PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA
on
PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA
Oleh:
Anastasia Maria Prima Nahak
I Ketut Keneng
Bagian Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRACT
Dispute resolution through arbitration is not a new option for the parties to resolve their dispute in international trade sphere, but the decision is very hard to be implemented. Through normative method, this paper aims to discuss how the arrangement of international arbitration in the positive law of Indonesia and why public policy can be used as an excuse to cancel the arbitration decision. Although international arbitration have been arranged clearly, but the judges still refuse to execute the verdict on the ground that it is contradicted to Indonesian public policy. It can be concluded, with the ambiguity of norms regarding the definition of public policy, international arbitration decision becomes very difficult to be executed in Indonesia and Indonesian arbitration law consequently be doubted by the International community. Keywords: Court Decision, Arbitration, Execution, Public Policy
ABSTRAK
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase bukan merupakan pilihan baru bagi para pihak dalam menyelesaikan sengketa perdangan di lingkup internasional, namun dalam kenyataannya pelaksanaan putusannya masih sangat susah untuk dilaksanakan. Melalui metode normatif, makalah ini bertujuan untuk membahas pengaturan arbitrase internasional dalam hukum positif Indonesia dan mengapa public policy dapat dijadikan alasan untuk membatalkan putusan arbitrase. Meskipun telah terdapat pengaturan yang jelas mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional, namun para hakim Pengadilan Negeri masih saja menolak eksekusi putusan arbitrase dengan alasan putusan tersebut bertentangan dengan public policy Negara Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan, dengan adanya kekaburan norma mengenai definisi public policy, putusan arbitrase internasional menjadi sangat susah untuk dieksekusi dan akibatnya hukum arbitrase Indonesia menjadi diragukan oleh pihak internasional.
Kata Kunci: Putusan Pengadilan, Arbitrase, Eksekusi, Ketertiban Umum.
Dalam kegiatan bisnis saat ini, penyelesian sengketa melalui lembaga arbitrase lebih sering digunakan, terutama pada kontrak-kontrak dagang
internasional.1 Arbitrase Internasional telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU Arbitrase). Dalam perkembangannya masih banyak permasalahan yang timbul dan belum bisa diselesaikan secara langsung melalui undang-undang ini, sehingga Indonesia tidak jarang disebut sebagai “an arbitration unfriendly country”. Masalah utamanya adalah pengadilan Indonesia enggan untuk melaksanakan dan cenderung membatalkan putusan arbitrase internasional dengan alasan bahwa putusan tersebut bertentangan dengan public policy, padahal penjelasan mengenai public policy ini tidak jelas dan bahkan kabur sehingga menyebabkan kurangnya kepastian hukum.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai pengaturan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia yang ditinjau dari UU Arbitrase dan menjelaskan mengapa public policy dapat menjadi alasan pembatalan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah penelitian normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder2, baik melalui peraturan perundang-undangan terkait maupun literatur yang berhubungan dengan alternatif penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
-
2.2 Hasil dan Pembahasan
-
2.2.1 Tinjauan Singkat Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
-
Dalam UU Arbitrase, telah dijabarkan mengenai siapa yang berwenang, syarat-syarat dan hal-hal apa saja yang harus dipenuhi untuk dapat melaksanakan putusan arbitrase internasional di Indonesia.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 65 putusan arbitrase internasional yang diputus di luar wilayah hukum Republik Indonesia harus didaftarkan terlebih dahulu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah diberikan kewenangan oleh UU Arbitrase untuk menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan dari putusan arbitrase internasional.
Menurut Pasal 66 huruf d, putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh exequatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan terhadap putusan ini tidak dapat diajukan banding atau kasasi. Namun jika putusan Putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu putusan arbitrase internasional, maka terhadap putusan ini dapat diajukan kasasi sesuai dengan ketentuan Pasal 68 ayat (2) UU Arbitrase. Menurut ketentuan Pasal 68 ayat (3) dan ayat (4) UU Arbitrase, Mahkamah Agung Republik Indonesia mempertimbangkan serta memutuskan setiap pengajuan kasasi dalam jangka waktu paling lama sembilan puluh hari setelah permohonan kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dan terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut tidak dapat diajukan upaya perlawanan.
-
2.2.2 Public Policy sebagai Alasan Pembatalan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasioal di Indonesia
Pengesahan untuk bergabung dengan Convention on the Settlement on Investment Disputes Between States and Nationals of Other States (ICSID) telah menempatkan Indonesia sebagai negara yang terikat mengakui (recognize) dan melaksanakan eksekusi (enforcement) setiap
putusan arbitrase asing.3 Dalam praktiknya eksekusi putusan arbitrase asing banyak yang gagal didepan pengadilan. Alasan pokoknya adalah putusan arbitrase asing tidak dapat dieksekusi oleh Pengadilan Indonesia, kalau belum ada peraturan pelaksananya. Dengan adanya Perma Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, maka hambatan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase internasional seharusnya sudah tidak ada lagi.
Namun, Mahkamah Agung Republik Indonesia masih menolak untuk melakukan eksekusi dengan alasan putusan tersebut bertentangan dengan ketertiban umum (public policy). Misalnya dalam kasus Trading Corporation of Pakistan Limited melawan PT Bakrie & Brothers pada tahun 1986. Eksekusi perkara yang diajukan ke Federation of Oils, Seed and Fats Association di tolak di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan lantaran putusan arbitrase tersebut dinilai tidak sah.
Asas ketertiban umum (public policy) yang di atur secara khusus dalam Pasal 3 ayat (3) Perma No. 1 Tahun 1990 menegaskan bahwa putusan arbitrase internasional yang diakui serta yang dapat dieksekusi di Indonesia hanya terbatas pada putusan-putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Yang selalu menimbulkan masalah dalam penerapan ketertiban umum (public policy) ialah mengenai definisi dan jangkauannya. Di dalam Perma No. 1 Tahun 1990 tidak memberikan batasan dan rincian yang jelas mengenai definisi dan jangkauan ketertiban umum seperti apa yang dimaksud dan dianggap dengan ketertiban umum. Secara umum, batasan pengertian mengenai definisi dari ketertiban umum adalah sesuatu dianggap bertentangan dengan ketertiban umum pada suatu lingkungan (negara), apabila didalamnya terkandung sesuatu hal atau keadaan yang bertentangan dengan sendi-sendi dan nilai-nilai asasi sistem hukum dan kepentingan nasional suatu bangsa.4
Dari pengertian umum tersebut, maka sangat luas dan sangat susah untuk memberikan definisi dari ketertiban umum (public policy) sehingga
dapat dijadikan legitimasi bagi salah satu pihak untuk meminta pembatalan eksekusi dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain itu sifatnya yang subjektif membuat keberadaan hukum arbitrase Indonesia dipertanyakan.
-
1. Pengaturan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia telah secara khusus diatur dalam UU Arbitrase Bagian Kedua mengenai Arbitrase Internasional, dimana yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri. Putusan arbitrase internasional hanya diakui dan dapat dilaksanakan apabila putusannya sudah final, termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan, dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan serta ketertiban umum (public policy).
-
2. Dengan berlakunya Perma No. 1 Tahun 1990, seharusnya tidak ada lagi alasan bagi para hakim Pengadilan Negeri untuk menolak eksekusi putusan arbitrase, namun dalam pelaksanaannya public policy selalu dapat dijadikan alasan untuk menolak eksekusi putusan arbitrase international. Alasan penolakan ini sifatnya subjektif sehingga menyebabkan keberadaan hukum arbitrase Indonesia dipertanyakan.
Buku:
Emirzon, Joni, 2001, Alternatif Penyelesian Sengketa Diluar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sutiarso, Cicut, 2011, Pelaksanaan Putusan Arbitrase dalam Sengketa Bisnis, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif – Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Winarta, Frans Hendra, 2013, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, Sinar Grafika, Jakarta.
Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perma Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing
5
Discussion and feedback