PELAKSANAAN PEMERIKSAAN SAKSI SECARA

BERSAMAAN PADA PERKARA PIDANA

BERDASARKAN PRINSIP HUKUM ACARA DI

INDONESIA

(Studi Kasus: 41/Pid.B/2023/PN Dps Mengenai Penipuan atau Penggelapan)

I Made Bayu Saputra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: mdbayu11@gmail.com

I Dewa Gede Dana Sugama, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dewasugama@gmail.com

DOI: KW.2024.v13.i2.p4

ABSTRAK

Kajian ini bertujuan untuk melakukan kajian mendalam terhadap prosedur pembuktian dalam persidangan pidana, khususnya terkait pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang tidak mengikuti KUHAP. Dengan fokus pada bidang peraturan perundang-undangan, penulis menggunakan metode penelitian empiris di bidang hukum. Hasil studi menunjukkan bahwa terdapat ketidaksesuaian antara das sollen dan das sein mengenai pelaksanaan pemeriksaan saksi di persidangan khsususnya pada perkara pidana di Indonesia. Pada pasal 160 ayat (1) a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 mengatur secara jelas mengenai prosedur pemeriksaan saksi, yaitu para saksi dipanggil dan diperiksa satu per satu di ruang sidang namun dalam kasus yang penulis kaji, dalam agenda pembuktiannya pemeriksaan saksi dilakukan secara bersamaan sehingga hal ini berpotensi mempengaruhi keterangan saksi sehingga keterangan yang didapat dalam alat bukti ini menjadi kurang meyakinkan.

Kata Kunci: Hukum Acara Pidana, Pemeriksaan Saksi, Das Sollen, Das Sein.

ABSTRACT

This study plans to conduct an in-depth examination of the evidentiary procedure in criminal trials, especially in regard to the questioning of witnesses who do not follow Indonesia's Criminal Procedure Code. With a focus on legislation, the author employs empirical research techniques in the legal field. The results of the study show that there is a discrepancy between das sollen and das sein regarding the conduct of witness examinations in special trials in criminal cases in Indonesia. Article 160 paragraph (1) a of Law Number 8 of 1981 clearly regulates the procedure for examining witnesses, namely witnesses are called and examined one by one in the courtroom but in the case that the author is reviewing, in the evidentiary agenda the examination of witnesses is carried out simultaneously so that is has the potential to influence witness statements so that the information obtained in this evidence becomes less convicing.

Key Words: Criminal Procedure, Witness Examination, Das Sollen, Das Sein.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai salah satu negara yang merdeka tidak luput dari penderitaan rakyat yang mendorong para pendiri bangsa (founding father) untuk memperjuangkan dan mewujudkan negara Indonesa yang merdeka dan berdaulat serta didasarkan aturan-aturan hukum. Hukum berfungsi sebagai kontrol agar terciptanya suatu keharmonisan dan ketertiban di masyarakat. Di Indonesia, terdapat berbagai macam bidang keilmuan hukum, satu diantaranya yaitu Hukum Pidana. Hukum pidana dapat diartikan sebagai aturan hukum mengenai perbuatan dilarang atau diperintahkan yang pemberlakuannya dipaksakan oleh negara serta terdapat sanksi pidana bagi siapapun yang melanggar.1

Dalam klasifikasinya, hukum pidana dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mencakup peraturan hukum yang mengatur apa yang dilarang dan harus dilakukan, dengan hasil bahwa ada sanksi pidana yang diterapkan jika peraturan tersebut dilanggar. Sedangkan hukum pidana formil dapat diartikan sebagai aturan yang mengatur tata pelaksanaan perantara negara untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dalam mengenakan pidana bagi yang melanggar sesuai dengan aturan yang diancamkan.

Hukum pidana diatur dalam KUHP yang didalamnya terdapat 3 sub buku, termasuk di antaranya adalah Buku I KUHP yang merincikan prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara umum; Buku II KUHP yang memuat klasifikasi tindak pidana; dan Buku III KUHP yang menggolongkan pelanggaran serta tindak pidana yang diatur di luar kerangka KUHP.2 Dalam konteks hukum pidana, terdapat prinsip legalitas yang dinyatakan dalam Pasal 1 KUHP, yang mengemukakan bahwa tidak ada tindakan yang dapat dikenai hukuman kecuali jika telah diatur dalam Undang-Undang sebelum tindakan tersebut dilakukan. Di antara pihak-pihak yang berperkara di persidangan terdiri dari hakim yang berperan sebagai pengambil keputusan, penuntut umum/jaksa yang melakukan fungsi penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan dan juga terdakwa yang didampingi oleh penasihat hukumnya. Pada proses pembuktian perkara pidana di muka pengadilan sebelum dilakukan pemeriksaan keterangan terdakwa, maka terlebih dahulu yang diperiksa adalah keterangan dari saksi.

Proses pembuktian dalam kasus pidana melibatkan dua tahap, yang mencakup penyajian fakta dan analisis hukum. Bagian pengungkapan fakta menitikberatkan oleh pihak-pihak terlibat, yaitu jaksa penuntut umum dan penasihat hukum. Sedangkan bagian penganalisisan hukum menitikberatkan pada rangkaian perbuatan pidana yang didapat di dalam persidangan berdasarkan relevansi bukti yang diajukan para pihak di persidangan. R. Subekti dalam karyanya berpendapat bahwa proses pembuktian bertujuan untuk meyakinkan Majelis Hakim selama persidangan, dengan tujuan akhirnya adalah memberikan hukuman kepada terdakwa.3 Ada lima macam bukti dasar: saksi dan keterangan ahli, dokumen, bukti fisik, dan keterangan terdakwa sendiri. Menurut Pasal 1 Ayat 26 KUHAP, saksi adalah seseorang yang memiliki pengetahuan terkait kasus pidana, tidak hanya melalui pengalaman pribadi seperti pendengaran atau

penglihatan langsung, tetapi juga melalui informasi yang diperoleh dari orang lain. Yang terpenting, informasi tersebut harus relevan dengan perkara tersebut. Hal ini termuat dalam putusan Mahkamah Konstitusi 65/PUU-VII/2010 yang pada pokoknya terdapat perluasan mengenai makna saksi, hal yang perlu ditekankan adalah bahwa informasi tentang suatu tindak pidana tidak selalu berasal dari pengalaman langsung seperti pendengaran, penglihatan, atau pengalaman pribadi, melainkan juga dapat diterima dari pihak ketiga, dengan syarat bahwa informasi tersebut memiliki relevansi yang signifikan.4 Perluasan makna ini muncul sebagai hasil dari pengakuan bahwa saksi testimonium de auditu sekarang diterima secara sah dalam konteks persidangan.5 Saksi-saksi yang dipanggil dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu saksi yang memberatkan terdakwa (a charge); saksi yang meringankan terdakwa (a de charge); dan ada juga saksi yang tidak memberatkan maupun meringankan terdakwa, yang umumnya disebut sebagai saksi ahli.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pelaksanaan pemeriksaan saksi yang diperiksa secara bersama dalam persidangan pidana berdasarkan prinsip hukum acara pidana di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana pelaksanaan pemeriksaan saksi dalam persidangan pidana Nomor: 41/Pid.B/2023/PN Dps tentang penipuan atau penggelapan sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk menganalisis dan mengkaji pelaksanaan pemeriksaan saksi yang diperiksa secara bersama dalam persidangan pidana berdasarkan prinsip hukum acara pidana di Indonesia. Selain itu, penulisan ini juga bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan pemeriksaan saksi dalam persidangan pidana Nomor: 41/Pid.B/2023/PN Dps tentang penipuan atau penggelapan sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan. Harapan penulis nantinya agar dijadikan bahan evaluasi untuk para penegak hukum dalam mengimplementasikan apa yang telah diatur dalam hukum acara dan jika memang diperlukan pengaturan lebih khusus mengenai dalam keadaan bagaimana dapat dilakukannya pemeriksaan saksi secara bersamaan. Hal ini bertujuan agar tidak terjadinya kekosongan hukum yang secara tidak langsung menciderai hukum acara di Indonesia.

  • II.    Metode Penelitian

Artikel ini menggunakan jenis penelitian hukum empiris, yakni menurut Abdul Kadir Muhammad menyatakan bahwa kajian hukum empiris merupakan bagian dari penyelidikan hukum yang berfokus pada perilaku manusia dan interaksi sosial daripada teks tertulis.6 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan peraturan peraturan perundang-undangan (Statute Aprroach) dan pendekatan kasus (Case Aprroach). Selanjutnya, data diperoleh dari pengumpulan materi hukum

melibatkan analisis aturan hukum yang berlaku dan referensi yang sesuai, seperti buku dan artikel ilmiah dalam jurnal, yang memiliki relevansi dengan topik hukum yang sedang dikaji oleh peneliti serta melakukan observasi secara sistematis kepada narasumber yang merupakan hakim yang menangani kasus yang penulis kaji.

Penelitian dalam artikel ini berdasarkan atas data yang berbentuk data primer serta sekunder. Data primer tersebut bersumber pada beberapa perkara-perkara pidana yang melakukan pelaksanaan pemeriksaan saksi secara bersamaan, salah satunya perkara pidana nomor: 41/Pid.B/2023/PN Dps tentang penipuan atau penggelapan dengan wawancara hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri Denpasar dan memiliki pengalaman dalam menangani kasus dengan menggunakan metode pemeriksaan saksi secara bersamaan. Sedangkan, data sekunder yakni bersumber pada hasil penelitian kepustakaan dan studi dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini. Proses pengumpulan materi hukum melibatkan analisis aturan hukum yang berlaku dan referensi yang sesuai, seperti buku dan artikel ilmiah dalam jurnal, yang memiliki relevansi dengan topik hukum yang sedang dikaji oleh peneliti. Sehingga berdasarkan metode diatas didapatkan jawaban dari setiap masalah yang dipaparkan pada penelitian ini.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Pelaksanaan pemeriksaan saksi yang diperiksa secara bersama dalam persidangan pidana berdasarkan prinsip hukum acara pidana di Indonesia Dalam Hukum Acara Pidana, pentingnya proses pembuktian dalam persidangan pidana tidak bisa diabaikan, karena tujuannya adalah mengungkap kebenaran substansial, yang menjadi fokus utama dari proses hukum acara pidana.7 Persyaratan dan prosedur untuk memasukkan bukti serta peran hakim dalam menerima, menolak, dan menilai bukti semuanya dijelaskan dalam peraturan hukum yang mengatur proses hukum acara pidana. Hak ini mengatur jenis-jenis mengenai alat bukti yang diakui sah menurut peraturan perundang-undangan. Dasar hukum untuk proses pembuktian dalam hukum acara pidana ditemukan dalam pasal-pasal 183 hingga 189 KUHAP. Indonesia menerapkan Prinsip Pembuktian yang Bersumber dari Undang-Undang dengan Pendekatan Negatif (Negative Wettelijk), sebagaimana diuraikan dalam Pasal 183 (KUHAP). Dalam prinsipnya, hal ini menunjukkan bahwa seorang hakim hanya boleh memberikan hukuman kepada seseorang jika minimal ada dua bukti yang sah yang meyakinkannya bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa adalah pelakunya.8

Pasal 184 KUHAP mencatat lima kategori bukti yang sah diakui, termasuk kesaksian saksi, pandangan ahli, dokumen tertulis, barang bukti fisik, dan pernyataan terdakwa. Segala persyaratan dan prosedur yang berkaitan dengan pengajuan bukti, beserta kebijakan hakim dalam menerima, menolak, dan menilai bukti, semuanya dijelaskan dalam peraturan hukum yang mengatur proses hukum acara pidana. Peraturan ini juga mengatur jenis-jenis bukti yang diterima sebagai sah sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. UU No. 8 Tahun 1981 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Peradilan Pidana secara rinci mengatur langkah-langkah pemeriksaan saksi dan tersangka selama proses penyelidikan untuk memastikan perlindungan yang memadai terhadap hak-hak terdakwa dan saksi. Oleh karena itu dalam laporan

pemeriksaan yang dibuat oleh Kepolisian, harus mencakup pernyataan dari saksi dan terdakwa yang sesuai dengan pengalaman mereka secara langsung dalam peristiwa hukum tersebut, termasuk apa yang mereka saksikan, dengar tanpa adanya unsur paksaan atau pengaruh dari pihak apapun, sejalan dengan ketentuan Pasal 117 KUHAP.9 Penyidik mendokumentasikan kesaksian saksi dalam dokumen yang disebut Berita Acara Pemeriksaan, yang disusun dengan merujuk pada sumpah jabatan kemudian diberikan tanggal dan ditandatangani oleh penyidik serta saksi yang memberikan kesaksian setelah saksi menyetujui isinya. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) ini memiliki signifikansi yang sangat besar dalam proses pembuktian yang berlangsung selama persidangan karena BAP yang dibuat oleh Kepolisian akan menjadi dasar bagi Penuntut Umum untuk merumuskan dakwaan. Dokumen ini menjadi acuan utama dalam jalannya proses persidangan.

Peran keterangan saksi sangat penting dalam proses penyelidikan kasus pidana dan oleh karena itu, tidak dapat diabaikan.10 Dalam hierarki bukti yang diakui sah, kesaksian saksi, terutama yang berasal dari saksi yang merupakan korban, memiliki posisi yang signifikan, menduduki posisi teratas karena keterangan tersebut berasal dari individu. Hal yang harus ditekankan adalah bahwa hanya kesaksian saksi yang diberikan secara langsung di ruang sidang pengadilan yang diakui sebagai bukti yang sah, sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Apabila seorang saksi tidak dapat hadir di persidangan, maka kesaksian yang telah dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan dan telah disumpah akan dibacakan di hadapan pengadilan. Dalam upaya memverifikasi kebenaran dari keterangan saksi, hakim harus secara serius memperhatikan beberapa hal berikut:

  • 1)    Konsistensi antara kesaksian berbagai saksi.

  • 2)    Keselarasan antara kesaksian saksi dengan bukti-bukti lain yang ada.

  • 3)    Mempertimbangkan potensi motivasi yang mungkin memengaruhi saksi dalam memberikan keterangan tertentu.

  • 4)    Mengambil pertimbangan terhadap latar belakang dan integritas pribadi saksi, serta faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi kepercayaan terhadap kesaksian mereka.

Selama proses pemeriksaan saksi, saksi dilarang berkomunikasi dengan saksi lainnya. Tujuan utamanya adalah untuk mempertahankan ketidakberpihakanan dalam kesaksian tanpa adanya pengaruh dari saksi-saksi lainnya. Meskipun di dalam sistem hukum Indonesia, tidak ada regulasi yang mengakui saksi yang memberikan kesaksian berdasarkan apa yang mereka peroleh dari informasi yang didengar dari pihak lain sebagai bentuk bukti yang diakui sah, namun dalam kenyataannya, dalam praktik peradilan, seringkali kita temukan bahwa keterangan kesaksian saksi testimonium de auditu umumnya digunakan untuk memverifikasi peristiwa selama proses persidangan.11 Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 menjelaskan bahwa Testimonium de auditu menunjukkan bahwa kesaksian saksi tidak

selalu harus berasal dari pengalaman langsung mereka, seperti apa yang mereka lihat, dengar, atau alami secara pribadi.12

Dalam pelaksanaannya adapun perbedaan yang signifikan antara “Das Sollen” dan “Das Sein” terutama ketika digunakan dalam konteks pemeriksaan silang terhadap para saksi yang diperiksa secara bersamaan atau bersamaan selama persidangan, baik itu dalam konteks perkara pidana atau perdata. Apabila salah satu prasyarat tersebut tidak terpenuhi, maka kumulatif syarat formal dan substansial untuk keterangan saksi tidak terpenuhi, sehingga keterangan tersebut tidak dapat diterima sebagai bukti dalam proses pengadilan. Untuk memastikan bahwa kesaksian saksi diakui sebagai bukti yang sah dan dapat dipercaya dalam seluruh proses persidangan, maka sudah menjadi keharusan formal bahwa setiap saksi diperiksa secara terpisah. Di Das Sollen, setiap saksi diperiksa satu per satu.

Ketentuan ini dijelaskan dalam Pasal 144 ayat (1) HIR dan Pasal 171 ayat (1) Rbg, serta Pasal 160 ayat (1) huruf a dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga menegaskan bahwa saksi harus diperiksa secara individual di dalam ruang sidang.13 Sebelum agenda pembuktian, para pihak yang berperkara diwajibkan untuk meminta saksi yang akan dihadirkan tetap berada diluar ruang sidang sebelum gilirannya diperiksa. Hal ini bertujuan untuk menghindari saksi saling berbicara satu sama lain sepanjang kesaksian itu berlangsung yang mana dapat berdampak dalam keterangan tersebut sehingga tidak mepertahankan keterangan yang diketahuinya.

Namun, dalam prakteknya terdapat perbedaan antara "Das Sein" yang mencerminkan kenyataan, terutama terkait dengan prinsip pemeriksaan saksi secara individu. Terkadang, pemeriksaan saksi secara bersamaan dilakukan, dengan alasan yang diberikan oleh penegak hukum sebagai penjelasan. Saya telah menemui contoh pemeriksaan saksi secara bersamaan dalam beberapa kasus pidana yang berlangsung di Pengadilan Negeri IA Denpasar. Namun, dalam hal ini penulis akan memfokuskan pada pelaksanaan pemeriksaan perkara pidana nomor register perkara 41/Pid.B/2023/PN Dps tentang penipuan atau penggelapan.

  • 3.2.    Pelaksanaan pemeriksaan saksi dalam persidangan pidana Nomor: 41/Pid.B/2023/PN Dps tentang penipuan atau penggelapan sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan

Pelaksanaan prosedur dalam pemeriksaan saksi sudah diatur secara rinci dalam Pasal 160 ayat (1) KUHAP akan tetapi pada prakteknya menemukan kesulitan dalam penerapannya maka dipergunakan doktrin atau yurisprudensi.14 Dari hasil wawancara dengan Bapak Agus Akhyudi, S.H., M.H. selaku Hakim Ketua dalam perkara pidana yang peneliti kaji (perkara nomer register: 41/Pid.B/2023/PN Dps tentang penipuan atau penggelapan), ada beberapa pertimbangan dilakukannya sebagai berikut:

  • 1.    Keterangan dari para saksi yang dihadirkan di persidangan pada pokoknya sama

Pernyataan yang diberikan oleh para saksi yang dipanggil ke dalam persidangan oleh jaksa penuntut umum atau penasihat hukum, seperti yang tercatat dalam

berita acara penyidikan, pada dasarnya harus konsisten dan sama. Pengadilan berdiskusi dengan Jaksa Penuntut Umum, terdakwa, dan penasihat hukumnya sebelum melaksanakan pemeriksaan saksi secara bersamaan untuk menegaskan apakah mereka semua setuju untuk melanjutkan dengan hal tersebut. Hal ini biasanya dapat dilakukan ketika kesaksian saksi-saksi saling mendukung satu sama lain, atau jika jumlah saksi yang harus diperiksa sangat banyak. Dalam perkara pidana nomer register: 41/Pid.B/2023/PN Dps tentang penipuan atau penggelapan ada 43 saksi yang diperiksa pada agenda pembuktian15. Dalam konteks kasus ini, melakukan pemeriksaan terpisah terhadap setiap saksi tidaklah praktis, mengingat hal ini akan menghabiskan waktu yang signifikan, terutama jika kesaksian mereka hampir identik atau sangat serupa. Bapak Agus Akhyudi, S.H., M.H. Istilah "justice delayed is justice denied" yang berarti bahwa keterlambatan dalam memberikan keadilan juga merupakan bentuk ketidakadilan.

  • 2.    Menganut sistem pembuktian negatif

Berdasarkan prinsip ini, hakim hanya boleh menjatuhkan hukuman jika terdapat minimal dua bukti yang telah diatur oleh undang-undang, serta keyakinan hakim yang didasarkan pada keberadaan bukti-bukti tersebut. Dengan kata lain, terdakwa dapat dianggap bersalah atas tindakan pidana yang diajukan terhadapnya jika alat bukti tersebut memperoleh keyakinan dari hakim. Prinsip ini diuraikan dalam Pasal 183 KUHAP. Dalam kasus pidana dengan nomor register 41/Pid.B/2023/PN Dps yang berkaitan dengan penipuan atau penggelapan, sebanyak 43 saksi telah memberikan keterangannya selama pemeriksaan, Maka dalam proses pembuktian tersebut, setidaknya terdapat dua keterangan yang menguatkan kesalahan terdakwa, yaitu pengakuan bersalah dari terdakwa dan adanya dua alat bukti sah yang mendukung tuntutan terhadap terdakwa, sehingga terdakwa bisa dianggap bersalah atas tindakan pidana yang dituduhkan.

  • 3.    Efisien dan efektifitas waktu

Dalam perkara pidana nomer register: 41/Pid.B/2023/PN Dps tentang penipuan atau penggelapan pada agenda pembuktian rata-rata 10 saksi yang diperiksa keterangannya, maka jika diibaratkan setiap saksi membutuhkan waktu 1 jam untuk diperiksa keterangannya, maka jika dilakukan pemeriksaan secara satu per satu membutuhkan waktu 10 jam dan hal ini dianggap tidak efektif dan efisien. Selain itu, Penting untuk diingat bahwa hakim tidak hanya menangani satu kasus pidana saja, tetapi hal serupa juga berlaku untuk jaksa penuntut umum dan penasihat hukum, karena keduanya terlibat dalam penanganan beragam kasus pidana. Karena itu, hakim, jaksa penuntut umum, dan terdakwa atau penasihat hukum seringkali menyetujui pemeriksaan bersamaan terhadap saksi sebagai cara untuk mempercepat penyelesaian perkara tersebut.

  • 4.    Adanya asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan

Proses peradilan yang cepat dijalankan dengan tujuan untuk menghindari penahanan yang berkepanjangan sebelum hakim membuat keputusan. Jika pemeriksaan saksi dilakukan satu per satu maka membutuhkan waktu yang lama. Ketakutan yang muncul adalah bahwa masa penahanan terdakwa bisa berakhir, sehingga ada potensi terdakwa bisa dibebaskan karena masa penahanannya telah berakhir. Dengan istilah yang lebih sederhana, yang

dimaksud adalah melaksanakan proses persidangan perkara tindak pidana dengan cara yang efisien dan efektif yang berarti masalah tersebut dapat diatasi sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh semua pihak yang terlibat. Maksud dari "biaya ringan" dalam persidangan adalah bahwa semua biaya yang terkait dengan proses tersebut ditanggung oleh negara. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan biaya yang terjangkau, penting untuk menjalankan persidangan dengan efisien dan tanpa penundaan yang berlebihan. Salah satu caranya adalah dengan melakukan pemeriksaan saksi secara bersamaan.

Dalam wawancara Peneliti berdiskusi dengan Hakim I Wayan Suarta, S.H., M.H., yang menjabat sebagai hakim di Pengadilan Negeri Denpasar, terkait pemeriksaan saksi secara bersamaan. Meskipun di Pengadilan Negeri Denpasar saksi-saksi diperiksa secara bersamaan, panitera tetap mencatat dalam Berita Acara Pemeriksaan bahwa pemeriksaan saksi dilakukan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam KUHAP, yakni dengan mencatat keterangan saksi secara individual. Penting untuk dicatat bahwa dalam melakukan pemeriksaan secara bersamaan, persetujuan dari semua pihak yang terlibat dalam perkara diperlukan (prinsip Asas Versus Kesepakatan), sehingga keputusan ini tidak hanya bergantung pada pertimbangan hakim semata.

  • IV.    Kesimpulan sebagai Penutup

    4. Kesimpulan

Dengan merujuk kepada temuan dan analisis data, dapat disimpulkan bahwa pembuktian dalam Hukum Acara Pidana memiliki signifikansi besar dalam persidangan kasus pidana karena fokusnya adalah mencari kebenaran materiil yang menjadi tujuan inti dalam sistem hukum acara pidana. Dalam praktiknya terdapat perbedaan yang mencolok terkait dengan proses pemeriksaan saksi di persidangan, yaitu dalam konsep (das sein) dalam persidangan saksi harus diperiksa satu per satu sesuai dengan yang telah tertuang dalam Pasal 144 ayat (1) HIR, R.bg, Pasal 160 ayat (1) huruf a KUHAP yang pada pokoknya menyatakan bahwa saksi yang dihadirkan dipanggil ke persidangan seorang demi seorang. Namun, dalam kenyataannya (das sollen) praktek peradilan seringkali berbeda dari prinsip pemeriksaan saksi satu per satu, contohnya pada proses persidangan perkara pidana no: 41/Pid.B/2023/PN Dps pemeriksaan saksinya dilakukan secara bersamaan, dan hal ini atas dasar penjelasan yang diberikan oleh penegak hukum. Adapun beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam melaksanakan pemeriksaan saksi secara bersamaan, yaitu keterangan dari saksi-saksi yang hadir dalam persidangan pada dasarnya sama; mengikuti sistem pembuktian negatif; memaksimalkan efisiensi dan efektivitas waktu; serta menerapkan prinsip peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan. Berdasarkan temuan penelitian tersebut, diharapkan penegak hukum kita di Indonesia dapat mempertimbangkan perlu adanya peraturan yang lebih spesifik atau pengaturan yang lebih khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia mengenai syarat-syarat atau dalam keadaan bagaimana pelaksanaan pemeriksaan saksi dapat dilakukan secara bersamaan karena seiring berjalannya waktu masyarakat terus berkembang maka dengan itu hukum bersifat fleksibel atau harus menyesuaikan dengan perkembangannya di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Butarbutar, Elisabeth Nurhaini. Hukum Pembuktian Analisis terhadap Kemandirian Penegak Hukum dalam Proses Pembuktian, (Bandung: CV Nuansa Aulia, 2016).

Harahap, M. Yahya. Prembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (Jakarta: Sinar Grafika, 2017).

Jurnal:

Asprianto, Wangke. “Kedudukan Saksi De Auditu Dalam Praktik Peradilan Menurut Hukum Acara Pidana”, Jurnal Lex Crimen 6, No. 3 (2017): 145-147.

Idris, Ruslan Renggong dan Siku, Abdul Salam. "Analisis Hukum Tentang Penyangkalan Terdakwa Di Tingkat Persidangan Dan Implikasinya Dalam Hukum Pembuktian", Indonesian Journal of Legality of Law 2, No. 2 (2020).

Parlindungan S, Toni . “Pemeriksaan Saksi Dalam Perkara Pidana Berdasarkan Ius Constitum Indonesia”. Jurnal Gagasan Hukum 3, No. 1 (2021).

Prima Saktia, Maulinda. ”Implikasi Yuridis Perluasan Definisi Saksi Dan Keterangan Saksi Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010”. Jurnal Verstek 1, No.3, (2013).

Situngkir, Danel Aditia. “Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Nasional Dan Hukum Pidana Internasional”, Soumatera Law Review 1, No. 1 (2018).

Situmorang, Nedi Gunawan. “Kedudukan Hukum (Legal Standing) Keterangan Saksi Testimonium De Auditu Sebagai Alat Bukti Yang Sah Pra Dan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 65/PUU-VIII/2010”, Jurnal Unpak 6, No. 2 (2020).

Sri Utami, Febri. “Kedudukan Keterangan Saksi Di Penyidikan Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Persidangan”. Jurnal Ilmiah 1, No.3 (2014).

Supraptio, Steven. “Daya Ikat Mahkamah Konstitusi Tentang Testimonium De Auditu Dalam Peradilan Pidana”. Jurnal Yudisial 7, No. 1, (2014).

Ulfiana, UUN. “Penerapan Pemeriksaan Saksi Secara Bersama-Sama Dalam Persidangan Perkara Pidana”. Jurnal Hukum, Politik, Dan Ilmu Sosial 2, No. 4, (2023).

Perundang-Undangan & Yurisprudensi:

Undang -Undang Nomer 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

Putusan Perkara Pidana Nomer 41/PID.B/2023/PN DPS tentang penipuan atau penggelapan.

Jurnal Kertha Wicara Vol 13 No 2 Tahun 2024, hlm. 86-94