PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) DI INDONESIA
on
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) DI INDONESIA
OLEH
Ni Putu Ayu Leni Cahyarani
I Ketut Rai Setiabudhi
I Made Tjatrayasa
Bagian hukum pidana, Fakultas Hukum, Universitas Udayana
ABSTRAK
Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pencucian uang diatur dalam Pasal 6 sampai Pasal 9 dalam UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pembrantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam pasal-pasal tersebut menjelaskan mengenai sanksi dan penjatuhan pidana terhadap korporasi itu sendiri. Adapun kekosongan norma yang terdapat dalam Pasal 9 yaitu tentang perampasan harta kekayaan korporasi tetapi dalam UU tidak dijelaskan siapa yang berwenang untuk melakukan perampasan. Dimasa yang akan datang membangun peraturan-peraturan yang lebih baik untuk mengisi kekosongan norma tersebut, dengan itu memiliki tujuan untuk memahami dan menganalisis setiap perkembangan pengaturan tindak pidana korporasi sebagai tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Metode yang digunakan untuk memecahkan masalah ini adalah metode normatif yang mengenal data sekunder. Hasilnya di dalam KUHP yang saat ini belum mengatur tentang korporasi sebagai subjek hukum pidana, dalam RUU KUHP 2013 sudah di nyatakan korporasi sebagai subjek hukum pidana, apabila terdapat kekurangan yang tidak dapat pidana dalam UU dapat di pidana di dalam KUHP.
Kata Kunci : Pengaturan, Korporasi, Tindak Pidana, Pencucian uang
ABSTRAK
Corporate criminal liability in money laundering under Article 6 to Article 9 of the Law No. 8 of 2010 Concerning eradication and Prevention of Money Laundering. In these articles explain the imposition of criminal sanctions and the corporation itself. The void norm contained in Article 9, which is about the appropriation of corporate wealth, but the law does not explain who is authorized to make appropriation. Future building regulations better to fill the void that norm, with it has the purpose to understand and analyze each development arrangement as a corporate criminal offense of money laundering in Indonesia. The method used to solve this problem is to know the normative method of secondary file. The results in the Criminal Code that has not been set on the corporation as the subject of criminal law, Draft Criminal Code in 2013 has been identified as the subject of corporate criminal law, if there are flaws in the criminal can not be in the criminal law in the Criminal Code.
Keywords: Regulation, Corporations, Crime, Money Laundering
PENDAHULUAN
Seiring kemajuan teknologi dan pekembangan zaman korporasi dapat dijadikan subjek hukum pidana dan pertanggungjawaban korporasi ada dalam hukum positif 1. Tindak pidana korporasi yang dilakukan dalam tindak pidana pencucian uang, diatur dalam UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberatasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut UU TPPU), pertanggungjawaban korporasi cukup jelas dalam UU TPPU tersebut dalam Pasal 6 sampai Pasal 9, tentunya masih terdapat kekosongan norma dalam Pasal 9 yang menyebutkan “ Perampasan Harta Kekayaan Korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi apabila tidak membayar pidana pokok yaitu denda dalam melakukan tindak pidana pencucian uang”. UU TPPU tidak menyebutkan siapa yang mempunyai wewenang dalam melakukan perampasan terhadap harta kekayaan milik korporasi dan/personil pengendali korporasi, di dalam yang juga tidak merupakan subjek hukum pidana berupa korporasi hanya orang perorangan dan KUHP juga tidak menjelaskan penyidik berwenang untuk merampas.
Kokosongan norma yang terdapat dalam UU TPPU tersebut dalam masa yang akan datang dapat kita songsong dan sambut dengan peraturan-peraturan yang baik. KUHP Nasional dimasa yang akan datang harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan baru, yang sampai saat ini masih menagut subjek hukum pidana berupa perorang/manusia2. Peraturan perundang-undangan yang tentunya berdasarkan UUD 1945 dan di dukung oleh seluruh masyarakat, pemerintah, maka hal ini dapat merupakan salah satu wujud ketahanan nasional khususnya di bidang kejahatan korporasi di era globalisasi3.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memahami dan pengetahui pengaturan hukum positif tentang tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dalam tindak pidana
pencucian uang di Indonesia, dan pengaturan dimasa yang akan datang tentang tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dalam tindak pidana pencucian uang .
II ISI NASKAH
Metode penelitian yang digunakan adalah metode normatif yang mengenal data sekunder, dengan memecahkan permasalahan yang ada metode ini memakai berbagai literatur yang ada seperti perundang-undangan, buku dan sumber-sumber lainnya.
-
2.2 Analisis dan Pembahasan
2.2.1 Hukum Positif di Indonesia mengatur pertanggungjawaban tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dalam tindak pidana pencucian uang.
Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dapat dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana pencucian uang ditegaskan dalam UU TPPU. Pasal 1 angka 9 UU TPPU menyebutkan bahwa “setiap orang adalah orang perseorangan atau “korporasi”. Selanjutnya Pasal 1 angka 10 menyebutkan bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dengan demikian menurut UU TPPU subjek hukum pidana pencucian uang tidak hanya “orang perseorangan” tetapi juga korporasi.
Pertanggungjawaban pidana korporasi diatur dalam ketentuan Pasal 6 sampai Pasal 9 UU TPPU, Pasal 6 ayat (1) menentukan “Dalam hal Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi.Personil Pengendali Korporasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 14 UU TPPU adalah setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentu kebijakan Korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan Korporasi tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya. Korporasi sebagai subjek hukum artinya membawa hak dan kewajiban, sehingga apabila korporasi melanggar kewajiban atau berbuat tanpa hak maka korporasi dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 9 ayat (1) UU TPPU yang menyatakan “ Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud delam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan harta kekayaan milik korporasi atau personil pengendali korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang
dijatuhkan”. Perampasan yang dilakukan terhadap korporasi atau pengendali personil korporasi terdapat kekosongan norma yang di dalam UU TPPU tidak mengatur tentang siapa yang mempunyai wewenang untuk melakukan perampasan harta kekayaan milik korporasi atau personil korporasi, di dalam KUHP juga hanya penyidik berwenang untuk melakukan penyitaan.
Subjek hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum adalah manusia. Jadi, manusia oleh hukum diakui sebagai penyandang hak dan kewajiban, sebagai subjek hukum atau sebagai orang4.
Inventarisasi kejahatan korporasi tersebut dimungkinkan untuk masa-masa yang akan datang akan selalu berkembang lebih canggih lagi. Sebab perkembangan kejahatan sudah bersifat global, bahkan pada era abad ini perkembangan tersebut sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat internasional5.
UU TPPU yang terdapat kekosongan norma dalam pasal 9 yang menyatakan perampasan terhadap harta kekayaan korporasi ataupun pengendali personil korporasi namun dalam UU TPPU tidak dinyatakan siapa yang mempunyai wewenang untuk dapat melakukan perampasan tersebut. Pengalaman para penegak hukum dalam menegakan hukum sebaiknya menjadi masalah terus bagi legislatif untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undangan selain menciptakan peraturan yang baru dan menyempurnakan undang-undang yang sudah ada, maka tidak kalah pentingnya pentingnya ialah peningkatan mutu penegak hukum baik moral maupun mental serta keahlian dibidang hukum. Penanaman jiwa patriotisme bagi aparatur Negara perlu dilakukan, sehingga tidak mudah terkecoh oleh rayuan para pelanggar hukum termasuk kejahatan korporasi.
KUHP Nasional yang perlu dirubah subjek hukum pidananya yang saat ini masih orang/ manusia untuk dapat korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam
KUHP Nasional, yang harus menyesuaikan diri dengan perkembangan baru khususnya perkembangan internasional 6.
III KESIMPULAN
-
1. Di Indonesia pengaturan hukum positif tentang pertanggungjawaban tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh korporasi terdapat dalam UU TPPU dalam pasal 6 sampai Pasal 9, adanya kekosongan norma dalam Pasal 9 ayat (1) UU TPPU dalam pasal ini menyebutkan perampasan harta kekayaan milik korporasi atau personil pengendali korporasi, dalam UU TPPU tidak dinyatakan siapa yang berwenang melakukan perampasan. KUHP yang menyatakan dalam Bab IV pasal 7 penyidik hanya berwenang untuk melakukan penyitaan tidak ada disebutkan perampasan.
-
2. Pengaturan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh korporasi dimasa mendatang, terhadap kekosongan norma yang dapat dijadikan pedoman untuk menyongsong peraturan perundang-undangan yang baik dan KUHP Nasional kita dapat dijadikan dasar untuk menjerat tindak pidana korporasi dalam tindak pidana pencucian uang.
DAFTAR PUSTAKA
A.BUKU
Muladi dan Dwidja Priyatno,2013, Pertanggung Jawaban Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Cetakan ke-3, Jakarta
Nurmalawaty, 2006, Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencucian (Money Laundering ) Dan Upaya Pencegahannya. Jurnal Equality Vol 11
Sudikno Mertokusumo,1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty
B. PERUNDANG-UNDANGAN
UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang.
KUH Pidana
5
Discussion and feedback