu Inten Andhita Dewi
I Made Pujawan
Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRACT
The trial by using a media teleconference invite debate. There is an opinion pro and not a few were opposed. The purpose of this paper is to determine what factors are causing the persistence of the debate on the use of teleconference in Indonesia and how to deal teleconference as technological advances in the form of criminal procedure as one way of getting the material truth can be realized for the period ahead. The research method used in this paper are included in the category / type of normative legal research. Normative legal research is research-based law rules or norms in the legislation. The conclusion of this paper, factors causing debate existence still regarding use of teleconference in Indonesia include formulative Policy (legislation) and the applicable policy (law enforcement) in Indonesia refers to the positive law (ius constitutum), Criminal Procedure Code does not regulate the teleconference, and the judge approves the existence teleconference conducted teleconference. With the new verification system in the Criminal Code, it is not only the teleconference can be accommodated, but over the times and technology, modern evidence other relative can be applied in judicial practice in order to get the material truth and justice in accordance with the expectations of society.
Key words : teleconference, verification, material truth
ABSTRAK
Persidangan dengan menggunakan media teleconference mengundang perdebatan panjang. Ada pendapat yang pro dan tak sedikit yang menentang. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan masih adanya perdebatan mengenai penggunaan teleconference di Indonesia dan bagaimana menyiasati teleconference sebagai bentuk kemajuan teknologi dalam hukum acara pidana sebagai salah satu cara mendapatkan kebenaran materiil dapat terealisir untuk masa ke depan. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini termasuk dalam kategori/jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang berdasarkan kaidah atau norma dalam peraturan perundang-undangan.. Kesimpulan dari penulisan ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan masih adanya perdebatan mengenai penggunaan teleconference di Indonesia diantaranya adalah Kebijakan formulatif (pembuatan undang-undang) dan kebijakan aplikatif (penegakkan hukum) di Indonesia mengacu kepada ketentuan hukum positif (ius constitutum), KUHAP tidak mengatur teleconference, dan terhadap eksistensi teleconference Hakim menyetujui dilakukan teleconference. Dengan adanya sistem pembuktian baru dalam KUHAP
mendatang, maka bukan saja teleconference dapat diakomodir, akan tetapi seiring perkembangan zaman dan teknologi maka bukti modern lainnya relatif dapat diterapkan dalam praktik peradilan guna mendapatkan kebenaran materiil dan keadilan sesuai dengan harapan masyarakat.
Kata kunci : teleconference, pembuktian, kebenaran materiil
Hukum Indonesia menganut sistem Eropa Kontinental. Berbeda, misalnya dengan Inggris dan Singapura yang menganut sistem Anglo Saxon/Case Law. Dalam menangani perkara, hakim Indonesia bertugas mulai dari memeriksa perkara, membuktikan, menetapkan kesalahan, dan akhirnya menetapkan berapa lamanya hukuman yang dipandang adil untuk dijatuhkan kepada Terdakwa. Untuk menentukan seseorang secara fakta bersalah, diperlukan pembuktian. Pembuktian ini dilakukan oleh penegak hukum menurut aturan yang telah ditentukan, sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan. Keterangan saksi dan keterangan ahli tentu sangatlah diperlukan dalam proses pemeriksaan, yang akan membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.1
Persidangan dengan menggunakan media teleconference mengundang perdebatan panjang. Ada pendapat yang pro dan tak sedikit yang menentang. Di Satu sisi, perkembangan hukum (law in book) ketinggalan jauh dengan perkembangan masyarakat (law in action), apalagi bila diperbandingkan dengan kemajuan teknologi. Sedangkan di sisi lainnya, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai basis acara pemeriksaan perkara pidana tidak mengaturnya. Dalam ketentuan pasal 160 ayat (1) huruf a KUHAP, memang secara tekstual dituntut kehadiran seorang saksi secara fisik di ruang persidangan. Akan tetapi, kenyataannya untuk menegakkan kebenaran materiil yang bermuara pada keadilan, dalam praktik sedikit telah ditinggalkan.
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan masih adanya perdebatan mengenai penggunaan teleconference di Indonesia dan bagaimana menyiasati teleconference sebagai bentuk kemajuan teknologi dalam hukum acara
pidana sebagai salah satu cara mendapatkan kebenaran materiil dapat terealisir untuk masa ke depan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini termasuk dalam kategori/jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang berdasarkan kaidah atau norma dalam peraturan perundang-undangan.2 Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
-
2.2. Hasil dan Pembahasan
2.2.1. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Masih Adanya Perdebatan Mengenai Penggunaan Teleconference di Indonesia
Dari kajian teoritik dan praktik, sebenarnya perdebatan panjang tentang penggunaan teleconference disebabkan beberapa faktor, yaitu :3
-
1. Kebijakan formulatif (pembuatan undang-undang) dan kebijakan aplikatif (penegakkan hukum) di Indonesia mengacu kepada ketentuan hukum positif (ius constitutum). Konsekuensi logis demikian membuat muara pada penegakkan hukum yang bersifat formal legalistik, sehingga terdapat jurang yang relatif tajam dalam mencari keadilan. Tegasnya, keadilan yang dikejar dan diformulasikan oleh kebijakan formulatif adalah keadilan undang-undang.
-
2. Karena KUHAP tidak mengatur teleconference, maka pro dan kontra penggunaannya tergantung kepada apakah akan merugikan ataukah menguntungkan masing-masing pihak. Apabila diperhatikan, terjadinya persidangan teleconference di Indonesia menimbulkan sikap ambiguitas antara Penuntut Umum dan Penasihat Hukum. Pada sidang Rahardi Ramelan, Penuntut Umum menolak sedangkan Penasihat Hukum menyetujuinya. Pada sidang pengadilan HAM Ad Hoc dan Abu Bakar Ba’asyir malah kebalikannya.
-
3. Ternyata terhadap eksistensi teleconference Hakim menyetujui dilakukan teleconference. Aspek ini sebenarnya harus dilakukan dunia peradilan di Indonesia apabila tidak ingin dipandang negative masyarakat. Dengan dasar yuridis ketentuan pasal 27 ayat (1) UU 14/1970 jo. UU 35/1999 jo. UU 4/2004 yang menyebutkan, “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Selain itu, berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Dalam menggali, mengikuti, memahami, dan mengejar kebenaran materiil dalam hukum pidana, aspek formalistic hendaknya ditinggalkan secara selektif. Dari kajian teoritik, melalui pendapat Mr. Trapmann, sikap Penuntut Umum, Penasihat Hukum, dan Hakim sebagaimana disebutkan sebelumnya relative dapat dibenarkan. Pada hakikatnya, dalam perkara pidana guna mencari dan menemukan kebenaran materiil, Hakim harus bertitik tolak dari posisi obyektif ke posisi obyektif, lain dari Penuntut Umum dari posisi subyektif ke posisi obyektif dan Penasihat Hukum dari posisi subyektif ke subyektif.
-
2.2.2. Teleconference Sebagai Bentuk Kemajuan Teknologi Dalam Hukum Acara Pidana Sebagai Salah Satu Cara Mendapatkan Kebenaran Materiil
Banyak pandangan bahwa lebih baik apabila dalam KUHAP dilakukan sebuah revisi, khususnya dalam limitasi alat-alat bukti. Kelima alat bukti dalam KUHAP sudah saatnya untuk dihapus atau ditinggalkan. Pada dasarnya, setiap atau semua alat dapat diajukan sebagai bukti, kecuali undang-undang menentukan lain, diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dengan pembuktian demikian, memang membawa beberapa implikasi di dalamnya seperti sistem pembuktian yang dianut KUHAP. Akan tetapi, apabila dikaji lebih mendalam, sebenarnya secara “diam-diam” asas praktik peradilan di Indonesia telah menerapkannya. Contoh Konkret, menurut kajian teoritik sistem pembuktian yang diatur dalam pasal 183 KUHAP menyebutkan :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dau alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dengan titik tolak demikian, menurut kajian teoritik dan pandangan doktrinal, maka sistem pembuktian yang dianut pasal 183 KUHAP adalah sistem pembuktian secara negatif. Apabila polarisasi pemikiran limitasi alat bukti dalam revisi KUHAP mendatang dihapuskan, maka akan membawa konsekuensi kepada sistem pembuktian yang dianut menjadi sistem pembuktian bebas. Di samping itu, implikasi yang pasti timbul adalah kebebasan hakim yang terlampau bebas. Konteks ini sebenarnya dapat diminimalisir dengan adanya rambu-rambu, untuk menjaga agar kebebasan hakim dipergunakan sebagaimana mestinya, berupa adanya katup pengaman seperti pedoman pemidanaan. Selain itu, implikasi yang timbul adalah sistem hukum Indonesia akan bergeser bukan lagi menjadi Eropa Kontinental akan tetapi menjadi “quasi” Eropa Kontinental dengan Anglo Saxon/Case Law. Aspek ini sebenarnya tidaklah perlu dirisaukan, karena sekarang di dunia baik sistem Anglo Saxon maupun Eropa Kontinental tidak ada yang menganutnya secara murni. Dengan adanya sistem pembuktian baru dalam KUHAP mendatang, maka bukan saja teleconference dapat diakomodir, akan tetapi seiring perkembangan zaman dan teknologi maka bukti modern lainnya relatif dapat diterapkan dalam praktik peradilan guna mendapatkan kebenaran materiil dan keadilan sesuai dengan harapan masyarakat.4
Faktor-Faktor yang Menyebabkan Masih Adanya Perdebatan Mengenai Penggunaan Teleconference di Indonesia diantaranya adalah Kebijakan formulatif (pembuatan undang-undang) dan kebijakan aplikatif (penegakkan hukum) di Indonesia mengacu kepada ketentuan hukum positif (ius constitutum), KUHAP tidak mengatur teleconference, dan terhadap eksistensi teleconference Hakim menyetujui dilakukan teleconference. Dengan adanya sistem pembuktian baru dalam KUHAP mendatang, maka bukan saja teleconference dapat diakomodir, akan tetapi seiring perkembangan zaman dan teknologi maka bukti modern lainnya relatif dapat diterapkan dalam praktik peradilan guna mendapatkan kebenaran materiil dan keadilan sesuai dengan harapan masyarakat.
-
IV. DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Amirruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta.
Lilik Mulyadi, 2007, Peradilan Bom Bali, Djambatan, Jakarta.
Surya Dharma Jaya, Ida Bagus, dkk, 2015, Buku Ajar & Klinik Manual Klinik Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana, Udayana University Press, Denpasar.
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
6
Discussion and feedback