PEMBERIAN BANTUAN HUKUM TERHADAP ORANG MISKIN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

Oleh:

Putu Chahya Wahyudi Ida Bagus Wyasa Putra

Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Pemberian bantuan hukum terhadap masyarakat merupakan kewajiban negara dalam rangka penghormatan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Hal mana perlindungan HAM merupakan salah satu ciri negara hukum termasuk pula negara Indonesia. Bantuan hukum secara cuma-cuma berhak diberikan kepada orang atau kelompok orang miskin untuk memberikan akses yang sama bagi golongan miskin untuk memperoleh keadilan di bidang hukum. Bantuan hukum kepada masyarakat miskin diatur dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Beranjak dari latar belakang tersebut maka rumusan masalah yang ingin dibahas adalah mengenai kriteria miskin yang menjadi parameter pemberian bantuan hukum serta bagaimana hak pelaku memperoleh bantuan hukum cuma-cuma dalam sistem peradilan pidana.

Tujuan dari kajian ini adalah demi menciptakan kepastian hukum dalam pemberian bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana yang miskin. Metode yang digunakan dalam pembahasan adalah normatif dengan bahan hukum yang diolah dan dianalisis dengan deskriptif analisis.

Adapun simpulan dari pembahasan ini adalah kriteria dalam frase miskin belum jelas sehingga menimbulkan kerancuan dalam penerapannya. Simpulan kedua bahwa bantuan hukum cuma-cuma terhadap pelaku pidana yang tergolong miskin tidak menyeluruh. Hanya pelaku yang diancam dengan minimal 5 tahun penjara yang diberikan bantuan hukum cuma-cuma.

Kata Kunci: Bantuan Hukum, Orang Miskin, Sistem Peradilan Pidana

Abstract

Providing legal assistance to the community is a state obligation in respect of and protection of human rights (HAM). This is where the protection of human rights is one of the characteristics of the rule of law including the state of Indonesia. Free legal aid is entitled to be given to persons or groups of the poor to provide equal access for the poor to obtain justice in the legal field. Legal aid to the poor is regulated in Law no. 16 Year 2011 on Legal Aid. Moving from

the background then the formulation of the problem to be discussed is about the poor criteria that become the parameters of providing legal aid and how the rights of the perpetrators obtain free legal assistance in the criminal justice system.

The purpose of this study is to create legal certainty in the provision of legal assistance to the perpetrators of criminal acts are poor. The method used in the discussion is normative with legal material that is processed and analyzed with descriptive analysis.

As for the conclusion of this discussion is the criteria in the poor phrase is not clear so as to cause confusion in its application. The second conclusion that free legal aid to criminal offenders who are categorized as poor are not comprehensive. Only perpetrators are threatened with a minimum of 5 years in prison provided free legal assistance.

Keywords: Legal Aid, Poor People, Criminal Justice System

  • I.    Pendahuluan

    I.1.    Latar belakang masalah

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) secara eksplisit mengamatkan bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum (pasal 1 ayat (3)). Pasal a quo memberikan penegasan bahwa negara hukum merupakan jati diri atau hakikat keberlangsungan suatu negara (Indonesia). Melalui ranah ilmu negara dapat dipahami bahwa dalam sebuah konsep negara hukum terkandung beberapa prinsip yang menjadi acuan untuk dapat disebut sebagai negara hukum.1 Julius Stahl mengungkapkan bahwa pengakuan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan salah satu parameter agar sebuah negara dapat disebut sebagai negara hukum.

UUD NRI 1945 merupakan landasan konsitusional Negara Indonesia. Melalui UUD NRI 1945 amandemen ke-4 maka diatur jaminan atas hak asasi manusia merupakan hak setiap warga negara. Perihal hak asasi manusia diatur dalam Pasal 28A-28J UUD NRI 1945. Salah satu wujud hak asasi manusia yang dijamin oleh negara adalah hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D). Pengejewantahan hak tersebut maka dibentuklah Undang-Undang Tentang Bantuan Hukum yang mengatur hak orang miskin untuk memperoleh bantuan hukum. Bantuan hukum merupakan jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum. Adapun penerima bantuan hukum dimaksud adalah orang atau kelompok orang miskin, begitu pula pemberi bantuan hukum dimaksud adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum.

Pemberian bantuan hukum kepada orang atau kelompok orang miskin yang berhadapan dengan masalah hukum didasarkan pada hak konstitusional setiap warga negara untuk memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality). Sudah selayaknya setiap orang yang memiliki permasalahan di bidang hukum memiliki akses untuk memperoleh keadilan (acess to justice) yang diwujudkan melalui bantuan hukum. Akses untuk memperoleh keadilan tidak terkecuali terhadap masyarakat yang tergolong orang atau kelompok orang miskin.2

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka akan dilakukan sebuah tinjauan yuridis yang membahas tentang bantun hukum yang diberikan kepada orang miskin dalam sistem peradilan pidana.

  • I.2.    Rumusan masalah

Beranjak dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka terdapat beberapa masalah yang akan dikaji sehingga diperoleh kesimpulan yang memiliki nilai ilmiah. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas antara lain:

  • 1.    Apakah kriteria orang miskin untuk memperoleh hak atas bantuan hukum?

  • 2.    Bagaimana hak orang miskin atas bantuan hukum dalam sistem peradilan pidana?

  • II.    Isi makalah

    2.1.    Metode

Kajian dalam tulisan ini merupakan kajian/penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian dari perspektif internal dengan obyek penelitiannya adalah norma hukum.3 Dalam tulisan ini akan dipakai beberapa pendekatan antara lain pendekatan Peraturan Perundang-Undangan yang terkait dengan obyek pembahasan (statue approach) serta pendekatan konsep “orang miskin’ dan konsep lain terkait obyek pembasahan

(conseptual approach).4 Adapun bahan primer diperoleh melalui Peraturan Perundang-Undangan terkait dengan hak orang miskin atas bantuan hukum dalam sistem peradilan pidana, sedangkan bahan hukum sekunder diperoleh dari buku dan literatur penunjang lainnya. Bahan yang diperoleh akan dianalisa dengan beberapa teknik anatara lain teknik deskripsi, komparasi, evaluasi serta argumentasi. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah diperolehnya sebuah kesimpulan mengenai keberlakuan peraturan yang menjadi dasar hukum pemberian bantuan hukum terhadap orang miskin dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

  • 2.2.    Hasil dan Analisis

    2.2.1.    Pengaturan bantuan hukum terhadap orang miskin

Bantuan hukum merupakan jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. Jasa dimaksud meliputi kegiatan menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum, dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa bantuan hukum melingkupi kegiatan tersebut di atas dalam proses peradilan (litigasi) maupun di luar proses peradilan (non litigasi).

Sejalan dengan ide dari pengaturan dalam UUD NRI 1945 bahwa Pemberian bantuan hukum dimaksudkan untuk membantu rakyat tanpa terkecuali orang miskin untuk memperoleh akses keadilan di bidang hukum.

Diberikannya bantuan hukum guna menjamin serta melindungi hak asasi manusia setiap warga negara termasuk orang miskin. Mengacu kepada Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia bahwa hak asasi manusia merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta harkat dan martabat manusia. Sehingga pemenuhan akan hak asasi manusia memerlukan sebuah sistem yang integral antara negara, hukum, pemerintah serta setiap orang. Negara melalui pemerintah, dimana pemerintah terdiri dari beberapa jenis kekuasaan (eksekutif, legislatif serta yudikatif) wajib bersama-sama membentuk, melaksanakan serta menegakkan hukum yang yang beraspek hak asasi manusia.

Mengingat hak asasi manusia merupakan bentuk hak yang sempurna. Lili Rasjidi memberikan pengertian tentang hak yang sempurna sebagai hak yang ditandai dengan pemenuhan kewajiban yang sempurna pula. Sedangkan kewajiban yang sempurna adalah kewajiban yang bukan saja diatur, melainkan dapat dipaksakan oleh hukum.5 Jaminan atas hak asasi manusia terkhusus di bidang hak memperoleh bantuan hukum menjadi kewajiban pemerintah, lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang.

Lebih mengkhusus mengenai bantuan hukum diatur dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum (selanjutnya disebut Undang-Undang Bantuan Hukum) dengan peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum. Bantuan hukum dimaksud merupakan hak dari orang miskin untuk memperoleh akses memperoleh keadilan sekaligus kewajiban negara mendukung program bantuan hukum kepada orang atau kelompok orang miskin dengan cara dibiayai APBN. Kiranya sejalan dengan pandangan keadilan sebagai penekanan muara dari hukum itu sendiri di samping kemanfaatan serta kepastian. Keadilan menjadi sebuah landasan yang kuat sejalan dengan prinsip hukum kesamaan di hadapan hukum (equality before the law) yang harus dijunjung oleh sebuah negara hukum. Secara faktual, orang miskin atau kelompok orang miskin memiliki perbedaan mendasar di bidang ekonomi (kesejahteraan sosial). Keadaan tersebut berimplikasi pada ketidakmampuan untuk memberikan honorarium atau menyewa jasa seseorang untuk melakukan tindakan hukum. Jelas dapat dipahami bahwa dengan program bantuan hukum secara cuma-cuma, diharapkan orang atau kelompok orang miskin tetap mendapatkan akses untuk memperoleh keadilan di bidang hukum.

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Bantuan Hukum diatur ruang lingkup bantuan hukum meliputi pengaturan tentang penerima bantuan hukum adalah orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak

dasar secara layak dan mandiri. Selanjutnya pada ayat (2) diatur bahwa Hak dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan. Mencermati konsep “orang miskin” dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata “miskin” diartikan sebagai tidak berharta; serba kekurangan. Ditinjau dari Undang-Undang No. 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin Pasal 1 angka 1 sebagai berikut:

‘Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya”.

Berdasarkan beberapa pandangan mengenai fakir miskin/orang atau kelompok orang miskin dimaksud maka dapat diperhatikan bahwa lingkup miskin sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Bantuan Hukum hanyalah orang-orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara layak dan mandiri. Adapun kebutuhan dasar dimaksud meliputi pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan. Hal mana ketidakmampuan secara ekonomi tersebut dibuktikan dengan surat keterangan miskin dari Lurah, Kepala Desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal Pemohon Bantuan Hukum.

Lurah atau Kepala Desa tentu saja memegang peranan penting dalam hal ini guna menentukan apakah layak atau tidak dikeluarkannya surat keterangan miskin atas salah satu warganya yang mengajukan permohonan. Undang-

Undang Bantuan Hukum, Undang-Undang No. 13 Tahun 2011 Penanganan Fakir Miskin maupun peraturan pelaksanaannya tidak memberikan parameter yang jelas mengenai kualifikasi seseorang untuk dapat dikategorikan miskin atau tidak.6

Apabila parameter miskin diletakkan pada kehidupan sehari-harinya atau pada lantai rumah pemohon tentunya akan menimbulkan permasalahan obyektifitas surat keterangan yang dikeluarkan. Perihal aset atau kekayaan dalam bentuk aset pemohon hanya dapat diketahui dengan penelusuran mendalam. Meskipun secara fakta seseorang dinilai miskin dari parameter disebutkan tadi namun dapat saja aset yang dimiliki atau misalnya sudah diwariskan kepada anaknya namun si anak masih berada dalam satu rumah (tinggal bersama), jelas akan menimbulkan kesulitan bagi Lurah atau Kepala Desa untuk menentukan keputusan layak atau tidaknya surat keterangan miskin dikeluarkan.

Selanjutnya dalam Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum diatur:

“Dalam hal Pemohon Bantuan Hukum tidak memiliki surat keterangan miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a, Pemohon Bantuan Hukum dapat melampirkan Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat, Bantuan Langsung Kartu Beras Miskin, atau dokumen lain sebagai pengganti surat keterangan miskin”.

Dari ketentuan pengaturan tentang kriteria miskin dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait memberikan batasan bahwa maksud dari orang atau

kelompok orang miskin dimaksud merupakan sebuah kondisi yang parameternya ditentukan dari segi ekonomis. Jika diteliti lebih lanjut maka kemiskinan merupakan fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Kemiskinan jelas tidak sesuai dengan salah satu tujuan negara Indonesia sebagaimana alinea ke-4 Pembuakaan UUD NRI 1945 yaitu memajukan kesejahteraan umum.

Pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin pada hakekatnya bertujuan untuk memberikan keadilan di bidang hukum atas ketidakadilan dari segi ekonomi. Guna mengedepankan hak asasi manusia khususnya hak atas bantuan hukum agar tercipta kesejahteraan umum maka semestinya bantuan hukum bukan hanya diberikan kepada korban ketidakadilan ekonomi, namun seharusnya diperluas terhadap korban ketidakadilan struktur sosial. Dimaksudkan di sini adalah golongan masyarakat yang rentan memperoleh ketidakadilan di bidang struktur sosial masyarakat yang mampu menjadi sebab ketiadaan akses untuk memperoleh keadilan. Sejalan dengan pendapat Adnan Buyung Nasution bahwa bantuan hukum pada hakikatnya adalah program yang tidak hanya merupakan aksi kultural akan tetapi juga aksi struktural yang diarahkan pada perubahan tatanan masyarakat yang tidak adil menuju tatanan masyarakat yang lebih mampu memberikan nafas yang nyaman bagi golongan minoritas.7 Ketimpangan secara struktural dapat saja terjadi dalam tatanan/struktur masyarakat sehingga membentuk kaum atau golongan yang sangat rentan memperoleh

permasalahan atau ketidakadilan di bidang hukum (contoh: buruh, petani, perempuan, anak, dll).

Berdasarkan pertimbangan filosofis, sosiologis serta yuridis maka pengaturan bantuan hukum yang menjadi hak orang atau kelompok orang miskin yang secara gramatikal merupakan miskin secara ekonomi selayaknya diperluas menjadi miskin secara struktural demi mewujudkan masyarakat yang sejahtera materill maupun spiritual.

  • 2.2.2.    Bantuan hukum terhadap orang miskin dalam sistem peradilan pidana

Sitem peradilan pidana menurut Rusli Muhammad merupakan jaringan peradilan yang bekerja sama secara terpadu di antara bagian bagiannya untuk mencapai tujuan tertentu baik jangka pendek maupun jangka panjang.8 Sejalan dengan itu Mardjono Reksodipoetra memberikan batasan terhadap sistem peradilan pidana sebagai sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyaratan terpidana.9 Beranjak dari definisi tersebut di atas, Mardjono mengemukakan tujuan dari sistem peradilan pidana adalah:10

  • 1.    Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

  • 2.    Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegaskan dan yang bersalah pidana.

  • 3.    Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Secara singkat dapat diilhami bahwa sistem peradilan pidana dimaksud merupakan satu kesatuan sistem yang terdiri dari beberapa subsistem lembaga dimana semua subsistem dimaksud memiliki tugasnya masing-masing yang saling terkait satu dengan yang lain dengan tujuan untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi. Melihat perkembangan sistem peradilan pidana di dunia, bahwa sistem peradilan pidana pada awalnya diterapkan dengan tujuan ketertiban (order). Sistem peradilan pidana seperti ini terjadi pada di

Amerika, dimana demi mewujudkan ketertiban maka perlindungan  terhadap hak  asasi  manusia  menjadi

terkesampingkan. Perolehan keterangan pelaku ataupun tersangka pada tingkat penyidikan dilakukan dengan kekerasan tanpa memperhatikan hak-hak pelaku. Pada perkembangannya muncul kritikan serta bentuk sistem peradilan pidana yang lebih memperhatikan hak asasi manusia dikenal dengan sistem due procces model berdasarkan perlindungan serta penghormatan hak asasi manusia maka terhadap pelaku dalam status tersangka maupun terdakwa diberlakukan asas presumption of innocent (praduga tidak bersalah). Pergeseran bentuk sistem peradilan pidana tersebut juga diterapkan di Indonesia melalui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Dianutnya Due Proccess model dalam sistem peradilan pidana di Indonesia memberikan pengaruh yang kuat dalam normative serta pelaksanaan proses peradilan pidana dimana

pelaku dan korban sama-sama dianggap sebagai manusia. Kebenaran materiil (pidana) menjadi tujuan dari proses demi menciptakan keadilan senantiasa diperoleh dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia sepanjang belum memperoleh putusan pengadilan yang inkrah. Salah satu derivasi dari penerapan due process model adalah pemberian hak atas bantuan hukum terhadap pelaku dalam semua tahap atau proses peradilan pidana (criminpal justice process).

Secara normatif dapat diperhatikan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 56 ayat (1) dan (2) sebagai berikut:

“Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka”.

Selanjutnya ayat (2) Pasal 56 secara eksplisit ditentukan bahwa:

“Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.”

Secara gramatikal dapat dipahami bahwa bantuan hukum secara cuma-cuma hanya dimungkinkan diperoleh oleh pelaku yang tidak mampu yang melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman minimal lima tahun. Ketika kembali lagi pada pengertian bantuan hukum sebagaimana tertuang pada Undang-Undang Bantuan Hukum maka orang miskin yang berhak memperoleh bantuan hukum cuma-cuma, dalam KUHAP dikecualikan lagi apabila ancaman hukuman atas tindak pidana yang dilakukan kurang dari lima tahun.

Rancunya pengaturan mengenai bantuan hukum sebagai hak orang miskin yang berhadapan dengan hukum ksususnya pelaku dalam sistem peradilan pidana membuat problematik dalam tataran normatif maupun pelaksanaannya. Mengacu pada pendapat Gustaf Radbruch bahwa tujuan hukum seyogyanya menuju pada keadilan, kemanfaatan serta kepastian hukum, dalam penerapan sistem peradilan pidana, bahkan pelaku (orang miskin)-pun belum memenuhi prinsip keadilan dimaksud. Dimana pelaku yang ancaman pidananya kurang dari lima tahun, meskipun miskin tetap saja tidak memperoleh bantuan hukum cuma-cuma, dalam pemahaman seperti ini maka dapat dikatakan bahwa peran negara untuk mewujudkan kesamaan kesempatan memperoleh keadilan melalui bantuan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Bantuan Hukum tidak menjangkau bagi pelaku apabila ancaman hukumannya kurang dari lima tahun.

Pembaharuan hukum termasuk pula hukum acara pidana perlu dilakukan demi menjamin kepastian hukum bagi pelaku yang tergolong orang miskin dimana tindak pidana yang dilakukannya kurang dari lima tahun. Pembaruan hukum pidana tidak mengutamakan perlindungan kepentingan pelanggar saja dan mengabaikan kepentingan korban, atau mengutamakan perlindungan kepentingan korban dan mengabaikan kepentingan pelanggar.11

  • III.    Penutup

    3.1.    Kesimpulan

Beranjak dari kajian yang telah dipaparkan sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

  • 1.    Kriteria orang miskin untuk memperoleh hak atas bantuan hukum diatur dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum bahwa orang miskin dimaksud adalah tidak dapat memenuhi hak dasar (hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan) secara layak dan mandiri. Kata “layak” masih menimbulkan kerancuan dalam praktiknya sehingga masih menjadi kendala dalam pemberian bantuan hukum terhadap orang atau kelompok miskin berdasarkan undang-undang.

  • 2.    Sistem peradilan Pidana Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 yang menganut due process model. Dianutnya due procces model berimplikasi pada dijaminnya hak asasi manusia dalam semua tahap peradilan pidana termasuk hak pelaku. Salah satu hak pelaku yang dijamin dalam Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana adalah hak atas bantuan hukum, hanya saja diatur bahwa pelaku yang berhak untuk memperoleh bantuan hukum hanyalah orang miskin yang melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman di atas lima tahun. Tentunya terdapat pengecualian terhadap pelaku dengan ancaman hukuman kurang dari lima tahun padahal berdasarkan Undang-Undang Bantuan Hukum seharusnya orang miskin tanpa terkecuali berhak atas bantuan hukum cuma-cuma.

  • 3.2.    Saran

Berdasarkan simpulan yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat dikemukakan saran yang tertuju kepada Badan Legislatif yang secara fungsi memang memiliki tujuan untuk membentuk peraturan perundang-undangan.

  • 1.    Frase “orang miskin” dalam Undang-Undang Bantuan Hukum perlu diperjelas secara gramatikal sehingga tidak menimbulkan kerancuan atau bahkan multitafsir dalam penerapannya. Hasil dari pengaturan tentang bantuan hukum terhadap orang atau kelompok miskin diharapkan dapat berjalan secara efektif.

  • 2.    Mengingat bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana merupakan produk hukum yang diwariskan dari zaman Kolonial Belanda yang perlu untuk disempurnakan agar mengikuti dinamika hukum Nasional. Perkembangan hukum Internasional dan Nasional Indonesia menyebabkan perlunya dilakukan sinkronisasi peraturan mengenai bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana dalam setap proses peradilan pidana agar tercipta keadilan serta kepastian hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana Konsep, Komponen & Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran, Bandung.

Diantha, I Made Pasek, 2016, Metodelogi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum, Prenada Media Group, Jakarta.

Ida Bagus Wyasa Putra, 2015, Analisis Konteks dalam Epistemologi Ilmu Hukum; Suatu Model Penerapan Dalam Pengaturan

Perdagangan  Jasa  Pariwisata Internasional Indonesia,

Universitas Udayana, Denpasar.

Putra, Ida Bagus Wyasa, 2015, Filsafat Ilmu Filsafat Ilmu Hukum, Udayana University Press, Denpasar.

_____, 2016, Teori Hukum dengan Orientasi Kebijakan, Udayana University Press, Denpasar, hlm.166.

_____, 2017, Kemiskinan Sebagai Masalah Bersama Umat Manusia dalam Program CBD Bali Sejahtera, Plawasari, Denpasar.

Muhammad, Rusli, 2011, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press, Yogyakarta.

Pangaribuan, Luhut, 2013, Hukum Acara Pidana: Suarat Resmi Adokat di Pengadilan, Papas Sinar Sinanti, Jakarta.

Rasjidi, Lili dan Rasjidi, Ira Thania, 2002, Pengantar Filsafat Hukum, Penerbit Mandar Maju, Bandung.

Winarta, Frans Hendra, 2009, Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum,  PT.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Jurnal elektronik

Abdurrachman, Hamidah, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Sebagai Implementasi Hak-Hak Korban, JURNAL HUKUM NO. 3 VOL. 17 JULI 2010: 475 – 49

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin

17