KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON DALAM SENGKETA HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DI MAHKAMAH KONSTITUSI

Oleh :

Ni Nyoman Wahyuni

Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRACT

The paper is titled " The legal status ( legal standing ) Applicant In Dispute regional Election Results in the Constitutional Court ", used normative juridical and statute approach. Legal status ( legal standing ) is a requirement to submit a lawsuit to the Constitutional Court. These provisions determine who is entitled to be the applicant on the Election. In accordance with Article 326c Law 12 year 2008 the authority of the Constitutional Court be increased to handle the dispute directly Election results. The friction of authority give effect to the applicant 's legal position in a dispute over the results of the general elections of regional heads . Terms and conditions of the applicant and the application will be submitted now been determined directly into PMK No. 15 of 2008 .

Keyword : Legal status, Applicant, Disputed Elections of Regional Heads, Constitutional Court

ABSTRAK

Makalah ini berjudul “Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon Dalam Sengketa Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Di Mahkamah Konstitusi”. Makalah ini menggunakan pendekatan yuridis normatif serta pendekatan undang-undang. Kedudukan hukum (legal standing) merupakan syarat untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Ketentuan ini menentukan siapa saja yang berhak menjadi pemohon atas sengketa hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Sesuai dengan pasal 326c UU No. 12 Tahun 2008 kewenangan Mahkamah Konstitusi menjadi bertambah yakni dengan menangani langsung sengketa hasil Pemilukada. Pergeseran kewenangan ini memberi dampak terhadap kedudukan hukum pemohom dalam sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah. Syarat dan ketentuan pemohon dan permohonan yang akan di ajukan kini sudah ditentukan langsung dalam PMK No. 15 Tahun 2008.

Kata Kunci : Kedudukan Hukum, Pemohon, Sengketa Pemilukada, Mahkamah

Kontitusi

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Dalam proses pembangunan demokrasi di Indonesia, keberadaan Mahkamah Konstitusi memiliki peran yang sangat penting. Tidak berjalannya proses chek and balances dalam penyelenggaraan negara telah menyebabkan terjadinya berbagai penyimpangan terhadap wilayah kosntitusi.1

Dalam kaitannya dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi seperti yang di undangkan dalam pasal 326c UU No. 12 Tahun 2008 maka jelas bahwa terjadi pergeseran kewenangan antara MA menuju MK dalam memutus dan mengadili sengketa pemilukada. Dengan demikian seluruh ketentuan kedudukan hukum (legal standing) pemohon dalam sengketa pemilukada juga memiliki batasan-batasan baru sesuai dengan ketentuan Mahkamah Konstitusi.

  • 1.2    Tujuan

Tujuan dari makalah ini antara lain :

  • 1.    Mengetahui pergeseran kewenangan penanganan sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi

  • 2.    Mengetahui kedudukan hukum pemohon atas sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah di Mahkamah Konstitusi

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam menyusun makalah ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yakni dengan meneliti ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi serta Pemerintahan Daerah dan mengkaji teori-teori mengenai kedudukan hukum (legal standing) pemohon dalam sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah di Mahkamah Konstitusi.

  • 2.2    Hasil dan Pembahasan

    2.2.1    Pergeseran Kewenangan

Secara khusus kewenangan Mahkamah Konstitusi di atur dalam pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 yakni :

  • 1)    Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberi oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu

Namun dengan adanya ketentuan pasal 236c Undang-Undang No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Pemda maka penanganan sengketa hasil pemilukada 2

dialihkan dari MA menuju MK.2

Jelas bahwa dengan adanya Undang-undang ini kewenangan Mahkamah Konstitusi menjadi bertambah yakni menangani sengketa hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Dengan demikian penting halnya jika kedudukan hukum pemohon (legal standing) dalam sengketa pemilukada ini ditelusuri lebih dalam lagi.

Legal standing adalah adaptasi dari istilah personae standi in judicio yang artinya

3

adalah hak untuk mengajukan gugatan atau permohonan di depan pengadilan.

Secara umum, kualifikasi pemohon ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang No. 24 Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi, yaitu:

“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

  • 1.    perorangan warga negara Indonesia, 2. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, 3. badan hukum publik atau privat, atau 4. lembaga negara.”

  • 2.2.2    Kedudukan Hukum Pemohon dalam Sengketa Pemilukada

Dalam menilai dan mengukur apakah pihak yang mengajukan gugatan terhadap hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah memiliki kedudukan hukum yang tepat untuk mengajukan sengketa di hadapan MK, akan dilihat dari sudut objek sengketanya (objectum litis) dan pihak yang mengajukannya (subjectum litis).4

  • a.    Objectum litis

Dalam praktek peradilan, objectum litis dikenal sebagai objek perkara. Batasan mengenai kewenangan MK dalam memutus dan mengadili sengketa pemilukada jelas bahwa tidak diperbolehkan melakukan fungsi peradilan pidana atau peradilan administrasi melainkan masih tetap diperbolehkan mengadili perkara yang berakibat pada hasil perhitungan suara. Sesusai dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 15 Tahun 2008 disebutkan mengenai objek perkara dalam pasal 4 yang berbunyi :

“Objek perselisihan Pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon yang mempengaruhi:

  • a.    penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua Pemilukada; atau

  • b.    terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.”

  • b.    Subjectum litis

Subjectum litis dikenal sebagai subyek perkara atau siapa saja yang berhak untuk mengajukan legal standing dalam sengketa hasil pemilukada. Dalam hal ini, subjek perkara telah ditegaskan dalam pasal 3 PMK No.15 Tahun 2008 yang berbunyi :

“(1) Para pihak yang mempunyai kepentingan langsung dalam perselisihan hasil Pemilukada adalah: Pasangan Calon sebagai Pemohon, KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai Termohon.

  • (2)    Pasangan Calon selain Pemohon dapat menjadi Pihak Terkait dalam perselisihan hasilPemilukada;

  • (3)    Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait dapat diwakili dan/atau didampingi oleh kuasa hukumnya masing-masing yang mendapatkan surat kuasa khusus dan/atau surat keterangan untuk itu.”

Merujuk pada dua ketentuan di atas maka selain dari objectum litis dan subjectum litis yang ditentukan tidak dapat mengajukan gugatan terhadap hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah.

  • III.    KESIMPULAN

  • 1.    Sesuai dengan ketentuan terbaru dari undang-undang pemerintahan daerah yakni pasal 326c UU No. 12 Tahun 2008, maka jelas bahwa kewenangan memutus serta mengadili sengketa hasil pemilukada kini di tangani langsung oleh Mahkamah Konstitusi dan bukan lagi menjadi kewenangan Mahkamah Agung

  • 2.    Kedudukan hukum dalam sengketa hasil pemilukada harus dilihat dari dua aspek yakni objectum litis dan subjectum litisnya. Syarat-syarat dari objectum litis dan subjectum litis telah ditentukan dalam pasal 3 PMK No.15 Tahun 2008.

DAFTAR PUSTAKA

Hadi, Nurudin, 2007, Wewenang Mahkamah Konstitusi (Pelaksanaan Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilu), Prestasi Pustakarya, Jakarta

Siahaan, Mauarar, 2012, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia edisi ke Dua, Sinar Grafika, Jakarta

Harjono, 2008, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa Pemikiran Hukum Dr. Harjono., S.H.,M.C.L Wakil Ketua MK, Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta

Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang

No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam

Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah

5