PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PENYALAHGUNAAN PSIKOTROPIKA GOLONGAN IV BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA
on
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP
PENYALAHGUNAAN PSIKOTROPIKA GOLONGAN IV BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA
Adi Surya
ABSTRAK
Penyalahgunaan obat psikotropika merupakan alternatif dari ketidak tersediaan narkoba secara legal. Tulisan ini bertujuan untuk melakukan pengkajian dan memahami secara mendalam pertanggungjawaban pidana terhadap penyalahgunaan psikotropika serta penerapaan sanksi rehabilitasi sebagai pengganti sanksi pidana penjara. Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus, serta pendekatan konsep hukum. Penelitian ini menyimpulkan bahwa seseorang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya jika memiliki obat psikotropika secara tidak sah sebagai bagian dari bentuk penyalahgunaan psikotropika. Rehabilitasi sebagai sanksi alternatif untuk menggantikan pidana penjara dan kurungan bagi pelaku penyalahgunaan psikotropika. Kata Kunci: Psikotropika, Kesalahan, Pertanggungjawaban Pidana
Abstrac
Abuse of psychotropic is a new way due to the difficulty of getting narcotics. This journal aims to review criminal responsibility on the abuse of psychotropic and implementation of rehabilitation sanctions in replacement of prison sanctions. The method used is a normative legal research by approaching Act and case, conseptual approach. This journal concludes that someone can be held accountable if possessing psychotropic illegally. In addition, this Journal also conclude that rehabilitation is an alternative way to replace criminal punishment for the Abuse of psychotropic criminal.
Keywords: Psychotropic, Schuld, Responsibility
I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Penyalahgunaan psikotropika dalam berbagai bentuk dan turunannya secara yuridis merupakan suatu tindak pidana dan menyalahi aturan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Psikotropika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Di sisi lain, psikotropika dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan. Peredaran psikotropika di Indonesia jika dilihat dari aspek yuridis adalah sah keberadaannya, apabila memenuhi syarat sebagaimana yang telah diatur oleh Undang-Undang.
Penyalahgunaan psikotropika menjadi tren baru dikalangan remaja pada masa milenial1. Remaja era modern dan cendrung menyalahgunakan obat-obatan yang sesungguhnya tidak murni termasuk dalam golongan narkoba ataupun psikotropika. Psikotropika merupakan zat kimia yang dapat mengubah fungsi otak dan menghasilkan perubahan dalam persepsi, suasana hati, kesadaran pikiran, emosi, dan prilaku. Efeknya dapat menimbulkan adiksi atau ketagihan, oleh sebab itu psikotropika hanya dapat digunakan untuk pelayanan kesehatan serta penelitian dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Jenis psikotropika golongan IV menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, yaitu psikotropika dengan daya
adiktif ringan dan dapat digunakan untuk pengobatan. Jenis ini banyak dijumpai di apotik dan toko obat yang dijual berdasarkan resep dokter atau dijual bebas tanpa harus menyertakan resep dokter. Seperti diazepam, nitrazepam (dumolid, riklona, mogadon, BK). Obat-obat tersebut biasanya digunakan untuk relaksasi otot, bius, mengatasi gangguan tidur dan sebagai obat rehabilitasi bagi pengguna narkoba psikoaktif.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika hanya melarang terhadap penggunaan psikotropika tanpa izin yang dalam kenyataannya sering disalahgunakan dan tidak untuk kepentingan kesehatan melainkan dijadikan sebagai salah satu objek bisnis dan berdampak pada kegiatan merusak mental, baik fisik maupun psikis generasi muda. Maraknya penyalahgunaan psikotropika golongan IV dikalangan remaja sebagai alternatif karena tidak mendapatkan narkotika dan dirasa legal oleh penggunanya. Meski secara hukum dilarang dan peredarannya diawasi secara ketat, namun tidak sedikit orang yang tanpa hak ikut menggunakan obat psikotropika dengan tidak semestinya. Salah satu jenis obat golongan IV yang sangat dicari adalah Dumolid. Obat Dumolit merupakan nama merek dari obat generic Nitrazepam 5mg yang termasuk dalam kelas obat Benzodiazepin (obat penenang).2 Obat-obat golongan psikotropika hanya dapat diberikan dengan resep dokter. Ketika seseorang tanpa resep mendapatkan dan mengonsumsi obat tersebut untuk mendapatkan efek penenangnya, penggunaan berubah menjadi penyalahgunaan.
Dalam salah satu kasus yang dianggap sebagai perbuatan penyalahgunaan psikotropika adalah kasus yang menjerat artis Tora Sudiro dan Mieke Amalia. Tora bersama istrinya ditangkap oleh Polres Metro Jakarta Selatan karena memiliki 30 butir Dumolid di rumahnya kawasan Ciputat, Jakarta Selatan pada Rabu, 2 Agustus 2017 dan tidak dapat menunjukan bukti kepemilikan obat
psikotropika tersebut dengan menunjukan resep dokter.3 Sebelumnya Tora memang telah melakukan terapi kepada salah seorang psikiater dan menyarankan serta memberikan rekomendasi untuk mengkonsumsi obat tersebut demi mengatasi gangguan sulit tidurnya. Namun setelah gangguan tersebut hilang ia tidak dapat diberikan resep obat tersebut dan membeli obat tersebut tanpa izin. 1.2 Rumusan Masalah
Dari apa yang telah diuraikan dalam latar belakang diatas, ada beberapa permasalahan yang nantinya akan dibahas pada bab pembahasan. Adapun rumusan masalahnya adalah :
-
1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap penyalahgunaan psikotropika menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997?
-
2. Apakah sanksi tindakan rehabilitasi merupakan sanksi
pidana alternatif dari tindak pidana penyalahgunaan
psikotropika?
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengenai unsur kesalahan. Khususnya pengkajian secara mendalam terhadap unsur kesalahan dalam penyalahgunaan psikotropika dan akibat hukum dari kesalahan yang telah dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Adapun tujuan penulisan ini untuk mengetahui penjatuhan sanksi tindakan rehabilitasi sebagai sanksi alternatif terhadap tindak pidana penyalahgunaan psikotropika.
II Isi Makalah
2.2 Metode
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (normative legal research) dimana pendekatan yang digunakan untuk menjawab isu hukum adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konsep hukum (conseptual approach).4 Dikatakan penelitian hukum normatif karena lebih mengedepankan bekerjanya norma dalam menganalisis norma hukum yang terdapat dalam produk peraturan perundang-undangan. Penelitian ini juga dapat dikatakan bersifat deskriptif analitis. Dikatakan deskriptif analitis karena menggambarkan permasalahan yang akan dibahas, beserta jawaban atas permasalahan melalui analisis bahan hukum dan peraturan hukumnya.
-
2.1 Pembahasan
-
2.1.1 Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Penyalahgunaan Psikotropika
-
J.Baumman, menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik. Diantaranya, bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan.5 Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan kesalahan dalam suatu tindak pidana.6 Kesalahan merupakan unsur subyektif dari tindak pidana. Kesalahan dapat berupa ketidak sengajaan (culpa) dan kesengajaan (dolus).7 Kealpaan terjadi jika pelaku mengetahui namun secara tidak sempurna seseorang mengalami sifat kekurang hati-hatian ataupun kurang teliti. Unsur kesalahan sangat penting bagi penegak hukum untuk menentukan apakah seseorang yang melakukan tindak pidana dapat mempertanggungjawabkan dan patut dipidana.
Hanya Undang-Undang yang dapat menentukan perbuatan mana sajakah yang dapat dipidana, serta sanksi-sanksi apakah dan atas perbuatan –perbuatan apa yang dapat dijatuhkan pidana. Dalam kasus penyalahgunaan obat psikotropika yang dilakukan oleh Tora Sudiro, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika telah melakukan pembatasan mengenai unsur kesalahan yang dilakukannya. Tora dijerat dengan Pasal 62 yang berbunyi: “Barangsiapa secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan atau membawa psikotropika dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”
Unsur tanpa hak membuktikan kesalahan yang dilakukan Tora Sudiro dengan memiliki, menyimpan obat Dumolid yang memiliki kandungan Nitrazepam dan termasuk kedalam Psikotropika Golongan IV. Kandungan Nitrazepam inilah yang dilarang dan diawasi perederannya jika telah diolah dalam bentuk obat. Maka dari itu pemberiannya diperlukan pengawasan dengan menggunakan resep dokter ataupun kartu pasien sebagai upaya pengendalian peredaran obat psikotropika tersebut. Unsur tanpa hak dalam Pasal 62 ini diperjelas dengan ketentuan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang No.5 Tahun 1997 bahwa Penyerahan psikotropika oleh apotek, puskesmas, dan balai pengobatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter. Maka disinilah terlihat adanya unsur kesalahan dan sifat melawan hukum yang dilakukan oleh Tora Sudiro terlihat berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1997.
Menurut Moeljatno tindak pidana harus memenuhi unsur perbuatan yakni perbuatan manusia sebagai syarat materiil yang harus ada karena perbuatan tersebut benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan serta bertentangan dengan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan. Unsur kedua yakni, memenuhi rumusan Undang-Undang yang merupakan syarat formil dari tindak pidana.8 Hukum pidana tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat yang pasti terhadap kesalahan tersebut.
Dengan demikian, konsepsi tentang kesalahan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengenaan pidana dan proses pelaksanaannya. Jika kesalahan dipahami sebagai “dapat dicela”, maka pemidanaan merupakan perwujudan dari celaan tersebut.9
Pembuktian unsur kesalahan diperlukan sepanjang hal tersebut menjadi bagian dari tindak pidana, serta tidak perlu dibuktikan jika menjadi unsur diam-diam. Perbuatan pidana mutlak harus bersifat melawan hukum, maka disebutkan atau tidaknya kata “melawan hukum” dalam rumusan pasal perundang-undangan tetap harus dibuktikan unsur kesalahannya.10 Bukan berarti tindak pidana yang tidak memuat perkataan “melawan hukum” tidak dapat bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukumnya akan tersimpul dari unsur tindak pidana yang lain. Melawan hukum dibuktikan sepanjang menjadi rumusan tindak pidana.11 Melawan hukum dipandang sebagai unsur tindak pidana, sekalipun tidak dirumuskan. Jika “melawan hukum” tidak dirumuskan dalam bunyi pasal dan tidak terbukti maka menyebabkan putusan pengadilan lepas dari segala tuntutan hukum.
Untuk dapat dikatakan perbuatan yang dilakukan Tora sebagai tindak pidana yang merupakan bagian dari kesalahannya serta dapat dipertanggungjawabkan, maka diperlukannya suatu pembuktian mengenai kesalahannya tersebut. Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika telah menyebutkan bahwa untuk mendapatkan obat psikotropika diperlukan resep dokter sehingga analogi dalam Pasal 62 Undang-Undang No.5 Tahun 1997
“secara tidak sah” dapat dibuktikan dengan dapat menunjukan atau tidak dapat menunjukannya resep dokter tersebut, serta telah ditegaskan dalam Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang No.5 Tahun 1997.
Jika seseorang tidak dapat menunjukannya maka patut dicurigai terjadi penyalahgunaan obat psikotropika tersebut secara berlebihan dan didapatkan secara tidak sah serta melawan hukum menurut ketentuan Undang-Undang No.5 Tahun 1997. Maka sesorang dapat mempertanggungjawabkan kesalahannya dengan dijatuhi pidana paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Jika seseorang patut diduga memiliki, menyimpan, membawa tanpa hak psikotropika ataupun obat psikotropika dan dapat menunjukan bukti kepemilikannya berupa resep dokter maka orang tersebut lepas dari segala tuntutan. Penggunaan obat psikotropika tanpa menggunakan resep dan petunjuk dokter merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan.
-
2.1.2 Penjatuhan Pidana Rehabilitasi Sebagai Sanksi Pengganti
Dari Sanksi Pidana Penjara Terhadap Penyalahgunaan Psikotropika
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak menyebutkan istilah tindakan. Pidana dan tindakan termasuk sanksi dalam hukum pidana. Sanksi pidana lebih bersifat pembalasan terhadap pelaku kejahatan sedangkan sanksi tindakan lebih brsifat antisipatif dan juga perbaikan terhadap pelaku perbuatan tersebut. Sanksi tindakan terfokus pada upaya memberi pertolongan berupa pembinaan dan perawatan agar seorang pelanggar menjadi lebih baik
yang memilki tujuan relatif dari pemidanaan.12 Sanksi tindakan dapat berupa rehabilitasi bagi para pecandu atau seseorang yang telah ketergantungan dengan psikotropika.
Pelaku tindak pidana penyalahgunaan psikotropika merupakan pecandu yang merupakan korban kejahatan yang dilakukan oleh dirinya sendiri tanpa merugikan orang lain (kejahatan tanpa korban). Pada dasarnya ketentuan tentang rehabilitasi terdapat dalam Pasal 37, 38, 39 Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang psikotropika. Rehabilitasi dibagi menjadi dua jenis yaitu, rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi medis pecandu psikotropika dilaksanakan di rumah sakit yang ditunjuk oleh menteri kesehatan baik rumah sakit swasta maupun rumah sakit pemerintah. Rehabilitasi sosial diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional untuk memulihkan dan mengembalikan kemampuan fisik, mental serta sosialnya.
Rehabilitasi wajib diberikan kepada pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan, hal ini terdapat dalam Pasal 37 UU No.5 Tahun 1997. Dalam Pasal 41 UU No.5 Tahun 1997, menjelaskan dan memperkuat argumentasi bahwa seorang pengguna psikotropika yang menderita ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana psikotropika dapat diperintahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut untuk menjalani pengobatan dan perawatan. Pengobatan dan perawatan yang dimaksud dilakukan pada fasilitas rehabilitasi. Jika kembali melihat pada kasus psikotropika yang dialami oleh Tora Sudiro yakni penggunaan
berlebih serta tanpa izin memiliki dan menyimpan obat dengan kandungan psikotropika telah memenuhi unsur Pasal 41 UU No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Maka langkah yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum telah tepat dan sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh UU No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yakni dengan memberikan rehabilitasi.
Penjatuhan sanksi rehabilitasi sebagai sanksi alternatif dapat ditinjau dari dua aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek perbaikan pelaku. Aspek perlindungan masyarakat meliputi pencegahan, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan keseimbangan masyarakat. Aspek perbaikan pelaku meliputi rehabilitasi dan mengembalikan pelaku kedalam kehidupan sosial bermasyarakat. Penetapan sanksi tindakan (rehabiltasi)tujuan lebih bersifat mendidik. Jika ditinjau dari sudut teori-teori pemidanaan, maka sanksi tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas dan berorientasi pada perlindungan masyarakat.
Penetapan sanksi rehabilitasi menurut teori relatif dari tujuan pemidanaan adalah benar. Dasar pembenar menurut teori relatif terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang berbuat kejahatan tapi agar orang tidak melakukan kejahatan.13 Sudah seharusnya pelaku penyalahgunaan psikotropika dipidana dengan sanksi tindakan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang psikotropika telah memuat aspek-aspek sanksi tindakan berupa rehabilitasi yang seharusnya dapat menjadi sanksi pengganti dari sanksi pidana penjara terhadap penyalahgunaan narkotika.
III Penutup
3.1 Kesimpulan
-
1. Pertanggungjawaban tindak pidana psikotropika jika ditinjau dan dibatasi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika telah memenuhi sifat melawan hukum. Unsur kesalahan yang dilakukan adalah tidak dapat menunjukan bukti kepemilikan obat psikotropika berupa resep dokter yang telah diatur dalam Pasal 62 yang diperjelas dengan Pasal 14 Undang-Undang Psikotropika. Jika tidak dapat menunjukan resep dokter maka seseorang wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya dan sebaliknya jika dapat menunjukan resep dokter tersebut maka ia terbebas dari segala tuntutan
-
2. Rehabilitasi wajib diberikan sebagai pengganti sanksi pidana dalam penyalahgunaan psikotropika. Dasar dari pemberian rehabilitasi adalah teori relatif pemidanaan dan tujuan dari pemidanaan itu sendiri. Rehabilitasi juga tercantum dalam ketentuan Pasal 37, 38, 39 dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang psikotropika.
-
1. Diperlukannya suatu revisi terhadap subtansi hukum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang psikotropika. Terutama mengenai kesalahan dan sifat melawan hukum yang terdapat dalam Pasal 62 sehingga tidak menimbulkan analogi ataupun penafsiran yang lebih luas. Sehingga tercapainya suatu kepastian dalam penegakan hukum secara benar dan adil.
-
2. Diperlukan suatu penekanan mengenai seseorang yang berhak mendapatkan rehabilitasi dalam tindak pidana penyalahgunaan psikotropika sehingga penanggulangan dan pengendalian terhadap penyalahgunaan serta peredaran psikotropika dapat teratasi dengan sistematis.
DAFTAR BACAAN
Buku :
Hartono, C.F.G.Sunaryati, tanpa tahun terbit, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 2, Alumni Bandung.
Huda, Chairul, 2013, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Fajar Interpratama Offset, Jakarta.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2013, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada.
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang. .
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671)
14
Discussion and feedback