PENYUAPAN SEBAGAI BENTUK GRATIFIKASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh :

I Gusti Agung Satria Wedantha Anak Agung Ari Atu Dewi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRACT

This paper is entitled “The Abuse of Gratification which can be classified as Criminal Act of Bribery”. The background of this writing is the multitude of gratification received by state administrators/ officials which resulted in the criminal act of bribery. The aim of this paper is to determine the legal acts of receiving gratification which can be classified as the criminal act of bribery and to find out the way so receiving gratification can not be classified as criminal act of bribery. In this paper we use normative legal method which its solution is based on literature and the legislation. The conclusion of this paper is that Gratification which can be classified as criminal act of bribery is when the gratification is given to the state administrators/officials which is associated with their positions, and the receiving of gratification is in contrast with their obligations. In order that the gratification is not considered as the criminal act of bribery, the receiver should submit the report to Corruption Eradication Commission at the latest of 30 days after receiving the gratification.

Key words: gratification, criminal act of bribery.

ABSTRAK

Makalah ini berjudul “Penyuapan Sebagai Bentuk Gratifikasi Dalam Tindak pidana Korupsi”. Latar belakang penulisan ini adalah banyaknya gratifikasi yang diterima oleh penyelenggara negara / pejabat yang menimbulkan terjadinya tindak pidana korupsi suap. Tujuan penulisan ini adalah untuk menentukan perbuatan hukum menerima gratifikasi yang dapat digolongkan tindak pidana korupsi suap dan mengetahui cara agar menerima gratifikasi tidak dikatakan tindak pidana korupsi suap. Dalam penulisan ini digunakan metode hukum normatif yang pemecahan masalahnya didasarkan pada literature dan perundang-undangan. Kesimpulan dalam penulisan ini adalah gratifikasi yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi suap bilamana gratifikasi tersebut diberikan kepada penyelenggara negara / pejabat yang berhubungan dengan jabatannya. Penerimaan gratifikasi tersebut berlawanan dengan kewajibannya. Agar gratifikasi tidak dianggap sebagai tindak pidana korupsi suap, penerima harus menyampaikan laporan kepada Komisi Pemberantas Korupsi, selambatnya 30 hari setelah menerima gratifikasi tersebut.

Kata kunci : gratifikasi, tindak pidana, korupsi

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Sudah bukan rahasia lagi bila ingin pelayanan yang diberikan berjalan lancar dan sesuai keinginan,harus adanya suatu pelicin ataupun uang jasa. Jarang sekali tanpa adanya pelicin ataupun uang jasa ini, pelayanan akan berjalan dengan lancar atau sesuai keinginan. Pada tahun

427 SM- 347 SM, Plato mempunyai suatu gagasan yaitu “Para pelayan bangsa harus memberikan pelayanan mereka tanpa menerima hadiah-hadiah. Mereka yang membangkang, kalau terbukti bersalah, dibunuh tanpa upacara”. Gagasan dari Plato ini berarti pelayan masyarakat harus melayani masyarakat dengan baik tanpa harus menerima hadiah-hadiah apapun untuk melakukan itu1.

Berdasarkan penjelasan pasal 12 B UU no. 31 th.1999 jo UU no.20 th.2001, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Tidak semua gratifikasi dikatakan sebagai tindak pidana korupsi. KUHP sendiri membedakan antara 2 ( dua ) kelompok tindak pidana suap, yaitu tindak pidana memberi suap dan tindak pidana menerima suap2. Kelompok tindak pidana memberi suap subyek hukumnya adalah pemberi suap. Sedangkan tindak pidana penerima suap subyek hukumnya adalah pelayan masyarakat ataupun pejabat negara yang menerima suap

Salah satu contoh kasus yang diduga menerima gratifikasi suap terhadap pejabat negara adalah terjadi pada kasus Gubernur Jakarta sewaktu itu,yaitu Jokowidodo. Penyitaan bass yang diberikan oleh personil Metallica milik Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang diduga merupakan praktek gratifikasi.

  • 1.2    Tujuan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menentukan penyuapan dalam bentuk gratifikasi yang dapat tergolong tindak pidana korupsi dan mengetahui cara agar menerima gratifikasi tidak dikatakan tindak pidana korupsi suap. Karena tidak semua penerimaan gratifikasi bisa diakatakan sebagai tindak pidana korupsi suap.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis penelitian normatif dengan menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach), yang mana suatu masalah yang ada dalam tulisan ini dapat dilhat dari contoh kasus dan dapat dikaitkan

dengan peraturan perundang-undangan sehingga kita tahu adanya aturan yang mengatur akan hal itu.

  • 2.2    Hasil dan Pembahasan

    2.2.1    Gratifikasi yang Dapat Tergolong Tindak Pidana Korupsi Suap

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia memang belum jelas pemisahan antara perbuatan pidana gratifikasi dan perbuatan pidana suap. Hal tersebut berbeda dengan pengaturan di Amerika yang mana antara suap dan gratifikasi yang dilarang dibedakan. Perbedaannya adalah jika dalam gratifikasi yang dilarang, pemberi gratifikasi memiliki maksud bahwa pemberian itu sebagai penghargaan atas dilakukannya suatu tindakan resmi, sedangkan dalam suap pemberi memilik maksud (sedikit banyak) untuk mempengaruhi suatu tindakan resmi. Sehingga jelas pembedaan antara suap dan gratifikasi adalah pada tembus (waktu) dan intensinya (maksudnya). Didalam Buku Saku Memahami Gratifikasi yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Didalam buku tersebut pada halaman 19 dijelaskan beberapa contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering terjadi dan dapat digolongkan sebagai suap, yaitu : Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya, hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut, pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma.

Gratifikasi dapat dianggap tindak pidana korupsi suap jika yang menerima suatu gratifikasi tersebut merupakan pegawai negeri / penyelenggara yang berhubungan dengan jabatan/kedudukannya dianggap sebagai suap3. Dari ketentuan pasal 12 B ayat (1) UU no 31 th.1999 jo UU no.20 th.2001, didapatkan 2 (dua ) syarat, unsur atau kriteria adanya suap menerima gratifikasi, ialah :

  •    Pertama, penerimaan gratifikasi harus ada hubungannya dengan jabatan, penyelenggara negara ataupun, pegawai negeri

  •    Kedua, penerimaan gratifikasi itu harus berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Maksudnya adalah dalam penerimaan gratifikasi yang tergolong tindak pidana korupsi suap, motif dari pemberian itu adalah untuk mencapai ataupun ada maksud tertentu dari

oknum yang memberikan gratifikasi tersebut. Maksud dari pemberi gratifikasi inilah yang melanggar kewajiban dan tugas dari seorang pejabat.

  • 2.2.2    Pencegahan Gratifikasi agar tidak tergolong Tindak Pidana Korupsi Suap

Terkadang maksud dari pemberian gratifikasi kepada para pejabat, bukan karena ada maksud tertentu yang dapat melanggar kewajiban atau tugas dari seorang pejabat. Jika maksud dari pemberian gratifikasi tersebut untuk suatu penghargaan seperti yang dimaksud diatas, secara logika bukanlah suatu kesalahan. Cara agar gratifikasi tidak dianggap sebagai suap apabila penerima menyampaikan laporan kepada Komisi Pemberantas Korupsi, selambatnya 30 hari sejak menerima gratifikasi tersebut.

Selanjutnya status daripada gratifikasi tersebut diatur dalam pasal 16 UU no.31 thn.1999 jo UU no.20 thn. 2001, yaitu :

  •    Laporan ditujukan kepada KPK ( Direktorat gratifikasi ) , dibuat dengan tertulis dengan mengisi formulir ( dari KPK ) dan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi tersebut. Laporan setidaknya memuat nama serta alamat lengkap pemberi dan penerima gratifikasi, jabatan pegawai negeri / penyelenggara negara, tempat serta waktu menerima gratifikasi, dan nilai gratifikasi.

  •    Dalam kurun waktu 30 hari sejak laporan diterima, KPK akan menetapkan status gratifikasi tersebut menjadi milik penerima gratifikasi atau atau milik negara. Gratifikasi yang menjadi milik negara wajib diserahkan kepada Menteri Keuangan paling lambat 7 hari setelah ditetapkan.

III KESIMPULAN

  • 1.    Gratifikasi yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi suap, bilamana gratifikasi tersebut diberikan kepada pegawai negeri / penyelenggara Negara / pejabat yang berhubungan dengan jabatannya. Penerimaan gratifikasi tersebut berlawanan dengan kewajiban atau tugas dari penyelenggara negara tersebut. Ini dapat dilihat pada pasal 12 B ayat (1) UU no 31 th.1999 jo UU no.20 th.2001.

  • 2.    Tidak semua gratifikasi dianggap sebagai tindak pidana korupsi suap. Agar gratifikasi tidak dianggap sebagai tindak pidana korupsi suap, penerima harus menyampaikan laporan kepada Komisi Pemberantas Korupsi, selambatnya 30 hari setelah menerima

gratifikasi tersebut. Setelah itu akan ditentukan status gratifikasi tersebut yang diatur dalam pasal 16 UU no.31 thn.1999 jo UU no.20 thn. 2001

Daftar Pustaka

Buku

Komisi Pemberantas Korupsi,Mengenali & Memberantas Korupsi, Jakarta, 2012

S.H. Alatas, Korupsi, Sifat Sebab dan Fungsi, LP3ES, Jakarta,1987

Drs. Adami Chazawi, S.H. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi P.T. ALUMNI, Jakarta, 2008

Perundang-Undangan

UU no. 31 th.1999 jo UU no.20 th.2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia, Sukabumi, 1988

5