TINJAUAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PROSTITUSI SECARA ONLINE BERDASARKAN PERSPEKTIF CYBER CRIME
on
TINJAUAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PROSTITUSI SECARA ONLINE BERDASARKAN PERSPEKTIF CYBER CRIME
Oleh :
Ni Made Rica Vitayanti
A.A. Gede Duwira Hadi Santosa
Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstract
Progress in information technology brings a positive influence in the development of social and economic activities of the world. However, the development of information technology does not only bring a positive impact, but also a negative impact. This negative impact can be seen along with the emergence of new criminal offenses such as cyber crimes, in the form of prostitution which is done online. Regulation on online prostitution ban has been clearly formulated in Indonesian Positive law, namely in the Indonesian Criminal Code, Law No. 11 Year 2008 on Information and Electronic Transactions, and Law No. 44 Year 2008 on Pornography. However, in this case enforcement is very difficult to do, because online prostitution transactions across transnational boundaries (borderless).
Keywords : Criminal Offense, Prostitution, Online, Cyber Crime
Abstrak
Kemajuan di bidang teknologi dan informasi membawa pengaruh positif dalam perkembangan aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat dunia. Akan tetapi perkembangan teknologi dan informasi tidak hanya memberi pengaruh positif saja, melainkan memberi pengaruh negatif. Pengaruh negatif ini dapat dilihat seiring dengan munculnya tindak pidana baru yaitu kejahatan dunia maya (Cyber crime), yakni berupa prostitusi yang dilakukan secara online. Pengaturan mengenai larangan prostitusi online telah dirumuskan dengan jelas dalam hukum positif Indonesia, yaitu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Namun penegakan dalam kasus ini sangat sulit dilakukan, karena dalam bertransaksi prostitusi secara online yang melintasi batas lintas negara (bordeless).
Kata kunci : Tindak Pidana, Prostitusi, Online, Cyber crime
Aktivitas berbasis teknologi internet, kini bukan lagi menjadi hal baru dalam masyarakat informasi (information society).Internet bahkan telah digunakan oleh anak-anak sejak usia prasekolah, orangtua, kalangan pebisnis, instansi, karyawan hingga ibu rumah tangga. Media komunikasi digital interaktif ini mampu menghubungkan masyarakat informasi (information society) secara cepat, mudah dan tanpa mengenal batas wilayah.1
Kemajuan teknologi membawa pengaruh positif dalam perkembangan aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat dunia yang digunakan dalam berbagai sektor kehidupan, mulai dari perdagangan atau bisnis, pendidikan, kesehatan, transportasi, industri, pariwisata, lingkungan sampai dengan hiburan. Namun dilihat dari sisi yang berbeda kemajuan teknologi telah menimbulkaan dampak lain, yaitu timbulnya kejahatan dimensi baru dengan modus operandi baru bersifat lintas negara (transnasional crime). Kejahatan yang tergolong baru tersebut adalah kejahatan dunia maya (Cyber crime).
Kejahatan dunia maya (Cyber crime) yang berkembang beberapa saat terakhir ini salah satunya adalah prostitusi yang dilakukan secara online. Prostitusi secara online mudah ditemukan dalam jejaring sosial internet, baik melalui websites maupun menggunakan account facebook. Aktivitas prostitusi cyber ini ditawarkan melalui situs internet yang dikelola oleh perseorangan maupun korporasi yang dapat diakses secara bebas. Contoh seorang blogger berinisial YD menjadi tersangka pemilik situs dan blog prostitusi. Praktek itu terungkap setelah petugas kepolisian melakukan penyelidikan salah satu situs jejaring sosial multyply yaitu dennymanagement.multioly.com dan website www.deliveryjakarta.cc.
Namun karakteristik prostitusi secara online yang mudah diakses dimanapun dan kapanpun, memberi peluang yang besar bagi pelaku untuk bertransaksi. Sehingga tidak semua negara memberi perhatian terhadap kejahatan dunia maya (Cyber crime), namun di Indonesia pengaturan mengenai Cyber crime diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun ketentuan diluar KUHP.
Untuk mengetahui dan menganalisa bagaimana Pengaturan dan Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Prostitusi secara Online dalam Ketentuan Hukum Nasional berdasarkan Perspektif Cyber crime.
-
II. ISI MAKALAH
Dalam penulisan karya ilmiah ini digunakan jenis penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang 2
dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.2
Prostitusi berasal dari bahasa Belanda yaitu prostitutie dan dalam bahasa Inggris yaitu prostitution yang artinya pelacuran. Pelacuran menurut Soejono Soekamto dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapat upah.3 Dalam hal pengaturan kegiatan prostitusi secara online telah dirumuskan dengan jelas dalam hukum positif Indonesia, dimana pengaturannya mengandung asas lex specialis derogat legi generalis, bahwa aturan yang khusus mengenyampingan aturan yang umum.
Dalam Ketentuan hukum di Indonesia, pengaturan mengenai kejahatan terhadap prostitusi secara online secara khusus diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dimana menyebutkan bahwa : “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Dengan penafsiran sistematis terhadap KUHP (sebagai ketentuan umum), dapat diketahui bahwa ketentuan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik melarang aktivitas prostitusi yang dilakukan dengan media elektronik.4
Pengaturan mengenai kejahatan terhadap prostitusi juga ditemukan secara khusus dalam Pasal 30 jo. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi yang merumuskan bahwa : “Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama enam tahun dan/atau pidana denda paling sedikit dua ratus lima puluh juta rupiah dan paling banyak tiga miliar rupiah.”
Ketentuan secara umum yang mengatur prostitusi secara online dirumuskan dalam Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP. Pasal 296 KUHP menyebutkan bahwa : “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.”
Selanjutnya dalam Pasal 506 KUHP disebutkan bahwa : “Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.” Problematika yuridis dapat dilihat dari rumusan Pasal-pasal tersebut, dimana pemidanaan hanya dapat dilakukan kepada mucikari atau germo (pimp) sedangkan terhadap pelacur (prostitute) dan pelanggannya (client) sendiri tidak dapat dikenakan pidana.5
Selain sifat melawan hukum, unsur kesalahan, yang dalam bahasa Belanda disebut dengan schuld juga merupakan unsur utama yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pelaku terhadap perbuatannya, termasuk perbuatan pidana atau tindak pidana atau delik.6 Unsur tersebut lebih dikenal dengan adagium “tiada pidana tanpa kesalahan.”
Merujuk pada ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa: “Setiap Orang dengan sengaja
dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.” Pertanggungjawaban pidana terletak pada setiap orang yang merupakan subjek hukum, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 21 yaitu bahwa subjek hukum yang dimaksud adalah orang perorangan, baik warga negara asing, maupun badan hukum. Sehingga bagi para pelaku prostitusi online harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, karena tindakan yang dilakukan dengan sengaja dan melawan hukum.
Selanjutnya dalam Pasal 52 ayat (4) disebutkan bahwa : “dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga.” Dengan demikian sangat jelas bahwa subjek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan apabila terjadi prostitusi secara online adalah orang dan korporasi baik dalam bentuk badan hukum maupun tidak berbadan hukum, dengan adanya kesalahan yang dilakukan secara sengaja dan sadar akan adanya aturan hukum yang melarang.
III. KESIMPULAN
Pengaturan mengenai larangan prostitusi online telah dirumuskan dengan jelas dalam hukum positif Indonesia yaitu dalam Pasal 296 dan Pasal 590 KUHP, Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE, dan Pasal 30 jo. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Namun penegakan dalam kasus ini sangat sulit dilakukan, karena dalam bertransaksi prostitusi secara online yang melintasi batas lintas negara (bordeless). Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku prostitusi secara online dapat dijatuhkan baik dalam kapasitasnya sebagai orang perorangan maupun sebagai korporasi dengan pidana penjara dan/atau denda.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi Bunga, 2012, Prostitusi Cyber Dikursus Penegakan Hukum Dalam Anatomi Kejahatan Transnasional, Udayana University Press, Denpasar.
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, cet. VII, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Soerjono Soekamto, 2010, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta Zainal Abidin dan Edy Kurniawan, 2013, Catatan Mahasiswa Hukum Pidana, Indie
Publishing, Depok.
5
Discussion and feedback