PERANAN HAKIM DALAM PENERAPAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DI PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Oleh

I Gusti Ngurah Dhian Prismanatha

Anak Agung Gede Oka Parwata

Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstract

This article discusses the role of judges in the application of the reversal of the burden of proof in proceedings of money laundering . How the role of judges in the application of reversal of the burden of proof in proceedings of money laundering . By using normative research methods , showed that the judge ordered the defendant in order to prove that the assets associated with the case not from or related to the crime referred to in article 2, paragraph 1 of Law No. 8 of 2010 on Money Laundering .

Keywords: Role, Judge, Proof, Money laundering

Abstrak

Artikel ini membahas tentang peranan hakim dalam penerapan pembalikan beban pembuktian di persidangan tindak pidana pencucian uang. Bagaimana peranan hakim dalam penerapan pembalikan beban pembuktian di persidangan tindak pidana pencucian uang. Dengan menggunakan metoda penelitian normatif, didapatkan hasil bahwa hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 UU No 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Kata kunci: Peranan, Hakim, Pembuktian, Tindak pidana pencucian uang

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang

Pencucian uang atau money laundering secara sederhana diartikan sebagai suatu proses menjadikan hasil kejahatan (proceed of crimes) atau disebut sebagai uang kotor (dirty money) misalnya hasil obat bius, korupsi, penggelapan pajak, judi, penyelundupan dan lain-lain yang dikonversi atau diubah ke dalam bentuk yang nampak sah agar dapat digunakan dengan aman.1 Pada tahun 1989 dibentuklah Financial Action, Task Force (FATF), yaitu suatu badan internasional yang dibentuk oleh negara-negara kelompok G7 yang bertujuan untuk memerangi

pencucian uang.2 Pada Tahun 2000 FATF mengkategorikan Indonesia sebagai negara yang tidak kooperatif dalam memberantas pencucian uang. Oleh karena itu Indonesia melakukan tindakan dengan menetapkan kriminalisasi pencucian uang dengan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang kemudian diganti dengan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Istilah pembalikan beban pembuktian dimaksudkan bahwa pembuktian diletakkan kepada salah satu pihak, yang secara umum diletakkan kepada penuntut umum (Pasal 137 KUHAP), namun mengingat adanya sifat kekhususan perkara yang sangat mendesak maka beban pembuktian tidak lagi diletakkan kepada penuntut umum, tetapi kepada terdakwa. Upaya pembalikan beban pembuktian dicantumkan dalam Pasal 35 UU No 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyatakan : “untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaan bukan merupakan hasil tindak pidana.” Belum adanya suatu perangkat aturan yang mengatur secara jelas mengenai penerapan pembalikan beban pembuktian dan juga adanya pendapat para ahli hukum di Indonesia yang menganggap bahwa pembalikan beban pembuktian melanggar asas praduga tak bersalah akan mempengaruhi sulitnya penerapan asas pembalikan beban pembuktian dalam sistem peradilan di Indonesia, sehingga dalam hal ini peranan hakim menjadi sangat penting.

  • 1.2.    Tujuan Penulisan

Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan jurnal ini yaitu untuk mengetahui penerapan pembalikan beban pembuktian pada perkara pencucian uang dan peranan hakim dalam penerapan pembalikan beban pembuktian di persidangan.

  • 2.    PEMBAHASAN

    • 2.1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan ini yaitu metode penelitian hukum normatif. Dalam hal penulisan artikel ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif dimana hukum jenis ini, beranjak dari adanya kekaburan dalam norma/asas hukum. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis,3 yaitu penelitian ini merupakan penelitian yang menggambarkan,

menelaah, menjelaskan serta menganalisa permasalahan dalam peranan hakim dalam penerapan pembalikan beban pembuktian di persidangan.

  • 2.2. Penerapan Pembalikan Beban Pembuktian Pada Perkara Pencucian Uang

Sistem pembalikan beban pembuktian dalam hukum pidana korupsi Indonesia berasal dari negara anglo saxon seperti Inggris, Singapura dan Malaysia. Sistem pembalikan beban pembuktian hanya diterapkan pada tindak pidana yang berkenaan dengan gratification yang berhubungan dengan suap.4 Sistem pembalikan beban pembuktian dalam ketentuan perundang-undangan khususnya tentang pemberantasan tindak pidana korupsi bertujuan untuk mengusut dan mengadili kasus-kasus korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia. Dalam Pasal 35 UU No 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyatakan : “untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaan bukan merupakan hasil tindak pidana.” Pasal ini menerapkan teori pembalikan beban pembuktian, tetapi ketentuan tersebut tidak mengatur lebih lanjut mengenai bagaimana apabila terdakwa tidak dapat membuktikan harta kekayaannya yang bukan merupakan hasil tindak pidana serta darimana ia memperoleh harta kekayaan tersebut.

Perkara pencucian uang, dapat diketahui bahwa sistem pembalikan beban pembuktian yang diterapkan dalam perkara pencucian uang menganut asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) tidak diterapkan secara mutlak (pengecualian terhadap asas praduga tak bersalah), dimana adanya pembalikan beban pembuktian, si terdakwa wajib untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana, namun Jaksa Penuntut Umum juga berkewajiban dalam hal pembuktian tuntutannya. Penerapan pembalikan beban pembuktian ini tidaklah dilakukan secara murni, namun diterapkan secara terbatas dan berimbang. Majelis Hakim menempatkan pembalikan beban pembuktian ini pada tahap pemeriksaan saksi a de charge (saksi yang meringankan) dan juga pada tahapan pemeriksaan terdakwa di persidangan.

  • 2.3. Peranan Hakim Dalam Penerapan Pembalikan Beban Pembuktian Di Persidangan

Pengadilan adalah institusi dimana kekuasaan kehakiman dijalankan oleh hakim, oleh karenanya hakim dan pengadilan adalah suatu kesamaan ketika menjalankan fungsinya secara nyata. Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 angka 8 KUHAP mendefinisikan hakim

sebagai pejabat Negara yang keberadaannya adalah untuk mengadili perkara pidana. Kemudian dalam Pasal 1 angka 9 KUHAP menyatakan bahwa “mengadili’ sebagai suatu rangkaian tindakan hakim mulai dari (i) menerima, (ii) memeriksa, (iii) memutus perkara pidana. Dalam ketentuan pasal 183 KUHAP mengatur bahwa hakim dalam menjatuhkan putusannya (kebenaran materiil) setelah sekurang-kurangnya telah ditemukan dua alat bukti yang sah dan hakim memperoleh keyakinan. Hakim memiliki kewenangan khusus (selain kewenangan perkara), yang diberikan oleh undang-undang yang tidak dimiliki oleh aparat penegak hukum lainnya.

Kaitannya dengan penerapan pembalikan beban pembuktian, maka hakim memiliki kewenangan yang absolut yang diberikan undang-undang dalam memimpin pemeriksaan alat bukti, baik yang diajukan oleh penuntut umum maupun oleh si terdakwa khususnya dalam persidangan perkara pencucian uang sepanjang dengan undang-undang. Dalam Pasal 78 ayat 1 UU No 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan: Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1.

Pasal 6 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dapat diketahui mengenai “keyakinan hakim” yang menyatakan : “tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.” Pertimbangan Dalam KUHAP memang tidak mengatur secara tersendiri mengenai sistem pembuktian tetapi hanya ditentukan bahwa ketika hakim menjatuhkan putusan harus dengan “sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia (hakim) memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Keabsahan bagaimana pengumpulan barang bukti adalah sepenuhnya kewenangan hakim.5

  • 3.    Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang didapat yaitu:

  • 1.    Dalam perkara pencucian uang, dapat diketahui bahwa sistem pembalikan beban pembuktian yang diterapkan dalam perkara pencucian uang menganut asas praduga tak

bersalah (presumption of innocence) tidak diterapkan secara mutlak (pengecualian terhadap asas praduga tak bersalah), dimana adanya pembalikan beban pembuktian, si terdakwa wajib untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana, namun Jaksa Penuntut Umum juga berkewajiban dalam hal pembuktian tuntutannya.

  • 2.    Majelis hakim dalam penerapan pembalikan beban pembuktian diterapkan saat pemeriksaan saksi a de charge (saksi yang meringankan yang diajukan oleh terdakwa) dan juga pada tahap pemeriksaan terdakwa dimana terdakwa wajib mengajukan bukti-bukti yang mendukung bahwa harta kekayaan yang terkait bukan berasal dari hasil kejahatan. Mengenai keyakinan hakim dalam pembuktian adalah dalam kewenangan hakim yang bersifat subyektif.

  • 4.    DAFTAR PUSTAKA

Bambang Waluyo, 1996, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta

Indriyanto Seno Adji, Sistem Pembuktian Terbalik : Meminimalisasi Korupsi di Indonesia, Jurnal Keadilan, Vol. I, No. 2 Juni 2002

Luhut M.P. Pangaribuan, 2009, Suatu Studi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia, FHUI, Jakarta

NHT. Siahaan, 2008, Money Laundering & Kejahatan Perbankan, Jala, Jakarta

Yenti Garnasih, 2003, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), FHUI, Jakarta

5