PENJATUHAN SANKSI PIDANA BAGI ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN (TINJAUAN RESTORATIVE JUSTICE)
on
PENJATUHAN SANKSI PIDANA BAGI ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN (TINJAUAN RESTORATIVE JUSTICE)
Nyoman Krisna Ananda Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: kinemon27@gmail.com
A.A. Ngurah Oka Yudistira Darmadi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: oka_yudistira@unud.ac.id
DOI: KW.2023.v12.i10.p5
ABSTRAK
Tujuan artikel ini disusun agar mengetahui sanksi pidana yang diberikan terhadap anak pelaku pemerkosaan, dan menganalisis mengenai substansi yang mengatur mengenai sanksi yang diberikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana pemerkosaan. Apakah di dalam substansi tersebut sudah memberikan kepastian hukum, atau masih terdapat ketidakselarasan/ konflik norma antara satu pasal dengan pasal lainnya. Metode penelitian normative digunakan di dalam penelitian ini, menggunakan bahan hukum primer Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Serta bahan hukum sekunder berupa literatur yang sesuai dengan penelitian ini. Adapun dalam penelitian ini menggunakan Metode pendekatan peraturan perundang-undangan, (statute approach) pendekatan fakta, pendekatan analitis terhadap konsep hukum (analytical-legal konseptual approach). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terhadap anak yang melakukan tindak pidana pemerkosaan wajib diupayakan Diversi dalam proses penyelesaian perkaranya sesuai dengan Pasal 7 ayat (1), dan ayat (2) karena ancaman pidana dibawah 7 tahun. Namun dalam pernyataan pasal 79 ayat (1) Undang-Undang yang sama menyatakan sebaliknya bahwa anak wajib diberlakukan pembatasan kebebasan mengingat tindak pidana yang dilakukan disertai kekerasan. Maka dari itu terdapat konflik norma diantara pernyataan Pasal tersebut, terhadap proses penyelesaian perkara anak yang melakukan tindak pidana pemerkosaan sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum.
Kata Kunci: Keadilan Restoratif, Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum, Tindak Pidana Pemerkosaan
ABSTRACT
The purpose of this article is to explore the criminal sanctions imposed on juvenile perpetrators of rape, and to analyze the substance governing the sanctions against minors involved in the crime of rape. The aim is to determine whether the legal framework provides legal certainty or if there are inconsistencies/conflicts between different articles. A normative research method is employed, utilizing primary legal sources such as Law No. 11 of 2012 Regarding the Juvenile Justice System, as well as secondary legal materials in the form of literature relevant to this research. The study employs the method of statute approach, factual approach, and analytical-legal conceptual approach. The research findings indicate that for juveniles committing the crime of rape, diversion must be sought in the case resolution process, as stipulated in Article 7, paragraphs (1) and (2), due to the criminal threat being below 7 years. However, contrary to this, Article 79, paragraph (1) of the same Law states that juveniles must be subjected to freedom restrictions, considering the violent nature of the committed crime. Therefore, there is a normative conflict within the provisions of the said Article regarding the resolution process for cases involving juvenile perpetrators of rape, leading to legal uncertainty.
Keywords: Restorative Justice, Children Who Commits Crime, Rape Crime
Dalam Bahasa latin terdapat kata rapere yang berarti perkosaan (rape) yang memiliki pengertian berupa membawa pergi, memaksa, dan mencuri1. Black’s Law Dictionary 2 memaknai perkosa dengan 3 unsur/ bentuk: suatu perbuatan berhubungan badan terhadap perempuan tanpa kemauannya dia, persetubuhan tidak sah yang dilakukan dengan melanggar hukum, dan dilakukan dengan menggunakan kekerasan terlebih dahulu untuk mendominasi korbannya yang dilakukan oleh pelaku. Perkosaan merupakan suatu perbuatan hubungan kelamin kepada perempuan yang bukan istrinya dan dilakukan secara paksa terlebih dahulu, yang dimana perbuatan itu dilakukan kektika sang Wanita ketakutan/ di bawah kondisi ancaman lain. Jadi kata pemerkosaan dalam penulisan ini memiliki makna: suatu proses persetubuhan yang dilakukan oleh pelaku kepada korbannya dengan pemaksaan dan ancaman kekerasan ataupun kekerasan terlebih dahulu, yang dimana perbuatan itu melanggar secara hukum.
Pemerkosaan kepada perempuan adalah perbuatan/tindakan kriminal yang menghancurkan kejiwaan korbannya. Hal itu dikarenakan korban pemerkosaan mengalami akibat secara fisik dan juga secara psikis (kejiwaan). Pingsan, robeknya selaput dara yang menjadi indikasi keperawanan seorang Wanita, resiko tertular penyakit menular seksual, kehamilan, dan kematian merupakan dampak fisik yang dialami oleh perempuan korban pemerkosaan. 3Sedangkan akibat yang dapat dialami korban pemerkosaan secara psikis adalah korban depresi, fobia, dan mimpi buruk, dampak yang dialami korban sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Linda E. Ledray terhadap dampak dari pemerkosaan4. Dalam penelitian yang ia lakukan, ia mendapatkan data bahwa perempuan korban pemerkosaan menngalami berbagai penyakit seperti: Pusing, kekejangan otot yang luar biasa, kecemasan, rasa lelah secara psikologis, kegelisahan tak berujung, merasa tidak aman dan yang terakhir merasa diintimidasi oleh keadaan. Tidak hanya sampai disitu, dalam hasil penelitian yang beliau lakukan juga terdapat beberapa perempuan yang menyatakan bahwa mereka bermaksud untuk bunuh diri.
Terdapat alasan lain mengapa akibat yang ditimbulkan oleh pemerkosaan ini sangatlah berat bagi perempuan, korban pemerkosaan selain dampak yang telah disebutkan tadi. Hal tersebut adalah adanya stigma tidak mengenakkan dari masyarakat terhadap perempuan korban pemerkosaan. Masyarakat cenderung menghakimi bahwa perempuan korban pemerkosaan merupakan perempuan yang hina, dan mereka memandang bahwa pemerkosaan yang menimpa mereka, merupakan kesalahan mereka sendiri. Hal tersebut dikarenakan masyarakat memandang bahwa perempuan korban pemerkosaan mengundang hawa nafsu
pelaku dengan berbusana seksi seperti menggunakan pakaian mini, rok ketat,dan menggunakan pakaian yang terlalu terbuka (Reavealing).
Hal tersebut menyebabkan perempuan korban pemerkosaan menyalahkan dirinya sendiri (Self Blaming) terhadap apa yang menimpa dirinya. Yang dimana hal ini akan memperburuk keadaan dan membuat mereka depresi karena merasa apa yang meneimpa mereka merupakasan salah mereka sendiri. Apabila Self Blaming tersebut tetap dibiarkan dan tidak segera diatasi, dengan seiring berjalannya waktu hal tersebut akan menciptakan rasa trauma yang berkepanjagan atau sering disebut dengan stress paska trauma/ lebih dikenal dengan istilah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)5. Shalev6 berpendapat PTSD adalah gangguan kecemasan yang dapat dikategorikan/ dikelompokkan ke dalam 3 fase yaitu: “experiencing, avoidance, dan hyperarousal”, terhadap korban yang mengalami kejadian traumatic, ke 3 fase ini dialami paling sedikit 1 kali dalam jangka waktu 1 bulan. Menurut kriteria dari American Psychiatric Association7. Korban yang mengalami PTSD memiliki tanda-tanda sebagai berikut: mengalami emosi negatif ingin mengakhiri nyawanya (suicidal), depresi, mengalami naik turun emosi secara drastis terhadap nafsu makan, penurunan berat badan atau meningkatnya berat badan, kesulitan tidur pada malam hari (Insomnia), tidak ingin bangun dari ranjang tempat tidur, terjadi perubahan dalam pola aktivitas, kehilangan motivasi dan gairah terhadap rutinitas yang biasa dijalani, tidak memiliki energi dan merasa lemah, mengeluarkan energi negatif terhadap diri sendiri, menyalahkan diri sendiri (self blaming), sulit berkonsentrasi, dan tidak dapat memutuskan sesuatu.
Dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana pemerkosaan sangatlah merugikan kehidupan korbannya, baik itu dari segi fisik, psikis, maupun image mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Terhadap pelaku pemerkosaan diancam pidana penjara dengan durasi 12 tahun, hukuman tersebut sangatlah sesuai dijatuhkan terhadapnya, mengingat akibat yang ditimbulkan. Akan tetapi dalam penelitian ini akan meneliti apakah hukuman tersebut tetap sesuai untuk diancmankan kepada anak dengan kondisi mental yang belum stabil. Maka dari itu, penulis tertarik melakukan penelitian terhadap pertanggungjawaban pidana yang sesuai diancamkan kepada anak pelaku pemerkosaan.
Terdapat 2 Penelitian yang memiliki judul mirip dengan yang penulis teliti, namun memiliki pembahasan yang berbeda. Yang pertama dari penulis Astrid Ayu Pravitria dengan judul “Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Yang melakukan Pemerkosaan Terhadap Anak” 8pada tulisan ini pembahasannya mengarah kepada putusan hakim terhadap suatu kasus yang terjadi secara nyata. Sedangkan yang penulis teliti tidak mengambil contoh kasus secara nyata, namun meneliti keselarasan subtansi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak selanjutnya disebut dengan (UU SPP ANAK). Untuk penelitian yang kedua memiliki judul judul “Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perkosaan Dengan Sarana Penal Dalam Rangka Melindungi Perempuan” dari penulis Ramiyanto dan Waliadin. 9Dalam penulisan ini membahas mengenai pemberian perlindungan
hukum kepada perempuan korban pemerkosaan dari KUHP. Kemiripan yang terdapat di dalam penelitian yang penulis teliti dengan penelitian yang diteliti oleh saudara Ramiyanto dan Waliadin adalah dampak yang dialami oleh perempuan korban pemerkosaan. Walaupun terdapat kemiripan mengenai pembahasan dampak yang dialami perempuan korban pemerkosaan. Akan tetapi objek utama penelitian yang dibahas sangatlah berbeda yang penulis teliti adalah keselarasan substansi UU SPP ANAK Sedangkan yang penulis Ramiyanto dan Waliadin tulis mengenai perlindungan kepada perempuan korban pemerkosaan. Sehingga tulisan yang penulis buat merupakan hasil alami dari gagasan dan ide yang penulis tuangkan dalam tulisan ini.
-
1. Bagaimana pengaturan hukum positif di Indonesia terkait penjatuhan sanksi pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana pemerkosaan?
-
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi anak pelaku tindak pidana pemerkosaan ditinjau dari konsep Restorative Justice di Indonesia?
Tulisan ini bertujuan agar mengetahui pengaturan hukum di Indonesia terkait pemidanaan bagi anak pelaku pemerkosaan, dan pertanggungjawaban pidana bagi anak pelaku pemerkosaan dilihat dari konsep Restorative Justice di Indonesia. Serta mengetahui apakah ada norma kabur, konflik, ataupun norma kosong dalam pengaturan Restorative Justice di Indonesia terhadap anak pelaku pemerkosaan.
Tulisan dalam penelitian hukum ini merupakan jenis penelitian normatif karena mengkaji peraturan hukum yang terdapat di dalam sistem hukum indonesia untuk menemukan apakah terdapat norma kabur, konflik norma, ataupun kekosongan norma di dalamnya. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) pendekatan fakta, pendekatan analitis terhadap konsep hukum (analytical-legal konseptual approach) merupakan metode pendekatan yang digunakan untuk meneliti permasalahan yang akan dibahas. Data sekunder berupa bahan hukum primer yang terdiri dari: peraturan perundang-undangan terkait, dan bahan hukum sekunder meliputi literatur yang memiliki keterkaitan di dalam penelitian ini, merupakan sumber data yang digunakan. Pengumpulan data dan bahan hukum di dalam peneltian ini, menggunakan Studi Kepustakaan, dan Pendekatan desriptif analitis digunakan untuk menganalisis dan menjelaskan mengani objek yang diteliti. Pendekatan perundang-undangan dalam hal ini untuk memperhatikan norma di dalam UU SPP ANAK. Apakah norma di dalamnya sudah selaras, atau ada konflik norma antara norma satu dengan norma lainnya. Sedangkan pendekatan konseptual digunakan agar mengetahui, menguraikan, dan menganalisis permasalahan kemudian yang bertujuan untuk memahami konsep-konsep atas permasalahan tersebut.10
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Pengaturan Hukum Positif di Indonesia Terkait Penjatuhan Sanksi Pidana Bagi Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Pemerkosaan
Anak yang menjadi pelaku dalam suatu tindak pidana, merupakan suatu keprihatinan terhadap bangsa Indonesia, mengingat mereka lah yang nantinya akan mengemban masa depan negeri ini menjadi negeri yang lebih baik lagi. Anak yang seharusnya menikmati masa bermainnya, belajar dan mengenal dunia malah berujung menjadi pelaku dalam tindakan kriminal merupakan hal ironis yang terjadi di kehidupan bermasyarakat. Di dalam masa tumbuh kembang anak menjadi dewasa, sering sekali mendapatkan pengaruh buruk dari lingkungan yang menyebabkan mereka melakukan tindak pidana. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan anak merupakan sosok yang masih labil 11dan belum memiliki kestabilan dalam berfikir dan bertindak, kurangnya pengawasan serta kasih sayang dari orang tua yang menyebabkan anak berujung melakukan tindak pidana. 12 Tindakan kriminal/ tindak pidana dapat terjadi disebabkan oleh 2 faktor 13 meliputi: faktor eksternal dan internal. faktor eksternal disebabkan oleh agama, ekonomi, literasi, dan film. Sedangkan Faktor internal dapat disebabkan oleh penyakit mental, kedudukan di dalam kehidupan bermasyarakat, sakit jiwa, umur dan rendahnya pengetahuan.
Dalam perkembangan zaman yang sangat cepat ini, melihat banyak anak yang sudah memiliki telepon genggamnya masing-masing, merupakan pemandangan yang sudah biasa dilihat, Yang dimana anak tersebut tidak memiliki cukup pengetahuan dan pengendalian diri untuk memilih menonton film apa yang memang sepantasnya ditonton oleh mereka, terlebih lagi orang tua biasanya memberikan telepon genggam pada anaknya dikarenakan mereka sudah sangat sibuk melakukan pekerjaan.
Oleh karena kurangnya kemampuan anak untuk menyeleksi film/hiburan yang ingin mereka tonton, dan kurangnya pengawasan dari orang tua. Akhirnya banyak anak menonton film yang memang hanya dikhususkan untuk orang dewasa (film mesum). Dikarenakan mereka menonton hal tersebut tanpa sepengetahuan orang tua mereka, orang tua nya pun tidak mengetahui bahwa anaknya menonton film yang belum pantas untuk umur mereka. Oleh karena hal itu berlangsung cukup lama ditambah dengan kemudahan mengakses,mengakibatkan pengaruh film mesum tersebut meracuni pikiran dan akal sehat mereka, akhirnya para anak tersebut penasaran dan mereka ingin mencobanya hingga berujunglah kepada tindak pidana pemerkosaan.
Pernyataan pasal 285 KUHP menjelaskan bahwa pemerkosaan dapat terjadi apabila persetubuhan yang dilakukan tanpa adanya hubungan suami istri, kemudian perbuatan itu diawali terlebih dahulu dengan ancaman kekerasan kemudian diikuti dengan kekerasan, dan terhadap pelakunya diancam dengan pidana penjara 12 tahun. Selanjutnya Dalam pernyataan pasal 2 KUHP berbunyi: “aturan pidana dalam perundang-undangan indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia.” Kemudian pernyataan pasal 79 ayat (4) UU SPP ANAK menerangkan: “Ketentuan mengenai pidana penjara dalam KUHP berlaku juga
terhadap Anak sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini”. Pernyataan pasal diatas memberi suatu pernyataan bahwa anak pelaku pemerkosaan mendapatkan sanksi pidana sama seperti yang di dapatkan oleh orang dewasa pelaku pemerkosaan. Akan tetapi pasal 79 ayat (2) menjelaskan: “Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa”. Maka penjatuhan sanksi pidana kepada anak pelaku pemerkosaan hanyalah setengah dari durasi maksimal pidana penjara yang dijatuhkan kepada orang dewasa.
-
3.2 Pertanggungjawaban Pidana Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Ditinjau Dari Konsep Restorative Justice Di Indonesia
Restorative Justice diartikan sebagai14: “Restorative Justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future”. (Restorative Justice adalah sebuah proses dimana pihak-pihak yang berkepentingan dalam terjadinya tindak pidana, dipertemukan untuk menyelesaikan akibat dari terjadinya tindak pidana untuk kepentingan masa depan). Lebih lanjut di dalam SK Drijen mendefiniskan Keadilan restoratif (Restorative Justice) sebagai alternatif sistem penyelesaian perkara pidana, yang berfokus untuk menyelesaikan permasalahan melalui musyawarah/mediasi yang melibatkan semua pihak untuk mengembalikan keadaan seperti semula sebelum terjadinya permasalahan.
Adapun dari 2 pernyataan diatas Restorative Justice diartikan sebagai alternatif sistem penyelesaian perkara pidana yang dalam prosesnya melibatkan proses seluruh pihak terkait untuk menyelesaikan permasalahan secara kekeluargaan dengan musyawarah/ mediasi untuk mengembalikan keadaan seperti semula sebelum terjadinya permasalahan. Sehingga dalam Restorative Justice ini menekankan pemulihan pada kondisi semula dan menghindari adanya pembalasan. Sistem Restorative Justice ini sendiri merupakan cerminan praktis dari pandangan utilitarian15, yang dimana pandangan utilitarian merupakan suatu pandangan yang mengedepankan manfaat dari dilakukannya pemidanaan itu sendiri. Jika disesuaikan dengan pandangan utilitarian, maka manfaat yang ingin dihasilkan oleh sistem keadilan restoratif adalah menghindarkan pembalasan kepada pelaku kejahatan dan pemulihan Kembali kepada keadaan semula dengan pemberian ganti rugi kepada korban.
Untuk pelaksanaan sistem Restorative Justice di Indonesia diatur dalam beberapa pengaturan seperti: Peraturan Kejaksaan tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan UU SPP ANAK. Sesuai dengan Namanya, untuk anak pelaku pemerkosaan pelaksanaan Restorative Justice nya menggunakan UU SPP ANAK. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan pasal 5 ayat (2) UU SPP ANAK, yang pada dasarnya menyatakan bahwa segala proses penyelesain perkara pidana yang
meliputi anak, menggunakan UU SPP ANAK sebagai dasar pengaturannya. selanjutnya dalam pernyataan pasal 7 ayat (1) UU SPP ANAK menerangkan dalam tiap tahap proses penyelesaian perkara anak, diversi merupakan langkah pertama yang wajib dilaksanakan. Dari poin poin diatas, terhadap anak pelaku kejahatan menggunakan UU SPP ANAK sebagai dasar pengaturannya dan dalam tahap pertama penyeleseaian perakaranya wajib menggunakan sistem Restorative Justice
Restorative Justice dalam UU SPP ANAK dikenal dengan istilah lain yakni Diversi. Dalam pernyataan Pasal 5 ayat (1) UU SPP ANAK dinyatakan bahwa: “Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif”. Untuk dapat dilaksanakan upaya Diversi terhadap anak pelaku kejahatan, harus memenuhi syarat yang dinyatakan oleh pasal 7 ayat (2) UU SPP ANAK yaitu: pidana yang diancamkan padanya tidak boleh melebihi durasi 7 tahun pidana penjara, dan tindak pidana tersebut haruslah tindak pidana perdana yang dilaksanakan oleh anak, bukan suatu pengulangan tindak pidana. Sebagaimana dinyatakan di dalam pernyataan pasal 7 ayat (2) UU SPP ANAK, upaya Diversi terhadap anak pelaku kejahatan baru bisa terlaksana apabila kejahatan yang dilakukan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana yang diancam melebihi durasi 7 tahun pidana penjara, dan tindak pidana itu merupakan tindak pidana perdana yang dilakukan/ bukan pengulangan (Residivis).
Pasal 285 KUHP menyatakan: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Dan dalam ketentuan pasal 79 ayat (4) UU SPP ANAK menyatakan: “Ketentuan mengenai pidana penjara dalam KUHP berlaku juga terhadap Anak sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini”. Maka dari itu, dari 2 pernyataan pasal diatas menunjukkan bahwa ketentuan tentang pidana penjara yang disusun di dalam pasal 285 KUHP berlaku juga untuk anak pelaku pemerkosaan. Sehingga selaras dengan pernyataan pasal 285 maka pelaku pemerkosaan mendapatkan sanksi ancaman penjara sama seperti yang diancamkan terhadap orang dewasa yaitu 12 tahun.
Akan tetapi pernyataan pasal 79 ayat (2) mendeskripsikan: “Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa”. Maka terhadap anak pelaku pemerkosaan, diancam dengan pidana penjara dengan durasi 6 ½ tahun. sesuai dengan pernyataan pasal 285 KUHP yang menyatakan bahwa pelaku pemerkosaan mendapatkan ancaman penjara 12 tahun, dan pernyataan pasal 79 ayat (2) menjelaskan bahwa pemidanaan berupa penjara kepada anak dipangkas ½ (satu perdua) dari durasi maksimal pidana penjara yang dijatuhkan kepada orang dewasa. Maka ancaman pidana penjara yang didapat oleh anak pelaku pemerkosaan adalah 6 ½ tahun, oleh karena itu anak bisa diupayakan diversi. Selaras dengan apa yang dinyatakan oleh pasal 7 ayat (2) UU SPP ANAK, bahwa upaya diversi baru bisa dilaksanakan apabila pasal yang dilanggar tidak melebihi durasi 7 tahun penjara
Sayangnya, dalam pernyataan pasal 79 ayat (1) dinyatakan bahwa: “Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan dalam hal Anak melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan kekerasan”. Maka dari itu, disini ditemukan
adanya konflik norma di dalam UU SPP ANAK. Di satu sisi pernyataan pasal 79 ayat (2) menerangkan bahwa anak pelau kejahatan memenuhi syarat diberlakukannya upaya diversi, sesuai dengan pernyataan pasal 7 ayat (2) UU SPP ANAK. Sedangkan di sisi lain pasal 79 ayat (1) UU SPP ANAK, menjelaskan bahwa terhadap anak pelaku kejahatan yang pada saat melakukan kejahatan disertai dengan ancaman kekrasan maupun kekerasan pidana penjara merupakan hal yang wajib diberlakukan. Dikarenakan adanya konflik norma pada pernyataan dalam UU SPP ANAK, mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana anak terhadap anak pelaku pemerkosaan.
Upaya Pembatasan Kebebasan (Penjara) sebagai tahap awal dalam penanganan kasus anak pelaku kejahatan yang disertai kekerasan, seperti yang dinyatakan dalam pasal 79 ayat (1) seharusnya hal tersebut dilakukan sebagai upaya terakhir (Ultimum Remidium) dalam penanganan kasusnya. Seperti dinyatakan di dalam pernyataan pasal 81 ayat (5) yang menyatakan: “Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir”. Terhadap hal tersebut, walaupun tidak secara explisit dijelaskan mengapa anak yang melakukan tindak pidana penjara wajib diberlakukan pembatasan kebebasan, Wirdjono Projodikoro 16mengemukakan target yang ingin dituju dari dilaksanakannya pemidanaan sendiri yaitu: untuk memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Adapun dalam pemidanaan tersebut terdapat 3 teori yang ingin didapatkan meliputi:
-
a) Teori Absolut (vergeldingstheorien) Teori ini diartikan sebagai: pemidanaan sebagai suatu ajang balas dendam kepada terhadap para pelaku kejahatan karena telah melaksanakan tindakan kriminal yang memicu /keresahan dalam masyarakat.
-
b) Teori Relatif (doeltheorien) Teori ini diartikan sebagai: dengan dipidananya pelaku kriminal, terpidana menjadi kapok dan tidak lagi melakukan kejahatan tersebut, sekaligus juga menunjukkan kepada masyarakat umum apabila mereka melakukan perbuatan serupa akan mendapatkan hukuman yang sama. Selain itu dalam teori ini berpendapat bahwa dengan dipidananya pelaku kejahatan, terpidana menyesali perbuatannya sehingga ia bisa berubah menjadi pribadi yang bermanfaat di masyarakat.
-
c) Teori Gabungan (Vereningingstheorien) Teori yang terakhir ini berpendapat bahwa: keadilan mutlak dapat diwujudkan dari pembalasan, akan tetapi pembalasan tersebut yang berguna bagi masyarakat. Hal tersebut diartikan sebagai beratnya suatu pidana dapat dinilai dan ditentukan oleh apa yang memberi manfaat untuk kehidupan masyarakat.
Jika dicocokkan dengan teori diatas, maka terhadap anak yang pelaku pemerkosaan, Keseluruhan teori diatas dapat di cocokkan. Jika di sambungkan dengan teori absolut, maka tujuan yang ingin dicapai dari pembatasan kebebasan kepada anak hanyalah sebagai suatu pembalasan atas perbuatan yang dilakukannya karena telah mengakibatkan kesengsaraan/ keresahan di dalam masyarakat, terutama pada Wanita
yang menjadi korbannya. Dampak yang dialami oleh Wanita korban pemerkosaan dapat berupa kerugian secara fisik, psikis, maupun secara sosiologis dalam kehidupan bermasyarakat.
Secara fisik Wanita korban pemerkosaan mengalami kerugian berupa memar-memar di tubuhnya/ ataupun luka lain yang diakibatkan oleh kekerasan yang disebabkan oleh pelaku selama proses pemerkosaan itu berlangsung. Selain itu, dampak fisik lain yang dialaminya yaitu robeknya selaput dara yang menyebabkan Wanita tersebut kehilangan keperawanannnya. Dengan hilangnya keperawanan yang dimiliki oleh Wanita korban pemerkosaan, hal itu menyebabkan ia kesulitan dalam mencari pasangan di masa depan karena masih banyak pria yang menganggap Wanita yang sudah kehilangan keperawanannya sudah tidak layak mereka jadikan sebagai pasangan hidup. Dan tidak jarang Wanita korban pemerkosaan mendapatkan stigma negatif dalam kehidupan bermasyarakat karena masih banyak yang menganggap Wanita yang menjadi korban pemerkosaan, disebabkan oleh Wanita itu sendiri. Selain dampak secara fisik, Wanita yang menjadi korban pemerkosaan mengalami kerugian secara psikis yang dimana, mengakibatkan ia mengalami trauma secara berkepanjagan yang menganggu kehidupannya. Alasan-alasan diatas merupakan pertimbangan yang logis untuk menerapkan pemidanaan berupa pembatasan kebebasan kepada anak pelaku pemerkosaan.
Selain cocok dengan teori absolut, perbuatan yang dilakukan oleh anak tersebut juga cocok dalam apa yang dikemukakan dalam teori relative. Yang dimana tujuan yang ingin dicapai dari teori relative dalam tujuan pemidanaan adalah untuk membuat jera pelaku kejahatan, dan untuk menunjukkan kepada calon pelaku yang ingin melakukan perbuatan yang sama untuk mengurungkan niatnya. Untuk anak pelaku pemerkosaan maka pemidanaan berupa pembatasan kebebasan adalah untuk membuat anak menjadi kapok dan dan tidak mengulangi perbuataanya lagi. Pemerkosaan bukanlah suatu perbuatan yang dapat dianggap remeh mengingat dampak yang dialami oleh korbannya dan juga keresahan yang akan dialami dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu suatu pemidanaan berupa pembatasan kebebasan yang diberlakukan terhadap anak akan membuat anak tersebut menjadi jera dan menyesali perbuatannya mengingat hukuman yang diberikan kepadanya sangatlah berat. Dan hal tersebut akan menciptakan situasi tenang dan aman dalam masyarakat karena pelaku tindak pidana pemerkosaan mendapatkan hukuman yang serius.
Dan untuk teori yang terakhir, yaitu teori gabungan berpendapat bahwa keadilan mutlak dalam masyarakat dapat diwujudkan dari adanya pembalasan, sama seperti yang dinyatakan dalam teori absolut. Akan tetapi di dalam teori gabungan pembalasan yang dimaksud sedikit berbeda karena di dalam teori gabungan berpendapat bahwa pembalasan yang diwujudkan dalam pemidanaan adalah suatu pembalasan yang berguna bagi masyarakat. Untuk anak pelaku pemerkosaan. Pemidanaan berupa suatu pembalasan yang dalam hal ini adalah pembatasan kebebasan, diharapkan dapat memeberikan manfaat pada kehidupan bermasyarakat. Seperti memberikan contoh bagi para pelaku yang berniat untuk melakukan hal yang sama mengurungkan niatnya, dan membuat ketentraman dalam masyarakat karena
masyarakat mengetahui bahwa untuk pelaku tindak pidana pemerkosaan walaupun pelakunya adalah orang dewasa maupun anak-anak tetap mendapatkan hukuman yang fatal. Dari pernyataan diatas, pembatasan kebebasan yang diberlakukan terhadap anak pelaku pemerkosaan. Bisa ditoleransi mengingat dampak yang ditimbulkan kepada korban, masyarakat, ataupun untuk kebaikan dirinya sendiri.
IV.Kesimpulan sebagai Penutup
4. Kesimpulan
Pengaturan hukum positif di Indonesia terkait penjatuhan sanksi pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana pemerkosaan adalah sesuai dengan pernyataan pasal 285 KUHP yakni ancaman pidana penjara dengan durasi 12 tahun. Namun, mengingat anak yang berkonflik dengan hukum memiliki sistem penyelesaian perkara nya sendiri berdasarkan dengan UU SPP ANAK maka terhadap anak yang berkonflik dengan hukum hanya mendapat ancaman pidana ½ dari yang diancamkan terhadap orang dewasa. Lebih lanjut pertanggung jawaban yang dapat dibebankan kepada anak yang berkonflik dengan hukum yang melakukan tindak pidana pemerkosaan apabila ditinjau dari sistem restorative justice adalah. Anak tersebut dapat diberlakukan upaya Diversi mengingat tindak pidana yang dilakukan diancam dibawah 7 tahun, namun dalam pernyataan Pasal 79 ayat (1) undang-undang yang sama menyatakan bahwa tindak pidana yang disertai kekerasan wajib diberlakukan pembatasan kebebasan, sehingga menciptakan ketidakpastian hukum dalam peraturan tersebut. Terhadap hal tersebut dapat diserahkan kepada masing-masing penegak hukum untuk mengambil Langkah bijak yang dapat memberikan kepentingan terbaik bagi anak sekaligus juga memperhatikan kepentingan korban.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Beniharmoni Harefa. Kapita Selekta Perlindungan Hukum Bagi Anak. Deepublish, 2019.
Davidson, G. C., Neale, J. M., & Ktring, A. M. Psikologi Abnormal, Jakarta: PT. Raja grahafindo Persada, (2006).
Ekotama, S., Pujianto, H. dan G, W. Abortus Provokatus Bagi Korban Perkosaan: Perspektif Viktimologi Kriminologi Dan Hukum Pidana. Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2001.
Pasek, I Gede, and Diantha. Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum. Jakarta: Prenada Media, 2016.
Jurnal
Baird, G., T. Charman, S. Baron-Cohen, A. Cox, J. Swettenham, and S. Wheelwright. "American Psychiatric Association (1987). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (rev.) Washington, DC American Psychiatric Association (2002). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (rev.) Washington, DC American Psychiatric Association (borrador, 2011). Diagnostic and statisti." Child and Adolescent 39 (2000): 694-702.
Hayati, Elli Nur. "Panduan untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan: Konseling
Berwawasan Gender." Yogyakarta: Pustaka Pelajar (2000).
Hutahaean, Bilher. "Penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana anak." Jurnal
Yudisial 6, no. 1 (2013): 64-79.
Isdamayanti, Ayu. "Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Pemerkosaan Dan Pencabulan." In National Conference on Law Studies (NCOLS), vol. 2, no. 1, pp. 1147-1168. 2020.
Lefaan, Vilta Biljana Bernadethe, and Yana Suryana. Tinjauan Psikologi Hukum Dalam Perlindungan Anak. Deepublish, 2018.
Marshall, Tony F. Restorative Justice: An overview. London: Home Office, 1999.
Marzuki, Suparman. "Korban dan Pelaku Perkosaan di Indonesia dalam Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki (ed), Perempuan dalam Wacana Perkosaan." (1997).
Nutt, David, J. R. T. Davidson, and J. Zohar. "Post-Traumatic Stress Disorder: Diagnosis." Management and Treatment, London: Martin Dunitz Ltd (2000).
Pratama, Novita Rindi. "Diversi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak." Aktualita 1, no. 1 (2018): 242-260.
Pravitria, Astrid Ayu. "Anak Yang Berkonflik dengan Hukum Yang Melakukan Pemerkosaan Terhadap Anak." Media Iuris 1, no. 3 (2018): 401-419.
Ramiyanto, Ramiyanto, and Waliadin Waliadin. "Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perkosaan Dengan Sarana Penal Dalam Rangka Melindungi Perempuan.” Jurnal Legislasi Indonesia 15, no. 4 (2019): 321-329.
Rokamah, Ridho. "Restorative Justice Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Perkosaan Anak Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif." Justicia Islamica 10, no. 2 (2013).
Setiawan, Iwan. "Tindak Pidana Perkosaan Dalam Tinjauan Hukum Pidana Indonesia." Jurnal Ilmiah Galuh Justisi 6, no. 2 (2018): 227-239.
Sonata, Depri Liber. "Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris: Karakteristik Khas dari Metode Meneliti Hukum." Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum 8, no. 1 (2014): 1535.
Suwandewi, Ni Ketut Ayu, and Made Nurmawati. "Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 7 (2018): 1-15.
Peraturan Perundang -Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Anak
Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif
Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 10 Tahun 2023, hlm. 535-545
Discussion and feedback