TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KERUSAKAN GEDUNG PERWAKILAN DIPLOMATIK

DI WILAYAH KONFLIK

(STUDI KASUS KERUSAKAN GEDUNG DIPLOMATIK REPUBLIK INDONESIA DI YAMAN)

Oleh:

I Gusti Ngurah Artayadi

Putu Tuni Cakabawa Landra**

Made Maharta Yasa***

Program kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRACT

The development of an increasingly advanced international society provides a new perspective so that international relations arise, where the state must have relationship with other countries to do a working relationship. This paper is a normative legal research using the historical approach, the statute approach and the fact approach.

State as subject international law has abilities to make international relationship on society, state or subjects international law. Therefore, the interaction made by the state as the subject of international law to establish relations with other countries is obtained by the acceptance or recognition of other countries.

One of the cases regarding diplomatic agent at conflict areas is military air strikes Arab state and Led of Arab Saudi make that has an impact damage of Embassy Indonesia Republic at Yaman state, it happened at Sanaan City, Yaman.

Keywords: State, Diplomatic Relation, Vienna Convention 1961, United Nation

ABSTRAK

Perkembangan masyarakat internasional yang semakin maju memberikan sudut pandang yang baru sehingga muncul hubungan internasional, dimana negara tidak bisa bekerja individu sehingga negara harus memiliki hubungan dengan negara lain untuk

melakukan suatu hubungan kerja. Penulisan ini menggunakan pendekatan sejarah, peraturan perundang-undangan dan pendekatan fakta. Negara merupakan subyek hukum internasional yang memiliki peran penting untuk melakukan suatu hubungan hukum internasional dalam berbagai kehidupan masyarakat internasional, baik dengan sesama negara maupun dengan negara lainnya.

Oleh sebab itu interaksi yang dilakukan oleh negara sebagai subjek hukum internasional tersebut untuk mengadakan hubungan dengan negara lain diperoleh dengan adanya penerimaan atau pengakuan dari negara lain.

Salah satu kasus mengenai gangguan terhadap perwakilan diplomatik di wilayah konflik bersenjata adalah serangan udara dari pesawat militer koalisi Negara Arab yang dipimpin oleh Arab Saudi yang berdampak pada kerusakan/hancurnya kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yaman. Serangan tersebut terjadi di kota Sanaa, Yaman.

Kata Kunci : Negara, Hubungan Diplomatik, Konvensi Wina 1961, Perserikatan Bangsa – Bangsa

  • I.    PENDAHULUAN

    1.1    LATAR BELAKANG

Negara merupakan subyek-subyek utama dalam hukum internasional. Mengenai istilah “negara” itu sendiri tidak terdapat definisi yang tepat, tetapi dengan melihat kondisi-kondisi modern saat ini, dapat ditentukan karakteristik pokok dari suatu negara.1 Negara juga memiliki kinerja dalam hubungan internasional dalam kehidupan masyarakat internasional, baik dengan negara satu dan negara lainnya. Oleh karena itu interaksi yang dilakukan oleh negara sebagai subjek hukum internasional tersebut untuk mengadakan hubungan dengan negara lain diperoleh dengan adanya penerimaan atau pengakuan eksistensinya sebagai negara oleh masyarakat internasional itu sendiri.

Hubungan internasioal sangat diharapkan dalam suatu negara dalam rangka berinteraksi dengan Negara-negara lain. Interaksi tersebut harus di bina berdasarkan prinsip, persamaan hak-hak menetukan nasib sendiri dengan tidak mencapuri dalam negeri suatu negara, seperti yang tercantum dalampasal 1 ayat (2) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Hukum diplomatik adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antar negara dengan didasarkan atas pemufakatan (consensus) bersama yang kemudian dituangkan dalam instrument-instrumen hukum sebagai hasil dari kebiasaan internasional.2

Suatu negara dalam melakukan penyelenggaraan hubungan tersebut memerlukan suatu alat untuk menjalin hubungan dengan negara lainnya yang nantinya berfungsi sebagai penghubungan kepentingan antar negara yang diwakili dengan negara penerimanya. Alat penghubung tersebut diwujudkan dengan cara membuka hubungan diplomatik dan menempatkan perwakilan (Duta) diplomatik negara pengirim (sending state) pada negara penerima (receiving state).3

  • 1.2    Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut di atas, peneliti dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimana penerapan menegenai perlindungan Hukum terhadap gedung perwakilan diplomatik di wilayah konflik berdasarkan Konvensi Wina 1961?

  • 2.    Bagaimana tanggung jawab Arab Saudi terhadap kerusakan gedung diplomatik Republik Indonesia yang berada di wilayah konflik Yaman?

  • 1.3    Tujuan

Untuk mengetahui penerapan mengenai perlindungan Hukum terhadap gedung perwakilan diplomatik di wilayah konflik berdasarkan Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik.

  • II.    ISI MAKALAH

    2.1    METODE PENELITIAN

Penelitian hukum normatif meliputi penelitian terhadap asas-asas, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto.4 Ada pun jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah jenis penelitian hukum normatif, yang dimana penulis mengkaji pokok permasalahan yang dibahas dengan mengkaitkannya dengan peraturan perundang-undangan dan pendapat-pendapat para sarjana dari berbagai sumber buku yang terkait dengan permasalahan ini, Sebagaimana di mana terdapat dalam Hukum Internasional yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap perwakilan diplomatik di wilayah perang.

  • 2.2    HASIL DAN PEMBAHASAN

    • 2.2.1    Penerapan Mengenai Perlindungan Hukum terhadap Gedung Perwakilan Diplomatik di Wilayah Konflik

Kekebalan dan Keistimewaan Gedung Perwakilan Diplomatik dan tempat kediaman yang di atur dalam Konvensi Wina 1961 telah dicantumkan peraturan-peraturan mengenai pengakuan secara universal tentang kekebalan diplomatik yang meliputi tempat kediaman dan tempat kerja atau kantor perwakilan pejabat diplomatik.5 Sesuai dengan Pasal 22 dan 30 Konvensi Wina 1961 sebagai berikut.

Pasal 22

  • (1)    The premises of the mission shall be inviolable. The agents of The receiving state is under a special duty to take all approhead of the mission.

  • (2)    Receiving state may not enter them, except with the consent of priate to protect the premises of mission against any intrusion or damage and to prevent any disturbance of the peace of the mission impairment of its dignity.

  • (3)    The premises of mission, their furnishing and other property there on and the means on transport of the transport of the mission shall be immune from search, requisition, attachment or execution.

Pasal 30 Ayat 1

(1) The private residence of a diplomatic agent shall enjoy the same inviolability and protections and the premises of the mission.6

Dapat disimpulkan bahwa, setiap agen diplomatik mendapatkan hak kekebalan dan hak keistimewaan gedung maupun prabotan dan property lainnya di negara penerima, hak kekebalan dan hak keistimewaan tersebut hanya diberikan kepada pejabat luar negeri dan negara penerima mungkin tidak bisa memasukkan mereka, kecuali dengan persetujuan para pihak penerima yang lain.

Adapun maksud dari kekebalan dan keistimewaan tersebut, setiap orang berhak mendapatkan hak istimewa dan menikmati hak kekebalan (immunities) yang didapat oleh agen diplomatik pada saat memasuki wilayah negara penerima dan melanjutkan untuk mengambil hak istimewa dan hak kekebalan yang didapatkan dari negara penerima, atau jika sudah dalam wilayah, dari saat ketika itu janji diberitahukan kepada Departemen Luar Negeri lain atau Departemen yang akan disepakati. Hak istimewa dan kekebalan diplomatik akan tetap berlaku saat diplomat masih menjalankan tugasnya di negara penerima dan akan terlepas dari hak istimewa dan kekebalan pada saat sudah menyelesaikan tugasnya di negara penerima.7

Hak untuk tidak diganggu-gugatnya (the right of inviolability) adalah mutlak guna melaksanakan fungsi perwakilan asing secara layak. Hak semacam itu diberikan kepada para diplomat, gedung perwakilannya, arsip-arsip serta dokumen lainnya. Hak yang sama

juga diterapkan pada tempat kediaman para diplomat yang kemudian dikenal sebagai franchise de I’hotel termasuk juga surat-surat dan korespondensi.8

Secara jelas di dalam Konvensi Wina 1961 pasal 1  (i)

memberikan batasan bahwa “Gedung Misi” merupakan bangunan atau bagian dari bangunan dan tanah yang menyokongnya, tak memandang pemiliknya, dipergunakan untuk tujuan-tujuan misi termasuk tempat kediaman kepala misi.

Kelalaian dan kegagalan negara penerima dalam memberikan perlindungan terhadap kekebalan diplomatik merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap ketentuan konvensi, oleh karenanya negara penerima wajib bertanggung jawab atas terjadinya hal yang tidak menyenangkan tersebut. Kelalaian dan kegagalan tersebutlah yang akhirnya memunculkan tanggung jawab tersendiri yang dikenal sebagai “Pertanggungjawaban Negara”.9

Salah satu yang dapat saja terjadi terhadap kekebalan diplomatik yaitu perlakuan atau kegiatan yang tidak menyenangkan dari pihak negara penerima dimana perwakilan diplomatik tersebut ditempatkan. Apabila hal ini terjadi, maka Negara pengirim dapat mengajukan keberatan kepada negara penerima (receiving state) dan negara penerima wajib bertanggung jawab sepenuhnya atas hal tersebut.10

Kedutaan berfungsi sebagai kedudukan resmi yang bertugas menjalankan misi-misi perwakilan dari negara pengirim ke negara penerima. Perlindungan terhadap gedung kedutaan menjadi suatu

masalah yang sangat sering dibicarakan. Gedung kedutaan sendiri memiliki kekebalan yang telah diakui oleh negara-negara yang melakukan hubungan diplomatik. Kekebalan terhadap kedutaan sendiri meliputi gedung perwakilan, lingkungan dalam perwakilan maupun lingkungan luat perwakilan, selain itu kantor/perwakilan kedutaan di luar negeri tidak boleh dimasuki oleh pejabat-pejabat dari negara penerima secara sembarangan tanpa persetujuan dari perwakilan kedutaan. Sehingga negara penerima wajib menjaga ketentraman dari setiap pejabat-pejabat diplomatik yang berada di wilayah kedutaan tersebut.11

Kedutaan merupakan suatu wilayah ekstrateritorial negara lain yang berdiri dan tidak tunduk pada hukum yang berlaku di negara tersebut tetapi tunduk pada hukum negara dari kedutaan itu sendiri, perlindungan ini bertitik tolak pada prinsip bahwa wisma-wisma perwakilan/gedung-gedung kedutaan tidak boleh diganggu gugat dan oleh karena itu negara penerima memiliki kewajiban untuk melindunginya.12

  • 2.2.2    Tanggung Jawab Negara Arab Saudi terhadap Kerusakan Gedung Diplomatik Republik Indonesia yang Berada di Wilayah Konflik Yaman

Pertanggungjawaban berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas suatu hal yang terjadi dan kewajiba untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya. Menurut hukum internasional pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara itu merugikan negara lain.13

Pertanggungjawaban negara secara Internasional dapat dituntut, tetapi harus diketahui terlebih dahulu perbuatan negara apa yang termasuk sebagai perbuatan melawan hukum internasional dan juga unsur-unsur perbuatan melawan hukum tersebut.

Tanggung jawab negara muncul sebagai akibat dari prinsip persamaan dan kedaulatan dan kedaulatan negara yang terdapat dalam hukum internasional. Prinsip ini kemudian memberikan kewenangan bagi suatu negara yang terlanggar haknya untuk menuntut respirasi.14 Suatu negara dapat dikatakan bertanggung jawab apabila negara tersebut melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional, melanggar kedaulatan negara lain, menyerang negara lain, mencederai perwakilan diplomatik negara lain serta memperlakukan warga asing dengan seenaknya.

Pertanggungjawaban negara (State Responsibility) merupakan seperangkat aturan internasional yang mengatur mengenai konsekuensi hukum pelanggaran kewajiban internasional negara-negara. Kewajiban internasional ini bersumber dari traktat, hukum kebiasaan internasional, keputusan pengadilan, dan hal lainnya. Jadi pertanggungjawaban negara di sini adalah tindakan-tindakan yang dinyatakan salah secara internasional. Maksudnya bahwa analisa terakhir pertanggungjawaban negara ditentukan oleh norma-norma internasional dan tergantung pada hukum internasional, sejauh mana tindakan atau kelalaian negara dianggap melanggar hukum.15

Dengan kata lain, perbuatan melawan hukum internasional adalah setiap perbuatan negara yang disengaja maupun tidak disengaja yang melanggar hukum internasional atau melanggar

kewajiban dan merugikan hak negara lain. Menurut Shaw, yang menjadi karakteristik penting adanya tanggung jawab negara ini bergantung kepada faktor-faktor dasar, sebagai berikut:16

  • 1.    Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu.

  • 2.    Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara,

  • 3.    Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian.

Jadi secara tersirat Malcolm N. Shaw menyatakan bahwa suatu negara jika ingin dimintai pertanggungjwaban harus dapat memenuhi 3 unsur yang harus dilakukan. Pertama, yaitu harus terdapat kewajiban internasional yang mengikat pada negara yang akan dimintakan pertanggungjawaban. Kedua, adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang mengakibatkan dilarangnya suatu kewajiban internasional suatu negara yang kemudian menimbulkan tanggung jawab bagi negara tersebut. Terakhir adalah adanya kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan yang merugikan yang diperbuat oleh negara tersebut. Kesimpulan dari ke 3 karakteristik di atas dapat di simpulkan suatu negara hendak dimintai pertanggungjawaban harus memenuhi unsur tersebut dan apabila negara tidak memenuhi unsur tersebut maka negara tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya.17

Bahwa setiap perbuatan melawan hukum internasional oleh negara akan menimbulkan tanggung jawab negara secara internasional.18 Brownlie menyatakan bahwa yang dikatakan dengan perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan yang melanggar perjanjian internasional dan melanggar kewajiban hukum.19 Prinsip pertanggungjawaban negara terdapat (subjective responsibility) atau (liability based on fault). Dalam kasus pertanggungjawaban negara Negara Arab Saudi terhadap kerusakan gedung Diplomatik RI di Yaman, dinyatakan bahwa pertanggungjawaban tersebut merupakan liability based on fault karena terdapat kelalaian dan adanya unsur-unsur kesalahan yang dilakukan oleh Negara Arab Saudi.

Sebelum tahun 1960-an hampir tidak ada permasalahan mengenai perlindungan terhadap para diplomat. Namun, setelah itu keadaan berubah drastis. Hubungan diplomatik antar negara sering dirusak oleh tindakan-tindakan penculikan, pembunuhan, dan serangan terhadap misi-misi diplomatik. Dalam beberapa hal diplomat dijadikan sasaran karena statusnya sebagai wakil dari negara-negara dengan kebijakan-kebijakan tertentu atau sebagai tekanan terhadap pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan politik ataupun juga untuk merusakkan kredibilitas pemerintah yang sah.20 Begitu juga dalam kasus kerusakan gedung konsulat yang menyebabkan perwakilan diplomatik mengalami luka-luka.

  • III. PENUTUP

  • 3.1    Kesimpulan

Pengaturan mengenai perlindungan gedung diplomatik terdapat pada Pasal 22 Konvensi Wina 1961, negara penerima bukan saja mempunyai kewajiban untuk melindungi gedung perwakilan diplomatik, tetapi juga keadaan dilingkungan yang berada di luar gedung. Pemerintah Arab Saudi wajib bertanggungjawab atas insiden serangan yang dilakukan oleh pasukan militernya yang menyebabkan hancurnya kantor kedutaan besar Republik Indonesia di Yaman karena telah memenuhi unsur yang menyebabkan lahirnya tanggung jawab negara yang diantaranya adanya perbuatan atau kelalaian (act mission) yang dapat dipertanggungjawabkan kepada suatu negara, dan perbuatan atau kelalaian tersebut merupakan suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, baik kewajiban itu lahir dari perjanjian maupun dari sumber hukum internasional lainnya.

  • 3.2    Saran

Dalam hak kekebalan dan keistimewaan gedung perwakilan diplomatik, Konvensi Wina 1961 Pasal 1 (i) secara jelas memberikan batasan bahwa gedung perwakilan merupakan gedung-gedung dan bagian-bagiannya dan tanah tempat gedung itu didirikan. Dalam rangka menindak lanjuti tuntutan pertanggungjawaban Arab Saudi, Arab Saudi wajib memberikan kompensasi terhadap Indonesia atas kerusakan yang di perbuat oleh pasukan militer Arab Saudi. Pemerintah Indonesia sebaiknya menggunakan cara penyelesaian diplomatik melalui negosiasi dengan pertimbangan agar hubungan bilateral kedua Negara tetap baik. Apabila cara ini belum memberikan

hasil, dapat saja Pemerintah Republik Indonesia lebih tegas dalam menyelesaikan masalah ini dengan membawa permasalahan ini ke jalur hukum secara litigasi ke Mahkamah Internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Sumaryo Suryokusumo, 2005, Teori dan Kasus Hukum Diplomatik, Alumni, Bandung.

Setyo Widagdo dan Hanif Nur W, 2008, Hukum Diplomatik dan Konsuler, Bayumedia Publishing, Malang.

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja GrafindoPersada, Jakarta.

https://tyokronisilicus.wordpress.wordpress.com/2010/04/17/keisti mewaan-dan-kekebalan-diplomatik-menurut-hukum-internasional-tinjauan-yuridis-konvensi-wina-1961.

Pasal 39 ayat 1 KonvensiWina 1961.

Kadek Anggisita Mahadewi, 2017, Penyalahgunaan Hak Kekebalan Dan Keistimewaan Oleh Pejabat Diplomatik Arab Saudi Terhadap Pelayanan Pribadinya di Jerman, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Febi Hidayat, 2010, Pertanggungjawaban Atas Pelanggaran Hak Kekebalan Diplomatik Ditinjau Dari Aspek Hukum Internasional (Studi Kasus Penyadapan KBRI di Mynmar Tahun 2004), Universitas Andalas.

Adhitya Apris Setyawan, 2013, Perlindungan Terhadap Wilayah Kedutaan Negara Asing Sebagai Implementasi Hak Kekebalan Dan Keistimewaan Diplomatik.

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional Komtemporer, PT. Refika Adhitama, Bandung.

JG Starke, 1989, Introduction to International Law, Butterworths, London.

http://nizarfikkri.com/2011/12tinjauan-yuridis-terhadap-kekebalan.html, diakses tanggal 12 Februari 11.23.

Article of Draft Articles: “Every Internationally wrongful act of State entails the international responsibility on that state.”

Ian Brownlie, Principles Of Public International Law, 9th Edition (Oxford: Clarendon Press, 2008).

Satow’s guide to Diplomatic Practice, 5th , ed. (London: Longman Group Ltd, 1979) h.176-177 terkutip dalam Syahmin.

15