TINDAKAN PENGANCAMAN DAN PERAMPASAN YANG DILAKUKAN OLEH DEBT COLLECTOR KEPADA DEBITUR

Oleh:

I Gusti Ngurah Arya Wedanta Pembimbing:

I Gusti Ketut Ariawan

Sagung Putri M.E Purwani

Program Kekhususan: Hukum Pidana, Universitas Udayana

Abstrak:

Dalam jurnal yang berjudul “Tindakan Pengancaman Dan Perampasan yang Dilakukan Oleh Debt Collector Kepada Debitur” ini, mengangkat masalah mengenai bagaimana pertanggungjawaban pidana debt collector apabila menggunakan cara kasar dalam melakukan penagihan pituang kepada debitur, serta bagaimana pertanggungjawaban pidana pengguna jasa debt collector yang melakukan tindak pidana tersebut. Metode yang digunakan ialah metode normatif yaitu memperhatikan undang-undang dan bahan hukum lainnya. Analisa dari permasalahan tersebut ialah tindak pengancaman dan perampasan yang dilakukan oleh debt collector memiliki pertanggungjawaban pidana secara individu. Pertanggungjawaban pidana pengguna jasa debt collector yang melakukan tindak pidana, tidak dikenai pidana. Berdasarkan pasal 59 (b) KUHP, menyatakan korporasi bukan sebagai subjek hukum pidana. Jadi kesimpulannya, pertanggungjawaban pidana debt collector yang melakukan tindak pidana pada saat menagih piutang, dipidana secara individu, dan pertanggungjawaban pidana pengguna jasa debt collector yang melakukan tindak pidana, tidak dipidana.

Kata kunci: debt collector, pengancaman, perampasan, debitur.

Abstrak:

In the journal, entitled threats and forfeitur actions undertaken by the debtor’s debt collectors, raised the issue of how to criminal liability if the debt collector using rough way in collecting accounts receivable to the debtor and how the criminal liability of servis users who perform a debt collector such offenses. The method used is a normative method that takes into account relevant laws and other legal materials. Analysis of the problem lies is that the crime of threats and dispossesion by debt collectors have individual criminal responsibility. Then the criminal rsponsibility of service users debt collectors who commited the criminal, can not be convicted. In based on Article 59 (b) of criminal code that states can not be considered as a subject of criminal law. So in conclusion, criminal liability debt collectors who committed the crime at the time of collecting accounts receivable, shall be punished individually. Criminal liability debt collector service users who committed the crime, can not be cinvicted.

Key word : debt collector, threats, forfeitur, debtor’s

Pendahuluan

  • 1.1    Latar Belakang

Istilah debt collector dalam dunia penagihan hutang memang bukan suatu hal yang baru, meskipun tidak diketahui secara pasti kapan profesi ini bermula. Debt collector atau penagih hutang biasanya digunakan oleh suatu lembaga pembiayaan swasta dalam menagih kredit kepada debitur terutama pada kredit macet, karena dianggap ampuh dalam melakukan penagihan menggunakan jasa debt collector untuk menagih kredit mereka yang macet. Penyebabnya antara lain tidak bekerjanya sarana-sarana hukum dan hukum dianggap tidak bekerja efektif dan efisien. Penyebab lainnya adalah rumitnya proses penegakan hukum yang selama ini lebih sering mengecewakan masyarakat, ditambah dengan ketidakmampuan pengadilan memberikan jaminan kepastian hukum yang seharusnya berjalan singkat.

  • 1.2    Tujuan

Secara umum tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah apabila debt collector menggunakan cara-cara kasar dengan mengintimidasi, mengancam dan memeras dalam menagih kredit kepada debitur

II Isi Makalah

2.1    Metode Penelitian

Dalam penulisan jurnal ini, mempergunakan jenis metode penelitian normatif. Hal ini karena adanya norma kosong mengenai debt collector. Metode ini dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research) atau biasa dikenal dengan studi kepustakaan, walaupun penelitian yang dimaksud tidak terlepas pula dari sumber lain selain sumber kepustakaan yaitu penelitian terhadap bahan media massa ataupun internet. Hal ini karena belum diaturnya secara jelas mengenai keberadaan debt collector dalam perundang-undangan di Indonesia.

  • 2.2    Hasil dan Pembahasan

    • 2.2.1    Tindak pidana pengancaman, pemerasan, dan penganiayaan yang dilakukan Debt Collector kepada debitur

Tindakan yang dialami oleh Irzen Octa (50) seorang nasabah Citi Bank yang juga Sekretaris Jendral Partai Pemersatu Bangsa (PBB) merupakan salah satu daftar hitam para Debt Collectordalam melakukan penagihan. Ia ditemukan tewas dalam sebuah ruangan setelah melakukan pertemuan dengan pihak bank bersama debt collectornya.

Kekerasan memberikan tekanan langsung kepada debitur baik fisik maupun mental akibat tidak diindahkannya keinginan mereka (debt collector). Ketika tindakan yang memiliki ancaman pidana tersebut dilakukan oleh debt collector, maka tidak ada kata penghapusan pidana bagi mereka, kecuali dengan alasan-alasan tertentu. Seharusnya pihak pertama menggunakan jalur hukum yaitu melalui pengadilan dalam menyelesaikan masalah wanprestasi oleh pihak kedua, sehingga ada kekuatan tetap dalam melakukan penyitaan barang terhadap debitur apabila terjadi kredit macet. Hal tersebut juga telah diatur dalam hukum perdata bahwasanya, setiap perjanjian akan menimbulkan suatu perikatan. Suatu perikatan pada hakikatnya mempunyai hubungan hukum antara dua (2) orang atau lebih. Perikatan adalah sebuah hubungan hukum antara dua orang/dua pihak berdasarkan sebagaimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, pihak lainnya juga berkewajiban memenuhi tuntutan itu.1

Berdasarkan teori pertanggungjawaban pidana yang telah dibahas dalam landasan teori di atas, dan beberapa masukan pendapat berdasakan hasil wawancara yang dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pertanggungjawaban pidana oleh debt collector baik sebelum atau sesudah melakukan tindak pidana berupa pengancaman, dan atau kekerasan tersebut di atas terhadap debitur adalah tanggung jawab secara individu. Tanpa ada kaitannya terhadap perusahaan yang menggunakan jasanya dalam melakukan penagihan.

Untuk itu perlunya peraturan yang jelas mengenai keberadaan debt collector akan memberikan batasan-batasan yang jelas pula bagi mereka para penagih hutang. Ada 4 ukuran yang harus diperhatikan oleh pembentuk undang-undang untuk memberikan

ancaman pidana atas suatu perbuatan ialah (1) tujuan dari hukum pidana, (2) penentuan perbuatan yang tidak dikehendaki (perbuatan yang mendatangkan kerugian), (3) prinsip 2

biaya dan hasil, (4) kemampuan aparat penegak hukum.2

  • 2.2.2 . Pertanggungjawaban Pidana Pengguna Jasa Debt Collector

Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Hal ini juga berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana apabila ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.

Secara teoritik berdasarkan teori pertanggungjawaban pidana, maka pertanggungjawaban pidana bagi jasa penagih hutang (debt collector) berupa perorangan (natuurlijke person), di dalamnya harus terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaaheid) si pembuat atas perbuatannya. Prinsip ini di dalam hukum pidana dikenal dengan prinsip “liability based on fault”, atau dikenal juga dengan “tiada pidana tanpa kesalahan” (azas culpabilitas). Khususnya yang berhubungan dengan masalah 3

kesengajaan dan kealpaan.3

Perumusan pertanggungjawaban pidana dalam KUHP, tidak menganut prinsip pertanggungjawaban korporasi. Hal ini didasarkan pada pasal 59 (b) KUHP, yang menyebutkan bahwa; “ Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisari-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana. Dengan kata lain korporasi tidak dapat dianggap sebagai subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Subjek hukum tindak pidana yang dikenal dalam KUHP adalah orang dalam konotasi biologis yang dialami (natuurlijke person). Disamping itu, KUHP juga masih menganut asas sociatas delinguere non potest yang artinya badan hukum dianggap tidak

dapat melakukan tindak pidana, maka pemikiran fiksi tentang sifat badan hukum (rechtpersonlijkheid) tidak berlaku dalam bidang hukum pidana. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa formulasi pertanggungjawaban pelaku dalam KUHP hanya berorientasi terhadap pelaku tindak pidana perseorangan atau orang dalam konteks konotasi biologis yang dialami (natuurlijke person). Lalu apabila kemudian terjadi hal demikian (tindak pidana), maka tanggung jawab pidana ada pada debt collector itu sendiri, bukan tanggung jawab perusahaan.

III Kesimpulan

  • 3.1    Kesimpulan

  • 1.    Berdasarkan teori pertanggungjawaban pidana, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pertanggungjawaban pidana oleh debt collector baik sebelum atau sesudah melakukan tindak pidana berupa pengancaman, dan atau kekerasan tersebut di atas terhadap debitur adalah tanggungjawab secara individu, serta perlunya peraturan yang jelas mengenai keberadaan debt collector akan memberikan batasan-batasan yang jelas pula bagi mereka para penagih hutang.

  • 2.    Perumusan pertanggungjawaban pidana dalam KUHP, tidak menganut prinsip pertanggungjawaban korporasi. Hal ini didasarkan pada pasal 59 (b) KUHP, yang menyebutkan bahwa; “ Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisari-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana. Dengan kata lain korporasi tidak dapat dianggap sebagai subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

IV Daftar Pustaka

Muchtar Masrudi, 2013, Debt Collector Dalam Optik Kebijakan Hukum Pidana, Asmaja Pressindo, Yogyakarta.

Santoso Lukman, 2012, Hukum Perjanjian Kontrak, Cet. I, Cakrawala, Yogyakarta.

Sudarto, 1990, Hukum dan Hukum Pidana,Sinar Baru, Bandung.

Sumber Undang Undang

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

5