PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU KEJAHATAN PERKOSAAN TERHADAP LAKI-LAKI

Oleh:

Desak Made Pratiwi Dharayanti A.A Sri Indrawati

Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRACT

The paper is titled " Criminal Responsibility Offenders Rape of Men " . The problems discussed regarding the rape of men and accountability of the crime of rape against men . The method used in this paper is the normative study . Article 285 of the Criminal Code only mentions of rape against women only and not to men . There is no clear regulations on rape committed by men and women with male victims and in case of rape against men used Article 289 of molestation . Meaning molestation act is against sexual shame . The element of abuse of Article 289 that a person by force or threat of violence ; force ; perform or tolerate obscene acts . The conclusion that there are no clear regulations on rape victims were male and accountability of the crime of rape against men used Article 289 of molestation .

Keyword: Criminal responsibility, rape of men

ABSTRAK

Penulisan ini berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Kejahatan Perkosaan terhadap Laki-Laki”. Permasalahan yang dibahas mengenai perkosaan terhadap laki-laki dan pertangungjawaban tindak pidana perkosaan terhadap laki-laki. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian yuridis normatif. Pasal 285 KUHP hanya menyebutkan perkosaan terhadap perempuan saja dan tidak terhadap laki-laki. Belum ada pengaturan yang jelas mengenai perkosaan yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan dengan korbannya laki-laki dan apabila terjadi perkosaan terhadap laki-laki digunakan Pasal 289 tentang pencabulan. Arti perbuatan cabul itu sendiri merupakan perbuatan yang melanggar perasaan malu seksual. Unsur pencabulan dalam Pasal 289 yaitu seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan; memaksa; melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Kesimpulannya yaitu belum ada pengaturan yang jelas mengenai perkosaan yang korbannya adalah laki-laki dan pertangungjawaban tindak pidana perkosaan terhadap laki-laki digunakan Pasal 289 tentang pencabulan.

Keyword: pertanggungjawaban pidana, perkosaan terhadap laki-laki.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Laki-laki dan perempuan sebagai manusia memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut ada yang dibawa sejak lahir dan dibentuk oleh masyarakat. Perbedaan yang dibawa sejak lahir yaitu jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Sedangkan perbedaan yang dibentuk dalam masyarakat dinamakan sebagai gender. Adanya pembeda-bedaan

tersebut menyebabkan adanya salah satu pihak ada yang diuntungkan dan dirugikan. Beberapa kasus gender, pihak laki-laki lebih diuntungkan daripada pihak perempuan.

Budaya patriaki masih sangat kental dalam masyarakat di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 285 KUHP tentang perkosaan yang ditekankan pada korban perempuan. Selama ini perkosaan memang diidentikkan korbannya adalah perempuan. Namun seiring berkembangnya zaman berkembang pula kejahatan beserta modus kejahatannya. Saat ini tidak hanya perempuan saja yang dapat menjadi korban perkosaan namun laki-laki juga dapat menjadi korban.

Dampak yang dapat ditimbulkan akibat hubungan seksual secara bebas, yakni rawan akan penularan virus HIV dan penyakit menular seksual lainnya. Pada tahun 2013 terdapat kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh Emayartini di Bengkulu terhadap 6 orang anak laki-laki dibawah umur1. Adanya masalah tersebut maka perlu adanya pengaturan yang khusus mengenai tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan terhadap laki-laki, serta pertanggungjawaban pidana dari pelaku tindak pidana pemerkosaan tersebut.

  • 1.2    Tujuan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui tindak pidana perkosaan yang dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Tindak pidana perkosaan mayoritas dilakukan oleh laki-laki, namun tidak menutup kemungkinan untuk terjadi sebaliknya dan juga perkosaan antara laki-laki terhadap laki-laki. Pengaturan dalam Pasal 285 KUHP hanya mengatur perkosaan terhadap perempuan oleh laki-laki. Sedangkan perkosaan yang dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki tidak terdapat pengaturannya dalam KUHP. Maka secara khusus akan dibahas tentang pertanggungjawaban pidana perkosaan yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif mengkaji berdasarkan data sekunder yaitu dengan bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-

undangan, bahan hukum sekunder yang memberi penjelasan atas bahan hukum primer dan bahan hukum tersier yang memberikan penjelasan atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum maupun ensiklopedia2. Metode penelitian yuridis normatif digunakan karena adanya kekosongan norma yakni yang diatur Pasal 285 KUHP hanya pemerkosaan terhadap perempuan bukan laki-laki.

  • 2.2    Hasil dan Pembahasan

    2.2.1    Perkosaan terhadap laki-laki

Menurut R. Soesilo perbuatan perkosaan adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin3. Seperti pengertian perkosaan seperti yang dikemukakan oleh R. Soesilo maka dapat dikatakan bahwa perkosaan dapat dilakukan oleh siapa saja baik laki-laki maupun perempuan terhadap laki-laki maupun perempuan. Pengertian perkosaan menurut kamus hukum yaitu melakukan kekerasan dan dengan ancaman memaksa seseorang perempuan diluar perkawinan bersetubuh4. Pengertian perkosaan secara harfiah lebih menekankan bahwa seorang laki-laki yang melakukan tindakan perkosaan terhadap perempuan padahal pengertian perkosaan itu sendiri dapat lebih luas tidak hanya laki-laki sebagai pelaku dan perempuan sebagai korban.

Di Indonesia perkosaan terhadap laki-laki merupakan suatu hal yang jarang sekali terjadi. Meskipun jarang pada kenyataannya perkosaan terhadap laki-laki itu ada seperti pada kasus Emayartini di Bengkulu yang memperkosa 6 anak laki-laki dibawah umur. Dampak yang terjadi pada korban perkosaan ini akan mengalami beban psikologis yang berat karena reaksi masyarakat yang terjadi terhadap dirinya apabila diketahui sebagai korban perkosaan. Korban perkosaan biasanya akan mengalami rasa bersalah, depresi, amarah, menyalahkan diri sendiri, kelainan seksual, dan keinginan untuk bunuh diri5. Selain dampak secara psikologis, korban perkosaan dapat tertular penyakit menular seksual (PMS) seperti HIV/AIDS yang sangat berbahaya karena masih belum ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit ini secara tuntas hingga menyebabkan kematian.

Korban merupakan pihak yang dirugikan dan dilindungi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban sehingga hak-haknya harus tetap dilindungi.

  • 2.2.2    Pertanggungjawaban Tindak Pidana Perkosaan Terhadap Laki-laki

Pertanggungjawaban pidana merupakan kemampuan subyek hukum yang telah menyebabkan peristiwa pidana dan diancam dengan pidana6. Mengenai tindak pidana perkosaan dalam KUHP diatur pada Pasal 285 “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Perkosaan yang dimaksud yaitu perkosaan untuk bersetubuh. Dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dan diluar hubungan perkawinan, yang berarti bahwa adanya kekerasan atau ancaman kekerasan yang didapatkan oleh korban dari pelaku yang bukan suaminya untuk melakukan hubungan badan atau bersetubuh7.

Pasal 285 KUHP jelas tertulis bahwa wanita sebagai korban perkosaan dan pelakunya adalah seorang laki-laki. Jadi yang dapat dipidana disini adalah seorang laki-laki yang telah melakukan perkosaan seperti yang dijelaskan dalam pasal 285 KUHP tersebut terhadap seorang wanita yang bukan istrinya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Wanita yang melakukan perkosaan terhadap laki-laki maka tidak dapat digunakan Pasal 285 KUHP ini. Akan tetapi apabila terjadi perkosaan terhadap laki-laki dapat digunakan Pasal 289 tentang pencabulan. Arti perbuatan cabul itu sendiri merupakan perbuatan yang melanggar perasaan malu seksual. Pasal 289 pencabulan memiliki unsur yaitu seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan; memaksa; melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan maksudnya bahwa seseorang yang melakukan perbuatan harus dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Memaksa disini berarti bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut tidak akan terjadi apabila tidak dilakukan secara paksa dan dengan ancaman kekerasan. Melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul berarti bahwa membiarkan atau melakukan perbuatan tersebut terjadi

pada dirinya yang dilakukan dengan paksaan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan.

IV. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat diambil kesimpulan yaitu belum adanya pengaturan mengenai perkosaan yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan dengan korbannya laki-laki. Karena dalam rumusan pasal 285 KUHP masih belum dapat mencakup secara keseluruhan tentang jenis kelamin pelaku dan korban yang membatasi korban perkosaan adalah perempuan bukan laki-laki dengan ancaman hukuman maksimal dua belas tahun penjara.

IV. DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Amirudin dan H. Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Anwar, Yesmil dan Adang,2010, Kriminologi, PT Refika Aditama, Bandung.

Kansil, C.S.T, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana, PT.Pradnya Paramita, Jakarta.

Prodjodikoro, Wirjono, 2010, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung.

KAMUS:

Umar, Dzulkifli dan Utsman Handoyo, 2010, Kamus Hukum( dictionary of law complete edition) Indonesia-Internasional, Quantum Media Press.

INTERNET:

Anonim, 2013, Bu RT Perkosa 6 ABG di Bengkulu, available from url: sumutpos.co/2014/03/76932/bu-rt-perkosa-6-cowok-abg-di-bengkulu   diakses

pada Sabtu, 11 Oktober 2014, 1:22

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635).

5