KEABSAHAN PERJANJIAN LISAN DALAM PERSFEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA (STUDI KASUS PERKARA PERDATA NOMOR 44/Pdt.G/2015/PN.Yyk)
on
KEABSAHAN PERJANJIAN LISAN DALAM PERSFEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA (Studi Kasus Perkara Perdata Nomor 44/Pdt.G/2015/PN.Yyk)
Ida Ayu Ketut Cintiya Dewi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dayucintya8@gmail.com
Dewa Ayu Dian Sawitri, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dewaayudiansawitri@unud.ac.id
DOI: KW.2023.v12.i10.p2
ABSTRAK
Tujuan diadakannya penulisan ini untuk mengakaji konsep perjanjian yang dilakukan dalam perjanjian lisan, dalam hukum perjanjian selalu dikenal dengan konsep perjanjian tertulis karena kekuatan hukum pembuktiannya sangat kuat, tetapi bagaimanakah jika suatu perjanjian itu dibuat secara lisan apakah kekuatannya mengikat seperti perjanjian tertulis, dan apakah perjanjian itu jika sah memiliki kekuatan pembuktian yang sama kuatnya dengan kekuatan hukum perjanjian tertulis berdasarkan hal tersbutlah maka penelitian ini penulis angkat sebagai objek kajian. Dalam penelitian ini juga penulis menggunakan metode penelitian yuridis berkonsentrasi terhadap pengkajian beberapa aturan terhadap pengkajian tersebut dibantu dengan beberapa doktrin dari para ahli, buku, jurnal dan sumber-sumber yang memiliki relevansi dengan isu perjanjian lisan yang diangkat, selain iu pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendekatan perundang-undangan serta perndekatan analisis. Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa Perjanjian Lisan sah secara hukum asalkan sesuai dengan syarat sahnya perjanjian sesuai ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dan dalam hal pembuktian Perjanjian Lisan ini memiliki bukti yang kuat jika dibantu oleh saksi-saksi yang mengetahui perjanjian lisan itu dibuat seperti kasus dalam Perkara Nomor 44/Pdt.G/2015/PN. Yyk.
Kata Kunci: Perjanjian Lisan, Keabsahan, Hukum Positif di Indonesia
ABSTRACT
The aim of this composition is to investigate the notion of an oral agreement. Because written agreements have a strong legal force of proof, they are commonly referred to as written agreements in contract law. However, what if an agreement is formed orally? Is it still enforceable in the same way as a written agreement, and if so, what is the nature of the agreement? The author adopts this research as a subject of study if it is legitimate and has evidence power comparable to the legal force of a signed agreement. The author of this study also employs a juridical research methodology, focusing on the examination of several rules with the help of multiple expert doctrinesIn addition to the method employed in this study, there are other books, journals, and materials that are pertinent to the topic of oral agreements. These include legislative and analytical approaches. According to the research's findings, an oral agreement is legally binding if it satisfies the requirements of a valid agreement as stated in Article 1320 of the Civil Code. Furthermore, if witnesses attest to the establishment of the oral agreement—as was the case in Case Number 44/Pdt.G/2015/PN. Yy there is significant evidence to support its validity.
Key Words: Oral agreement, validity, positive law in Indonesia
Manusia belum mampu dilepaskan kebutuhannya dengan hubungan-hubungan dalam kelompok kehidupannya. Aristoteles menjelaskan hakikat Karena manusia adalah makhluk sosial dan akan berupaya untuk hidup berkelompok serta bermasyarakat, maka manusia tidak dapat diisolasi dari lingkungan sosialnya ketika menganggap dirinya sebagai zoon politicon.1 Hal ini menunjukkan, pada intinya, bahwa manusia pada dasarnya tidak mampu berkerja sendirian. Individu berinteraksi dengan pihak lain sehari-hari. Melalui komitmen tersebut timbul kebutuhan-kebutuhan yang relatif mudah dipenuhi dan tidak perlu dipenuhi sendiri. Interaksi sebagai sarana penyelesaian kebutuhan hidup untuk memperoleh sandang, pangan, dan papan tidak dapat dihindari; juga, regenerasi merupakan aspek kehidupan yang perlu dan tidak bisa dihindari.2
Dikatakan bahwa setiap manusia memerlukan interaksi interpersonal dengan orang lain guna memenuhi kebutuhan dasarnya. Contoh bentuknya bisa berupa aktivitas usaha seperti sewa guna usaha, dll. Jenis aktivitas usaha ini diperlukan bagi para pengusaha yang tujuan utamanya adalah menghasilkan pendapatan yang menguntungkan.3 Untuk menunjang itu semua maka perlu adanya perjanjian atau kontrak untuk membungkus para pihak dalam menjalankan perjanjian.
Perjanjian merupakan permasalahan sering terjadi di masyarakat khususnya dunia usaha dalam aktivitas bisnis, kontrak atau perjanjian merupakan unsur-unsur aktivitas bisnis yang didalamnya terdapat pihak-pihak lain yang terlibat atau berkaitan dengannya. Contoh perjanjian tersebut antara lain perjanjian kerja, perjanjian pembayaran kredit dan utang, serta perjanjian kerja sama dalam kehidupan usaha. Dalam praktek bisnis, muncul kesadaran bahwa kerjasama bisnis dilakukan melalui format tertulis. Kontrak atau perjanjian tertulis menjadi landasan kepada para pihak (pelaku usaha) jika perlu mengajukan gugatan apabila salah satu dari mereka terlibat perselisihan dan tidak mematuhi syarat-syarat perjanjian.4 Namun praktik lain juga memiliki kemitraan bisnis yang didasarkan pada kesepakatan akhir. Pada akhirnya, kontrak yang telah diselesaikan menimbulkan risiko yang signifikan karena sulit dibuktikan jika terjadi perselisihan.
Para profesional hukum berbeda dalam penafsirannya mengenai apa yang dimaksud dengan "kontrak" dan "perjanjian". Arti dari "kontrak" dan "perjanjian" masih diperdebatkan, ada yang berpendapat bahwa kedua istilah tersebut memiliki arti yang sama sementara yang lain tidak setuju. Jika kita mempertimbangkan pendapat Agus Yudha Hernoko, maka istilah “perjanjian” mempunyai arti hukum yang sama dengan kontrak. Pada kenyataannya, dua isltilah diatas sering dipakai dalam perjanjian perdagangan, seperti perjanjian
waralaba, perjanjian kerjasama, dan perjanjian konstruksi.5 Namun R. Subekti mengartikan istilah “kontrak” dan “perjanjian” secara berbeda; Menurutnya, kontrak ialah suatu perjanjian yang dibuat dengan cara tertulis.6
Pasal 1313 KUHPerdata mengatur pemahaman perjanjian kontrak ialah suatu aktivitas, dimana seorang atau lebih membuat kesepakatan pada satu atau lebih patner mereka untuk diajak bekerjasama. Pasal 1313 KUH Perdata tidak selalu spesifik mendefinisikan bentuk suatu perjanjian, artinya dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian tidak terbatas pada suatu bentuk tertentu saja, semua subjek hukum berhak melakukan perjanjian/kontrak secara lisan maupun tertulis. Karena perjanjian tertulis dapat dibuat dalam bentuk kesaksian autentik, sedangkan perjanjian lisan mempunyai risiko yang besar karena sulitnya membuktikan adanya perselisihan, maka tidak jarang dalam praktiknya perjanjian lisan masih merupakan pilihan untuk dilaksanakan. Salah satunya adalah terdapat hal-hal yang dicantumkan dalam keputusan: 2. Jenis perjanjian yang akan dibicarakan adalah perjanjian yang bersifat tertulis dan final. Perkara nomor 35/Pdt.G/2017/PN Tlg adalah perkaranya. Penulis kemudian mengkaji tentang konsep dan keabsahan perjanjian akhir dalam perspektif hukum positif di Indonesia, berdasarkan keputusan tersebut.
Dalam konteks ini, penulis juga harus mencatat bahwa ada jenis pengkajian sebelumnya yang memiliki kemiripan dengan pengkajian penulisan ini sehingga dapat dijadikan referensi diantaranya: Saiful Ibnu Hamzah dengan judul penelitian kekuatan perjanjian lisan berdasarkan Persfektif hukum Positif dan Hukum Islam,7 dalam pemaparannya Saiful mengemukakan lebih banyak keabsahan perjanjian tersebut dalam persfektif hukum islam dan studi kasus yang diangkat secara emperis berdasarkan fakta. Selain itu ada Saiful Ibnu dari Hamzah. “Keabsahan kesepakatan Lisan Dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam.” 9.2 MAQASID (2020).8 Tentu kedua penelitian diatas memiliki substansi yang sama dengan penulis yaitu Perjanjian lisan tetapi yang membedakan adalah objek dari penelitiannya yaitu penulis objeknya terhadap Putusan Pengadilan Nomor 44/Pdt.G/2015/PN.YyK.
Adapun berlandaskan pemaparan konteks pengkajian diatas dapatlah ditarik persoalan yang akan penulis kaji, persoalan yang dimaksud sebagai berikut :
-
1. Bagaimanakah pengaturan serta keabsahan perjanjian lisan dalam persfektif hukum positif di Indonesia ?
-
2. Apakah Akibat hukum jika Perjanjian lisan Itu Sah serta implikasinya tahapan Pembuktiannya di Pengadilan (Studi Kasus Perkara Nomor
44/Pdt.G/2015/PN.Yyk) ?
Penulisan ini bertujuan mengkaji kebasahan perjanjian lisan dalam persfektif hukum positif di Indonesia, agar dapatlah diketahui bahwa perjanjian lisan ini mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi pihak-pihak yang melangsungkan perjanjian tersebut.
Analisis penelitian ini penulis memanfaatkan metode pengkajian hukum normatif, dimana pengkajian hukum normatif menerangkan permasalahan hukum berdasarkan pengaturan yang sedang berlaku dengan berlandaskan teori-teori hukum.9 Sehingga penelitian ini membahas mengenai kajian langsung terhadap suatu peraturan yang sedang berlaku. Adapun jenis pendekatan yang digunakan teradapat dua (2) jenis pendekatan yaitu pendekatan Undang-Undang (statue approach) dan pendekatan analisis (analitical approach) dimana kedua jenis pendekatan dan metode penelitian hukum normatif ini akan menjawab perumusan masalah yang penulis teliti.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 . Pengaturan serta keabsahan perjanjian lisan dalam persfektif hukum positif di Indonesia
-
Perjanjian adalah suatu dokumen hukum yang mempunyai akibat hukum terbatas dan mempunyai bobot hukum tersendiri. Menurut Salim H.S., perjanjian tertulis merupakan perjanjian dengan memuat unsur-unsur tertulis dengan perjanjiannya, sedangkan perjanjian lisan menurutnya juga perjanjian yang dilakukan tetapi tidak dimuat dalam suatu bentuk tertulis, yang hanya didasarkan pada kesepakatan para pihak. Mengenai nasehat hukum biasanya diberikan hanya berdasarkan pemahaman yang telah diputuskan oleh pihak-pihak yang bersangkutan.10 Maka untuk melakukan perjanjian haruslah memperhatikan pengaturannya terlebih dahulu:
-
a. Syarat Sahnya Perjanjian
Pada Pasal 1320 KUHPerdata jelas mengatur prasyarat perjanjian yang ialah:
-
1) Kesepakatan supaya mengikatkan para pihak;
-
2) Kecakapan mereka untuk melakukan perjanjian
-
3) Suatu objek yang diperjanjikan;
-
4) Suatu hal tidak berseberangan dengan aturan
Andaikata kondisi ini tak akan bisa dilaksanakn maka kesepakatan itu bisa dibatalkan atau batal demi hukum karena tidak memenuhi unsur subjektif dalam angka (1 dan 2) serta syarat objektif dalam angka (3 dan 4). Setelah memahami syarat sahnya perjanjian tersebut kita bisa melihat subjek atau objek dari perjanjian itu.
-
b. Subjek hukum perjanjian
Seperti yang telah dikenal pada umumnya subjek dalam hukum itu dibagi menjadi 2 yaitu:
-
1) Manusia (orang), orang dikatakan sebagai subyek hukum dikarenakan secara alami, dan bukan hasil penemuan manusia lain melainkan itu berdasarkan kodratnya.
-
2) Badan Hukum, dalam hal ini badan hukum merupakan subyek hukum untuk manghasilkan kreasi.
Setiap orang berhak atas keterwakilan dan dukungannya masing-masing, namun ada beberapa kelompok yang menganggap dirinya tidak mampu mengambil tindakan hukum sendiri dan harus bergantung pada pihak lain untuk melakukannya.
-
c. ObJek Hukum
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, objek kesepakatan kontrak ini haruslah segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum. Apabila hal ini dipenuhi maka dianggap sah.
-
d. Asas-Asas Hukum Perjanjian
Asas-Asas hukum Perjanjian yang sering dikenal secara umum dalam hukum perjanjian adalah sebagai berikut:
-
1) Asas Konsensualisme dimana dalam asas ini menerangkan bahwa wajib terdapat kata sepakat terhadap pihak dalam kesepakatan, kata sepakat disini bukan saja dalam hal perjanjian tertulis tetapi secara lisan itu sepakat juga;
-
2) Asas kebebasan Berkontrak, sesuai ketentuan Pasal 1338 yang memuat ketentuan, kesepakatan ialah Undang-Undnag bagi mereka yang membuatnya, selanjutnya perjanjian wajih dilakukan dengan itikat baik;
-
3) Asas Kekuatan Mengikat Perjanjian dalam asas ini ditekankan bahwa perjanjian yang dibuat itu mengkiat bagi mereka dan ketentuan sebagaimana termuat dalam pasal 1338 KUHPerdata tidak bisa dilanggar;
-
4) Asas Itikad baik, secara sederhananya ketika perjanjian itu dibuat maka semua pihak dalam perjanjian harus saling menghormati, membantu, menaati isi perjanjian secara baik dan bijak dan beritikad baik, tidak menciderai isi perjanjian;
-
5) Asas Keseimbangan, dalam perjanjian asas ini juga perlu diperhatikan agar semua pihak sama tidak ada yang mendominasi agar perjanjian tersebut berjalan baik;
-
6) Asas kepercayaan, asas ini sangatlah penting untuk dipahami dikarenakan dalam penerapan perjanjian jika tidak adanya saling percaya maka cidera janji dalam perjanjian itu bisa dengan gampangnya dilanggar karena itu rasa percaya antara para pihak haruslah dikuatkan.
Selain dari hal-hal tersebut di atas, suatu kontrak dapat pula memuat unsur-unsur lain, seperti diatur di Pasal 1571 KUHPerdata, yang menyatakan: jika perjanjian sewa-menyewa tidak ditandatangani secara tertulis maka tidak akan berakhir, pada waktu yang disepakati. Pertama, kecuali pihak lain ingin mengakhiri perjanjian dengan tetap melakukan tindak lanjut yang diperlukan maka harus berlandaskan apa yang diatur oleh aturan. Oleh karena itu, unsur waktu tertentu dalam perjanjian sewa akhir dapat dimunculkan, yang mengakibatkan perjanjian berakhir atas permintaan kedua pihak dan diberitahukan kepada mereka oleh tuan tanah.11
Jika syarat-syarat penting “Esensilia” dari perjanjian sewa tertulis atau lisan yang ditandatangani tidak terpenuhi, perjanjian sewa yang dibuat mungkin tidak sah. Secara hukum, konsep tidak sah dibagi ke dalam kategori “batal demi hukum” dan “dapat dibatalkan”. Bedanya, apabila tidak dapat dilaksanakan maka perjanjian dianggap belum terbentuk sama sekali atau tidak pernah terbentuk. Sebaliknya jika dapat dilaksanakan, maka tetap mengikat para pihak sepanjang hakim tidak mencabutnya atas permintaan pihak yang meminta pencabutan.
Berdasarkan pemaparan diatas jika semua syarat dan kepatuhan terhadap asas-asas dalam perjanjian itu dipenuhi maka baik itu perjanjian lisan sekalipun kekuatannya hukumnya mengikat bagi para pihak, Selanjutnya kita mengacu pada Pasal 1313 KUH Perdata menjelaskan perjanjian ialah suatu permasalahan hukum yang mengikat seseorang atau lebih dengan orang lain atau sekelompok orang. Maka jelas tidak dijelaskan bahwa perjanjian sebagaimana dimaksud adalah perjanjian tertulis saja oleh karena itu maka, “Perjanjian secara Lisan pun sah bagi para pihak yang membuatnya.”
Selain itu lebih dalam jika kita melihat pasal 1233 KUHPerdata mengatur setiap perjanjian lahir karena kesepakatan ataupun karna undang-undang, dalam pengaturan ini membuat kuat posisi perjanjian lisan disini, tentunya dalam permulaan perjanjian tersebut dimuali dengan persetujuan antara pihak itu secara lisan dan dari kesepakatan itulah barulah timbul perjanjian tertulis di dalamnya untuk menguatkan posisi dari perjanjian lisan tersebut. Jadi berdasarkan penjelasan ini dan dikuatkan oleh analisa 2 Pasal yaitu Pasal 1313 dan 1233 KUHPerdata jelas posisinya bahwa “Perjanjian Lisan Sah Secara Hukum Dilakukan oleh Pihak-Pihak yang membuat Perjanjian tersebut.
Sifat mengikat kontrak juga diatur dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Perjanjian kerja baik itu pengusaha dan pekerja harus mencakup semua hak dan kewajiban para pihak dan mengambil pendekatan yang komprehensif dalam bekerja sama. Sebaliknya. Oleh karena itu, baik pemberi kerja maupun pekerja terikat pada syarat-syarat perjanjian yang dibuat dalam kontrak kerja serta peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan berlangsung saat melaksanakan suatu perjanjian kerja. Singkatnya, disebutkan dalam Pasal 50 Ayat 1 UU Ketenagakerjaan bahwa dapat dicapai kesepakatan tertulis dan informal mengenai hubungan kerja. Hubungan di tempat kerja dapat didasarkan pada kontrak kerja tertulis atau lisan dari dasar ini.
Setelah suatu perjanjian yang mengikat secara hukum telah tercapai dan diberlakukan, maka hal tersebut benar-benar dapat menciptakan perlindungan dan keamanan hukum di masa depan ketika permasalahan yang timbul dari perjanjian tersebut perlu diselesaikan. Jaminan dan perlindungan hukum semacam ini mempunyai fungsi pembuktian. Menurut Pasal 1866 KUH Perdata, bukti tertulis, keterangan saksi, pengakuan, dugaan bukti, dan pernyataan tertulis semuanya dianggap sebagai bukti.
-
3.2 Akibat hukum jika Perjanjian lisan Itu Sah serta implikasinya tahapan Pembuktiannya di Pengadilan (Studi Kasus Perkara Nomor 44/Pdt.G/2015/PN.Yyk)
Perjanjian diartikan sebagai suatu janji yang dibuat oleh pihak yang membuat janji terhadap pihak yang menerima dan melaksanakannya. Apabila anda mencari pengertian perjanjian dalam peraturan perundang-undangan, anda dapat menemukannya pada Pasal 1313 KUH Perdata. Sistem kontrak merupakan
sistem ofensif, artinya setiap orang bebas membuat perjanjian, baik lisan maupun tertulis. Perjanjian lisan ialah kesepakatan dibuat terhadap beberapa pihak hanya secara lisan, sudah cukup, tak memuat aturan untuk menyatakan agar suatu perjanjian semestinya diselesaikan dalam bentuk tertulis pada saat dibuatnya perjanjian. Perjanjian bersifat lisan juga mempunyai kekuatan hukum, kecuali terdapat undang-undang yang mengisyaratkan supaya perjanjian itu harus dilakukan secara tertulis. Atas dasar paparan tersebut maka perjanjian lisan tetap mempunyai kewenangan hukum terlebih mengikat para pihak di dalamnya, karena itulah apabila terdapat pelanggaran maka perjanjian lisan yang tertera dijadikan landasan untuk menjelaskan perilaku wanprestasi seseorang.
Perjanjian lisan terutama terdapat pada perjanjian-perjanjian sederhana, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak mempunyai hubungan hukum yang rumit, dan juga menimbulkan kerugian yang besar bagi para pihak jika terjadi wanprestasi. Berbeda dengan perjanjian tertulis, perjanjian lisan tidak memuat klausul mengenai wanprestasi. Faktanya, penggunaan perjanjian lisan dalam suatu perjanjian cukup beresiko karena dapat menimbulkan kerugian yang besar bagi para pihak jika terjadi pelanggaran, karena perjanjian lisan tidak menggunakan perjanjian tertulis yang dapat menjamin kelangsungan perjanjian jika terjadi pelanggaran. bahwa salah satu pihak dalam kontrak gagal. Para pihak tidak sepakat atau sepakat untuk mencapai mufakat.
Sebenarnya jika kita mempelajari terdapat 2 kasus yang membahas mengenai perjanjian lisan ini dimana dalam Perkara Nomor 35/Pdt.G/2017/PN.Tlg dan Perkara Nomor 44/Pdt.G/2015/PN.Yyk. yang menarik dan sesuai dengan permasalahan ini adalah perkara Nomor 44/Pdt.G/2015/PN.Yyk, yang menyatakan Ary Kalista melakukan wanpreatasi Perjanjian Lisan kepada Subagyo. Berdasarkan deskripsi fakta yang diketahui. Subagyo dan Ary Kalista mencapai kesepakatan lisan yang menyatakan sebagai berikut: Subagyo membeli tiga properti dari dan atas nama Ary Kalista; Namun, jika Subagyo dan Ary Kalista tidak jadi menikah, maka Ary Kalista wajib mengembalikan ketiga harta tersebut dan mengembalikan namanya kepada Subagyo. Subagyo dan Ary Kalista ternyata batal menikah karena Ary Kalista sudah menikah dengan orang lain. Subagyo menuntut hak untuk mencapai kesepakatan akhir, namun Ary Kalista menolak. Lebih lanjut, Ary Kalista Subagyo mengusulkan agar persoalan tersebut dibawa ke pengadilan. Subagyo mengajukan gugatan wanprestasi ke Pengadilan Negeri Yogyakarta berdasarkan alasan tersebut. Ari Kalista membela diri dengan mengatakan dirinya belum pernah mencapai kesepakatan dengan Subagyo. Namun Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam putusannya tetap menyatakan Ary Kalista melakukan pelanggaran.
Dasar pengambilan Putusan tersebut tentu saja berdasarkan pertimbangan hakim sendiri yang meyakinkan bahwa kesepakatan akhir telah tercapai antara Ary Kalista dan Subagyo. Hal itu diperkuat dengan keterangan Tuti Handayani yang bersaksi bahwa sudah ada kesepakatan akhir antara Subagyo dan Ary Kalista. Kemudian diperkuat pula dengan keterangan saksi Tri Aris Munandar yang keterangannya sama seperti saksi yang pertama yatu Tuti Handayani.
Dimana berdasarkan keterangan para saksi tersebut maka hakim menilai bahwa Subagyo telah jelas memenuhi unsur Pasal 1865 KUHPerdata yang pada pokoknya siapa yang mengajukan gugatan dia yang membuktikan, dengan mengajukan alat bukti saksi tersebtu maka Subagyo telah memperkuat posisinya sebagai Penggugat karena keterangan saksi tersebut kuat dan dibawa sumpah.
Dan selain pertimbangan itu majelis hakim juga memiliki pertimbangan berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata dimana mengatur bahwa suatu perjanjian adalah suatu perjanjian sah yang didalamnya satu orang atau lebih menjaminkan dirinya kepada orang lain. Perjanjian tersebut mengikat secara hukum untuk memberikan hak-hak yang ditentukan di dalamnya atau memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditentukan di dalamnya.
Berdasarkan hal ini menurut penulis jelas perjanjian yang dilakukan oleh Ary kalista dan Subagyo merupakan perjanjian timbal balik antara mereka berdua,perikatan yang mereka buat diawal telah memenuhi syarat Sahnya perjanjian dan telah disaksikan oleh beberapa saksi yang dihadirkan dalam persidangan, berdasarkan hal tersebutlah maka perjanjian tersebut menjadi sah demi hukum, dan jika terjadi sengketa bisa dilakukan pengajuan gugatan kepada Pengadilan Negeri.
Berdasarkan Penjelasan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Perjanjian Lisan merupakan suatu jenis perjanjian yang sah secara hukum positif yang ada di Indonesia, keabsahannya termuat memang tidak secara eksplisit dalam pasal 1313 dan 1233 KUHPerdata tetapi jika dimaknai sesuai penjelasan yang telah penulis sampaikan diatas maka perjanjian lisan sah seacara hukum dan bisa dilaksanakan. Dan dalam hal pembuktiannya nanti dipengadilan jika terjadi sengketa, seperti contoh kasus diatas dalam setiap pembuatan perjanjian sebaiknya melibatkan pihak ketiga sebagai saksi agar menguatkan jika terjadi sengketa melalui pembuktian keterangan saksi dipersidangan nantinya.Tetapi kembali lagi dalam hal pembuatan sebuah perjanjian jika sudah terdapat perjanjian lisan di awal maka usahakanlah ditutup dengan pencantuman perjanjian lisan tersebut menjadi bentuk tertulis agar dasarnya jelas dan tidak memiliki resiko yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Isnaeni, H. Moch. Perjanjian jual beli. Bandung: Refika Aditama, 2016.
Saldi., Muhamad. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana, 2017.
Jurnal
Hamzah., Saiful Ibnu. "Keabsahan Kontrak Lisan Dalam Persfektif Hukum Positif dan Hukum Islam." Jurnal Studi Hukum Islam 9, no. 2 (2020).
Harefa, Billy Dicko Stepanus. "KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN LISAN APABILA TERJADI WANPRESTASI (Studi Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 44/PDT.G/2015/PN.YYK)." Private Law 4, no. 2 (2016).
I Kadek Parma Astawa, Ni, Luh Gede Astariyani. "KEABSAHAN PERJANJIAN LISAN SEBAGAI ALAT BUKTI SURAT DI PENGADILAN DALAMPERJANJIAN JUAL BELI ONLINE SHOP." Ojs Journal Unud, n.d.
Kornelius Benuf, Muhamad Azhar. "Metodologi Penelitian Hukum sebagai Instrumen Mengurai Permasalahan HukumKontemporer." Jurnal Gema Keadilan 7, no. 1 (2020).
Mulia Syahputra Nasution, Suhaidi, Marzuki. "AKIBAT HUKUM PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN MENURUT PERSPEKTIF HUKUM
KETENAGAKERJAAN." Jurnal Ilmiah Metadata 3, no. 2 (2021).
Nurhaliza, N. "Keabsahan Perjanjian Lisan Di Arisan Online Menurut Hukum Perdata." Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum [JIMHUM] 3, no. 4 (2023).
Priyono., Ery Agus. "Bahan Kuliah Metologi Penelitian”. Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro." E-Journal Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro. , 2003/2004) .
Vijayantera., I Wayan Agus. "Kajian Hukum Perdata Terhadap Penggunaan Perjanjian Tidak Tertuls Dalam Aktivitas Bisnis." Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) Universitas Pendidikan Ganesha, 6, no. 1 (2020)).
Wahjuni, Edi. "Keabsahan Perjanjian Tidak Tertulis Dalam Arisan Online (Studi Putusan Nomor. 106/Pdt.G/2017/PN Plk)." Jurnal Ilmu Kenotariatan 2, no. 2 (2021).
Debora da Costa, “Penyelesaian Wanprestasi Terhadap Perjanjian Sewa Menyewa Rumah,” Jurnal Lex et Societatis, 4, No. 2, ( 2016)
BUYUNG ALFIAN, P. R. A. T. A. M. A, “KEABSAHAN PERJANJIAN LISAN DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA (Studi Putusan No. 85/Pdt. G/2018/PN. Sel” Jurnal Universitas Mataram, (2023)
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2003,Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279)
Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 10 Tahun 2023, hlm. 508-516
Discussion and feedback