KETERBATASAN PERLINDUNGAN HAK SAKSI DAN KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA
on
KETERBATASAN PERLINDUNGAN HAK SAKSI DAN KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME DALAM HUKUM POSITIF
DI INDONESIA
Oleh :
Kristina Melati Pasaribu
Suhirman
Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRACT
This paper entitled Limitations Rights Protection of Witnesses and Victims of Criminal Acts of Terrorism in Positive Law in Indonesia. Writing is a backdrop of a legal vacuum regarding the setting of compensation, restitution and rehabilitation are set out in Chapter VI of Act No. 15 of 2003 on the Eradication of Terrorism (hereinafter referred to as the Terrorism Act). Legal research methods used is normative to the legal vacuum of Article 36 paragraph (2), Article 36 paragraph (4), and Article 37 of the Terrorism Act that is not arranged kriterita compensation by the state, the total amount of compensation or restitution, and providing rehabilitation to errors handling. Based on the research result that filling a legal vacuum on compensation by the state were done according to Article 1 point 4 of Government Regulation No. 3 of 2002 on Compensation, Restitution and Rehabilitation Of Victims of Human Rights Violations that weight, that the compensation awarded by the state since the perpetrators are not able to provide full restitution, the amount of compensation or restitution resolved by making implementing regulations, and rehabilitation carried out by mentioning concretely and clearly about rehabilitation.
Keywords : Compensation, Restitution, Rehabilitation, Terrorism.
ABSTRAK
Tulisan ini berjudul Keterbatasan Perlindungan Hak Saksi dan Korban Tindak Pidana Terorisme dalam Hukum Positif di Indonesia. Penulisan ini dilatarbelakangi adanya kekosongan hukum perihal pengaturan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang diatur dalam Bab VI Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (selanjutnya disebut UU Terorisme). Metode penelitian hukum yang digunakan adalah yuridis normatif terhadap kekosongan hukum Pasal 36 ayat (2), Pasal 36 ayat (4), dan Pasal 37 UU Terorisme yaitu belum diaturnya kriterita kompensasi oleh negara, jumlah nilai dari kompensasi atau restitusi, dan pemberian rehabilitasi terhadap kesalahan penanganan. Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa pengisian kekosongan hukum mengenai kompensasi oleh negara dilakukan dengan merujuk Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat bahwa kompensasi diberikan karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya, terhadap jumlah kompensasi atau restitusi diselesaikan dengan pembuatan peraturan pelaksana, dan rehabilitasi dilakukan dengan mencantumkan secara konkret dan jelas batasan rehabilitasi.
Kata kunci : Kompensasi, Restitusi, Rehabilitasi, Terorisme.
Pasca Bom Sarinah yang terjadi pada 14 Januari 2016 lalu, memunculkan kembali wacana untuk menghidupkan kembali revisi UU Terorisme. Alasan yang mendasari dilakukan revisi tersebut adalah kurang atau tidak adanya pengaturan pelaksana terkait perlindungan terhadap korban terorisme khususnya untuk mengajukan kompensasi, restitusi, atau rehabilitasi1 yang telah tercantum dalam Bab VI Undang-Undang UU Terorisme. Perhatian perlindungan hak korban terorisme yang lebih luas terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut UU Perlindungan Saksi dan Korban).
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap hak saksi dan korban terorisme di Indonesia dan keterbatasannya dalam hukum positif.
Penulisan jurnal hukum ini menggunakan metode hukum yuridis nomatif terhadap kekosongan hukum. Metode hukum normatif merupakan penelitian hukum kepustakaan, dimana bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam hal ini digunakan buku-buku dan perundang-undangan yang ada hubunganya dengan tulisan ini.2 Kekosongan hukum terhadap hak korban terorisme dapat dilihat dari rumusan Pasal 36 ayat (2) UU Terorisme yang tidak mencantumkan kriterita kompensasi yang dilakukan oleh negara, Pasal 36 ayat (4) UU Terorisme yang tidak menyatakan jumlah nilai dari kompensasi dan/atau restitusi yang ditetapkan oleh pengadilan, dan Pasal 37 UU Terorisme terkait rehabilitasi terhadap kesalahan penanganan tersangka yang diputus bebas atau lepas dari tuntuntan hukum.
Hak saksi tindak pidana terorisme diatur dalam Pasal 33 UU Terorisme, yang menyatakan bahwa saksi wajib diberi perlindungan oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara. Bentuk perlindungan yang dimaksud tercantum dalam Pasal 34 UU Terorisme, berupa perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental, kerahasiaan identitas saksi, dan pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka. Hak korban tindak pidana terorisme diatur dalam Bab VI UU Terorisme perihal kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Kompensasi diberikan oleh negara dalam bentuk penggantian yang bersifat materiil dan immateriil sedangkan restitusi dilakukan oleh pelaku atau pihak ketiga kepada korban atau keluarganya serta rehabilitasi diberikan kepada orang yang apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.3
Rumusan Pasal 5 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban memuat bahwa saksi dan korban berhak memperoleh perlindungan atas keamanan, ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan, memberikan keterangan tanpa tekanan, mendapat penerjemah, bebas dari pertanyaan yang menjerat, mendapat informasi mengenai perkembangan kasus, mendapat informasi mengenai putusan pengadilan, mendapat infomasi dalam hal terpidana dibebaskan, dirahasiakan identitasnya, mendapat identitas baru, mendapat kediaman baru, memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan, mendapat nasihat hukum, memperoleh bantuan hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir, dan mendapat pendampingan. Korban tindak pidana terorisme berdasarkan Pasal 6 UU Perlindungan Saksi dan Korban juga berhak mendapatkan bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikologis, dan psikososial.
Keterbatasan hak korban terorisme dapat ditemukan pada Pasal 36 ayat (2) UU Terorisme yang menyebutkan bahwa pembiayaan dari kompensasi dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah. Ketentuan dalam UU Terorisme tidak menjelaskan lebih lanjut seperti pada Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (selanjutnya disebut PP Korban Pelanggaran HAM Berat), menyatakan bahwa kompensasi diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.4 Keterbatasan lain juga dapat ditemukan pada Pasal 36 ayat (4) UU Terorisme yang menyatakan bahwa kompensasi dan/atau restitusi diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan. Pasal 36 ayat (4) UU Terorisme tidak mengatur mengenai jumlah nilai dari kompensasi dan/atau restitusi yang ditetapkan oleh pengadilan dan dicantumkan dalam putusan pengadilan, oleh karena itu ketentuan tersebut masih memerlukan peraturan pelaksana lebih lanjut.5
Rehabilitasi berdasarkan Pasal 37 UU Terorisme diberikan apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya mempunyai kekuatan hukum tetap. Penjelasan Pasal 37 ayat (1) UU Terorisme meyebutkan bahwa rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak lain termasuk penyembuhan dan pemulihan fisik atau psikis serta perbaikan. Terhadap adanya penjelasan tersebut Soeharto mengemukakan
UU Terorisme tidak memberikan secara konkret dan jelas batasan mengenai rehabilitasi, khususnya pengertian hal-hal lain yang dengan undang-undang tersebut termasuk penyembuhan dan pemulihan fisik dan psikis, serta perbaikan harta benda, tetapi apakah hilangnya harta benda dan kerugian materiil termasuk ke dalam pengertian hak yang bisa dituntut oleh tersangka yang telah dibebaskan dan/atau dilepas dari segala tuntutan hukum, tidak terjawab oleh UU Terorisme akibat tidak sempurnanya pelaksanaan ketentuan yang berkaitan dengan rehabilitasi.6
Berkaitan yang dimaksud dengan “diputus bebas” dalam Pasal 37 ayat (1) UU Terorisme adalah menunjuk Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) yaitu jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang dididakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sedangkan yang dimaksud dengan “diputus lepas dari segala tuntutan hukum” adalah menunjuk Pasal 191 ayat (2) KUHAP bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana.
Keterbatasan perlindungan hak saksi dan korban terorisme dilatarbelakangi karena adanya kekosongan hukum dalam hal pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Pengisian kekosongan hukum mengenai kompensasi oleh negara dapat dilakukan dengan merujuk Pasal 1 angka 4 PP Korban Pelanggaran HAM Berat, yang memuat bahwa kompensasi diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Kekosongan hukum terkait belum adanya jumlah nilai dari kompensasi dan/atau restitusi yang ditetapkan oleh pengadilan dan dicantumkan dalam putusan pengadilan, diselesaikan dengan pembuatan peraturan pelaksana. Pengisian kekosongan hukum mengenai rehabilitasi dilakukan dengan mencantumkan secara konkret dan jelas batasan rehabilitasi, terkhusus mengenai pengertian hal-hal lain dan pencantuman hak tersangka yang telah dibebaskan dan/atau dilepas dari segala tuntutan hukum.
-
IV. DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2014, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Cet.14, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soeharto, 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme, Penerbit PT Rafika Aditama, Bandung.
R.Wiyono, 2014, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Sinar Grafika, Jakarta.
Internet
Mochtar Kusumaatmadja, 2016, Bagaimana Tanggung Jawab Negara terhadap Korban Terorisme, URL: http://www.hukumpedia.com/oobinhood/bagaimana-tanggung-jawab-negara-terhadap-korban-terorisme, diakses tanggal 18 Januari 2016.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat
6
Discussion and feedback