PENERAPAN UPAYA DIVERSI TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM SEBAGAI PERWUJUDAN KEADILAN RESTORATIF
on
PENERAPAN UPAYA DIVERSI TERHADAP ANAK
YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM SEBAGAI
PERWUJUDAN KEADILAN RESTORATIF
Raufah Nabila Alivia, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: raufahnabila23@gmail.com
I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: ari_krisnawati@unud.ac.id
DOI: KW.2023.v12.i12.p4
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini yakni untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum serta mengetahui penyelesaian diversi pada anak yang berhadapan dengan hukum sebagai perwujudan keadilan restoratif. Mengingat bahwa anak adalah asset yang berharga maka upaya penanganan masalah dengan tetap memperhatikan kestabilan mental anak diperlukan termasuk penerapannya dalam upaya perlindungan hukum. Dalam kajian ini terdapat kekaburan norma dimana dalam Undang–Undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak secara jelas disebutkan batasan waktu, kewajiban, dan tanggungjawab masing masing pengadilan umum untuk melaksanakan serta memfasilitasi upaya diversi sebagai bentuk keadilan restoratif dalam persoalan hukum yang berkaitan dengan anak. Dalam menggali hasil digunakan metode penelitian yuridis normatif sehingga hasil yang ditemukan yakni anak sebagai asset berharga negara berhak mendapat perlindungan dalam berhadapan dengan hukum dengan memberikan upaya diversi yang tujuannya adalah untuk mengupayakan penanganan perkara dengan mwujudkan pemulihan tanpa balas dendam. Hal ini wajib difasilitasi oleh setiap pengadilan negeri dalam menangani kasus pidana anak.
Kata Kunci: Anak – anak, Diversi, Keadilan restoratif
ABSTRACT
The purpose of this research is to find out the form of legal protection for children in conflict with the law and to find out the completion of diversion for children in conflict with the law as a manifestation of restorative justice. Given that children are valuable assets, efforts to handle problems while still paying attention to the mental stability of children are needed, including their application in legal protection efforts. In this study, there is norm ambiguity where Law No.11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System does not clearly state the time limits, obligations, and responsibilities of each general court to implement and facilitate diversion efforts as a form of restorative justice in legal matters relating to children. In exploring the results, normative juridical research methods are used so that the results found are that children as valuable state assets are entitled to protection in dealing with the law by providing diversion efforts whose purpose is to seek case handling by realizing recovery without revenge. This must be facilitated by every district court in handling juvenile criminal cases.
Key Words: Children, Diversion, Restorative justice
Sebagai salah satu sumber daya manusia, Anak adalah anugrah dari Tuhan sebagai penerus estafet perjuangan cita-cita bangsa serta kebermanfaatan bagi bangsa Indonesia. Anak – anak tentunya memerlukan bimbingan, kasih sayang, dan pengarahan oleh orang tua maupun lingkungan sekitarnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan dimana anak tersebut tumbuh dan berkembanglah yang menjadi tempat untuk belajar pertama kalinya dan akan mempengaruhi kebiasaan serta pola pikir anak. Inilah yang menjadi urgensi dalam pembinaan dan perlindungan anak untuk menjamin tumbuh kembang anak.
Pada zaman sekarang, seluruh aspek mengalami kemajuan seperti pengetahuan, teknologi, kemajuan budaya, dan lainnya. Kemajuan tersebut tentunya memiliki dampak bagi seluruh masyarakat Indonesia, anak-anakpun tak terhindari dari kemajuan tersebut. Tidak dapat dihindari pula perbuatan menyimpang tak jarang dilakukan oleh anak-anak yang seharus perbuatan tersebut tidak seharusnya dilakukan oleh anak-anak. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa sebab, seperti kurangnya perhatian dari orang tua dan juga pengaruh lingkungan dimana anak – anak itu tinggal, hingga tidak menutup kemungkinan anak – anak jatuh ke dalam suatu tindak pidana. Penyimpangan – penyimpangan yang dilakukan oleh anak akan berdampak pada pelanggaran hukum yang membuat anak berhadapan dengan hukum yang merupakan akibat yang tidak dapat dihindari.1 Kini anak – anak dalam melakukan suatu tindak pidana menjadi permasalahan hukum yang marak dilakukan. Steven Allen menyebutkan dalam laporannya bahwa terdapat lebih dari 4000 anak di Indonesia yang melakukan kejahatan ringan kemudian perkara anak tersebut diajukan ke pengadilan setiap tahunnya.2
Dalam proses peradilan terhadap anak wajib menjalani sidang yang berada dalam lingkungan peradilan umum wajib dijalani dalam peradilan anak. Hal ini bertujuan tidak hanya untuk menghukum anak yang bersalah, tetapi juga memperhatikan bahwa pidana yang diberikan harus memberikan manfaat dan kesejahteraan anak di masa depan. Dalam upaya menghindari dampak negatif atau akibat yang diterima anak dari suatu proses peradilan terhadap anak, Indonesia telah memiliki pengaturan tentang perlindungan anak yaitu Undang– Undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disingkat dengan UU SPPA) dan Undang–Undang No.35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disingkat dengan UU Perlindungan Anak). Dalam berhadapan dengan hukum perlindungan bagi anak dijamin dengan disahkannya Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak). Prinsip perlindungan anak seperti keberlangsungan hidup, tumbuh kembang anak, perlakuan bebas dari diskriminasi, kebebasan anak dalam berpendapat, salain itu tidak terlepas juga terhadap perlindungan terhadap pemidanaan serta perampasan kemerdekaan terhdap anak yang bersangkutan
sebagai upaya terakhir terdapat dalam pengaturan – pengaturan yang telah disebutkan diatas.3
Dalam penyelesaian dari suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak seharusnya penting untuk diperhatikan dan disesuaikan, hal ini dikarena pribadi dari orang dewasa tidak dapat disamakan dengan pribadi anak-anak yang masih terlalu dini dan tidak stabil. Selain itu perlunya perlindungan hukum dalam menghindari penyelesaian sistem pidana formal bagi anak dihadapan hukum. Maka dari pada itu, dapat dilakukannya melalui jalan penyelesaian dengan upaya diversi. Dalam mewujudkan keadilan restoratif ditrapkankanya diversi ini yang menitikberatkan pada pemulihan kembali keadaan seperti keadaan sebelum melakukan tindak pidana tanpa mempengaruhi mental dan jiwa anak tersebut.
Namun sayangnya terdapat kekaburan norma dimana dalam Undang– Undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak secara jelas disebutkan batasan waktu, kewajiban, dan tanggungjawab masing masing pengadilan umum untuk melaksanakan serta memfasilitasi upaya diversi sebagai bentuk keadilan restoratif dalam persoalan hukum yang berkaitan dengan anak. Sebagai state of art dalam penelitian ini, Penulis mengacu pada penelitian sebelumnya yang ditulis oleh Fiska Ananda dengan judul “Penerapan Diversi Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana”. Dalam jurnal tersebut dijelaskan terkait penerapan diversi di indonesia serta perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana. Berbeda dengan karya Penulis dalam jurnal ini yang menitik beratkan pada bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum serta fokus utamanya pada perlindungan diversi. Topik permasalahan – permasalahan tersebut akan menjadi suatu pembahasan dalam tulisan ini, yaitu “Penerapan Upaya Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Sebagai Perwujudan Keadilan Restoratif.”
-
1. Apa bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum?
-
2. Bagaimana perlindungan diversi terhadap penyelesaian perkara anak – anak yangberhadapan dengan hukum?
Berdasarkan topik permasalahan tersebut, terdapat beberapa tujuan dari permasalahan yang ditulis dalam penelitian kali ini. Pertama, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Kedua, untuk mengetahui penyelesaian diversi pada anak yang berhadapan dengan hukum sebagai perwujudan keadilan restoratif. Dengan demikian diharapkan kajian ini dapat memberikan informasi bagi pembaca mengenai Penerapan Upaya Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Sebagai Perwujudan Keadilan Restoratif.
Jurnal ini dalam penulisannya menggunakan metode yuridis normatif. Hal ini dilakukan karena terdapat kekaburan norma dimana dalam Undang– Undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak secara jelas disebutkan batasan waktu, kewajiban, dan tanggungjawab masing masing pengadilan umum untuk melaksanakan serta memfasilitasi upaya diversi sebagai bentuk keadilan restoratif dalam persoalan hukum yang berkaitan dengan anak. Dalam penulisan ini menggunakan perutan perundang-undangn yang berlaku sebagai data primer. Selain itu juga menggunakan data sekunder yang memiliki kaitannya dengan bahan hukum primer terkait topik pembahasan. Studi kepustakaan dilakukan sebagai upaya dalam pengumpulan data serta baham hukum yang berkaitan dan yang dipergunakan dalam penulisan jurnal ini.4 Metode pendekatan yang digunakan yakni pendekatan perundang-undangn (statute approach) dilihat dari perspektif aspek hukum, konsep hukum, dan undang-undang. Penulis juga menggunakan pendekatan konseptual (conseptual approach) yang merupakan metode pendekatan terhadap yang memperhatikan konsep-konsep hukum yang berkaitan dengan pembahasan dalam penulisan yang akan menjadi satu sudut pandang serta menjadi penyelesaian terhadap permasalahan dalam pembahasan.5
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan
Hukum
Merujuk kepada pengaturan Pasal 1 ayat 2 UU SPPA memberikan penjelasan terkait anak yang behadapan dengan hukum yang menjelaskan bahwa:
“Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi korban tindak pidana.”
Romli Atmasasmita mengemukakan bahwa kenakalan terhadap anak dapat disebabkan dari dua hal yaitu faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik, berikut dintaranya:6
-
1. Faktor Ekstrinsik pada penyebab dari pada kenakalan anak-anak, yaitu:
-
- Faktor pergaulan anak
-
- Faktor masa media
-
- Faktor pendidikan dan sekolah
-
- Faktor rumah tangga
-
2. Faktor Intrinsik pada penyebab dari pada kenakalan anak-anak, yaitu:
-
- Faktor kedudukan anak dalam keluarga
-
- Faktor intelegentia
-
- Faktor kelamin
-
- Faktor usia
Mencermati fakto–faktor penyebab dari kenakalan remaja yang telah di sebutkan sebelumnya, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa penyebab seorang anak melakukan perbuatan yang menyimpang dimana perbuatannya tersebut berakibat dalam proses hukum dan disebut sebagai anak yang dihadapan terhadap hukum seperti yang telah disebutkan dalam UU SPPA. Proses hukum dalam peradilan anak yang akan dilalui oleh anak tentu akan mempengaruhi psikis dan mentalnya. Kemudian, seringkali terjadi penyimpangan hak-hak yang dimiliki oleh anak dalam tahapan – tahapan proses peradilan anak sehingga akan berdampak pada perkembangan anak untuk kedepannya. Meskipun seorang anak melakukan kesalahan dengan melakukan tindak pidana, agar perlu juga memperhatikan terhap hak – hak anak yang tetap diperlukannya perlindungan untuk kebaikan anak tersebut.7
Dalam Pasal 16 ayat (3) UU Perlindungan Anak dijelaskan terkait dengan penyelesaian terhadap anak yang dihadapan dengan hukum, yaitu dengan dilakukannya penangkapan, penahanan, maupun upaya terakhir berupa hukuman kurungan penjara pada anak yang dapat dilakukan sebagai upaya penyelesaian anak dihadap hukum.8 Penyelesaian terhadap perbuatan melawan hukum anak yang membuat dihadakannya dengan hukum diutamakan dengan pengalihan penyelesaian perkara ke luar pengadilan atau dikenal juga dengan upaya diversi. Selain upaya diversi yang dapat dipergunakan dalam penyelesaian perkana anak terhadap pelangaran hukum yang dilakukan, bentuk perlindungan yang dapat ditempuh dengan peringanan hukuman anak, adanya pendampingan seperti pembimbing kemasyarakatan atau orang tua sebagaimana yang telah tercantum dalam UU Peradilan Anak. Ketentuan sebagaimana dalam UU SPPA telah disesuaikannya dengan Konvensi Hak Anak yang diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 yang pada intinya menentukan bahwa proses hukum dilakukan hanya sebagai upaya terakhir dan dilakukan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya.
Penerapan sistem peradilan anak di Indonesia memiliki sepuluh asas jika mendasar pada pengaturan dalam Pasal 2 SPPA, menentukan:
“Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:
-
a. Perlindungan;
-
b. Keadilan;
-
c. Non diskriminasi;
-
d. Kepentingan terbaik bagi anak;
-
e. Penghargaan terhadap pendapat anak;
-
f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak;
-
g. Pembinaan dan pembimbingan anak;
-
h. Proporsional;
-
i. Perampasan kemerdekaan dan pemidaan sebagai upaya terakhir;
-
j. Penghindaran pembalasan.”
Mencermati pengaturan tersebut diketahui bahwa anak-anak yang berhadapan dengan hukum haruslah memiliki perlakuan khusus berdasarkan asas - asas diatas. Dalam upaya perlindungan terhadap anak yang dihadapkan dengan hukum dalam penyelesaiannya perlu juga memberpahtikan asas-asas system peradilan anak yang perlu diperhatikan. Sebagai bentuk perlindungan hokum terhadap anak terdapat empat bentuk upaya yang dapat dilakukan dalam perkara anak yang diohadapkan dengan hukum, yaitu:
-
1. Litigasi
Dalam pengadilan pidana anak, hak-hak yang dimiliki anak yang dihadapkan dengan hukum perlu untuk diperhatikan. Hal ini selaran dengan apa yang telah diatur dalam Pasal 3 SPPA yaitu:
“Setiap anak dalam prosen peradilan pidana berhak:
-
a. Memperhatikan kebutuhan anak sesuai dengan umurnya serta memperlakukansecara manusiawi
-
b. Melakukan kegiatan rekreasional
-
c. Dipisahkan dari orang dewasa
-
d. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lain secara efektif
-
e. Bebas dari penghukuman, penyiksaan, atau pun perlakuan lainnya yang tidak manusiawi, kejam, serta merendahkan martabat dan derajatnya
-
f. Tidak dijatuhi pidana seumur hidup maupun pidana mati
-
g. Tidak dilakukan penangkapan, penahanan, ataupun pidana kurungan penjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat
-
h. Memperoleh keadilan secara objektif atau tidak berpihak di muka pengadilananak, serta melakukan sidang yang tertutup untuk umum
-
i. Identitas anak tidak boleh dipublikasikan
-
j. Mendapatkan pendampingan orang tua atau wali dan orang yang dipercayaoleh anak
-
k. Mendapatkan advokasi sosial
-
l. Mendapatkan pelayanan kesehatan
-
m. Mendapatkan kehidupan pribadi
-
n. Mendapatkan pendidikan
-
o. Mendapatkan aksesibilitas, terutama pada anak yang cacat
-
p. Mendapatkan hak lain yang disesuaikan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.”
-
2. Non Litigasi
Diversi merupakan salah satu penyelesaian perkara pidana anak yang dapat dilakukan. Diversi sendiri merupakan penyelesaian dari perbuatan melawan hokum yang dilakukan oleh anak diluar daripada ranah peradilan pidana. Hal tersebutkan diartikan sebagai penyelesaian dimana dilakukan dengan cara kekeluargaan serta musyawarah yang tidak telepas dari keterlibatan antar pelaku dan korban, serta keterlibat dari pada keluarga pelaku atau keluarga dari pada korban, dan para pihak terkait guna mencari jalan keluar dari permasalah terkait yang menitik tidak menitik beratkan pada pembalasan melainkan pada pemulihan dari pada keadaan awal dari si anak.
Upaya diversi sendiri dapat dilakukan dari awal perkara tersebut ditangani oleh kepolisian hingga perkara tersebut telah disidangkan di pengadilan. Artinya, diversi dapat terus diupayakan disetiap tahapan proses dari pada suatu peradilan. Akan tetapi, pelaksanaan dari pada upaya diversi ini tidak dapat diberlakukan kepada anak dengan tuntutan ancaman hukuman lebih dari tujuh tahun penjara serta tidak dapat diberlaku terhadap pengulangan tindak pidana.
-
3. Aparat Penegak Hukum
Pada perkara anak dalam penanganannya aparat penegak hukum memiliki ketentuan khusus yang mengatur sebagai salah satu wujud nyata upaya dari pada perlindungan bagi aanak-anak yang dihadapkan dengan hukum. Aparat penegak hukum yang dimaksud diantaranya adalah kepolisi berperan sebagai penyidik, jaksa selaku pihak penuntut umum, serta hakim selaku pihak yang berwenang dalam memutuskan setiap perkara anak.
-
4. Pendampingan Anak
Dalam perkara anak yang berhadapa dengan hokum tidak terlepas dengan pendamping anak. Merujuk pada Pasal 1 angka 13-18 UU SPPA, mengatur terkait keterlibatan pendamping Anak sebagaimna yang dimaksud diantaranya:
-
a. “Pembimbing kemasyarakatan, yaitu pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap Anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana.
-
b. Pekerja Sosial Profesional, yaitu seseorang yang bekerja dalam lembaga pemerintah maupun swasta, yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial Anak.
-
c. Tenaga Kesejahteraan Sosial, yaitu seseorang yang dididik dan dilatih secara profesional untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial Anak.
-
d. Keluarga, yaitu orang tua yang terdiri atas ayah, ibu, dan/atau anggota keluarga lain yang dipercaya oleh Anak.
-
e. Wali, yaitu orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak.
-
f. Pendamping adalah orang yang dipercaya oleh Anak untuk mendampinginya selama proses peradilan pidana berlangsung.” Sebagai contoh nyata bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dapat kita lihat pada kasus yang terjadi di Indonesia. Pertama, dalam kasus yang marak menjadi perbincangan publik yakni kasus penganiayaan terhadap Cristalino David Ozora (17) yang dilakukan oleh anak mantan pejabat pajak, Mario Dandy Satrio (20). Dalam peristiwa tersebut terdapat satu Perempuan dibawah umur berusia 15 tahun berinisial AG yang ikut terlibat sehingga ada perubahan status dari AG yang awalnya anak berhadapan dengan hukum, berubah
statusnya atau naik statusnya jadi anak yang berkonflik dengan hukum.9 Hal tersebut didasarkan pada Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bahwasannya
"Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana,"
Dari kasus tersebut kita dapat melihat unsur unsur perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yakni mmulai dari identitasnya yang disamarkan, serta tidak dinyatakan sebagai tersangka namun dinyatakan sebagai anak yang berkonfik dengan hukum sesuai ketentuan Pasal 1 ayat 3 UU No. 11 Tahun 2011.
Contoh kasus lainnya yakni pada Pengadilan Negeri Kudus dengan Nomor Perkara 2/Pid.Sus.Anak/2021/PN Kds bahwa berdasarkan surat dakwaan terjadi penganiayaan terhadap anak yang dilakukan oleh anak inisial “AAR” Bin “RK” terhadap korban anak dengan inisial “FLG” Bin “G”. Dalam kasus tersebut diselesaikan melalui diversi. Adapun perlindungan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Kudus yakni
-
a. Dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial professional berdasarkan keadilan restroatif.
-
b. Hakim memberitahukan bahwa orang tua/wali atau pendamping, advokat atau LBH, dan pembimbing kemasyarakatan untuk mendampingi anak.
-
c. Diberikan perlindungan hukum melalui diversi.
d.Identitas anak berhadapan dengan hukum disamarkan.
Proses hukum terhadap anak yang terlibat kejahatan tidak selalu ditangani dalam pengadilan. Penanganan kejahatan yang dilakukan anak ditangani diluar pengadilan melalui diversi. Diversi menurut UU SPPA adalah penanganan kasus perkara yang dilakukan anak diluar pengadilan melalui adanya pengalihan dari yang awalnya dalam pengadilan lalu diluar pengadilan. Diversi dilakukan melalui tahapan-tahapan mengedepankan penyelesaian secara musyawarah tanpa mengganggu kondisi psikis dan psikologis anak dalam penyelesaian perkara guna mencapai keadilan namun tanpa adanya indikasi balas dendam.10 Diversi meskipun diluar pengadilan penanganannya, namun tetap tujuannya adalah mencapai keadilan bagi korban tanpa merusak mental sang anak.
Meskipun diversi pada perkara anak diberikan, tidak serta – merta membuat perkara anak secara keseluruhan dapat menggunakan penyelesaian secara diversi. Diversi dirasa alternatif yang tepat bagi anak yang melakukan kejahatan tanpa mengganggu kesehatan jiwanya. Perkara anak yang layak mendapat diversi
adalah perkara yang ancaman hukumannya tidak lebih dari 7 tahun. Anak yang layak mendapatkan diversi adalah dia yang dengan rentang umur 12 sampai dengan 18 tahun terhitung pada saat melakukan perbuatan melawan hukum.11 Negara mengganggap anak pada usia-usia tersebut sedang mencari jati dirinya sehingga dengan sangat berhati-hati negara mengupayakan penanganan hukuman yang lebih mengutamakan pendekatan secara intens kepada anak guna menjaga kesehatan jiawanya, namun hak korban juga tetap dijalankan tidak hanya berfokus kepada pelaku. Penanganan perkara dengan diversi dilakukan secara hati-hati tanpa ada yang merasa tertekan, terancam dalam menyelesaian diversi.12 Musyawarah merupakan cara yang dipergunakan dalam penyelesaian diversi dengan menghadirkan para pihak yang memiliki kepentingan. Adapun pihak-pihak tersebut yaitu anak sebagai pelaku dari suatu perbuatan melawan huku atau tindak pidana serta melibatkan pihak orang tua atau walinya, korban dan orang tua atau walinya, pekerja sosial profesional yang dipilih berdasar pada pendekatan keadilan restoratif, serta pembimbing kemasyarakatan.13 Hasil dari diversi tersebut dapat berupa perdamaian dengan adanya ganti rugi atau tidak adanya ganti rugi, dikembalikan anak kepada orang tua atau wali yang bersangkutan, keikutsertaan anak untuk menjalani pelatihan atau pendidikan di Lembaga Pendidikan LPKS dengan rentang waktu paling lama 3 (tiga) bulan, terakhir mengikuti pelayanan masyarakat. Dalam proses diversi ini menghasil suatu keputusan berbentuk surat kesepakatan diversi. Kemudian dari pada itu, setelah dihasilkannya surat kesepakatan diversi tersebut wajib dilakukan penetapan oleh Ketua Pengadilan Negeri di wilayah perkara atau tindak pidana tersebut terjadi. Pemberlakuan diversi ini sebagai upaya dari bentuk perlindungan terhadap anak yang dihadapan dengan hukum serta pemenuhan dari pada hak-hak yang dimiliki oleh anak tersebut.
Pengimplementasian diversi tidak selamanya berjalan seperti yang diharapkan yakni tercapainya penyelesaian yang berkeadilan. Dengan diberlakukannya diversi namun tidak tercapai penyelesaian yang diinginkan dalam hal proses perkara dihentikan tentunya korban berhak atas hak nya yakni mendapat ganti kerugian. Namun jika ganti kerugian tidak dapat dibayarkan oleh pelaku maka proses hukum masih akan tetap berjalan dengan memberikan pemberitahuan kepada pejabat yang berwenang dalam memberikan keputusan atas diversi jika gagal dilakukan. Hal itu diatur dalam Pasal 13 dan 14 UU SPPA, diversi yang gagal dilakukan masih akan berlanjut proses hukumnya hingga tercapai keadilan.14 Pemberitahuan tersebut berkenaan dengan kegagalan dalam
pelaksnaan diversi akan diproses selama 7 hari oleh pejabat yang bertanggungjawab yang diajukan oleh pembimbing kemasyarakatan yang menangani diversi.
UU SPPA dalam kaitannya keadilan restorative ini adalah dengan mengatur ketentuan mengenai diversi melalui keadilan restorative. Ancaman pidana dalam hal upaya diversi melalui keadilan restorative untuk ancaman pidana bagi anak itu sendiri tidak melebihi 7 tahun. Penanganan perkara dengan melalui upaya diversi dilakukan semata-mata juga demi kepentingan terbaik untuk anak termasuk psikis dan psikologisnya yang akan berurusan dengan hukum. Tetap menjalankan hukum yang berlaku hanya saja penyelesaiannya dilakukan diluar pengadilan dengan menghadirkan para pihak yang berkepentingan dalam perkara. Tujuannya adalah sama yakni mencari sebuah jalan akhir berbentuk penyelesaian yang adil namun menekankan bahwa keadaan dibalikkan seperti keadaan awal dan bukan pembalasan. Keadilan tetap dijalankan hanya saja tidak semata-mata berkonsep layaknya hukum pidana dengan adanya ancaman hukuman pidana bagi yang didakwa bersalah.
Pendekatan keadilan restorative berkonsep mengedepankan pertemuan secara langsung antara pihak yang memiliki kepentingan didalamnya termasuk juga sang anak.15 Keadilan restoratif ini memiliki tujuan untuk memulihkan keadaan seperti semula. Tidak seperti konsep umumnya, keadilan restorative tidak memberlakukan sama kepada semua perkara yang berhubungan dengan anak melainkan pada umumnya hanya tersedia bagi perkara yang tanpa menimbulkan akibat dalam hal tubuh dan nyawa. Selain itu, keadilan restorative diimplementasikan untuk perkara anak yang tanpa melibatkan kepentingan dan kehormatan serta pelanggaran lalu lintas. Sehingga dapat ditegaskan bahwasannya keadilan restorative adalah konsep yang sudah tertata rapi sebagai upaya dalam memberikan perlindungan bagi anak baik dari itu dari segi psikis dan psikologis.
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
4 Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan keseluruhan, wujud dari perlindungan terhadap anak yang dihadapan dimuka hukum adalah dengan mengupayakan adanya upaya diversi, selain itu untuk anak yang dihadapan dimuka hukum diberikan keringanan hukuman serta pendampingan baik oleh Masyarakat atau orang tua. Upaya diversi lazim disebut dengan upaya pengalihan keluar pengadilan melalui musyawarah dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative yang tujuan utamanya adalah lebih mengarah kepada sisi hak asasi anak namun tetap memberikan hukuman atas perbuatan yang telah diperbuat oleh anak. Dengan menggunakan diversi, hal itu akan membuat kestabilan mental dari anak tetap normal dengan tidak menghadapkan anak kedalam peradilan pidana yang formal.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Marlina. Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana.
(Medan: ArtDesign, Publishing & Printing, 2010)
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, and Ni Made Martini Tinduk. Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvinile Justice System) di Indonesia. (Jakarta: UNICEF, 2003)
Soetodjo, Wagiati. Hukum Pidana Anak. (Bandung, PT. Refika Aditama, 2006)
Jurnal
Ananda, Fiska. “Penerapan Diversi Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana.” Jurnal Daulat Hukum 1.1 (2018)
Ani Purwati, S. H., et al. “Keadilan Restoratif Dan Diversi Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Anak.” Jakad Media Publishing. (2020)
Anwar, Mashuril, and M. Ridho Wijaya. “Fungsionalisasi Dan Implikasi Asas Kepentingan Terbaik Bagi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum: Studi Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang.” Undang: Jurnal Hukum 2.2. (2019)
Benuf, K, & Azhar, M. “Metodologi Penelitian Hukum Sebagai Instrumen Mengurai Permasalahan Hukum Kontemporer.” Gema Keadilan 7 no. 1. (2020)
Budoyo, Sapto, and Ratna Kumala Sari. “Eksistensi Restorative Justice Sebagai Tujuan Pelaksanaan Diversi Pada Sistem Peradilan Anak Di Indonesia.” Jurnal Meta- Yuridis 2.2. (2019)
Ernis, Yul. “Diversi Dan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Anak Di Indonesia.” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol.10, No.2. (2016)
Fardian, Rifky Taufiq, and Meilanny Budiarti Santoso. “Pemenuhan Hak Anak Yang Berhadapan (Berkonflik) Dengan Hukum Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandung.” Jurnal Kolaborasi Resolusi Konflik 2.1. (2020)
Muhaemin, B. “Prinsip-prinsip Dasar Tentang Hak Perlindungan Anak.” DIKTUM: Jurnal
Syariah dan Hukum 14.1. (2016)
Pratama, Rendy H., Sri Sulastri, and Rudi Saprudin Darwis. “Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.” Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat 2.1. (2017)
Setiawan, Dian Alan. “Efektivitas Penerapan Diversi Terhadap Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak Sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.” DIH Jurnal Ilmu Hukum 13.26. (2017)
Sonata, D.I. “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris Karakteristik Khas Dari Metode Penelitian Hukum.” Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, 8 no. 1. (2014)
Sosiawan, Ulang Mangun. “Perspektif Restorative Justice Sebagai Wujud Perlindungan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.” Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Vol.16, No.4. (2016)
Suryo, Bintang Adi. “Penerapan Sistem Diversi Dalam Praktik Peradilan Pidana Anak.” Diss. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. (2016)
Internet
M-27. (2018). Mengenal Konsep Diversi Dalam Pengadilan Pidana
Anak. URL:https://www.hukumonline.com/berita/a/mengenal-konsep-diversi-dalam- pengadilan-pidana-anak-lt5adeefc80f6ba. Diakses pada 24 Februari 2023, pukul 13.00 WITA
Mansyur, Ridwan. Keadilan Restoratif Sebagai Tujuan Pelaksanaan Diversi Pada Sistem Peradilan Pidana Anak. URL:
https://www.mahkamahagung.go.id/ rbnews.asp?bid=4085 diakses pada 24 Februari 2023, pukul 20.00 WITA
Mawardi, Isal. 2023. "Ini Dasar Polisi Tak Sebut AG Tersangka tapi 'Anak Berkonflik dengan Hukum" URL: https://news.detik.com/berita/d-6597629/ini-dasar-polisi-tak-sebut-ag-tersangka-tapi-anak-berkonflik-dengan-hukum. Diakses pada 16 Januari 2024. Pukul 19.56 WITA
Tesis
Cahyadi. “Proses Diversi Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh anak: Studi kasus di wilayah hukum Kepolisian Resor Gowa tahun 2015-2016.” PhD diss., Universitas Hasanuddin Makassar, 2018.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332)
Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang –
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014, Nomor, 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606)
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 Tentang
Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak - Hak Anak)
Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 12 Tahun 2023, hlm. 634-645
Discussion and feedback