TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN

Oleh :

Wajihatut Dzikriyah I Ketut Suardita

Bagian Peradilan, Fakultas Hukum Program Ekstensi Universitas Udayana

ABSTRACT

This research entitled “Juridical Observation of Cancellation Suspect Status in Prejudicial Decision”. Prejudicial Decision is a statement of judge as a state official who has authorized in terms of deciding the prejudial case in the prejudicial institution, it was decided in the brief trial, has the aims to examine and decide on validity of the arrest, the validity of detention, investigation, closing address, and mechanisms that can be taken to ask for compensation or rehabilitation. Suspect status cancellation is prejudicial judge's decision stated that status determination of the suspect to someone suspected having committed a criminal offense which is still in a preliminary stage, the declared can be invalid because the establishment do not have enough basic to be examined on trial. Research method that used in this paper is normative research method, the research based on written regulation. The issues raised in this paper is how the cancellation suspect status in prejudicial decision of juridical point of view based on Act No. 8 of 1981 on Criminal Proceedings. The conclusion is the prejudicial cannot cancel the suspect status, because in basically prejudicial cannot negate the fault, but only a formal test procedure.

Keywords: Prejudicial Decision, Cancellation Suspect Status.

ABSTRAK

Makalah ilmiah ini berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Pembatalan Status Tersangka Dalam Putusan Praperadilan”. Putusan praperadilan adalah suatu pernyataan hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang dalam hal memutus perkara praperadilan dalam lembaga praperadilan, diucapkan di persidangan singkat, bertujuan untuk memeriksa dan memutus mengenai sah atau tidaknya penangkapan, sah atau tidaknya penahanan, sah atau tidaknya penyidikan, sah atau tidaknya penuntutan, serta mekanisme yang dapat ditempuh untuk meminta ganti rugi atau rehabilitasi. Pembatalan Status Tersangka adalah putusan hakim praperadilan yang menyatakan bahwa penetapan status tersangka terhadap seseorang yang disangka telah melakukan suatu tindak pidana yang masih dalam taraf pendahuluan, dinyatakan tidak sah penetapannya karena tidak memiliki cukup dasar untuk diperiksa di persidangan. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ilmiah ini adalah metode penelitian hokum dengan aspek normatif, yaitu penelitian yang berdasarkan pada peraturan tertulis. Dalam penulisan ini permasalahan yang diangkat adalah bagaimana pembatalan status tersangka dalam suatu putusan praperadilan jika ditinjau secara yuridis berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa jika ditinjau secara yuridis berdasarkan KUHAP, praperadilan tidak dapat membatalkan status tersangka, karena pada dasarnya praperadilan tidak dapat meniadakan kesalahan, namun hanya menguji prosedur secara formil.

Kata Kunci : Putusan Praperadilan, Pembatalan Status Tersangka.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Setalah KUHAP diundangkan pada 31 Desember 1981 sebagai Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka telah melahirkan suatu lembaga baru “praperadilan” yang belum pernah diatur sebelumnya di dalam hukum acara (IR atau HIR).1 Pengertian Praperadilan menurut Pasal 1 angka 10 KUHAP, “Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

  • a.    sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

  • b.    sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hokum dan keadilan;

  • c.    permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.2 Namun dalam penerapannya masih terdapat permasalahan terutama mengenai penetapan tersangka yang dijadikan sebagai objek praperadilan. Disini penulis mengambil contoh putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi yang mengabulkan gugatan praperadilan penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan. Hal tersebut berpotensi membuka pintu upaya hukum yang luas bagi para tersangka untuk mengajukan gugatan praperadilan mengenai penetapan tersangka terhadapnya.

Mengingat masih terdapat pro dan kontra ditengah masyarakat mengenai permasalahan tersebut, penulis merasa perlu untuk melakukan peninjauan yuridis yang disertai alasan hukum guna mengetahui apakah penetapan tersangka dapat dijadikan sebagai objek praperadilan atau tidak. Terkait dengan tujuan tersebut, penulis akan membuat suatu makalah ilmiah yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Pembatalan Status Tersangka Dalam Putusan Praperadilan”

  • 1.2    Tujuan

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pembatalan status tersangka dalam putusan praperadilan jika ditinjau secara yuridis berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang berdasarkan kaidah atau norma dalam peraturan perundang-undangan. 3 Jenis Pendekatan yang digunakan adalah jenis pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan fakta dengan sumber bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder yang berupa buku, artikel, majalah dan lain sebagainnya. Teknik pengolahan bahan hukum menggunakan teknik deskriptif dengan memaparkan bahan hukum apa adanya.

  • 2.2    Pembatalan Status Tersangka dalam Putusan Praperadilan Dikaitkan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lembaga Praperadilan diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP dan ditempatkan dalam Bab X, Bagian Kesatu, sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi Pengadilan Negeri. Kewenangan praperadilan secara rinci adalah untuk memeriksa dan memutus tentang sah tidaknya suatu upaya paksa yang berkaitan dengan penangkapan dan penahanan yang dalam hal ini bertentangan dengan Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22 serta Pasal 24 KUHAP. Selain itu adalah untuk memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidik an atau penghentian penuntutan baik disebabkan karena alasan nebis in idem maupun kadaluarsa. Selanjutnya adalah memeriksa tuntutan ganti rugi, permintaan rehabilitasi, serta memeriksa tindakan penyitaan yang dilakukan terhadap barang pihak ketiga yang bukan sebagai alat bukti.

Dalam penerapannya, masih terdapat putusan praperadilan diluar kewenangan yang telah disebutkan diatas. Putusan praperadilan tersebut adalah mengenai pembatalan status tersangka yang dijadikan sebagai objek praperadilan. Walaupun hal tersebut tidak diatur secara yuridis, namun secara nyata terjadi dalam lembaga praperadilan, karena hakim dianggap memiliki hak untuk melakukan penemuan hukum dalam perspektif hukum progresif. Berkaitan dengan hal ini, penulis melakukan peninjauan secara yuridis terhadap putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi yang mengabulkan gugatan praperadilan penetapan tersangka Komjen

Budi Gunawan. Peninjauan secara yuridis ini didasarkan pada beberapa permasalahan sebagai akibat putusan hakim tersebut, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

  • 1.    Hakim memiliki kewenangan untuk memberi putusan berdasarkan keyakinannya dalam perspektif hukum progresif;

  • 2.    Hakim melakukan perluasan objek praperadilan;

  • 3.    Putusan hakim dalam praperadilan bersifat final.

Permasalahan pertama yang terkait dengan kewenangan hakim memberi putusan berdasarkan keyakinannya dalam perspektif hukum progresif. Pasal 5 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa, “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Jadi, dalam hal ini hakim tidak menemukan hukum baru, dan hanya sekedar menerapkan undang-undang atau hakim hanya sebagai terompet undang-undang saja. 4 Jika dikaitkan dengan permasalahan, maka putusan Hakim Sarpin Rizaldi dapat dikatakan sebagai putusan yang progresif apabila diawali dengan penggunaan hukum tertulis, jika ternyata tidak diatur maka dapat melakukan penemuan hukum tertentu dengan tetap berpegang pada undang-undang tanpa melanggar nilai keadilan baik bagi tersangka maupun bagi masyarakat secara umum. Dilain hal, putusan Hakim Sarpin Rizaldi juga dapat dikatakan sebagai putusan yang bukan merupakan putusan progresif apabila putusannya tidak berpedoman pada undang-undang dan melanggar rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Permasalahan kedua yang terkait dengan perluasan objek praperadilan. Sesuai dengan penjabaran sebelumnya, bahwa hakim memang memiliki kewenangan untuk memberi putusan berdasarkan keyakinannya yang progresif. Jadi apabila dikaitkan dengan permasalahan, Hakim Sarpin Rizaldi melakukan perluasan objek praperadilan dengan menafsirkan penetapan tersangka sebagai bagian dari objek praperadilan. Mengingat seorang hakim memiliki kebebasan untuk melakukan penafsiran tertentu terhadap hukum, maka hal tersebut dapat dianggap sah selama tidak bertentangan dengan undang-undang dan rasa keadilan di masyarakat. Namun pada kenyataannya, objek praperadilan telah diatur secara tegas dan jelas dalam pasal Pasal 1 ayat (10) KUHAP jo Pasal 77 jo Pasal 82 ayat (1) huruf-d KUHAP. Seorang hakim

diperkenankan untuk menafsirkan lebih luas suatu peraturan apabila dalam peraturan tersebut terdapat ketidak jelasan, maka seharusnya hakim tidak menafsirkan lebih dari yang diatur dalam KUHAP.

Permasalahan ketiga yang terkait dengan putusan praperadilan bersifat final. Terhadap putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding (Pasal 83 KUHAP), tetapi khusus terhadap kasus tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, maka penyidik/penuntut umum dapat meminta putusan akhir kepada Pengadilan Tinggi.5 Dengan demikian, untuk putusan praperadilan mengenai penetapan tersangka tidak dapat dimintakan banding maupun kasasi. Namun jika kita merujuk pada dasar hukum mengenai pengajuan pemohonan banding dan kasasi yang diatur oleh KUHAP, maka putusan praperadilan mengenai penetapan tersangka yang bersifat final ini dapat dimintakan permohonan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung.

  • III.    KESIMPULAN

Jika ditinjau secara yuridis berdasarkan undang-undang yang telah dijadikan bahan hukum dalam penulisan ini, maka praperadilan tidak dapat membatalkan status tersangka, karena pada dasarnya praperadilan tidak dapat meniadakan kesalahan serta bukti yang cukup untuk penetapan seorang tersangka, melainkan hanya menguji prosedur secara formil.

  • IV.    DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Amirruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta.

Marpaung, Leden, 2014. Proses Penanganan Perkara Pidana Buku I, Sinar Grafika, Jakarta.

Rifai, Ahmad, 2014, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.

Sofyan, Andi dan Abd. Asis, 2014, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Kencana, Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

5