Yurisdiksi Indonesia Mengambil Alih Pelayanan Ruang Udara (Flight Information Region) di Wilayah Udara Kepulauan Natuna

Anak Agung Bagus Ngurah Agung Surya Putra* Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peraturan internasional serta nasional mengenai pelayanan ruang udara (FIR) serta menelaah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Indonesia dalam pengambilalihan ruang udara di atas kepulauan Natuna. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang ditambah dengan wawancara sebagai klarifikasi terhadap pandangan penulis terhadap masalah tersebut dan juga untuk mempertimbangkan pendapat ahli. Hasil dari penelitian ini adalah: peraturan internasional yakni Konvensi Penerbangan Sipil Internasional tahun 1944 (Konvensi Chicago), beserta Annex-nya, merupakan aturan dasar dan utama dalam pengaturan pelayanan ruang udara. Peraturan di Indonesia mengenai pelayanan tersebut memang beragam namun sesuai dengan aturan Konvensi Chicago. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Indonesia adalah dengan melakukan konsultasi dengan Singapura. Upaya alternatifnya adalah membujuk negara-negara Asia-Pasifik untuk mempercayakan pelayanan di ruang udara Kepulauan Natuna kepada Indonesia pada RAN Meeting berikutnya, atau menyelesaikan secara litigasi ke Mahkamah Internasional.

Kata kunci: Wilayah udara Natuna, FIR, Pengambilalihan.

Abstract

This research aims to analyse international and national regulation concerning Flight Information Region (FIR) while also scrutinise any legal means available for Indonesia in order to realign the airspace above the Natunan Archipelago. Normative legal research method is the primary method used in this paper with addition of interview as a mean to clarify author’s viewpoint as well as to accommodate experts’ point of view regarding the matter at hand. The results to this research are: 1944 Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention), along with its Annexes, is acting as the primary regulation concerning FIR. While Indonesia has numbers of regulation regarding FIR, those regulations are in accordance to Chicago Convention. The legal means that may be taken by Indonesia is a consultation with Singaporean Government regarding realignment of the Natunan Airspace. Alternatively, Indonesia may also lobby Nations in the region of Asia-Pacific to be in favour of Indonesia to handle the said airspace in the upcoming RAN Meeting, or settle the said matter before the International Court of Justice.

Keywords: Natunan Airspace, FIR, Realignment

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, berkeinginan Indonesia dapat akan mengambil alih kembali Pelayanan Ruang Udara (Flight Information Region/FIR) di wilayah udara kepulauan Natuna, sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Perhubungan, Ignasius Johan, pada Selasa 8 November 2015, di Istana Kepresidenan. 1 Kehilangan hak pengawasan atas ruang udara yang berada dalam kedaulatan negara di wilayah tersebut turut mengakibatkan pembatasan keleluasaan dalam melakukan kegiatan operasional ataupun penegakan hukum di wilayah tersebut.

Optimalisasi tugas penegakan hukum dan pengamanan wilayah udara nasional oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU), sebagaimana diamanatkan Pasal 10 huruf b Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, hanya bisa dilakukan jika pelayanan navigasi penerbangan yang kini dikelola Singapura dapat diambilalih oleh pemerintah Indonesia. 2 Kontrol terhadap ruang udara oleh Singapura tersebut memberi konsekuensi pesawat Indonesia, baik

komersil maupun milik negara (pesawat TNI AU), yang ingin berpatroli, harus meminta izin terlebih dahulu kepada Singapura. Sebaliknya, pesawat Singapura dengan bebas berlalu-lalang di wilayah udara yang kedaulatannya sesungguhnya berada di tangan Indonesia.3

Kepulauan Natuna merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau yang terletak paling Utara Selat Karimata. Di sebelah Utara dan Timur, Kepulauan Natuna berbatasan dengan Laut Cina Selatan, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bintan, dan di bagian Barat Semenanjung Malaysia. 4 Letaknya yang strategis membuat kepulauan ini menjadi penting bagi Indonesia.

Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah udara terluas di Asia Tenggara, yakni 81% dari keseluruhan wilayah udara Asia Tenggara.5 Dilihat dari letak geografisnya, Indonesia terletak diantara 6º 08’ Lintang Utara – 11º 15’ Lintang Selatan dan 95º 45’ Bujur Timur – 141º 05’ Bujur Timur. 6 Terletak di antara Benua Asia dan Benua Australia, menjadikan lalu lintas udara Indonesia sangat padat karena dilalui penerbangan komersil baik nasional maupun internasional.

Lalu lintas udara untuk penerbangan komersil diatur oleh Air Traffic Control (ATC) pada FIR. Tujuan pengaturan tersebut adalah untuk mencegah terjadinya kecelakaan antar penerbangan

yang satu dengan yang lainnya.7 Dewasa ini, FIR di wilayah udara Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) yakni; Jakarta Flight Information Region; Ujung Pandang Flight Information Region; dan Singapore Flight Information Region.8

Masalah-masalah tersebut hanyalah sebagian dari berbagai masalah yang terjadi karena Indonesia tidak memiliki kontrol terhadap ruang udara tersebut. Jika tidak dilakukan pengambilalihan, maka kelak akan terjadi pendelegasian ruang udara Indonesia lagi terhadap FIR Singapura atau FIR lainnya, seperti Australia. Karena itu, penelitian ini mengangkat judul, “Yurisdiksi Indonesia Mengambil Alih Pelayanan Ruang Udara (Flight Information Region) di Wilayah Udara Kepulauan Natuna.”

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis menarik sebuah rumusan masalah yakni: bagaimana peraturan pelayanan ruang udara, baik dalam instrument hukum Internasional dan Nasional, serta upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh Indonesia untuk mengambil alih ruang udara di atas Kepulauan Natuna?

  • II.    Isi Makalah

    2.1.    Metode Penelitian

Artikel ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian tersebut diidentifikasi sebagai penelitian hukum kepustakaan

yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, serta sejarah hukum.9 Sumber bahan hukum dalam suatu penelitian yang bersifat normatif, haruslah berdasar pada studi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.10 Adapun bahan hukum primer, yang penulis gunakan, yaitu bahan-bahan hukum yang digunakan sifatnya mengikat yakni perjanjian internasional dan peraturan perundang-undangan nasional Indonesia terkait. Bahan hukum primer ini bersifat otoritatif, artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu.11

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, 12 serta memberi petunjuk bagi penulis untuk menyelesaikan penelitian.13 Bahan hukum sekunder yang digunakan berasal dari buku literatur, majalah, makalah dan internet yang ada hubungannya dengan isu hukum udara maupun yang bersifat umum.14

  • 2.2.    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1. Pengaturan Internasional dan Nasional Mengenai Pelayanan Ruang Udara

Pengaturan hukum internasional mengenai Pelayan Ruang Udara (Flight Information Region/FIR) dapat ditemukan di dalam Annex 11 dari Konvensi Chicago 1949. Di dalam Annex tersebut diatur bahwa ruang udara di dunia diklasifikasikan menjadi rangkaian FIR yang dalam praktisnya membagi fungsinya menjadi 3, yakni: Air Traffic Control, Flight Information Services, dan altering services. 15 Ketiga fungsi tersebut terakomodir ke dalam suatu layanan udara yang dikenal dengan sebutan Air Traffic Services yang bertujuan untuk mencegah terjadinya tabrakan antar pesawat udara, mencegah terjadinya tabrakan antar pesawat udara di area manuver dan area yang memiliki halangan, melancarkan dan menjaga lalu lintas udara yang teratur, memberikan saran dan informasi yang berguna untuk penerbangan yang aman dan efisien, memberi tahu organisasi yang berwenang jika ada pesawat terbang yag memerlukan pertolongan (search and rescue aid) dan bila diperlukan, membantu organisasi tersebut.

Indonesia mengatur hal yang serupa dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan pada Bab XII yang mengatur mengenai navigasi penerbangan, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang keamanan dan Keselamatan Penerbangan, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 21 Tahun 2015 tentang Keselamatan Navigasi Udara, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 131 tahun 2015 tentang Peningkatan Pelayanan Navigasi Penerbangan, dan Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 14 tahun 2009). Masing-masing peraturan tersebut mengatur hal yang berbeda namun sesungguhnya sesuai dengan substansi yang tertuang di dalam Annex 11 Konvensi Chicago.

  • 2.2.2.    Upaya Pengambilalihan Pelayanan Ruang Udara Kepulauan Natuna

Mengacu pada aturan-aturan yang disebut di atas upaya hukum yang dapat dilakukan Indonesia untuk mengambil alih wilayah udara yang sudah sejak Regional Air Navigation (RAN) Meeting tahun 1973 dicanangkan untuk diberikan kepada Singapura, 16 adalah dengan melakukan konsultasi kepada Singapura sebagai negara pihak kedua perjanjian bilateral pengalihan ruang udara di Kepulauan Natuna. Sebagai negara yang berdaulat tentunya Indonesia berhak menentukan nasibnya sendiri dan bebas dari campur tangan negara lain. 17 Dalam wawancara penulis dengan H.K. Martono, Guru Besar Hukum Udara dan Ruang Angkasa Universitas Tarumanagara Jakarta, diidentifikasi upaya utama dalam menyelesaikan sengketa FIR ini adalah kesepakatan antara Indonesia dengan Singapura. Hal tersebut mengingat Indonesia telah terikat perjanjian bilateral mengenai penataan FIR Jakarta dengan FIR Singapura.

Perjanjian bilateral antara Indonesia dengan Singapura merupakan dasar hukum yang mengikat bagi Indonesia dan Singapura. Hal tersebut didasari oleh asas Pacta Sunt Servanda, asas yang mengatur bahwa perjanjian adalah hukum bagi pihak yang terikat dan harus dilakukan dengan itikad baik. 18 Ada beberapa yurisprudensi yang menegaskan asas tersebut, antara lain pada kasus mengenai hak Warga Negara Amerika Serikat di Maroko. Mahkamah Internasional dalam putusannya tanggal 27

Agustus 1954 memutuskan bahwa walaupun petugas bea cukai memiliki otoritas penuh di dalam wilayah kedaulatan negaranya, namun dalam konteks telah terikat perjanjian, otoritas tersebut harus dilakukan secara layak dan dengan itikad baik.19 Putusan pengadilan internasional lainnya juga memiliki keputusan yang sama akan asas ini, yakni Permanent Court of International Justice dalam Treatment of Polish Nationals and other Persons of Polish origin in the Danzig Territory20 dan Arbitrase Internasional dalam North Atlantic Coast Fisheries. 21 Masing-masing memutuskan bahwa dari hasil kesepakatan sebuah perjanjian mengakibatkan kedaulatan sebuah negara dibatasi oleh regulasi-regulasi dalam perjanjian tersebut yang harus dipatuhi dan dijalankan dengan itikad baik.

Upaya alternatif yang dapat dilakukan Indonesia adalah melakukan diplomasi dengan seluruh negara anggota RAN Meeting Asia-Pasifik untuk mempercayakan pelayanan ruang udara tersebut pada Indonesia. Hal tersebut mengingat Indonesia sudah memiliki fasilitas yang memadai dan sesuai dengan standar yang direkomendasikan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional. 22 Tentunya hal ini merupakan pelanggaran dari perjanjian bilateral Indonesia-Singapura karena secara eksplisit perjanjian tersebut menyatakan, dalam Pasal 9, dalam hal terjadi

sengketa maka penyelesaiannya harus melalui konsultasi antar kedua belah pihak. Namun jika pelanggaran pasal tersebut dilakukan oleh Indonesia setelah Singapura enggan mematuhi klausul tersebut maka pelanggaran yang dilakukan Indonesia dapat dibenarkan.

Hukum internasional mengenal prinsip preclusion, yaitu pembenaran terhadap sebuah pelanggaran internasional yang dilakukan oleh negara. Pembenaran tersebut diatur dalam Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts (ARSIWA) pada BAB 5 tentang keadaan yang menghindarkan negara dari pelanggaran. Pembenaran yang dapat diklaim oleh Indonesia adalah countermeasure, yang mana Pasal 22 ARSIWA mengatur bahwa kesalahan negara dapat dihindarkan jika tindakan tersebut dilakukan untuk membalas sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh negara yang melakukan pelanggaran terlebih dahulu. Mahkamah Internasional menegaskan penerapan dari aturan tersebut dalam kasus GabčíkovoNagymaros, dengan menerima tindakan countermeasure sebagai pembenaran atas pelanggaran jika countermeasure tersebut ditujukan kepada negara yang sebelumnya telah melakukan pelanggaran internasional dan sebagai reaksi dari pelanggaran tersebut. 23 Berdasarkan alasan di atas, diplomasi dengan seluruh negara Asia-Pasifik merupakan cara alternatif non-litigasi yang tepat bagi Indonesia untuk mengambil alih FIR Singapura.

Selain langkah diplomasi, Indonesia juga dapat mengambil langkah litigasi untuk menyelesaikan sengketa FIR dengan Singapura. Pasal 40 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional menyatakan, sebagai berikut: “Cases are brought before the Court,

as the case may be, either by the notification of the special agreement or by a written application addressed to the Registrar. In either case the subject of the dispute shall be indicated.” Dari kalusul tersebut terdapat 2 prosedur pengajuan penyelesaikan sengketa ke Mahkamah Internasional. Pertama, merupakan pengajuan penyelesaian sengketa melalui Special Agreement. Indonesia pernah melakukan hal tersebut pada kasus mengenai Kedaulatan dari Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia. 24 Kedua, merupakan pengajuan kepada Registrar atas pelanggaran internasional yang dilakukan oleh negara, selama masih dalam yurisdiksi Mahkamah Internasional yang tertera pada Pasal 36 Statuanya. Salah satu contoh pengajuan kasus tanpa menggunakan Special Agreement adalah Corfu Channel Case. 25 Akan tetapi untuk dapat melakukan hal tersebut negara-negara yang mengajukan sengketa harus mengakui yurisdiksi Mahkamah Internasional sebagai litigator. Dalam Pasal 93 Charter of the United Nations memang dinyatakan bahwa anggota seluruh negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara langsung (ipso facto) menjadi anggota dari Statuta Mahkamah Internasional, akan tetapi untuk mengakui yurisdiksinya negara harus membuat deklarasi. 26 Salah satu contoh deklarasi tersebut adalah deklarasi United Kingdom (UK) pada 22 Februari 2017 yang menyatakan bahwa UK menerima klausul ipso facto dalam Piagam PBB dan bersedia menerima

kasus yang diajukan ke Mahkamah Internasional yang masih dalam yurisdiksi mahkamah tersebut.27

Berdasarkan analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa prosedur yang dapat dilakukan Indonesia jika ingin menyelesaikan sengketa di Mahkamah Internasional adalah dengan menggunakan Special Agreement. Hal ini karena Indonesia dan Singapura belum menyatakan persetujuan atas klausul ipso facto yang diatur dalam Pasal 93 Piagam PBB

  • 2.2.3.    Peluang dan Tantangan

Indonesia memiliki peluang yang cukup besar dalam pengambil alihan FIR yang sudah lama didelegasikan kepada Singapura. Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara pada wilayah kedaulatannya yang dijamin oleh Pasal 1 Konvensi Chicago. Selain itu Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan juga mengafirmasi kedaulatan penuh dan ekslusif Indonesia terhadap ruang udaranya.

Selanjutnya, baik dari aspek hukum nasional, Pasal 458 Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009, maupun internasional, Pasal 5 perjanjian bilateral antara Indonesia dan Singapura mengamanatkan pengkajian ulang bagi Sektor A, B dan C. Celah ini dapat menjadi peluang Indonesia dalam mengambil alih FIR Singapura karena dasar dari pengambilan tersebut sesuai dengan perjanjian antar Indonesia dan Singapura serta hukum nasional Indonesia. Tentunya klaim terhadap kepatutan hukum tersebut dilengkapi juga dengan kesiapan teknologi Indonesia. Pemerintah Indonesia dalam upayanya mengembangkan sarana navigasi udara telah memasang 75 Distance Measuring Equipment (DME)

dan 175 Non-Directional Beacon (NDB) yang tersebar di seluruh bandar udara. 28 Jumlah tersebut telah memenuhi syarat operasional yang ditentukan oleh ICAO dalam Annex 4.

Tantangan bagi Indonesia dalam mengambil alih FIR di wilayah udara Kepulauan Natuna tentunya masalah sumber daya manusia (SDM). Kuantitas dari SDM Indonesia masih terbilang cukup minim. Bahkan hingga 2014 pun Indonesia masih memerlukan 4.000 tenaga tambahan untuk memenuhi standar ICAO. 29 Di samping itu, banyaknya kecelakaan pesawat karena kelalaian petugas30 juga dapat menjadi tantangan bagi Indonesia dalam mengambil alih FIR tersebut.

  • III.    Penutup

    • 3.1.    Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa peraturan internasional yakni Konvensi Penerbangan Sipil Internasional tahun 1944 (Konvensi Chicago), beserta Annex-nya, merupakan aturan dasar dan utama dalam pengaturan pelayanan ruang udara. Peraturan di Indonesia mengenai pelayanan tersebut

memang beragam namun sesuai dengan aturan Konvensi Chicago. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Indonesia adalah dengan melakukan konsultasi dengan Singapura. Upaya alternatifnya adalah membujuk negara-negara Asia-Pasifik untuk mempercayakan pelayanan di ruang udara Kepulauan Natuna kepada Indonesia pada RAN Meeting berikutnya, atau menyelesaikan secara litigasi ke Mahkamah Internasional.

  • 3.2.    Saran

Penulis menyarankan agar Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia hendaknya melakukan konsultasi dengan Pemerintah Singapura dan jika langkah tersebut tidak berjalan sesuai rencana agar menyiapkan langkah-langkah diplomatik dan membujuk perwakilan negara-negara Asia-Pasifik agar mempercayai Indonesia. Di samping itu, Kementerian Perhubungan Repulik Indonesia juga hendakya mengawasi pelaksanaan peraturan yang sudah ada dalam upaya peningkatan sumber daya manusia dan fasilitas navigasi penerbangan Indonesia.

  • IV.    Daftar Pustaka

    Buku

Bahder Johan Nasution, 2016, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung.

Direktur Jenderal Perhubungan Udara, 2005,  “Cetak Biru

Transportasi Udara 2005-2024 (Konsep Akhir)”, Direktorat

Jenderal Perhubungan Udara, Departemen Perhubungan.

H. Kaelan dan Achmad Zubaidi, 2010, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma, Yogyakarta.

H. Zainuddin Ali, 2016, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Hadin Muhjad, 2012, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer, Genta Publishing, Jogjakarta.

Ian Brownlie, 1998, Principles of Public International Law, Edisi ke-5, Clarendon Press, Oxford.

Ida Bagus Wyasa Putra, 2015, Filsafat Ilmu Hukum, Udayanan University Press, Denpasar.

International Civil Aviation Organization, Booklet on the Convention on International Civil Aviation Annexes 1 to 18,  ICAO, URL:

http://www.icao.int/safety/airnavigation/NationalityMarks/ annexes_booklet_en.pdf diakses tanggal 25 November 2016.

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Yuwono Agung N., 2014, “Aspek Hukum (Flight Information

Region/FIR) yang Dikendalikan Singapura”, Angkasa Cendekia, Edisi April 2015, Dinas Penerangan Angkatan Udara, Jakarta.

Dokumen dan Putusan Pengadilan Internasional

Case Concerning rights of nationals of the United States of America in Morocco, Judgment of August 27th, 1952: I.C.J. Reports 1952.

GabčíkovoNagymaros Project (Hungary v. Slovakia), Judgement, I.C.J. Reports 1997.

Majelis Umum Perserkatan Bangsa-Bangsa, 1966, “Yearbook of the International Law Commission”, Vol II.

Reports of International Arbitral Awards, 1910, Vol XI.

Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia v. Malaysia), Judgment, I.C.J. Reports 2002.

Treatment of Polish Nationals and other Persons of Polish origin in the Danzig Teritorry, P.C.I.J. (1935), Series A/B, no 44.

Majelis Umum Perserkatan Bangsa-Bangsa, 1966, “Yearbook of the International Law Commission”, Vol II.

Jurnal dan Publikasi

Adrian Nurahman, 2012, “Mantel dan Keselamatan Penerbangan”, Manajemen            Telekomunikasi,             URL:

http://www.manajementelekomunikasi.org/2012/12/mantel-dan-keselamatan-penerbangan.html diakses tanggal 9 April 2017

Elsa Astari Reta Duari, 2016, “Investigasi Tabrakan di Halim, KNKT akan Panggil Kru Pesawat Batik Air”, Detik News, URL : https://news.detik.com/berita/d-3179736/investigasi-tabrakan-di-halim-knkt-akan-panggil-kru-pesawat-batik-air diakses tanggal 7 Juni 2017

Helmi, 2016, “IACTA: Indonesia butuh 4000 ATC sampai 2015”, Berita                     Trans,                     URL:

http://beritatrans.com/2016/08/30/iatca-indonesia-butuh-4-000-atc-sampai-2025-mendatang/ diakses tanggal 7 Juni 2017

Husni Afriadi, 2014, “Inilah 32 Daftar Kecelakaan Pesawat Komersi di Indonesia Sejak 35 Tahun Silam”, Covesia, URL: http://m.covesia.com/berita         /4254/inilah-32-daftar-

kecelakaan-pesawat-komersil-di-indonesia-sejak-35-tah un-silam.html diakses tanggal 8 Juni 2017.

Kementerian    Pertahanan    Republik    Indonesia,    2015,

“Pengambilalihan Pengelolaan FIR di Kep Natuna dan Kepri dari Singapura Harus Dilakukan Bersama”, Website resmi Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, URL: https://www.kemhan.go.id/2015/06/25/pengambilalihan-pengelolaan-fir-di-kep-natuna-dan-kepri-dari-singapura-harus-dilakukan-bersama.html diakses tanggal 7 Juni 2017

Sabrina Asril, 2015, “Setelah 69 Tahun FIR Dikuasai Singapura, Indonesia Siap Ambil Alih Tahun 2019”, Kompas, URL: http://nasional.kompas.com/read/2015/09/08/17064811/S etelah.69.Tahun.FIR.Dikuasai.Singapura.Indonesia.Siap.Ambi l.Alih.Tahun.2019 diakses tanggal 25 November 2016

Yaddy Supriadi, 2016, “Pengambil Alihan Ruang Udara Natuna: Undermine Approach, Masyarakat Hukum Udara”, MHU, URL: http://masyarakathukumudara.or.id/pengambil-alihan-ruang-udara-natuna-undermine-approach/ diakses tanggal 25 November 2016.

15