KETERKAITAN ASAS PRESUMPTION OF INNOCENCE

DIDALAM PEMBERITAAN PERS

Oleh:

Vida Azaria

I Ketut Mertha

Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRACT

The information given by the press sometimes caused violation of Presumption of Innocence principle in terms of suspect’s rights at the judicial process. The aim of this journal is to find out the legal source of press existence and how the role of Presumption of Innocence principle in terms of information given by the press. Research method in this journal appertain in normative legal research. The normative legal research use normative case study, specificially in legal behavior product, example reviewing the act. The conclusion of this journal is that the legal source of press existence can be found in Article 28F The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, Decree of the People’s Representative Assembly No. XII/MPR/1998 on Human Rights, Article 14 Paragraph (1) & (2) Human Rights Act No. 39 of 2000, and Press Act No. 40 of 1999. In the terms of information given by the press, Presumption of Innocence principle already listed in Article 5 Paragraph (1) Press Act corroborated by Journalism ethics no 3 and 5.

ABSTRAK

Pemberitaan yang dilakukan oleh pers dan media massa tidak jarang menimbulkan pelanggaran terhadap asas Presumption of Innocence (praduga tak bersalah) dalam hal ini pelanggaran terhadap hak tersangka di dalam proses peradilan. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui apa yang dijadikan dasar hukum eksistensi pers dan bagaimana peran asas Presumption of Innocence itu sendiri dalam pemberitaan yang dilakukan media massa. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini termasuk dalam kategori/jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif (normative law research) menggunakan studi kasus normatif berupa produk perilaku hukum, misalnya mengkaji undang-undang. Kesimpulan dari penulisan ini adalah Dasar hukum eksistensi pers dapat dilihat di dalam UUD NRI 1945 pasal 28F, Tap MPR No. XII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Undang –Undang No. 39 Tahun 2000 pasal 14 ayat (1) dan (2) tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di dalam kaitannya dengan pemberitaan yang di lakukan media massa, Asas Presumption of Innocence telah tercantum di dalam pada ketentuan pasal 5 ayat (1) UU Pers dan didukung oleh butir ke-3 dan 5 Kode Etik Jurnalistik.

Kata kunci: Pers, Presumption of Innocence, Kode Etik Jurnalistik

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang

Perbedaan pendapat mengenai efektifitas asas Presumption of Innocence (praduga tak bersalah) dalam praktek pemberitaan menyebabkan tidak sedikit kalangan pers menuntut para pembuat Undang-Undang untuk segera menafsirkan bagaimana seharusnya teknis pelaksanaan asas Presumption of Innocence (praduga tak bersalah) tersebut dilakukan dalam praktek pemberitaan oleh media massa. Pemberitaan yang dilakukan oleh media massa itu pula terikat oleh Kode Etik dan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Pers nasional harus dapat melaksanakan fungsi, asas, dan kewajibannya secara profesional dengan terbebas dari campur tangan pihak manapun, termasuk pemilik pers sendiri demi tercapainya pemberitaan yang faktual.

Namun dalam penerapannya tidak jarang media massa memberikan opini mereka mengenai informasi yang mereka angkat, pada umumnya media massa akan menerapkan prasangka bersalah dan menurunkan berita yang belum dikonfirmasi sebelumnya (cover both side), bahkan mereka menyebutkan identitas maupun foto tersangka walaupun masih dalam tahap proses penahanan terutama dalam pemberitaan terkait yang terkait dengan pejabat pemerintahan maupun tindakan kriminal.

Masyarakat Indonesia merupakan pribadi sosial yang sangat dipengaruhi oleh Opini Publik. Opini Publik itulah yang menjadi akar dan biang dari terjadinya penghakiman terhadap informasi atau permasalahan yang diangkat (trial by the press) dan terjadinya pelanggaran terhadap hak tersangka.

  • 1.2.    Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan jurnal ini yaitu untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang membatasi kebebasan bersuara media massa dan mengetahui sejauh mana asas Presumption of Innocence (praduga tak bersalah) berperan dalam praktek pemberitaan media massa di Indonesia.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.    Metode

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini termasuk dalam jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif (normative law research) menggunakan studi kasus normatif berupa produk perilaku hukum, misalnya mengkaji undang-undang. Pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang belaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Sehingga penelitian hukum normatif berfokus pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan hukum dan sejarah hukum.1

  • 2.2.    Hasil dan Pembahasan

    2.2.1.    Dasar Hukum eksistensi Pers

Dasar hukum eksistensi pers dapat dilihat di dalam UUD NRI 1945 pasal 28F yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Sehingga bunyi pasal tersebut dapat dihubungkan dengan kemerdekaan pers, namun dibatasi dengan peraturan perundang-undangan lain, seperti Tap MPR No. XII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Undang –Undang No. 39 Tahun 2000 pasal 14 ayat (1) dan (2) tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Eksistensi pers berhubungan dengan kemerdekaan pers yang telah diakui oleh Undang-Undang. Pengertian kemerdekaan pers diatur dalam pasal 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, “Kemerdekaan pers adalah satu wujud kedaulatan rakyat yang bedasarkan prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”. Kode Etik Jurnalistik merupakan pedoman bagi pers dalam menjaga professionalisme nya, selain itu terdapat Kode Etik Wartawan Indonesia dan terdapat tujuh butir kode etik dalam Kode Etik Wartawan Indonesia yang terkandung dalam Surat Keputusan Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000, tanggal 20 Juni 2000.

  • 2.2.2.    Peran asas Presumption of Innocence (praduga tak bersalah) di dalam pemberitaan Pers.

Secara konstitusional, asas Presumption of Innocence (praduga tak bersalah) sudah tercantum pada ketentuan pasal 5 ayat (1) UU Pers yang menyatakan bahwa “Pers nasional dalam siaran informasi, tidak menghakimi atau membuat kesalahan sendiri kesimpulan seseorang, terutama untuk kasus-kasus yang masih dalam proses pengadilan dan dapat mengakomodir kepentingan semua pihak yang terlibat dalam artikel.” Selain itu pasal 7 ayat (2) mengharuskan para wartawan untuk harus tunduk pada Kode Etik Jurnalistik.

Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.2 Di dalam butir ke-3 Kode Etik Junalistik, sudah sangat jelas disebutkan bahwa “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.” dan didukung oleh butir ke-5 yang berbunyi “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.”

Pelanggaran terhadap asas Presumption of Innocence (praduga tak bersalah) ini bisa terjadi karena terpublikasinya opini penulis maupun kekeliruan informasi dari narasumber yang dapat mengakibatkan terjadinya trial by press, yang dapat menggiring masyarakat untuk memiliki keyakinan yang belum dibuktikan oleh pengadilan dan belum meiliki keuatan hukum yang mengikat dan mengakibatkan terserangnya hak tersangka. Penjagaan atas hak terdakwa bukanlah merupakan perlindungan yang berlebihan ( over protection ) bagi seorang tersangka, akan tetapi lebih menuju adanya

peradilan yang berimbang, karena dimanapun dan di dalam sisem hukum apapun 3

kedudukan seorang tersangka lebih lemah dibanding dengan penegak hukum.3

Oleh sebab itu asas praduga tak bersalah merupakan hal yang sangat krusial dan penting yang harus didapatkan oleh seorang tersangka sehingga dengan demikian setiap orang harus menjunjung tinggi hak tersangka untuk melakukan pembelaan terhadap dirinya dari serangan hukum dan bebas dari tekanan manapun.

  • III.    KESIMPULAN

Asas praduga tak bersalah terkandung di dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 dan di Kode Etik Junalistik maupun Wartawan sebagai pelindung dan pencegah terjadinya trial by press, selain itu untuk menjamin hak dari tersangka didalam proses pengadilan. Pemberitaan memberikan peluang untuk semakin mudahnya akses penyebaran informasi keseluruh pelosok Negara Indonesia, sehingga apabila pemberitaan tersebut telah dicampur tangan oleh beberapa opini narasumber mengenai bersalahnya tersangka, makan hal tersebut tidak hanya melanggar kebebasan kehakiman, namun akan terjadi pelanggaran hak asasi tersangka untuk mempertahankan dirinya secara yuridis.

Disamping memberikan informasi, pers juga harus menjaga dan bersifat profesional dalam menjalankan profesinya dan harus ada pemberitaan yang faktual sehingga masyarakat tidak tergiring keyakinannya untuk menghakimi tersangka sebelum hakim memutus kasus dan menetapkan kekuatan hukum yang mengika

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, cetakan pertama.

M. Yahya Harahap, 2012, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, cetakan keempat belas.

Oemar Seno Adji, 1985, KUHAP Sekarang, Erlangga, Jakarta.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UUD NRI 1945

Tap MPR No. XII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia

Undang –Undang No. 39 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

6