PERANAN SAKSI MAHKOTA (KROONGETUIDE) DALAM PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN SEBAGAI ALAT BUKTI (STUDI DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR)*

Oleh :

Rinanda Basitha** A.A. Ngurah Wirasila*** I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti****

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK :

Saksi mahkota adalah saksi yang juga sebagai pelaku kriminal yang juga membongkar kejahatan. Keberadaan saksi mahkota tentu sangat berperan dalam pembuktian di persidangan pada penyelesaian berbagai tindak pidana salah satunya adalah pencurian dengan kekerasan. Tindak pidana pencurian dengan kekerasan adalah perbuatan untuk mengambil barang orang lain yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang dengan maksud atau mempersiapkan atau mempermudah pencurian.

Penggunaan saksi mahkota dalam perkara pencurian dengan kekerasan sebagai alat bukti kerap menimbulkan permasalahan. Kekuatan penggunaan saksi mahkota dan perlindungan hukum terhadap saksi mahkota di Pengadilan Negeri Denpasar dalam perkara pencurian dengan kekerasan sebagai alat bukti masih menjadi pertanyaan dalam praktiknya. Perlu diketahui juga kendala-kendala, akibat hukum yang timbul atas penggunaan saksi mahkota (Kroongetuide), sehingga penggunaan saksi mahkota dapat efektif.

Penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris yang sifat penulisannya deskriptif. Dapat disimpulkan bahwa bentuk perlindungan saksi mahkota tersebut tidak lepas dari kekuatan penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan. Keberadaan saksi mahkota juga tidak lepas dari ketentuan atau norma hukum untuk memberikan perlindungan agar saksi mahkota tidak terjerat dengan keterangannya sendiri karena jika berbohong maka akan dikenakan pasal sumpah palsu. Dalam penggunaan saksi mahkota tidak ditemukan adanya hambatan atau kendala karena saksi mahkota tersebut ditahan dalam wilayah yang sama dan bersedia menjadi saksi dalam persidangan. Upaya hukum terhadap penggunaan saksi mahkota merupakan suatu dasar yang dimana mekanisme kerjanya berdasarkan sistem peradilan pidana untuk menangani kejahatan sehingga tujuan dari peradilan pidana dapat terwujud dengan adil.

Kata Kunci: Pembuktian, Saksi Mahkota, Pidana

ABSTRACT :

The crown witness is a witness who is also a criminal who also dismantles crime. The existence of a crown witness is certainly very instrumental in the pembutian in the trial on the settlement of various criminal acts one of which is theft with violence. Theft of violent theft is an act of taking the goods of another person who is preceded, accompanied or followed by violence or threat of violence against a person with the intention or preparing or facilitating theft.

The use of crown witnesses in violent theft cases as evidence often causes problems. The strength of the use of crown witnesses and the legal protection of the crown witnesses at the Denpasar District Court in cases of violent theft as evidence is still a question in practice. Also note the constraints, the legal consequences arising from the use of crown witnesses (Kroongetuide), so the use of a crown witness can be effective.

This research uses empirical juridical method which descriptive character of writing. It can be concluded that the form of protection of the witness of the crown can not be separated from the strength of the use of the crown witness as a valid and accountable evidence. The existence of a crown witness is also not separated from the provisions or legal norms to provide protection so that the crown witness is not entangled with his own explanation because if lying will be subject to a fake article of perjury. In the use of the crown witnesses there were no obstacles or obstacles because the witness of the crown was held in the same area and was willing to be a witness in the trial. The legal remedy against the use of a crown witness is a basis whereby its working mechanism is based on the criminal justice system to deal with crime so that the objectives of the criminal justice can be realized fairly.

Keywords: Evidence, Crown Witness, Criminal

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Udang-Undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut dengan KUHAP ini memuat instrument hukum publik yang telah mendukung suatu pelaksanaan hukum pidana materiil yang mempunyai peranan penting guna memperoleh kebenaran materiil. Hukum mempunyai tujuan penting yaitu menciptakan ketertiban dan keseimbangan di dalam kehidupan.

Untuk membuktikan suatu kebenaran di dalam perkara pidana, saksi adalah salah satu alat bukti yang diperlukan. Sebagai alat bukti, saksi mahkota memiliki peran yang sangat

penting dalam membuka perkara-perkara kejahatan seperti korupsi, pencurian, dan lainnya. Kasus yang melibatkan beberapa pelaku lebih dari satu serta terorganisir mengakibatkan kasus tindak pidana tersebut semakin sulit untuk dipecahkan bila dibandingkan dengan kasus tindak pidana lainnya. Kesaksian dari saksi mahkota yang sedemikian sudah sepantasnya diberi penghargaan.

Masalah-masalah yang terjadi pada perkara pidana dengan berbagai motif, oleh karena itu penegak hukum Negara juga bergantung dengan kerjasama professional yang mempunyai keterampilan dan pengetahuan yang luas dalam menangani kejahatan seperti ini serta melibatkan mereka yang professional di dalamnya. Penanganan tindakan kriminal yang terorganisir, dan tindakan kriminal dengan motif dari kejahatan yang secara kompleks lainnya tidak luput dari terlibatnya beberapa terdakwa yang berdasarkan bukti yang telah disediakan oleh mereka yang mempunyai pengetahuan yang luas atas kejahatan tersebut.

Pengertian saksi mahkota yaitu saksi yang juga memiliki peranan sebagai pelaku tindak kriminal yang membongkar suatu kejahatan. Pada Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang mengatur tentang perlindungan terhadap saksi mahkota secara eksplisit. Pentingnya keberadaan seorang saksi pada semua tahapan di dalam penyidikan maupun penyelidikan adalah sejak diketahuinya tindak pidana tersebut sampai pada keputusan hakim di pengadilan.

Diperlukannya ketentuan atau peraturan-peraturan mengenai perlindungan hukum terhadap saksi bukan hanya diharapkan dapat memberikan kepastian terhadap hukum namun dapat menjamin akan adanya perlindungan terhadap saksi yang

juga berkedudukan sebagai tersangka yang membantu dalam membuktikan kejahatan dengan memberikan sebuah hadiah atas kesaksiannya tersebut.

Seringkali seorang saksi mendapatkan segala ancaman yang secara fisik maupun mental, yang disebabkan karena telah dianggap memberatkan pihak-pihak di dalam kasus yang diselidiki. Dalam pengungkapan suatu perkara, saksi haruslah mendapatkan perhatian dan perlindungan. Karena seorang saksi amat dibutuhkan.

Termuat pada Pasal 142 KUHAP bahwa pada saat penuntut umum telah menerima satu berkas perkara yang telah memuat lebih dari satu tindak pidana yang dilaksanakan oleh lebih dari satu tersangka yang tidak termasuk dalam Pasal 141 KUHAP, penuntut umum diperbolehkan melaksanakan penuntutan kepada para terdakwa secara terpisah. Asas oportunitas berlaku pada Pasal 141 KUHAP yang menjelaskan bahwa ketentuan saksi mahkota yang dituangkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah sesuai dengan asas oportunitas yang dianut oleh Indonesia dalam hal ini penuntut umum yang mempunyai wewenang untuk menetapkan apakah terdakwa dijadikan saksi mahkota atau tidak.

  • 1.2    Tujuan

  • -    Untuk mengetahui kekuatan penggunaan saksi mahkota dan perlindungan hukum terhadap saksi mahkota di Pengadilan Negeri Denpasar dalam perkara pencurian dengan kekerasan sebagai alat bukti.

  • -    Untuk mengetahui kendala-kendala, akibat hukum yang timbul atas penggunaan saksi mahkota (Kroongetuide).

  • II.    ISI MAKALAH

  • 2.1    Metode

Metode penelitian atau yang lebih dikenal dengan metodologi dalam hal ini dapat diartikan sebagai cara yang tepat digunakan untuk melakukan sesuatu, sedangkan logi/logos adalah ilmu atau pengetahuan, dengan demikian metodologi dapat diartikan sebagai cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran dengan seksama untuk mencapai tujuan, sedangkan penelitian berarti suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisa sampai menyusun laporannya.1

  • 2.1.1    Jenis penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan ini adalah dengan menggunakan metode yuridis empiris. Metode yuridis yaitu suatu metode penulisan hukum yang dilakukan berdasarkan pada teori-teori hukum, literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan metode empiris yaitu suatu metode dengan melakukan observasi atau penelitian secara langsung kelapangan untuk mendapat kebenaran yang akurat dalam proses penyempurnaan penulisan ini.2

  • 2.1.2    Sifat penelitian

Dalam penulisan ini digunakan penelitian yang sifatnya deskriptif (menggambarkan) yaitu penelitian yang berupaya untuk menggambarkan secara tepat mengenai sifat-sifat suatu individu,

keadaan, gejala atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.3

  • 2.1.3    Data dan Sumber Data

Data dan sumber data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data primer yang bersumber dari sumber pertama dilapangan baik dari responden maupun informan di Pengadilan Negeri Denpasar dan data sekunder yang bersumber dari data yang sudah terdokumentasi dalam bentuk bahan-bahan hukum yang meliputi bahan hukum primer yang memiliki kekuatan mengikat dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku-buku, literatur, makalah, tesis, skripsi, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.

  • 2.1.4    Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah teknik wawancara (interview) yang dilakukan oleh dua pihak, yakni pewawancara dan yang diwawancarai serta teknik kepustakaan yang berisikan sumber-sumber kepustakaan seperti buku refrensi, ensiklopedia, skripsi, tesis, laporan penelitian, dokumen dan sumber-sumber tercetak lainnya.

  • 2.1.5    Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dan dikumpulkan tersebut, baik berupa data primer maupun data sekunder yang merupakan hasil dari studi dokumen dan wawancara, kemudian diolah secara kualitatif. Kemudian mengkualifikasikan dan mengumpulkan data berdasarkan kerangka penulisan skripsi secara menyeluruh, yang

selanjutnya data yang diklasifikasikan tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif yaitu dengan cara menggambarkan secara tepat mengenai hal-hal yang yang berkaitan dengan masalah yang diteliti secara jelas dan sistematis yang kemudian dapat diolah serta disajikan dalam bentuk laporan, dimana dapat diperoleh suatu kesimpulan atas permasalahan yang dibahas.

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Mahkota Dalam Perkara Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan di Pengadilan Negeri Denpasar

Tindak pidana pencurian dengan kekerasan adalah perbuatan untuk mengambil barang orang lain yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang dengan maksud atau mempersiapkan atau mempermudah pencurian. Hukum pembuktian yaitu merupakan bagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, tata cara dan syarat-syarat menyerahkan bukti tersebut merupakan wewenang hakim untuk menilai menolak ataupun menerima bukti tersebut.4

Kekuatan pembuktian dengan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam persidangan di Pengadilan Negeri Denpasar adalah sah dan dapat dipertanggungjawabkan dikarenakan telah memenuhi persyaratan sehingga dapat dijadikan sebagai alat bukti. Kekuatan pembuktiannya tersebut seluruhnya diserahkan kepada hakim.

Adanya perlindungan terhadap saksi mahkota di dalam pembuktian di persidangan harus berdasarkan ketentuan atau norma hukum yang berlaku guna memberikan perlindungan

kepada saksi mahkota. Adanya ketentuan atau norma hukum ini adalah agar saksi mahkota tidak terjerat dengan keterangannya sendiri karena apabila berbohong maka akan dikenakan pasal sumpah palsu yaitu Pasal 242 KUHP.

Proses pemeriksaan saksi, terdakwa atau tersangka dalam setiap tatanan pemeriksaan yang menjadi tiang penting dalam pembuktian atas sub bagian kejahatan perkara pidana. Pemeriksaan ini tidak tertuju untuk mendapatkan pengakuan atau yang dengan istilah lain pengakuan ini bukanlah tujuan dari pemeriksaan perkara.5

Semua pihak wajib untuk menghormati setiap hak yang dimiliki masyarakat. KUHAP sebagai salah satu karya anak bangsa yang mempunyai tujuan yaitu melindungi hak para tersangka/terdakwa.

Berdasarkan Teori Keadilan Aristoteles, pemaksaan terhadap salah seorang tersangka/terdakwa untuk mengakui kesalahannya tersebut sudha bertentangan dengan cita-cita hukum yaitu untuk terciptanya sebuah keadilan. Tidak hanya mendahulukan diri sendiri, tapi tidak juga mendahulukan pihak lain, yang penting yaitu keseimbangan. Keseimbangan disini yaitu menimbulkan sebuah prinsip memberi setiap orang apa yang menjadi haknya.6 Untuk itu KUHAP mengandung beberapa asas, seperti berikut:7

  • 1.    Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.

  • 2.    Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan barang dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat

yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang- undang.

  • 3.    Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

  • 4.    Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukuman yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi.

  • 5.    Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.

  • 6.    Setiap orang yang tersangkut perkara, wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum, yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan pembelaan atas dirinya.

  • 7.    Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan, selain wajib diberitahukan dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahukan haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasehat hukum.

  • 8.    Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.

  • 9.    Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang.

  • 10.    Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

Perlindungan terhadap saksi mahkota lebih dipandang sebagai suatu alat bukti serta diberikan kewajiban di dalam pelaksanaannya peradilan pidana. Memberikan suatu keadilan dengan menyamakan semua orang di muka hukum adalah tujuan dari proses peradilan pidana, maka dari itu saksi yang terlibat dalam tindak pidana diberikan perlindungan dan jaminan yang sama dengan terdakwa atau tersangka.

UUD 1945 menyebutkan dengan jelas bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang berpedoman berdasarkan atas hukum. Negara Indonesia adalah Negara hukum yang sangat menjunjung dan menjamin hak asasi manusia dan akan menjamin semua warga negaranya memiliki kedudukan yang sama di muka hukum. Hukum memiliki peran mengatur kehidupan bernegara.

Terdakwa atau tersangka memberikan sebuah kesaksian untuk tersangka atau terdakwa lain, saksi mahkota menjadi kunci dalam pemecahan kasus yang melibatkan beberapa pelaku. Splitsing adalah tersangka atau terdakwa yang dapat menjadi saksi mahkota untuk memberikan kesaksian dalam menanggulangi kejahatan.8 Splitsing juga dapat diartikan sebagai pemisah berkas perkara.

  • 2.2.2    Kendala-Kendala Penghambat Penggunaan Saksi Mahkota di Dalam Perkara Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan di Pengadilan Negeri Denpasar

Saksi mahkota yang dijelaskan disini memunculkan konflik yuridis yang salah satu pihak memegang peranan sebagai tersangka. Didalam menggunakan saksi mahkota tidak akan memunculkan kendala kendala apabila saksi mahkota tersebut memberikan kesaksian yang sebenarnya. Oleh karena itu, sebagai saksi yang di bawah sumpah harus memberikan keterangan yang sebenarnya. Apabila terdapat pelanggaran yang terhadap hal tersebut dapat diancam pidana yang terdapat pada Pasal 224 KUHP, sedangkan seorang terdakwa didalam undang-undang yang statusnya tersebut menolak dakwaan, menerima penjelasan para saksi serta bukti-bukti yang diberikan pada persidangan.

Selain kemampuannya dapat membongkar suatu kehajatan, dari beberapa kalangan ahli hukum berpendapat bahwa menolak penerapan saksi mahkota karena menurut para ahli penggunaan saksi mahkota ini tidak tepat serta dilarang berdasarkan ilmu pengetahuan hukum.9

Penggunaan saksi mahkota (Kroongetuide) tidak dilarang jika digunakan sebagai alat bukti dalam pembuktian suatu perkara pidana. Ketentuan ini menjadi suatu dasar pembenaran atas penggunaan terdakwa sebagai saksi mahkota (Kroongetuide) yang didasarkan pada keadaan perkara pidananya dalam bentuk penyertaan, kurangnya alat bukti dan dilakukannya pemisahan (splitsing) terhadap berkas perkara.

Dasar pemikiran faktor penghambat yang menimbulkan akibat hukum dari adanya saksi mahkota dilihat dari metode splitsing meliputi apabila permasalahan splitsing ini masih dalam tingkat persiapan tindakan di dalam penuntutan (pra penuntutan), serta belum sampai di tingkat pemeriksaan tindak pidana di pengadilan.

Sebab daripada itu pada saat hasil dari penyelidikan di terima oleh penuntut umum, dilanjutkan dengan memahami dan mengoreksi suatu kasus yang dapat dan tidak dapat dilakukan pemisahan berkas, jika penuntut umum telah berasumsi mengenai kasus tersebut dapat atau tidak dilakukannya pemisahan berkas perkara, terhitung mulai dari jangka waktu satu minggu harus diberitahukan kepada pihak penyidik agar melengkapi serta menyempurnakan dengan diberikannya petunjuk yang seperlunya, lalu penyidik mulai dari jangka waktu paling lama 14 hari dari tanggal diberikanya berkas perkara yang sudah dipisahkan tersebut, diperbaiki yang sudah diberikan oleh jaksa penuntut umum.

Akibat hukum yang timbul atas penggunaan saksi mahkota ditinjau pada pihak yang pro atas digunakannya saksi mahkota tersebut dalam proses pembuktian perkara pidana berpendapat bahwa saksi mahkota diajukan sebagai saksi untuk membuktikan apakah terjadi perbuatan pidana serta apakah benar terdakwa tersebut telah menimbulkan perbuatan pidana itu. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan hukum acara pidana, yaitu agar terciptanya suatu ketentraman, keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan di dalam masyarakat.

Ketentuan ini menjadi dasar pembenaran atas penggunaan terdakwa sebagai saksi mahkota (Kroongetuide) yang didasarkan pada keadaan perkara pidananya dalam bentuk penyertaan,

kurangnya alat bukti dan dilakukannya pemisahan (splitsing) terhadap berkas perkara, sedangkan, pihak yang mendukung atas penggunaan saksi mahkota tersebut dalam proses pembuktian perkara pidana beranggapan bahwa penggunaan saksi mahkota (Kroongetuide) telah dilarang dalam hal penggunaannya sebagai alat bukti yang sah, kerana dianggap telah bertentangan terhadap hukum acara pidana yang telah menjunjung tinggi hak asasi manusia, khususnya hak terdakwa. Ketentuan ini tidak membenarkan penggunaan saksi mahkota (Kroongetuide) dapat diajukan sebagai terdakwa yang ternyata dakwaannya juga sama dengan terdakwa yang diberikan kesaksian tersebut.

Berdasarkan wawancara dengan I Made Pasek, sebagai Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar, dijelaskan mengenai kendala penggunaan saksi mahkota adalah: menghadirkan tidak susah pada umumnya karena mereka ditahan dalam wilayah yang sama. Yang sulit adalah ketika dia tidak ingin menjadi saksi ketika penuntut umum membutuhkan dua saksi sebagai alat bukti. (Wawancara Hari Rabu Tanggal 26 Juli 2017)

Berdasarkan wawancara dengan I Gde Ginarsa, sebagai Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar, dijelaskan mengenai kendala penggunaan saksi mahkota adalah: tidak adanya kendala dari pihak pengadilan dalam menghadirkan saksi mahkota sepanjang saksi tersebut memberikan keterangan yang benar. (Wawancara Hari Rabu Tanggal 26 Juli 2017)

  • III.    KESIMPULAN

  • 1.    Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Denpasar ini pembuktian kekuatan saksi mahkota sebagai alat bukti adalah sah dan dapat dipertanggungjawabkan dikarenakan telah memenuhi persyaratan sehingga dapat dikatakan sebagai alat

bukti, dan kekuatan pembuktiannya seluruhnya diserahkan kepada hakim. Perlindungan terhadap saksi mahkota hingga saat ini dipandang sebagai alat di dalam pembuktian. Seorang saksi yang peranannya menjadi satu pelaku dan juga menjadi terdakwa atau tersangka dalam hukum acara pidana, memiliki hak dan perlindungan yang sama seperti terdakwa/tersangka. Pentingnya dari suatu hak asasi yaitu demi melindungi hak serta martabat manusia. Perlindungan kepada saksi mahkota diajukan agar saksi mahkota tidak terjerat dengan keterangannya sendiri karena jika berbohong maka akan dikenakan pasal sumpah yaitu Pasal 242 KUHP.

  • 2.    Dalam praktik penerapan saksi mahkota sering memunculkan konflik yuridis yaitu di satu pihak statusnya adalah sebagai terdakwa dan adapun yang menjadi dasar pemikiran faktor penghambat yang menimbulkan akibat hukum dari adanya saksi mahkota dilihat dari metode splitsing. Sebagai saksi yang di bawah sumpah haruslah memberikan keterangan yang sebenarnya serta apabila terjadi pelanggaran terhadap hal ini, maka akan diancam pidana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 224 KUHP seperti yang sering terjadi dalam praktik peradilan pidana status seorang terdakwa yang diajukan sebagai seorang saksi mahkota terkadang tidak disampaikan kepada terdakwa langsung.

Daftar Pustaka

Buku:

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung.

Bawengan Gerson W, 1977, Penyidikan Perkara Pidana, Teknik Interogasi, Pradnya Paramita, Jakarta.

Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi, 2001, Metodologi Penelitian, PT. Bumi Aksara, Jakarta.

Johan Nasution Bahder, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung.

Lily Rosita, Hari Sasangka 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Penerbit Mandar Maju, Bandung.

Sutarto Suryono, 1991, Hukum Acara Pidana Jilid 1, Badan Penerbit Undip, Semarang.

Yoan N Simanjuntak Bernard L Tanya, Markus Y Hage, 2013, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta.

Jurnal Ilmiah:

Irfan Maulana Muharikin, 2015, Kedudukan Saksi Mahkota dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia Berdasarkan Asas Non Self Incrimination, Universitas Brawijaya Malang.

Perundang-undangan:

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Udang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Internet:

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20252706-T28577-

Peranan%20saksi.pdf (Diakses Tanggal 08 November 2017)