ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM DITINJAU DARI ASPEK KRIMINOLOGI

(STUDY KASUS DI LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK KELAS II KARANGASEM)

Oleh:

Bagus Gede Brahma Putra** Gde Made Swardhana***

Sagung Putri M.E. Purwani****

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Anak sebagai aset pembangunan nasional patut dipertimbangkan dan diperhitungkan dari segi kualitas dan masa depannya. Tanpa kualitas yang handal dan masa depan yang jelas bagi anak, pembangunan nasional akan sulit dilaksanakan dan nasib bangsa akan sulit dibayangkan. Permasalahan anak merupakan hal yang menarik karena perilaku anak yang buruk mengancam setiap generasi muda suatu bangsa. Adapun permasalahan hukum dalam penulisan ini yaitu faktor-faktor apa yang menjadi penyebab anak berhadapan dengan hukum dan bagaimana upaya penanggulangan yang dapat dilakukan untuk meminimalisir kasus-kasus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum oleh pihak Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Karangasem. Penulisan ini menggunakan metode penelitian empiris, menggunakan pendekatan fakta dan pendekatan perundang-undangan. Kesimpulan dari penulisan ini adalah bahwa dalam proses perkembangan anak menuju dewasa terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi perubahan atas perilaku dan sikapnya. Beberapa faktor yang menjadi peran dalam perubahan sikap dan perilaku anak yaitu dari faktor orang tua dan keluarga, faktor pergaulan, faktor pendidikan formal, faktor ekonomi, dan faktor media masa. Penanggulangan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dapat dilakukan secara terpadu dengan tindakan preventif (pencegahan), tindakan hukuman, dan tindakan kuratif (usaha penyembuhan).

Kata kunci: Anak Berhadapan Dengan Hukum, Kriminologi, Lembaga

Pembinaan Khusus anak.

Abstact

Children as assets of national development should be considered and taken into account in terms of quality and future. Without a reliable quality and a clear future for children, national development will be difficult to implement and the fate of the nation will be hard to imagine. Children's problems are interesting because bad child behavior threatens every young generation of a nation. The legal problem in this writing is what factors are the cause of children dealing with the law and how efforts can be done to minimize penanggulangan cases against children who deal with the law by the Institute of Special Education Children Class II Karangasem. This writing uses empirical research methods, using factual approaches and approaches legislation. The conclusion of this paper is that in the process of child development to adulthood there are various factors that can influence the change of behavior and attitude. Some factors that become role in the change of attitude and behavior of child that is from parent factor and family, social factors, formal education factor, economic factor, and mass media factor. Handling of children in conflict with the law can be done in an integrated manner with preventive actions (prevention), punishment, and curative measures (healing efforts).

Keywords: Children in Conflict With Law, Criminology, Special Child Development Institution.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Anak sebagai aset pembangunan nasional patut dipertimbangkan dan diperhitungkan dari segi kualitas dan masa depannya. Tanpa kualitas yang handal dan masa depan yang jelas bagi anak, pembangunan nasional akan sulit dilaksanakan dan nasib bangsa akan sulit di bayangkan. Ditinjau dari aspek yuridis pengertian anak dimata hukum positif Indonesia (ius contitutum / ius operatum) lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig / person under age), orang yang ada dibawah umur / keadaan dibawah umur (minderjarig / inferiority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang dibawah pengawasan wali (minderjarig ondervoordij).1

Permasalahan-permasalahan mengenai anak merupakan suatu hal yang menarik, hal ini disebabkan karena perilaku anak yang buruk mengancam setiap generasi muda suatu bangsa.

Menurut Sri Widoyati Wiratmo Soekito menyatakan “Hak Asasi anak jika dikembangkan dengan memberikan peluang leluasa pada anak dan pemuda untuk menemukan pendapat mereka sesungguhnya memberikan manfaat yang besar bagi generasi tua.”2

Melirik pada kententuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menyatakan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang berumur 12 (dua belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Penyimpangan perilaku anak tersebut, dewasa ini telah melewati batas yang sewajarnya. Banyak anak diantaranya mulai mengenal sex bebas, Narkoba, kekerasan, premanisme, dan banyak lagi tindakan yang dapat dikategorikan melanggar hukum.

Meningkatnya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak menyebabkan timbulnya pertanyaan tentang banyaknya anak yang melakukan tindakan melawan hukum terlebih tindakan yang dilakukan oleh anak pun beraneka ragam dan bervariasi terlebih alasan untuk melakukan tindakan melanggar hukum tersebut terbilang sangat sederhana, misalnya seorang anak melakukan penganiayaan hanya karena ingin menunjukan jati diri dan senioritas dalam pergaulan, atau melakukan perampasan atau pencurian hanya semata-mata untuk memenuhi hasratnya saja. Didalam perilaku ini menimbulkan suatu akibat, yaitu orang tua benyak yang mengeluh tentang perilaku anaknya yang tidak dapat diatur, acuh, dan bahkan bertindak melebihi batas seperti melawan orang tua mereka.

Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum telah diatur dalam hukum positif di Indonesia, seperti

yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) pada tanggal 25 Agustus 1990, yang merupakan ratifikasi dari Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child); Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).

LPKA Kelas II Karangasem merupakan satu-satunya lembaga pembinaan khusus terhadap Anak di Bali yang berlokasi di Desa Pakraman Susuan Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem. Tepatnya di jalan Serma Natih Nomor 2 Karangasem. Lembaga Pembinaan Khusus Anak Klas II Karangsem ini merupakan nomenklatur baru dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Anak Gianyar di Karangasem yang didirikan pada tahun 1974. LPKA Kelas II Karangasem sebagai tempat bagi ABH, menjamin hak dan kewajiban yang seimbang dan manusiawi. Kewajiban anak harusdiperlakukan sesuai dengan situasi, kondisi, mental dan fisik, keadaan sosial dengan kemampuannya pada usia tertentu.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan kajian secara ilmiah dengan judul “ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM DITINJAU DARI ASPEK KRIMINOLOGI (STUDI KASUS DI LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK KELAS II KARANGASEM)”.

  • 1.2    Rumusan Masalah :

Dalam penelitian ini adapun permasalahan yang diangkat :

  • 1.    Untuk mengetahui faktor-fator penyebab anak berhadapan dengan hukum.

  • 2.    Untuk mengetahui upaya penanggulangan kasus-kasus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum oleh pihak Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Karangasem.

  • 1.3    Tujuan Penulisan :

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor penyebab anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), dan juga bagaimana upaya penanggulangan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

II ISI MAKALAH

  • 2.1    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan ini adalah penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi meneliti bagaimana bekerjanya hukum di masyarakat, istilah lain dari penelitian hukum empiris adalah penelitian hukum sosiologis dan dapat pula disebut dengan penelitian lapangan.3

Pendapat Achmad Ali dan Wiwie heryani bahwa penelitian empiris disebutkan juga sebagai kajian yang memandang hukum sebagai kenyataan, mencakup kenyataan sosial, dan kenyataan kultur. Kajian ini bersifat deskriftif dengan mengkaji sosiologis hukum, antropologi hukum, dan psikologi hukum, dengan demikian penelitian empiris dunianya adalah das sein (apa

kenyataannya).4 Jenis pendekatan menggunakan pendekatan fakta, jenis penelitian dalam penulisan ini bersifat deskriftif, teknik pengumpulan data menggunakan dua cara yaitu pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder, dan teknik analisis data dilakukan secara kualitatif dan disajikan secara deskriftif.

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Faktor-faktor Penyebab Anak Berhadapan Dengan Hukum.

Anak kadang kala dalam melakukan interaksi didalam masyarakat sering kali melakukan perbuatan-perbuatan yang seharusnya tidak boleh ia lakukan. Sehingga ia harus berhadapan dengan hukum untuk menyelesaikan kasus yang dihadapi. Selain itu dengan adanya hukuman tersebut akan memberikan efek jera dan memberikan pelajaran bagi anak agar dimasa yang akan datang dapat berperilaku lebih baik dan tidak mengulangi perbuatan tersebut.5

Dalam perilaku anak yang berhadapan dengan hukum tidak semata-mata dipengaruhi oleh perubahan tumbuh kembang anak saja. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi pola prilaku anak hingga cenderung mengarah pada tindakan-tindakan negatif hingga perbuatan melanggar hukum. Berdasarkan data yang diperoleh dari LPKA Kelas II Karangasem, data mengenai anak yang berhadapan dengan hukum tersebut sebai berikut:

Tabel 1. Data Anak yang Berhadapan dengan Hukum Menurut

Kelompok Umur Periode 2017

No

Kelompok Umur

Jumlah

Persentase (%)

1

Umur 15 Tahun, kelahiran th 2002

1

4,5

2

Umur 16 Tahun, kelahiran th 2001

4

18,2

3

Umur 17 Tahun, kelahiran th 2000

12

54,6

4

Umur 18 Tahun, kelahiran th 1999

5

22,7

Jumlah

22

100%

Sumber Data:  Berdasarkan penelitian di LPKA Kelas II

Karangasem

Proses perkembangan anak terdiri dari beberapa fase usia, diantaranya adalah dimulai dari fase usia 7-14 tahun yang disebut sebagai masa kanak-kanak kemudian dapat digolongkan ke dalam dua periode, yaitu periode intelektual dan periode pueral. Periode intelektual merupakan masa belajar awal anak dimulai dari masa belajar anak di luar keluarga, misalnya masa bagi anak dilingkungan sekolah, sedangkan periode pueral merupakan masa anak dikatakan sudah remaja atau pra-pubertas dimana pada periode ini terdapat kematangan jasmaniah yang ditandai dengan bertambahnya tenaga fisik yang menyebabkan anak berlaku kasar, berandal, canggung, liar, kurang sopan dan lain-lain. Fase yang dimulai pada usia 14-21 tahun dikaakan sebagai fase remaja atau dalam arti lain yaitu fase pubertas, dimana pada fase ini ada masa penghubung dan masa peralihan dari anak menjadi orang dewasa. Fase ini terjadi pada kalangan remaja dimulai dari tingakt Smp, SMA, sampai perguruan tinggi dimana usia tersebut merupakan peralihan dari masa anak menuju remaja dan remaja menuju dewasa.

Tabel 2. Data Anak yang Berhadapan dengan Hukum Menurut

Tingkat Pendidikan, Periode 2017.

No

Tingkat Pendidikan

Jumlah

Presentase (%)

1

SD

11

20

2

SLTP

10

18,1

3

SLTA

9

16,4

4

SD TIDAK TAMAT

16

29,1

5

SLTP TIDAK TAMAT

4

7,3

6

SLTA TIDAK TAMAT

5

9,1

Jumlah

55

100%

Sumber Data: LPKA Kelas II Karangasem

Sekolah merupakan ajang kedua bagi anak untuk memperoleh pendidikan setelah lingkungan keluarga bagi anak. Selama proses menempuh pendidikan di sekolah terjadi interaksi antara anak dan anak yang lainnya, dan juga terjadi interaksi antara anak dengan guru. Interaksi yang dilakukan disekolah tersebut terkadang menimbulkan interaksi negatif bagi anak tersebut. Hal ini disebabkan karena tidak semua anak yang ada disekolah memiliki watak yang baik, dan juga latar belakang dari anak-anak yang masuk sekolah ada yang berasal dari keluarga yang kurang memperhatikan perkembangan dan kepentingan anak dalam belajar yang kerap kali berpengaruh pada temannya yang lain. Sekolah merupakan tempat kedua bagi anak untuk bergaul dan belajar, lingkungan sekolah sangat mempengaruhi anak dalam interaksi sosial baik positif maupun negatif.

Tabel 3. Data Anak yang Berhadapan dengan Hukum Menurut

Jenis Tindak Pidana, Periode 2017.

No

Jenis Perbuatan

Jumlah

Presentase (%)

1

PENCURIAN

22

40

2

KESUSILAAN

3

5,4

3

NARKOTIKA

13

24

4

PEMBUNUHAN

0

0

5

KETERTIBAN

10

18

6

PERAMPOKAN

4

7,2

7

MEMERAS

3

5,4

Jumlah

55

100%

Sumber Data: LPKA Kelas II Karangasem

Jumlah anak yang berhadapan dengan hukum dari bulan juli hingga september 2017 mencapai 55 orang. Dari jumlah data jenis tindak pidana yang paling banyak dilakukan adalah tindak pidana Narkotika yang mencapai 13 orang atau 23,6% dari keseluruan presentase dan sisanya melaukan pelanggaran hukum lainnya seperti pencurian, kesusilaan, ketertiban, perampokan, dan pemerasan. Segala tindakan yang dilakukan oleh anak dapat teradi dikarenakan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi pola pikir maupun sikap anak tersebut.

Dalam perbuatan anak yang berhadapan dengan hukum perlu diketahui sebab-sebab timbulnya kenakalan anak atau faktor yang memicu anak melakukan kenakalan atau dengan kata lain perlu diketahui motivasinya. Bentuk dari motivasi ada 2 (dua) macam, yaitu: motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik merupakan dorongan atau keinginan dari dalam diri seseorang yang tidak perlu disertai perangsang dari luar, sedangkan motivasi ekstrinsik merupakan dorongan yang datang dari luar diri seseorang. Berikut ini akan dijabarkan mengenai

motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari permasalahan anak yang berhadapan dengan hukum:

  • 1.    Yang termasuk motivasi intrinsik adalah: Faktor intelegensia, Faktor usia, Faktor kelamin, Faktor kedudukan anak dalam keluarga.

  • 2.    Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah: Faktor rumah tangga, Faktor pendidikan dan sekolah, Faktor pergaulan anak, Faktor mass media.

  • 2. 2.2. Upaya penanggulangan kasus-kasus terhadap anak yang berhadapan denganhukum oleh pihak Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Karangasem.

Penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum adalah bagian dari kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan karena tujuan utamanya adalah perlindungan anak dan mensejahterakan anak dimana anak merupakan bagian dari masyarakat. Kebijakan atau upaya penanggulangan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).6

Pendat dari G. Pieter Hoefnagels mengatakan, keterlibatan masyarakat dalam kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) sangat penting, karena kebijakan penanggulangan merupakan usaha rasional dari masyarakat sebagai reaksi terhadap kejahatan.7 Upaya penanggulangan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan dengan cara terpadu yang mencangkup 3 (tiga) tindakan yaitu tindakan preventif, tindakan penghukuman, dan tindakan kuratif.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 11 September 2017 dengan Bapak Supardan, S.H, Kasubag Pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Karangasem, upaya penanggulangan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan dengan cara terpadu yang mencangkup dua (3) tindakan yaitu tindakan preventif, tindakan penghukuman, dan tindakan kuratif. Tindakan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut yaitu:

  • 1.    Tindakan preventif atau juga disebut tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan cara: Meningkatkan kesejahteraan keluarga, Perbaikan lingkungan tempat tinggal anak, Memberikan pembelajaran atau penyuluhan tingkah langku yang baik dan benar, Menyediakan tempat rekreasi dan tempat menghibur, Menyediakan tempat latihan untuk menyalurkan kreatifitas dan bakat anak.

  • 2.    Tindakan hukuman dapat dijatuhkan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, namun harus bertujuan pada perubahan pada perilakunya. Tindakan hukuman dapat diberikan sesuai dengan perbuatan yang dilakukan sehingga tidak menimbulkan kesan berlebihan dalam memberikan hukuman.

  • 3.    Tindakan kuratif adalah tindakan bagi usaha penyembuhan terhadap pola prilaku yang dilakukan oleh anak yang berhadapan dengan hukum. Tindakan tersebut dapat berupa: Melakukan perubahan terhadap lingkungan tempat anak tinggal sehingga lebih memberikan pengaruh positif bagi tumbuh kembang anak, Menghilangkan faktor-faktor buruk yang mempengatuhi sifat dan pemikiran anak, Menggiatkan organisasi-organisasi yang perduli tentang persoalan tentang anak, Mendirikan klinik psikologi untuk meringankan dan

memecahkan konflik emosional dan gangguan kejiwaan lainnya.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Kasubsi Pendidikan dan Bimkemas Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Karangasem Bapak I Gede Agus Arta Saputra, SH, tanggal 26 oktober 2017, upaya penanggulangan anak di LPKA Kelas II Karangasem adalah meliputi upaya pembinaan, Dasar hukum yang dijadikan landasan dalam pemenuhan hak-hak anak di LPKA Klas II Karangasem diantaranya adalah UU SPPA, Pedoman Perlakuan Anak dalam Proses Pemasyarakatan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), serta Himpunan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Karangasem telah melaksanakan pembinaan terhadap Anak sesuai dengan ketentuan dalam UU SPPA, diantaranya adalah belajar, olahraga dan rekreasi. Hal ini juga sesuai dengan ketentuan dalam pedoman LPKA, dimana pembinaan Anak yang dimaksud meliputi pembinaan kepribadian, pembinaan keterampilan dan pendidikan.

Pembinaan kepribadian yang telah dilaksanakan di LPKA Kelas II Karangasem meliputi pembinaan jasmani (olahraga) dan pembinaan rohani. Pembinaan dalam bidang olahraga dapat berupa futsal, bulu tangkis, tenis meja dan senam. Selama melaksanakan kegiatan olahraga, tidak ada pelatih yang secara khusus membina anak-anak di LPKA. Hal ini dikarenakan tidak adanya alokasi untuk anggaran pelatihan. LPKA hanya memfasilitasi hoby mereka saja. Adapun rekreasi yang dilakukan bertujuan untuk memberikan penyegaran bagi Anak agar tidak jenuh berada di dalam LPKA. Disamping itu, agar si anak juga tidak terjauhkan dari masyrarakat, merasa menjadi bagian dari masyarakat dan sekaligus menginformasikan kepada masyarakat bahwa tempat pembinaan yang baik bukanlah di LPKA, melainkan justru di masyarakat. Terbukti tanggapan masyarakat baik, dan

anak-anak pun sangat tertib berbaur dengan masyarakat. Selain tindakan tersebut, adapun proses sosialisasi untuk mencegah bertambahnya anak yang berhadapan dengan hukum perlu dilakukan melalui lembaga-lembaga seperti keluarga, pendidikan, masyarakat, dan media masa.

III PENUTUP

3.1KESIMPULAN

  • 1.    Pada proses perkembangan anak menuju dewasa terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi perubahan atas perilaku dan sikapnya. Beberapa faktor yang berperan dalam perubahan sikap dan perilaku anak yaitu dari faktor orang tua dan keluarga, faktor pergaulan, faktor pendidikan, faktor ekonomi, dan faktor media masa. Faktor-faktor yang menyebabkan anak berhadapan dengan hukum terlihat sebagai suatu persoalan yang biasa, namun dampak yang ditimbulkan dapat membuat anak menjadi pribadi yang mudah untuk melakukan perbuatan negatif tanpa memikirkan dampak atau akibat dari perbuatannya.

  • 2.    Penanggulangan dan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum bertujuan untuk merubah perilaku dan sikap anak yang menyimpang, serta memberikan dorongan agar anak yang tersebut dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakat. Penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum memiliki metode yang berbeda dengan penanganan orang dewasa, hal ini berkaitan dengan karakteristik pada anak serta untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam mendukung proses tumbuh kembang anakdan proses penanganannya. Proses penanggulangan anak yang berhadapan dengan hukum melibatkan berbagai aspek meliputi pemerintah, aparat penegak hukum, masyarakat dan keluarga. Penanggulangan terhadap anak

yang berhadpan dengan hukum dapat dilakukan secara terpadu dengan tindakan preventif (pencegahan), tindakan hukuman, dan tindakan kuratif (usaha penyembuhan).

  • 3.2.    Saran

  • 1.    Keluarga merupakan tempat pertama anak unuk memulai  aktivitas dan pembelajaran. Pengawasan

terhadap  anak dalam  lingkungan keluarga harus

dilakukan sebaik mungkin karena faktor kenakalan anak dapat terjadi apabila keluarga tidak memberikan perhatian, kasih sayang, dan kebutuhan anak yang cukup. Pengawasan terhadap anak diharapkan dapat meminimalisir kasus-kasus kenakalan anak walaupun banyak faktor yang menimbulkan kenakalan anak selain faktor keluarga.

  • 2.    Pada proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, pihak-pihak dari LPKA Kelas II Karangasem haruslah membuat inovasi pendidikan baru seperti budaya membaca dan diskusi guna melatih kepercayaan diri, kecerdasan logika anak ketika menjalankan pendidikan di lingkungan LPKA Kelas II Karangasem.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Achmad dan Wiwie Heryani, 2013, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Kencana Prenadamedia grup, Jakarta.

Barda Nawawi Arief, 2012, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Marzuki, Peter Mahmud. 2011, Penelitian Hukum, Kencana,

Jakarta.

Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice, Refika Aditama, Bandung.

Nandang Sambas, 2013, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen International Perlindungan Anak serta Penerapannya, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Sri Wiratmo Widoyanti, 1983, Anak Dan Wanita Dalam Hukum, LP3ES, Jakarta.

Artikel Ilmiah

Putu Yudha Cahyasena, 2016, “ Tinjauan Kriminologi Terhadap

Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum (Study Kasus Di Bapas Kelas II Mataram)”, Jurnal Universitas Udayana, Denpasar.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomer 5332);

15