PEMBERIAN SANKSI PIDANA SEBAGAI ULTIMUM REMEDIUM DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
on
PEMBERIAN SANKSI PIDANA SEBAGAI ULTIMUM REMEDIUM DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Oleh :
Made Satria Wibawa Nugraha*
Suatra Putrawan**
Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak :
Tulisan ini berjudul Pemberian Sanksi Pidana Sebagai Ultimum Remedium dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penulisan ini dilatarbelakangi atas adanya upaya represif perlindungan terhadap lingkungan hidup di Indonesia melalui pemberian sanksi terhadap pelaku yang melakukan kejahatan di bidang lingkungan hidup dalam UUPPLH. Oleh karena itu, sanksi pidana dalam UUPPLH harus sebagai sanksi yang bersifat penderitaan istimewa, dibutuhkan pembatasan terhadap pemberian hukum pidana apabila sanksi lain masih dapat diberikan. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai pengertian dari asas ultimum remedium dan menganalisis penerapan asas ultimum remedium terhadap pemberian sanksi pidana dalam UUPPLH. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan menguraikan permasalahan-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian yang berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum. Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa Asas ultimum remedium merupakan sarana terakhir atau obat terakhir atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Sifat hukum pidana ini juga bertujuan untuk menghindari over criminalization bahwa pidana sebagai alat termuktahir yang dimiliki oleh negara untuk menanggulangi kejahatan, tetapi juga hukum pidana tersebut dapat diikuti oleh bentuk sanksi lainnya. Pemberian sanksi pidana dalam UUPPLH sebagai obat terakhir jika sanksi administratif tidak dilaksanakan merupakan salah satu upaya penerapan asas ultimum remedium. Pemberian sanksi pidana sebagai asas ultimum remedium akan meningkatkan kesadaran terutama bagi pelaku usaha dan/atau kegiatan agar melakukan pemulihan terhadap lingkungan yang telah tercemar.
Kata kunci: sanksi pidana, ultimum remidium, perlindungan, lingkungan hidup
Abstract:
This paper is entitled Giving of Criminal Sanctions as Ultimum Remedium in Environmental Protection and Management Act. This writing is motivated by the existence of repressive efforts to protect the environment in Indonesia through the imposition of sanctions against perpetrators who commit crimes in the field of environment in UUPPLH. Therefore, the criminal sanction in UUPPLH must be as a special sanction of suffering, it is necessary to limit the provision of criminal law if other sanctions can still be granted. The problems that will be discussed in this research is about understanding of the principle of ultimum remedium and analyzing the application of the principle of ultimum remedium to the provision of criminal sanctions in UUPPLH. The method used in this paper is the method of normative legal research conducted by describing the problems that exist, for further discussion with the study based on legal theories and then associated with laws and regulations applicable in practice law. Based on the research, it can be concluded that Ultimum Remedium Principle is the last or last remedy for acts committed by criminals. The nature of the criminal law also aims to avoid over criminalization that criminal punishment as state-owned tool for tackling crime, but also the criminal law can be followed by other forms of sanction. The provision of criminal sanction in UUPPLH as the last remedy if administrative sanction is not implemented is one of the efforts of applying ultimum remedium principle. The granting of criminal sanction as the ultimum remedium principle will raise awareness especially for business actors and / or activities in order to recover the contaminated environment.
Keyword: criminal sanctions, ultimum remidium, protection, the environment
Hukum lingkungan di Indonesia sudah mulai beralih sifatnya, dahulu masih berorientasi terhadap pemakaian (use-oriented law) telah menjadi hukum yang berorientasikan terhadap pemakaian dan perlindungan. Peralihan tersebut didasari dengan lahirnya Deklarasi Stockholm tahun 1972.1 Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dari setiap individu. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan memiliki kewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup agar dapat terlaksananya pembangunan berkelanjutan lingkungan hidup di Indonesia.
Salah satu upaya represif perlindungan terhadap lingkungan hidup di Indonesia adalah pemberian sanksi terhadap pelaku yang melakukan kejahatan di bidang lingkungan hidup. Upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten dilakukan terhadap perbuatan yang telah mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (yang selanjutnya disingkat menjadi “UUPPLH”) menggunakan ketentuan hukum berupa hukum administrasi, hukum perdata, dan hukum pidana.
Hukum pidana pada dasarnya adalah hukum sanksi, hal ini didasarkan karena ciri hukum pidana yang tidak mengadakan norma, namun sanksi tersebut diadakan agar ditaatinya norma-norma lain di luar hukum pidana. UUPPLH memperkenalkan ancaman pidana minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Tampaknya, dalam proses pembentukan UUPPLH para pembentuk undang-undang masih tetap memperhatikan asas ultimum remedium dalam pemberian sanksi pidana, yang mana sanksi pidana tersebut sebagai upaya terakhir setelah pemberian sanksi lainnya dianggap tidak berhasil.
UUPPLH menjadi salah satu undang-undang yang memberi pengertian bahwa pemberian sanksi pidana tidak selalu dapat memulihkan keadaan yang telah rusak atas adanya tindak pidana, sehingga konsep keadilan restoratif perlu dijadikan suatu pertimbangan dalam pemulihan keadilan suatu tindak pidana. Berdasarkan hal tersebut, maka diharapkan agar pemberian sanksi pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan nantinya
bukanlah menjadi suatu kewajiban sebagaimana yang telah terjadi sampai saat ini.
Makalah ini secara umum bertujuan untuk mengetahui sanksi pidana dalam UUPPLH. Secara khusus bertujuan untuk mengetahui pengertian dari asas ultimum remedium sebagai sanksi dalam hukum pidana dan penerapan asas ultimum remedium terhadap pemberian sanksi pidana berdasarkan UUPPLH.
Metode penelitan yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan menguraikan permasalahan-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian yang berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.2 Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta pendekatan analisis konsep hukum untuk memahami konsep aturan yang jelas mengenai hukum pidana dan asas ultimum remedium. Bahan hukum primer yang digunakan berupa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan bahan Hukum Sekunder diantaranya buku-buku dan jurnal hukum. Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan menggunakan teknik kepustakaan (library research) yang dilakukan
melalui sistem kartu (card system). Analisis bahan hukum dilakukan dengan menggunakan teknik deskripsi serta teknik argumentasi yang didasarkan atas alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.
Satochid Kartanegara mengartikan hukum pidana adalah keseluruhan aturan dari hukum positif yang berisi larangan atau kewajiban yang diatur oleh negara atau pejabat yang berwenang untuk menentukan aturan pidana, larangan atau kewajiban tersebut disertai dengan pidana bagi barangsiapa yang melanggar.3 Oleh karena itu, hukum pidana bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma baru, tetapi sebagai hukum yang memberi sanksi untuk menegaskan dan menguat agar aturan yang terdapat dalam perundang-undangan lain ditaati.
Pemberian sanksi terjadi karena adanya suatu kebutuhan dari masyarakat atas kejahatan atau pelanggaran yang terjadi. Sanksi tersebut dibutuhkan agar terciptanya ketertiban dan keamanan dalam masyarakat. Sampai saat ini, sanksi yang dianggap paling mutakhir untuk menciptakan rasa takut dan menanggulangi kejahatan dalam masyarakat adalah sanksi pidana. Fenomena ini terlihat dengan diaturnya ketentuan pidana di dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti di dalam undang-undang dan peraturan daerah, meskipun dalam Lampiran UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa ketentuan pidana diatur jika memang diperlukan.
Penetapan sanksi dalam suatu aturan pidana bukan hanya sekedar teknis, tetapi merupakan suatu bagian yang tidak dapat terpisahkan dari substansi atau materi perundang-undangan, sehingga harus dipahami secara komprehensif. Hukum pidana mengenal asas ultimum remedium sebagai sifat hukum pidana. Asas ultimum remedium berarti sarana terakhir atau obat terakhir atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. 4 Dengan kata lain, bahwa pemberian sanksi pidana tersebut jangan menjadi obat yang lebih jahat dari suatu penyakit.
Hal ini berarti suatu perbuatan yang seharusnya bukan suatu tindak pidana, maka tidak dapat diberikan sanksi pidana. Oleh karena itu, dalam menentukan pemberian sanksi pidana dalam suatu aturan harus memperhatikan ketiga unsur tujuan hukum berupa kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.5
Sifat hukum pidana ini juga bertujuan untuk menghindari over criminalization bahwa pidana sebagai alat termuktahir yang dimiliki oleh negara untuk menanggulangi kejahatan, tetapi juga hukum pidana tersebut dapat diikuti oleh bentuk sanksi lainnya. Adapun faktor yang harus dipertimbangkan agar tetap menjaga asas ultimum remedium sebagai sifat dari hukum pidana antara lain: - Tidak menggunakan hukum pidana dengan emosional.
-
- Tidak menggunakan hukum pidana jika korban atau kerugian belum jelas.
-
- Tidak menggunakan hukum pidana apabila biaya pemidanaan lebih besar dari kerugian atas tindak pidana yang dilakukan
-
- Tidak menggunakan hukum pidana apabila pemberian pidana dikira belum dapat efektif.
-
- Hukum pidana harus diikuti dengan sarana pencegahan.6
Hukum pidana merupakan “hukum paksa istimewa” karena hukuman pada hukum administrasi tidaklah setegas atau sekejam hukum pidana. Oleh sebab itu, hukum pidana disebut sebagai hukum yang ultimum remedium, yakni sebagai senjata pamungkas yang dituangkan secara konkret dalam Pasal 10 KUHP.
UUPPLH memperhatikan penggunaan asas ultimum remedium dalam rumusan pasalnya, yaitu terdapat dalam Pasal 100, yang berbunyi:
-
(1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
-
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.
Baku mutu diatur dalam Pasal 1 angka 13 UUPPLH yakni “ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.”
Pada dasarnya hukum administrasi merupakan instrumen bagi pemerintah untuk secara aktif dapat terlibat dengan masyarakat. Pasal 76 UUPPLH mengatur sanksi administratif yang terdiri atas teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, atau pencabutan izin lingkungan.
Pemberlakuan asas ultimum remedium dalam rumusan terdapat dalam Pasal 100 ayat (2), yakni pemberian sanksi pidana berupa pidana penjara dan pidana denda dapat diberikan setelah adanya sanksi administratif sebanyak satu kali yang diberikan terhadap pelaku. Sanksi administratif mempunyai fungsi instrumental yakni pencegahan dan penanggulangan perbuatan terlarang dan terutama ditujukan terhadap perlindungan kepentingan lingkungan yang dijaga oleh ketentuan hukum yang dilanggar tersebut. Oleh karena itu, aspek hukum administrasi bertujuan agar perbuatan yang melawan hukum atau tidak memenuhi persyaratan yang diizinkan agar berhenti atau mengembalikan kepada keadaan semula, yakni sebelum terjadinya pencemaran dan perusakan. Singkatnya, fokus sanksi administratif adalah perbuatannya, berbeda dengan halnya dengan sanksi hukum pidana yang berfokus pada orangnya agar ia berubah menjadi orang yang baik dan memperhatikan lingkungan serta hak orang lain untuk hidup yang layak di dalam lingkungan yang sehat.7
Asas ultimum remedium sebagai obat terakhir yang diterapkan terhadap delik lingkungan. Menteri Kehakiman Belanda De Ruiter menjelaskan bahwa hukum pidana memberi efek sampingan yang merugikan, sehingga hukum pidana harus diberikan secara hati-hati.
De Ross menerangkan lebih lanjut bahwa sanksi hukum pidana relatif lebih berat, karena pidana berupa perampasan kemerdekaan merupakan sanksi yang lebih menonjol.8 Penerapan hukum pidana sebagai asas ultimum remedium dalam suatu perbuatan hanya terjadi sekali saja. Pemberian sanksi pidana sebagai asas ultimum remedium akan meningkatkan kesadaran
terutama bagi pelaku usaha dan/atau kegiatan agar melakukan pemulihan terhadap lingkungan yang telah tercemar.
Upaya pemulihan tersebut dilakukan karena pentingnya udara maupun air bagi setiap individu yang hidup di Bumi. Hal ini didasarkan dalam Penjelasan UUPPLH yang menerangkan bahwa penegakan hukum pidana lingkungan merupakan suatu upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil.
Oleh karena itu, penerapan asas ultimum remedium sebagai sanksi yang bersifat penderitaan istimewa, karena adanya pembatasan sedapat mungkin terhadap penerapan hukum pidana apabila penerapan sanksi lainnya masih dapat diberikan.
Dalam mencapai tujuan pemidanaan, dalam hal ini negara melalui UUPPLH telah menerapkan hukum pidana yang lebih modern. Sebagaimana tujuan pemidanaan yang terbagi atas tujuan prevensi khusus dan prevensi umum, yaitu tujuan pemidanaan agar pelaku tidak merugikan masyarakat untuk kedua kalinya dan untuk menakuti-nakuti orang lain agar tidak melakukan perbuatan yang dilarang tersebut.
Menurut Beccaria yang paling penting adalah akibat yang menimpa masyarakat. Adanya keyakinan bahwa tidak mungkin pelaku dapat menghindari pidana yang seharusnya diterima, namun harus ditekankan sekali lagi bahwa segala kekerasan yang melampaui batas tidak perlu karena itu berarti kelaliman, selalu diusahakan agar sedapat mungkin mengurangi penderitaan yang ditambahkan dengan sengaja itu.
Karena sanksi pidana berupa nestapa atau penderitaan, yang memiliki tujuan lebih dari tujuan pada umumnya yakni untuk menjaga ketertiban, ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian
dalam masyarakat, maka pemberian sanksi pidana tersebut harus lebih berhati-hati.
Untuk itulah asas ultimum remedium harus lebih diperhatikan, apalagi dalam penegakan hukum pidana kemudian akan berlaku hukum acara pidana yang juga memberi wewenang yang luas kepada polisi dan kejaksaan, maka bila tidak adanya pembatasan dalam pemberian sanksi pidana akan berdampak sangat merugikan kepada pelaku.
-
1. Hukum pidana mengenal asas ultimum remedium sebagai sifat hukum pidana. Asas ultimum remedium berarti sarana terakhir atau obat terakhir atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Sifat hukum pidana ini juga bertujuan untuk menghindari over criminalization bahwa pidana sebagai alat termuktahir yang dimiliki oleh negara untuk menanggulangi kejahatan, tetapi juga hukum pidana tersebut dapat diikuti oleh bentuk sanksi lainnya.
-
2. Pemberian sanksi pidana dalam UUPPLH sebagai obat terakhir jika sanksi administratif tidak dilaksanakan merupakan salah satu upaya penerapan asas ultimum remedium. Pemberian sanksi pidana sebagai asas ultimum remedium akan meningkatkan kesadaran terutama bagi pelaku usaha dan/atau kegiatan agar melakukan pemulihan terhadap lingkungan yang telah tercemar.
-
1. Kepada badan legislatif agar dapat menerapkan asas ultimum remedium dalam pembentukan materi muatan norma dalam suatu undang-undang.
-
2. Agar penegak hukum dapat saling berkoordinasi dalam penegakan hukum di bidang lingkungan, sehingga tujuan untuk pemulihan akibat tercemarnya lingkungan dapat terlaksana.
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Duwi Handoko, 2015, Kriminalisasi dan Dekriminalisasi di Bidang Hak Cipta, Hawa dan AHWA, Pekanbaru.
Sodikin, 2007, Penegakan Hukum Lingkungan:Tinjauan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, Djambatan, Jakarta.
Sofjan Sastrawidjaja, 1990, Hukum Pidana 1, Armico, Bandung.
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
Sukanda Husin, 2009, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
JURNAL
Titis Anindyajati et.al., 2015, “Konstitusionalitas Norma Sanksi Pidana sebagai Ultimum Remedium dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”, Jurnal Konstitusi, Vol. 12, No. 6, Desember 2015.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059.
11
Discussion and feedback