PENERAPAN KEADILAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PELAKU PERDAGANGAN ORANG

Made Adhi Agung Wicaksana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: madeadhi90@gmail.com

A. A. Ngurah Oka Yudistira Darmadi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: oka_yudistira@unud.ac.id

DOI: KW.2023.v12.i12.p5

ABSTRAK

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menilai seberapa efektif keadilan restoratif dalam menangani kasus kejahatan perdagangan orang di Indonesia. Selain itu, penulis juga ingin mengevaluasi seberapa efektif sistem hukum yang ada di Indonesia untuk memerangi kejahatan tersebut. Metodologi penulisan yang digunakan meliputi penelitian hukum normatif dan pendekatan perundang-undangan dalam perumusan masalah. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat banyak peraturan yang mengatur penyelesaian dan perlindungan saksi dan korban perdagangan orang, demikian penerapan peraturan-peraturan tersebut perlu ditekankan. Penting dasarnya keadilan restoratif hanya berlaku untuk pelanggaran ringan seperti pencemaran nama baik dan penyebaran informasi palsu, sedangkan keadilan restoratif tidak cocok untuk menangani kejahatan berskala besar.

Kata Kunci: keadilan, restorative justice, tindak pidana perdagangan orang

ABSTRACT

The objective of this study is to analyse the efficacy of restorative justice as a means of addressing instances of human trafficking offences in Indonesia, while also examining the sufficiency of current legislative frameworks in the country for eradicating such crimes. The employed methodology for this article incorporates normative legal study and a statutory approach to problem creation. The research findings indicate that there exist numerous legislation pertaining to the settlement and safeguarding of witnesses and victims involved in cases of human trafficking. Consequently, it is imperative to underscore the significance of implementing these regulations. The fundamental significance of restorative justice is primarily limited to small offences, such as defamation and dissemination of false information, as it is not deemed appropriate for addressing major crimes.

Key Words: justice, restorative justice, human trafficking crime

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Sesuai dengan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, Indonesia sangat menekankan pada penegakan hukum untuk menjaga kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Pentingnya kerangka hukum ini berakar pada tujuan utamanya untuk menjunjung tinggi dan membela hak tiap manusia, sebagaimana dinyatakan dengan jelas dalam Pasal 3 UU 39 Tahun 1999. Ketentuan khusus ini menegaskan hak setiap individu atas perlindungan HAM yang diterima secara universal dan kebebasan esensial. Selain itu. Menurut Pasal 4, hak-hak individu ini tidak dapat dikurangi digugat oleh organisasi

apapun. Hak-hak dasar ini mencakup hak untuk hidup, larangan penyiksaan, mandiri individu, kebebasan berpikir dan memegang keyakinan pribadi, kebebasan menjalankan agama pilihannya, pencegahan perbudakan, prinsip perlakuan yang sama di bawah hukum, dan hak-hak dasar lainnya, dan menjaga terhadap penganiayaan hukum sesuai dengan undang-undang dan peraturan terkait. Namun, terlepas dari ketentuan hukum tersebut, kenyataan yang disayangkan adalah perdagangan manusia masih terus terjadi di Indonesia baik secara historis maupun saat ini. Meskipun perdagangan manusia umumnya dikaitkan dengan negara-negara berkembang, tidak dapat disangkal bahwa Indonesia juga terkena dampak dari masalah ini. Hal ini terutama disebabkan oleh kurangnya upaya penegakan hukum untuk memerangi perdagangan manusia di dalam negeri, sebagaimana dibuktikan dengan seringnya pemberitaan di media cetak dan elektronik yang merinci kasus-kasus tersebut. Terlebih lagi, para pelaku menggunakan berbagai strategi yang menghambat pendeteksian aktivitas mereka dan menghambat penuntutan.

Praktik TPPO telah dilakukan sejak tahun 1949, ketika Konvensi tentang Perdagangan Orang dibuat. Hal ini menjadi lebih jelas setelah derasnya informasi tentang tindakan perdagangan wanita di Beijing Plat Form of Action. Ini kemudian berkembang menjadi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Deskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) kemudian disahkan oleh Negara Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Selanjutnya, agenda yang dibuat oleh Persekutuan Sedunia terhadap Perdagangan terkhusus pada Wanita (GAATW) di Thailand pada tahun 1994 menetapkannya. Negara berkembang rata-rata terlibat dalam jaringan praktik perdagangan manusia ini, ketika populasi penduduk disuatu negara tidak seimbang maka negara tersebut akan menjadi tujuan dari perdagangan manusia tersebut.1 Kini, Indonesia adalah merupakan salah satu negara yang paling banyak korban pelanggaran hak asasi manusia, dikatakan bahwa di tahun 2020 hingga 2022 di Indonesia ditemukan 1.418 perkara dan 1.581 korban TPPO.2 Jaringan perdagangan orang ini sangat privat karena memiliki jaringan yang luar serta melintas berbagai negara selain itu jaringan ini memiliki rencana yang terstruktur dalam praktiknya.

Perdagangan orang ini dapat dikatakan sebagai eksploitasi terhadap manusia, ketika menyebutkan hal tersebut bukan lagi mengenai tenaga kerja namun lebih mengarah terhadap perbudakan diri manusia. Karena ketika subjek sudah tidak memiliki otoritas atas dirinya, maka dapat dikatakan bahwa subjek adalah manusia yang telah dijual.3 Kejahatan tersebut tentunya merupakan tindak pidana yang berat karena merampas hak-hak asasi manusia. Modus TPPO ini secara tidak langsung merampas hak asasi manusia sebagai korban, karena ketika subjek sudah tidak memiliki otoritas atas dirinya maka akan timbul penganiayaan baik secara fisik maupun psikologis.

Melihat dari kasus di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada bulan Juli tahun 2023 dimana terjadi tindak pidana perdagangan orang (TPPO), yang melibatkan dua korban

remaja berasal dari Kabupaten Alor, berinisial WPK (19) dan MJD (18), dan pelaku berinisial MES. Kasus tersebut bermula ketika WPK dan MJD tertarik terhadap lowongan kerja sebagai asisten rumah tangga dan karyawan toko di media sosial facebook. Setelah itu korban mengirimkan sejumlah uang sebesar Rp. 300.000 kepada pemilik media sosial akun Elga Vina sebagai biaya transportasi ke Kota Kupang. Pada tanggal 31 Mei 2023 kedua korban berangkat tanpa sepengetahuan keluarga korban. Sesampainya di Jambi, korban dipekerjakan sebagai karyawan toko furnitur dan asisten rumah tangga. Â Dalam hal ini keluarga melaporkan kejadian tersebut kepada Polres Alor. Melihat kasus diatas dimana dilakukannya TPPO, dikarenakan orang tua dari kedua korban tersebut belum mengetahui atau belum memberikan izin kepada anaknya untuk bisa bekerja. Dalam hal ini MES sebagai pelaku karena berperan sebagai perekrut dan penyalur tenaga kerja tanpa ada dokumen resmi.4

Sesuai dengan ketentuan yang dituangkan dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Orang selanjutnya disebut UU 21/2007. TPPO mempunyai arti yang lebih luas, khususnya eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 7. Pengertian ini mencakup semua tindakan yang dilakukan dengan atau tanpa persetujuan korban. Ini termasuk, tetapi tidak terbatas pada, perbudakan, prostitusi, atau aktivitas yang mirip dengan perbudakan. Selain itu, hal ini juga mencakup kerja atau layanan paksa, kekerasan fisik, penindasan, pemerasan, eksploitasi organ reproduksi, eksploitasi seksual, keterlibatan dalam kegiatan terlarang yang berkaitan dengan pengambilan atau transplantasi organ dan jaringan, serta eksploitasi keterampilan seseorang, kemampuan dengan tujuan memperoleh manfaat yang berwujud maupun tidak berwujud.

Perempuan dan anak-anak merupakan korban yang sangat rentan dalam konteks perdagangan manusia. Perempuan, ketika otonominya dicabut, dipaksa menjadi pekerja seks komersial, sementara anak-anak dieksploitasi sebagai buruh berupah rendah atau dipaksa menjadi pengemis di jalanan. Selain itu, perempuan sering kali mengalami perlakuan buruk sebagai pembantu rumah tangga, sehingga menimbulkan trauma psikologis yang parah. Pelaku perdagangan manusia menggunakan taktik seperti kekerasan, penipuan, manipulasi dinamika kekuasaan, dan bujukan finansial untuk mendapatkan persetujuan dari korban dan membangun kendali atas mereka.

Dalam hal ini, pemerintah Indonesia menandatangani Protokol Palermo pada 12 Desember 2000 untuk melawan TPPO, terutama perempuan dan anak-anak yang berpotensi. Kebijakan ini, setidaknya, menjadi instrumen hukum internasional yang mampu memecahkan masalah yang rumit dari perdagangan orang. Indonesia dalam mengupayakan pencegahan hal tersebut tentunya akan mengupayakan berbagai cara seperti pembinaan terhadap tenaga kerja maupun penegasan terhadap aturan tindak pidana perdagangan orang tersebut. Adanya paradigma pemidanaan terbaru saat ini yaitu restorative justice dimana pemidanaan ini didasarkan konsep atas pemulihan terhadap korban, dimana saat ini pemidanaan di Indonesia cenderung mengabaikan korban, maka penerapan restorative justice disini diharapkan dapat menyelesaikan tindak pidana diluar dari pengadilan tentunya dengan memperhatikan hak-hak baik dari korban, pelaku, maupun pihak yang terlibat.

Terdapat perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu, terletak pada fokus dan tujuan penelitian yang dibahas. Penelitian terdahulu berfokus pada perlindungan anak korban kekerasan seksual. Tujuan penelitian tersebut untuk menganalisa serta mengeevaluasi terhadap bahan-bahan hukum di Indonesia dalam perlindungan anak korban terhadap kekerasan seksual. Penelitian tersebut juga membahas apakah pendekatan restorative justice sudah sesuai dengan penanganan anak korban kekerasan seksual.

Sedangkan dalam penelitian ini membahas mengenai keadilan restoratif justice terhadap tindak pidana perdagangan orang. Selain itu penelitian ini juga membahas mengenai pengaturan hukum positif di Indonesia terhadap kejahatan tindak pidana perdagangan orang. Oleh karena itu, ketertarikan penulis terletak untuk mendalami lebih dalam topik “Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Tindak Pidana Perdagangan Orang” berdasarkan uraian yang telah diberikan. Secara jelas, penulis bertujuan untuk mengeksplorasi dan menganalisis tantangan yang dihadapi dalam memanfaatkan keadilan restoratif sebagai sarana untuk mengatasi masalah perdagangan manusia dan menemukan solusi berkelanjutan.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pengaturan hukum positif di Indonesia terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang?

  • 2.    Bagaimana penyelesaian restorative justice apabila digunakan dalam penyelesaian tindak pidana perdagangan orang?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menelaah dan menilai ketentuan hukum yang menguntungkan di Indonesia mengenai tindak pidana perdagangan orang. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menyelidiki dan menggali potensi penerapan keadilan restoratif sebagai sarana untuk menangani dan menyelesaikan kasus-kasus perdagangan manusia.

  • II.    Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah teknik penelitian hukum normatif, yang biasanya digunakan untuk menyelidiki dan mengkaji standar peraturan serta untuk mengidentifikasi pengaturan yang telah ada. Dalam proses ini, kedua pendekatan undang-undang dan konseptual digunakan dalam penulisan ini.5

Peraturan perundang-undangan adalah bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini. Selain itu, sumber hukum sekunder, seperti buku, jurnal, artikel, dan situs web digunakan. Bahan hukum yang dikumpulkan, baik primer maupun sekunder, akan dianalisis secara menyeluruh dengan menggunakan berbagai interpretasi.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1 . Pengaturan Hukum Positif Indonesia terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang

Menurut HLA Hart, hukum pidana pada dasarnya berfungsi untuk melindungi masyarakat dari perbuatan pelanggaran yang timbul karena pelanggaran norma hukum. Selain itu, tujuan hukum pidana lebih dari sekedar mengoreksi pelaku

kesalahan dan mencakup pencegahan perilaku kriminal dalam masyarakat. 6 Oleh karena hal demikian, Indonesia mengeluarkan aturan mengenai pemberantasan TPPO yang dituangkan dalam UU 21/2007. Alasan terbentuknya UU 21/2007 ini tentunya karena perdagangan orang khusus perempuan dan anak pada sejatinya bertentangan dengan harkat, martabat, serta hak asasi manusia, sehingga praktik perdagangan manusia harus diberantas melalui aturan ini. Upaya perlindungan korban dalam kasus perdagangan orang pada dasarnya harus dilihat dari putusan pengadilan atas praktik tersebut. Dalam hal ini apabila ancaman pidana perdagangan orang dijatuhkan sangat berat maka secara tidak langsung korban akan mendapatkan keadilan atas pengenaan pidana terhadap pelaku tersebut, sehingga pelaku akan berpikir kembali ketika akan melakukan praktik perdagangan orang.7

Sebelum tertuang dalam UU 21/2007, terlebih dahulu KUHP dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM selanjutnya disebut UU 39/1999 mengakomodir sanksi pidana serta perlindungan korban dari TPPO namun dapat dikatakan bahwa dalam KUHP praktik perdagangan orang cenderung sanksi pidanannya masih ringan, sedangkan dalam UU 39/1999 tidak mengatur mengenai sanksi terhadap praktik tersebut. Hal ini menyatakan bahwa diperlukannya aturan khusus yang mengakomodir sanksi serta pidana tindak pidana perdagangan orang seperti UU 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO.

Dalam praktiknya, KUHP memberikan penjagaan terbatas terhadap korban TPPO, khususnya dalam bentuk ganti rugi atas kerugian yang timbul akibat perbuatan pelaku. Namun pelaksanaan restitusi ini terkendala oleh kendala-kendala tertentu, misalnya keharusan hanya dapat diberikan sebagai syarat pelengkap jika tidak ada sanksi pidana pokok. Selain itu, keleluasaan pemberian ganti rugi ada pada hakim, yang hanya dapat melakukan hal tersebut jika dijatuhkan hukuman paling lama satu tahun atau penjara. KUHP menguraikan bahwa penerapan ganti rugi pidana tidak bersifat wajib melainkan bersifat diskresi.

UU No. 26 Tahun 2000 tentang Keadilan HAM selanjutnya disebut UU 26/2000 mengatur kesejahteraan fisik dan psikologis saksi dan korban dalam upaya melindungi korban pelanggaran HAM. Hak-hak saksi dan korban selama proses hukum sangat dilindungi oleh undang-undang ini. Cecilia Medina Quiroga menggambarkan "pelanggaran HAM yang berat" sebagai tindakan yang memicu pelanggaran berikutnya atau digunakan untuk melanjutkan kebijakan pemerintah yang menghambat kondisi kehidupan secara keseluruhan, integrasi pribadi, atau kebebasan individu sektor tertentu dalam populasi suatu negara. Saksi atau korban dapat menerima perlindungan selama investigasi, penuntutan, dan proses pengadilan karena kebijakan atau permintaan korban.

Secara khusus tentang perdagangan orang juga diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) selanjutnya disebut UU 23/2002 melarang secara khusus adanya perdagangan khususnya terhadap anak. Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 83 UUPA yang menyatakan setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau dijual. Secara internasional perdagangan orang sudah melanggar HAM, dan secara khusus aturan nasional sudah melanggar UUPA. Sebenarnya, setiap anak memiliki hak untuk bisa hidup, tumbuh, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan haknya. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 4 UUPA. Berbagai alasan yang dikemukakan oleh pelaku

kejahatan TPPO tidak dapat dibenarkan, karena manusia memiliki harkat dan martabat, mereka harus diperlakukan dengan sewajarnya.8

Indonesia telah menunjukkan dedikasinya yang kuat dalam memerangi perdagangan manusia dengan memberlakukan UU 21/2007 yang khusus fokus pada pemberantasan kejahatan keji tersebut. Undang-undang ini tidak hanya mencakup pendekatan komprehensif terhadap penanganan perdagangan manusia namun juga menetapkan hukuman yang tegas bagi individu yang terbukti bersalah terlibat dalam kegiatan tersebut. Selain itu, undang-undang ini memberikan penekanan yang signifikan pada perlindungan hak-hak dan kesejahteraan para korban yang terlibat. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 angka 2 UU 21/2007, istilah “perdagangan orang” mengacu pada segala bentuk perilaku atau serangkaian tindakan yang memenuhi kriteria yang digariskan dalam kerangka hukum resmi ini.

UU 21/2007 sangat menekankan penegakan hukum dan menawarkan perlindungan mendasar bagi korban yang terlibat dalam kegiatan kriminal terkait perdagangan manusia. Laporan ini mempertimbangkan tantangan-tantangan yang mereka hadapi sebagai konsekuensi keterlibatan mereka dalam tindakan-tindakan tersebut. Selain itu, undang-undang ini menetapkan langkah-langkah komprehensif untuk merehabilitasi korban, yang mencakup aspek medis dan sosial. Unsur-unsur pokok TPPO adalah yaitu, pelaku membawa WNI ke luar negeri untuk dieksploitasi di luar negeri. Setiap unsur harus dipenuhi agar pelaku dapat dituntut secara pidana. Jika tidak, pelaku tidak dapat menghadapi konsekuensi hukum. Korban perdagangan orang membutuhkan perlindungan saat bersaksi atau menjadi korban kejahatan. Dalam proses pengadilan, perlindungan ini sangat penting karena memungkinkan saksi dan korban memberikan informasi tanpa takut atau terancam mengungkap tindak pidana. Untuk meningkatkan upaya pengungkapan kegiatan kriminal, khususnya yang bersifat terorganisir dan transnasional, maka perlindungan tersebut harus diberikan.

  • 3.2    Penyelesaian Restorative Justice terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang

Saat ini, sistem peradilan pidana di Indonesia masih menganut teori retributif dalam menjatuhkan hukuman terhadap kejahatan. Menurut Barda Nawawi, tujuan pemidanaan adalah sebagai pembalasan bagi pelakunya. Oleh karena itu, pembenaran hukuman pidana berakar pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Penjelasan Immanuel Kant tentang retributivisme menyoroti bahwa retributivisme berbeda dengan balas dendam pribadi, karena retributivisme bukanlah keputusan sukarela yang dibuat oleh korban, yang akan meminta retribusi secara mandiri. Sebaliknya, merupakan tanggung jawab pengadilan untuk melaksanakan hukuman tersebut. Oleh karena itu, hukuman pidana yang diberikan kepada pelaku merupakan bentuk kompensasi yang masuk akal untuk korban atas penderitaan yang mereka alami.

Dalam mendukung keadilan RJ dalam teori hukum pidana kontemporer, keadilan restoratif merupakan salah satu alternatif dari sekian tujuan pemidanaan. Menurut Prof Eddy OS Hiarej, tujuan pemidanaan dalam teori kontemporer berpedoman pada keadilan restoratif yang dimana bertujuan untuk mengembalian hak-hak yang dibutuhkan para korban.9 Selain itu, Prof. Eddy menyatakan bahwa teori kontemporer harus memberikan efek jera pada pelaku, edukasi masyarakat, rehabilitasi, pengendalian sosial, dan keadilan restoratif. Teori kontemporer berbeda

dari teori lainnya karena cara mereka melihat masalah. Teori kontemporer melihat dari sudut pandang seluruh unsur yang terlibat dalam tindak pidana.

Reformasi pidana sedang mengalami perkembangan, dan Indonesia saat ini menerapkan bentuk penyelesaian pidana yang diketahui sebagai restorative justice. RJ adalah suatu pendekatan yang melibatkan partisipasi berbagai pihak, termasuk korban, pelaku, dan individu terkait lainnya, dengan tujuan mencapai pemulihan. Kejahatan sebagaimana didefinisikan oleh Van Ness, bukan sekedar pelanggaran terhadap hukum dan kewenangan pemerintah, namun juga menimbulkan kerugian bagi korban, masyarakat, bahkan pelakunya. Pengenalan RJ diperlukan karena adanya peraturan yang mengabaikan hak-hak korban. Dalam KUHAP, korban hanya dipentingkan sebanyak enam kali, sedangkan sebagian besar peraturan fokus pada terdakwa dan tersangka. Oleh karena itu, penerapan RJ di Indonesia mencerminkan perubahan dalam pendekatan penghukuman yang menekankan pada pengakuan hak-hak korban. RJ tidak semata-mata bertujuan untuk menyelesaikan kasus individual, namun juga berfungsi untuk memberdayakan korban dalam sistem peradilan pidana.

Selama penggunaan mekanisme RJ, prinsip kesetaraan gender dan nondiskriminasi harus dipatuhi. Ini berarti bahwa korban tidak akan dibebani lebih banyak oleh mekanisme RJ karena faktor-faktor seperti umur, hubungan, latar belakang sosial, pendidikan, dan ekonomi. Keadilan restoratif pada dasarnya diterapkan agar dapat melindungi korban dengan pelaku memenuhi hak-hak yang diingikan korban. Keadilan restoratif diterapkan melalui pendekatan musyawarah dan pendekatan kekeluargaan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Tujuannya adalah untuk mencegah pelaku kejahatan masuk ke lembaga peradilan.10

Sesuai dengan sudut pandang restoratif, walaupun kejahatan memang melanggar hukum pidana, fokus utamanya bukan terletak pada tindakan pelakunya, melainkan pada kerugian yang ditimbulkan pada korban, masyarakat, dan bahkan kesejahteraan pelaku. Sayangnya, sistem peradilan pidana yang menganut pendekatan retributif sebagian besar mengabaikan aspek-aspek penting ini.11 Pendekatan keadilan restoratif juga memberikan kemudahan bagi korban untuk menghindari pelaku dari proses pemidanaan yang terkadang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan dalam pengendalian tindak pidana. Dalam proses penegakan hukum pidana, penting untuk memperhatikan kemungkinan-kemungkinan yang mengakibatkan seseorang untuk melakukan tindak pidana, bukan hanya akibat dari tindak pidana.

Prinsip Keadilan Restoratif (RJ) harus didasarkan pada prinsip non-kekerasan, menghindari penggunaan paksaan atau intimidasi. Penerapan RJ hendaknya berpedoman pada asas kesukarelaan, dengan mengutamakan proses, bukan semata-mata menentukan terjadinya suatu tindak pidana atau menetapkan kesalahan pelaku. Dalam kasus yang melibatkan anak yang terlibat konflik hukum, RJ harus mengedepankan kesejahteraan dan kepentingan terbaik bagi anak.

Dalam hal demikian tentunya tidak semua tindak pidana dapat dilakukan RJ. Tindak pidana perdagangan orang dapat dikatakan tidak dapat dilalui oleh proses RJ, mengapa demikian dikarenakan kejahatan TPPO merupakan kejahatan serius yang tidak dapat didamaikan, sehingga pelakunya harus dihukum dengan berat. Seseorang dikendalikan dan dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain dikenal sebagai perdagangan orang. Tindak pidana ini seperti merekrut orang, memindahkan mereka, atau menyimpan orang yang diperdagangkan di lokasi rahasia untuk mengeksploitasi

korban. Walaupun korban mengkehendaki tentunya, dikhawatirkan akan memberikan angin segar kepada pelaku untuk bisa selanjutnya melakukan praktik perdagangan orang kembali.

Perdagangan manusia telah menjadi isu yang semakin rumit karena sifatnya yang transnasional, melampaui batas-batas domestik dan melibatkan banyak negara. Pelanggaran dalam skala global ini tidak hanya melemahkan integritas masing-masing negara namun juga tidak memanusiakan para korban dengan memperlakukan mereka sebagai komoditas untuk dibeli, dijual, diangkut, dan dijual kembali. Mengingat bahwa mereka yang terlibat dalam perdagangan orang (TPPO) merupakan ancaman bagi negara, maka sangat penting bagi negara-negara untuk bekerja sama dalam memberantas para pelaku kejahatan ini, dan tidak menoleransi segala bentuk kegiatan kriminal yang melibatkan atau melibatkan negara lain.12

Mempertemukan korban dan pelaku perdagangan orang dengan berhadap-hadapan tentunya tidak pantas diberlakukan terhadap kasus tindak pidana perdagangan orang, terlebih lagi dalam praktiknya terdapat kekerasan, perbudakan, maupun kekerasan seksual, apalagi pelaku tidak memiliki penyesalan terhadap perbuatannya serta memiliki sejarah kejahatan serupa dimasa lampau. Perhatian negara terhadap pemulihan korban perdagangan orang dan pemidanaan pelaku harus sebanding dengan perhatian negara terhadap pencegahan kejadian tersebut. Korban dapat mengubah hidupnya secara signifikan karena tindakan yang mereka terima, yang dapat menyebabkan depresi, trauma, dan penyakit lainnya hingga mereka memutuskan untuk mati sendiri.13

Hal tersebut terjadi dalam kasus perdagangan orang di Kalteng berujung prostitusi, dimana 10 orang pelaku tindak pidana perdagangan orang. Kasus ini awalnya memberikan modus dengan memberikan janji pekerjaan kepada korban. Setelah korban menyetujui, malah korban dipaksa untuk melayani seksual pria hidung belang. Pelaku menggunakan media online untuk mendagangkan para korban yang diiming-imingi akan dipekerjakan. Selain itu pelaku menjual foto korban dan dijual di aplikasi online tersebut.14 Pada hakikatnya perempuan memiliki otoritas terhadap tubuhnya. Saat otoritasnya tersebut dipaksa oleh orang yang tidak bertanggung jawab tentunya dapat dikatakan pelaku tersebut merupakan pelaku perdagangan orang sekaligus sebagai pelaku kekerasan seksual. Korban dalam hal ini tentunya akan menyebabkan trauma yang membekas dan mendalam terhadap korban. Sehingga keadilan RJ tidak dapat digunakan dalam penyelesaian tindak pidana perdagangan orang terlebih lagi dibaluti kekerasan seksual. Korban dalam hal ini harus diberikan layanan psikologis terkait kondisi yang dialami oleh korban, apabila tidak maka akan berdampak pada korban selanjutnya.

Singkatnya, pendekatan keadilan restoratif (RJ) tidak cocok untuk menangani kasus-kasus perdagangan manusia karena kegagalannya dalam melindungi korban

dan sifat transnasional dari tindak pidana ini sehingga memerlukan pemberantasannya. Selain itu, penggunaan mekanisme RJ untuk menyelesaikan kasus perdagangan manusia dapat mempengaruhi pelaku untuk percaya bahwa mereka dapat lolos dari hukuman dengan memberikan kompensasi, sehingga memungkinkan mereka untuk terus melakukan kegiatan kriminal. Penyelesaian RJ lebih cocok untuk pelanggaran ringan yang dilakukan oleh pelanggar pertama kali, yang ancaman hukumannya berupa denda atau penjara paling lama 5 tahun, yang mengakibatkan kerugian maksimal dua juta lima ratus ribu rupiah. Oleh karena itu, penyelesaian tindak pidana perdagangan orang harus dilakukan melalui proses pengadilan berdasarkan KUHAP dan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

  • IV.   Kesimpulan sebagai Penutup

    4.    Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat penulis disimpulkan bahwa perdagangan manusia suatu tindak pidana yang melibatkan eksploitasi individu melalui berbagai tindakan termasuk kerja paksa, pelecehan seksual, serta kekerasan fisik dan psikologis. Mengingat perempuan dan anak-anak sangat berpotensi untuk menjadi korban, maka penting untuk menetapkan peraturan khusus yang mengatur tindakan hukuman dan perlindungan. Dengan tujuan menghindari penyelesaian tindak pidana di Pengadilan. Dengan mekanisme pemenuhan hak-hak korban oleh pelaku, restorative justice, sebuah reorientasi pemidanaan di Indonesia, mengubah pemidanaan secara retributif menjadi restorative. Namun, hal ini tidak dapat membantu pelaku TPPO. Praktik tindak pidana perdagangan orang ini telah tersebar di berbagai negara, maka dari itu termasuk ke dalam kejahatan transnasional. Oleh karena demikian sudah sepatutnya kejahatan yang berskala besar tersebut tidak diselesaikan secara mudah melalui restorative justice dan harus diselesaikan melalui mekanisme pengadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal

Abdullah, Rahmat Hi. "Tinjauan viktimologis terhadap tindak pidana perdagangan orang (human trafficking)." Jurnal Yustika: Media Hukum Dan Keadilan 22, no. 01 (2019): 55-63.

Alfian, Alfan. "Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang." Fiat Justisia: Jurnal Ilmu Hukum 9, no. 3 (2015).

Aprilianda, Nurini. "Perlindungan anak korban kekerasan seksual melalui pendekatan keadilan restoratif." Arena hukum 10, no. 2 (2017): 309-332.

Daud, Brian Septiadi, and Eko Sopoyono. "Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku perdagangan manusia (human trafficking) di Indonesia." Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 1, no. 3 (2019): 352-365.

Hartono, Bambang. "Analisis Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Konteks Ultimum Remedium Sebagai Penyelesaian Permasalahan Tindak Pidana Anak." Pranata Hukum 10, no. 2 (2015): 160342.

Indriyani, Asit Defi. "Pendekatan Restorative Justice Dalam Melindungi Korban Kekerasan Seksual." IJouGS: Indonesian Journal of Gender Studies 2, no. 2 (2021): 44-56.

Mawati, Eprina, Lies Sulistiani, and Agus Takariawan. "Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Rehabilitasi Psikososial Korban Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana." Jurnal Belo 5, no. 2 (2020): 34-56.

Monita, Yulia. "Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007." INOVATIF| Jurnal Ilmu Hukum 6, no. 2 (2013).

Nugroho, Okky Chahyo. "Tanggung Jawab Negara dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang." Jurnal Penelitian Hukum De Jure 18, no. 4 (2018): 543.

Sugiyanto, Mona Lasisca, Syamsuddin Muchtar, and Nur Azisa. "Execution of Convict Confiscated Equipment Goods of Human Traficking." Jurnal Restorative Justice 6, no. 1 (2022): 1-21.

Syaufi, Ahmad. "Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang." Muwazah 3, no. 2 (2011): 153055.

Widiartana, Gregorius. "Paradigma Keadilan Restoratif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Menggunakan Hukum Pidana." Justitia et Pax 33, no. 1 (2017).

Buku

Bemmelen, Hukum Pidana I. Jakarta, Binacipta. (1984).

Cecilia Medina Quiroga, The Battle of Human Right: Gross, Systematic Violations dalam Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habib Center, Jakarta, (2002).

Amiruddin, H. Zainal Asikin. Pengantar metode penelitian hukum (Rajawali Pers, 2018).

Gavrielides, Theo. Restorative Justice Theory and Practice: Addressing the Discrepancy. Criminal Justice Press, (2007).

Immanuel Kant, 1964, The Doctrine of Virtue (translate by MJ. Gregor), University of Pennsylvania Press, Pennsylvania, hlm. 130

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, (1992).

Rahmawati, Maidina, dkk. Peluang Dan Tantangan Penerapan Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, (2022).

Sinlaeloe, Marthen Luther Johannis Paul. Tindak Pidana Perdagangan Orang. Setara Press, (2017).

Internet

Andriansyah, Anugrah. “Hari Anti Perdagangan Manusia Sedunia 2023: 1.581 Orang Di Indonesia Jadi Korban TPPO Pada 2020-2022.” VOA Indonesia | Berita AS, Dunia, Indonesia, Diaspora Indonesia Di   AS,   July 30,   2023.

https://www.voaindonesia.com/a/hari-anti-perdagangan-manusia-sedunia-2023-1-581-orang-di-indonesia-jadi-korban-tppo-pada-2020-2022-/7203854.html.

Setuningsih, Novianti. “Kasus TPPO Tak Boleh Pakai ‘Restorative Justice’, Mahfud: Penjahat Itu Lawannya Negara... Halaman All.” Kompas.Com, May 9, 2023. https://nasional.kompas.com/read/2023/05/10/05410031/kasus-tppo-tak-boleh-pakai-restorative-justice-mahfud--penjahat-itu-lawannya?page=all.

Huzaini, Moch. Dani Pratama. “Metode Perdamaian Dalam Prinsip Keadilan Restoratif Perkara Pidana.” hukumonline.com. Accessed October 18,  2023.

https://www.hukumonline.com/stories/article/lt61937b681703b/metode-perdamaian-dalam-prinsip-keadilan-restoratif-di-perkara-pidana.

TRIWIBOWO, DIONISIUS REYNALDO. “Kasus Perdagangan Orang Di Kalteng Berujung Prostitusi.” Harian    Kompas,    July 6,    2023.

https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/07/06/kasus-perdagangan-orang-di-kalteng-berujung-prostitusi.

Hartik, Andi. “Terlibat Kasus Perdagangan Orang, Mahasiswa Di NTT Ditangkap Polisi Halaman All.” Kompas.Com, July 5,       2023.

https://regional.kompas.com/read/2023/07/05/101141578/terlibat-kasus-perdagangan-orang-mahasiswa-di-ntt-ditangkap-polisi?page=all.

Artikel

Suhardin, Yohanes. "Tinjauan yuridis mengenai perdagangan orang dari perspektif hak asasi manusia." Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 20, no. 3 (2008): 473-486.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4026.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720.

Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 12 Tahun 2023, hlm. 646-656