PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG MELAKUKAN

PERCERAIAN TANPA IZIN DARI ATASAN

BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH

NOMOR 45 TAHUN 1990

Pascal Adven Genbadi Surbakti, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email : adventsurbakti@gmail.com

Gusti Ayu Arya Prima Dewi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: aryaprimadewi@unud.ac.id

DOI: KW.2023.v12.i11.p5

ABSTRAK

Studi ini bertujuan untuk mengetahui konsekuensi hukum jika terjadi tindak pelanggaran berupa Pegawai Negeri Sipil yang tak menjalankan persyaratan dan prosedural perceraian dalam melakukan perceraian dan tidak mendapat persetujuan dari atasan. Artikel ini dibuat melalui pendekatan penelitian hukum Yuridis Normatif dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan dan menganalisis aspek hukumnya. Metode ini berkaitan dengan masalah hukum yang menjadi fokus penulisan. Prosedur perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia diatur oleh Peraturan Pemerintah, seperti Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 dan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990. Meskipun izin atasan dianggap administratif, bukan syarat mutlak, PNS yang tidak memenuhi persyaratan dapat dikenai sanksi disiplin berat sesuai Peraturan Pemerintah No. 53 Thn 2010. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 5 Thn 1984 memberikan panduan bagi hakim terkait izin atasan dalam kasus perceraian PNS. Oleh karena itu, studi ini penting agar mengetahui konsekuensi hukum bagi Pegawai Negeri Sipil yang akan melaksanakan perceraian tanpa persetujuan dari atasan.

Kata Kunci : Perceraian, Pegawai Negeri Sipil, Konsekuensi Hukum

ABSTRACT

The aim of this study is to determine the legal consequences if a violation occurs in the form of a Civil Servant who fails to fulfill the requirements and procedural aspects of divorce and does not obtain approval from superiors. This article is created through a Juridical Normative legal research approach, referring to legislation and analyzing its legal aspects. This method is related to legal issues that are the focus of the writing. The divorce procedure for Civil Servants in Indonesia is regulated by Government Regulations, such as Government Regulation No. 10 of 1983 and Government Regulation No. 45 of 1990. Although supervisor approval is considered administrative, not an absolute requirement, PNS who do not meet the requirements may face severe disciplinary sanctions according to Government Regulation No. 53 of 2010. Supreme Court Circular No. 5 of 1984 provides guidance for judges regarding supervisor approval in cases of PNS divorce. Therefore, this study is crucial to understand the legal consequences for Civil Servants who intend to divorce without the approval of their superiors.

Keywords : Divorce, Civil Servants, Legal Consequences

  • I.   Pendahuluan

    1.1  Latar Belakang Masalah

Tujuan primer perkawinan ialah untuk membentuk keluarga yang harmonis dan abadi sebagaimana disebut dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan). Dalam peraturan tersebut, perkawinan didefinisikan sebagai hubungan emosional dan spiritual antara seorang laki - laki dan seorang perempuan yang menjadi suami dan istri, dengan maksud

menciptakan sebuah keluarga yang harmonis dan abadi, dengan keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa sebagai dasarnya. Perkawinan juga memiliki signifikansi hukum yang besar dalam kehidupan manusia karena berhubungan dengan pengembangan keturunan. Oleh karena itu, perkawinan berdampak pada berbagai konsekuensi dan implikasi hukum.1

Keluarga yang harmonis akan terbentuk ketika pasangan suami dan istri saling mengerti dan saling memahami. UU Perkawinan dalam Pasal 33 menyatakan bahwa suami dan istri memiliki kewajiban untuk salinh mencintai, saling menghormati, tetap setia, dan memberikan dukungan yang saling melengkapi. Bahkan, dalam kehidupan berkeluarga dan kehidupan bermasyarakat, suami dan istri memiliki kedudukan yang setara dan hak untuk melakukan perbuatan hukum.2

Setiap perkawinan dimaksudkan untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis dan sejahtera. Namun, faktanya tak semua perkawinan bisa berjalan dengan lancar sesuai harapan. Terkadang, dalam suatu perkawinan muncul berbagai masalah, dari masalah kecil sampai masalah yang sulit untuk diatasi. Dalam situasi di mana masalah rumah tangga yang tidak harmonis tidak dapat diatasi, salah satu opsi yang mungkin diambil adalah melalui perceraian.

Kasus perceraian Pegawai Negeri Sipil (PNS) sering dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat. Perceraian terjadi atas berbagai alasan, bahkan hal - hal sepele bisa menjadi penyebab konflik yang pada akhirnya berujung pada perceraian.3 PNS memiliki tanggung jawab dalam menjalankan tugas - tugas pemerintahan sesuai dengan peran dan fungsinya. Mereka sering dianggap sebagai anggota masyarakat kelas menengah dan diharapkan memiliki rumah tangga yang harmonis, seringkali menjadi contoh baik bagi orang lain di sekitarnya. Namun, kenyataannya banyak rumah tangga PNS yang tidak mencapai tingkat keharmonisan yang baik dan sering terjadi konflik yang menyulitkan keberlangsungan hubungan. Oleh karena itu, perceraian seringkali dipandang sebagai solusi terakhir untuk menyelesaikan masalah - masalah rumah tangga yang kompleks.

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan yang mengatur prosedur bagi seorang PNS yang akan mengakhiri kehidupan rumah tangganya, yang disebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disingkat PP No. 10 Tahun 1983) juncto Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Perubahan PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut PP No. 45 Tahun 1990). Esensi dari regulasi ini terkandung dalam Pasal 3 dan Pasal 4. Pasal 3 PP No. 10 Tahun 1983 menjelaskan prosedur yang harus diikuti oleh anggota PNS apabila ingin melangsungkan perceraian, sementara Pasal 4 PP No. 10 Tahun 1983 mengatur prosedur terhadap seorang PNS yang ingin melakukan poligami.4

Persyaratan untuk mendapat izin atau surat keterangan dari atasan pada kasus perceraian PNS dapat dianggap sebagai suatu hal wajib yang sudah seharusnya diindahkan oleh setiap PNS yang mau bercerai. Persetujuan dari atasan dianggap sebagai bagian dari administrasi yang tertib dalam proses perceraian PNS. Tujuan utama dari aturan ini adalah untuk mencoba mendamaikan pasangan suami istri, sehingga konflik tersebut tidak mempengaruhi kesejahteraan atau psikologi anggota PNS dan juga untuk mengatur aspek tunjangan yang berhubungan dengan hukum perceraian.5 Peraturan tersebut membuat seolah – olah membatasi atau bahkan menghalangi seorang PNS apabila ingin melakukan perceraian.6

Modifikasi yang dimuat pada PP No. 45 Tahun 1990 memiliki beberapa aspek penting. Pertama, peraturan ini memperjelas persyaratan untuk mengajukan izin dalam kasus perceraian, yang menjadi keharusan bagi PNS. Kedua, Peraturan ini menjelaskan bahwa PNS yang perempuan tidak diperbolehkan menjadi istri seorang pria yang telah memiliki lebih dari satu istri secara sah dalam konteks poligami. Selain itu, peraturan juga mencakup pembagian gaji sebagai upaya untuk menjaga keadilan antara kedua belah pihak yang bercerai, dan mendefinisikan pengertian hidup bersama.7 Pemerintah berharap agar PNS mematuhi peraturan yang telah dibuat, yang mewajibkan mereka untuk mendapatkan persetujuan dari atasan sebelum mengajukan permohonan perceraian. Akan tetapi, tetap sering dijumpai PNS yang melanggar ketentuan ini dengan tetap membawa gugatan perceraian tanpa persetujuan dari atasan.

Penulis dalam membuat jurnal melakukan perancangan hingga penulisan yang merupakan gagasan yang datang dari pemikiran penulis dengan meneliti beberapa jurnal sebagai pembanding dan acuan dalam penulisan seperti jurnal yang ditulis oleh Brody Made Kariarta dan Dr. I Wayan Novy Purwanto dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Pendamaian Dalam Perkara Perceraian Aparatur Sipil Negara Dengan Pendekatan Hukum Perkawinan” membahas mengenai syarat sahnya perceraian dan bentuk pendamaian penyelesaian perkara perceraian. 8Jurnal kedua yang menjadi sumber dari penulisan jurnal ini ditulis oleh Jamal Jamil dengan judul “Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS” kemudian yang dibahas dalam jurnal kedua ini adalah analisis PP No. 10 Tahun 1983 jo. PP 45/1990 dari sudut pandang hukum islam9. Sedangkan penulis dalam jurnal ini membahas mengenai konsekuensi hukum dan pendekatan yang dilakukan oleh hakim dalam kasus perceraian Pegawai Negeri Sipil (PNS). Maka, penjelasan diatas menunjukkan adanya perbedaan fokus penulisan dengan tulisan-tulisan terdahulu, sehingga ada keterbaharuan penulisan dalam penelitian hukum. Dengan adanya perbandingan dan latar belakang yang sudah dijabarkan, maka penulis membuat suatu jurnal dengan judul “Pegawai Negeri Sipil yang Melakukan Perceraian Tanpa Izin dari atasan Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990.”

  • 1.2    Rumusan Masalah

Munculnya permasalahan ini didasari oleh konteks yang telah dijelaskan sebelumnya, yakni :

  • 1)    Apa konsekuensi hukum yang dihadapi seorang Pegawai Negeri Sipil apabila mereka bercerai tanpa izin dari atasan?

  • 2)    Bagaimana pendekatan yang diambil oleh seorang hakim dalam menghadapi kasus di mana seorang Pegawai Negeri Sipil telah melaksanakan perceraian dengan tidak melampirkan surat keterangan dari atasannya?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi konsekuensi hukum yang mungkin terjadi dan pandangan hakim terkait dengan kasus seorang Pegawai Negeri Sipil yang bercerai tanpa izin dari atasan. Selain itu, agar dapat mengerti kerangka hukum dan prosedur yang mengatur perceraian yang melibatkan Pegawai Negeri Sipil.

  • II.    Metode Penelitian

Dalam melakukan penulisan, diperlukan adanya sebuah metode untuk menentukan dan mempermudah jalannya penulisan. Dalam hal ini, metode dalam penyusunan artikel yang akan dibahas ialah metode yuridis normatif. Metode yuridis normatif adalah pendekatan yang merujuk pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.10 Dalam hal ini, untuk menemukan aturan hukum dan akibat hukum yang digunakan sebagai dasar untuk membahas isu perceraian tanpa izin atasan yang dijalankan oleh Pegawai Negeri Sipil. Metode ini berkaitan dengan permasalahan hukum yang menjadi fokus penulisan.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Konsekuensi Hukum Bagi Pegawai Negeri Sipil yang Melaksanakan

Perceraian Tanpa Izin Atasan

Perceraian membawa dampak buruk bagi kehidupan sehingga tidak berjalan sesuai dengan harapan, sedangkan hakikatnya perkawinan dilakukan untuk menciptakan keluarga yang harmonis dan menciptakan generasi yang berkualitas. Sebelum memulai dan menjalani kehidupan pernikahan, penting untuk memiliki pemahaman yang matang dan persiapan yang baik untuk menghadapi tantangan yang mungkin muncul di masa depan. Meskipun perceraian dapat membawa dampak negatif pada keluarga, tetap merupakan pilihan yang tersedia bila salah satu pihak merasa tidak sukacita dalam hubungan mereka. Justifikasi untuk melangsungkan perceraian diatur dalam peraturan hukum yang berlaku.11

Regulasi hukum mengenai perceraian PNS dijelaskan dalam PP No. 10 Tahun 1983 juncto PP No. 45 Tahun 1990. Kedua regulasi ini mengenai perceraian

diberlakukan secara khusus bagi PNS. PNS yang ingin mengajukan permohonan cerai harus melalui serangkaian pertimbangan, antara lain: 12

  • a)    Pertimbangan Hukum

Peraturan perundang – undangan menjelaskan dalil – dalil tertentu agar perceraian tersebut dapat dilakukan. Hak dan kedudukan istri harus sejajar dengan suami, baik dalam konteks kehidupan keluarga maupun dalam interaksi sosial lebih luas. Hal ini memungkinkan untuk pertimbangan bersama dalam semua aspek kehidupan keluarga. Dalam penerapannya, beberapa ketetapan dalam PP No. 10 Thn 1983 memiliki makna yang tidak cukup jelas. Hal ini dapat memungkinkan anggota PNS untuk menghindari regulasi dalam PP No. 10 Tahun 1983 dengan efektif. Selain itu, beberapa atasan mungkin menghadapi kesulitan dalam mengambil keputusan bijak karena terdapat ambiguitas dalam rumusan tersebut, yang dapat menghasilkan beragam penafsiran. Maka, dibutuhkan penyempurnaan beberapa regulasi dalam Peraturan Pemerintah ini.13

  • b)    Pertimbangan Sosial

Penerapan regulasi hukum PNS berhubungan dengan status PNS yang memiliki tanggung jawab untuk menunjukkan perilaku yang positif terhadap bawahannya dan menjadikan diri mereka sebagai teladan dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam konteks kehidupan keluarga. Kedudukan PNS sebagaimana diatur pada UU No. 43 Thn 1999, yang menggambarkan bahwa PNS memiliki tanggung jawab untuk menjalankan pelayanan kepada masyarakat dengan tingkat profesionalisme, kejujuran, keadilan, dan kesetaraan yang tinggi dalam pelaksanaan tugas - tugas terkait negara, pemerintahan, bahkan pembangunan.

  • c)    Pertimbangan Institusional

Penerapan PP Nomor 10 Thn 1983 jo. PP No. 45 Thn 1990 bertujuan untuk mengoptimalkan kepatuhan PNS dalam mengatur hubungan rumah tangga mereka.14 Dengan kata lain, aturan ini dibentuk agar tidak terjadi kegaduhan dalam rumah tangga yang akan memengaruhi kinerja anggota PNS tersebut.

Di sisi lain, ada juga aturan yang jika dilanggar akan diberi sanksi yakni PP No. 53 Thn 2010 tentang Displin Pegawai Negeri Sipil. Tata cara perceraian PNS oleh PP No. 45 Thn 1990 secara garis besar mengatur bahwa perceraian wajib mendapatkan persetujuan dari atasan dan berposisi sebagai penggugat ataupun tergugat dengan mengajukan permintaan secara tertulis.15

Izin atasan tidak merupakan syarat absolut untuk mengajukan perkara perceraian, tetapi lebih sebagai persyaratan administratif. PNS yang ingin melaksanakan perceraian harus mendapatkan izin atasan dahulu. Akan tetapi, ketiadaan izin itu tak akan menghentikan proses peradilan. Dengan kata lain, perkara perceraian tetap dapat diajukan bahkan jika izin atasan belum diperoleh pada saat pengajuan perkara, dan izin atasan dapat diserahkan kemudian. Dalam hal ini,

pengadilan dapat menunda proses tersebut selama maksimal enam bulan atas perintah hakim. Meskipun izin atasan hanya sebagai persyaratan administratif, PNS yang tidak memenuhi persyaratan ini dapat dikenai sanksi disiplin berat sesuai yang ditetapkan dalam PP No. 53 Thn 2010. Pada pasal 16 PP No. 10 Thn 1990 hukuman displin tersebut telah ada perubahan yaitu dikenai salah satu hukuman displin berat.16

PNS yang tak memperoleh izin dari atasan untuk melaksanakan perceraian atau tak membuat laporan perceraian kepada atasan yang memiliki wewenang dalam waktu paling lambat satu bulan sejak terjadinya perceraian dianggap melakukan pelanggaran hukum khusus perceraian, yaitu Pasal 15 angka 1 PP No. 45 Tahun 1990. Pasal tersebut menyatakan bahwa PNS yang melakukan pelanggaran terhadap salah satu atau lebih ketetapan yang terdapat didalamnya serta tidak memberi laporan perceraian mereka dalam waktu paling lambat satu tahun sejak pernikahan dilangsungkan, dapat dikenai salah satu sanksi disiplin berat berdasarkan PP No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Penjelasan lebih lanjut mengenai jenis sanksi disiplin berat sesuai dengan yang dijelaskan dalam ayat 1 huruf c dapat dijelaskan sebagai berikut :

  • a.    Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) bulan;

  • b.    Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;

  • c.    Pembebasan dari jabatan;

  • d.    Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri oleh Pegawai Negeri Sipil;

  • e.    Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Atasan yang memiliki wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin telah terikat oleh prosedur yang diatur secara resmi, yang mencakup tahapan mulai dari pemanggilan, pemeriksaan, hingga penjatuhan hukuman disiplin. Ini juga mencakup hak bagi PNS untuk mengusulkan tindakan administratif jika mereka tidak setuju dengan keputusan yang diberikan. Selain itu, perlu dicatat bahwa atasan yang memanggil dan menginterogasi PNS belum tentu memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi disiplin. Penetapan sanksi disiplin bergantung pada jabatan yang dimiliki oleh eselon atasan tersebut.

Disisi lain, bila atasan yang memiliki wewenang memberi hukuman tidak memberi sanksi displin pada PNS yang melakukan kesalahan, maka ia dijatuhi hukuman displin. Sanksi disiplin yang diberlakukan akan sesuai dengan jenis sanksi disiplin yang seharusnya diterapkan terhadap PNS yang melanggar aturan disiplin. Pasal 36 dalam PP No. 53 Tahun 2010 menjelaskan bahwa apabila seorang PNS mengajukan protes terhadap hukuman yang diberikan, maka atasan yang berwenang wajib memberi argumen tertulis atas protes yang diajukan oleh PNS tersebut dalam waktu enam hari kerja, yang dihitung sejak PNS menerima salinan surat keberatan. Pasal ini memberi kewajiban terhadap atasan yang berwenang untuk menentukan kebijakan terkait protes yang dikemukakan oleh PNS dalam waktu 21 hari kerja, yang dihitung sejak PNS menerima protes / keberatan tersebut.17

Penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh atasan yang melakukan pemeriksaan dan PNS yang diperiksa adalah suatu persyaratan, dan BAP dianggap sah sebagai landasan untuk memberlakukan hukuman disiplin bahkan jika PNS yang

diinterogasi tidak bersedia menandatanganinya. Prosedur pemberitahuan penetapan hukuman disiplin dijelaskan pada Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 21 Thn 2010. Atasan yang memiliki wewenang untuk memberlakukan sanksi disiplin wajib secara tertulis memanggil PNS yang bersangkutan untuk menyerahkan surat keputusan. Penyampaian keputusan disiplin ini harus dilakukan paling lambat 14 hari sejak keputusan sanksi disiplin diputuskan. Proses penyampaian tersebut dilaksanakan secara privat, berarti bahwa hanya PNS yang bersangkutan yang berhak mengetahui isi keputusan tersebut.

Peraturan-peraturan ini dirancang untuk menjaga kedisiplinan PNS agar tidak terganggu oleh masalah rumah tangga dan untuk memberikan pertimbangan bagi PNS laki - laki yang akan melakukan perceraian, terkecuali mereka dapat memberikan bukti jika perceraian disebabkan oleh tindakan sang istri sesuai dengan regulasi hukum yang telah ditetapkan. Izin terlebih dahulu merupakan suatu keharusan, mengingat kedudukan yang dimiliki oleh PNS/ASN yang berperan penting dalam pemerintahan.18Peraturan Pemerintah No. 53 Thn 2010 juga memberikan hak kepada PNS yang telah dikenai sanksi disiplin untuk mengajukan tindakan hukum jika mereka menganggap hukuman yang diberikan tidak adil dan bertujuan untuk mewujudkan keadilan.19

Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa izin atasan tidak merupakan syarat absolut untuk mengajukan perkara perceraian, tetapi lebih sebagai persyaratan administratif. PNS yang tak memperoleh izin dari atasan untuk melaksanakan perceraian atau tak membuat laporan perceraian kepada atasan yang memiliki wewenang dalam waktu paling lambat satu bulan sejak terjadinya perceraian dianggap melakukan pelanggaran hukum khusus perceraian, yaitu Pasal 15 angka 1 PP No. 45 Tahun 1990. PNS yang tidak memenuhi persyaratan dalam melakukan perceraian dapat dikenai sanksi disiplin berat sesuai yang ditetapkan dalam PP No. 53 Thn 2010.

  • 3.2 Pendekatan Hakim Dalam Menghadapi Kasus Pegawai Negeri Sipil yang

    Melaksankan Perceraian Tanpa Izin Atasan

Salah satu prinsip fundamental yang wajib dijalankan oleh hakim ialah prinsip kemandirian, yakni kemampuan untuk mengambil tindakan sendiri tanpa adanya pengaruh atau ikut campur dari oknum lain. Dalam konteks ini, hakim seharusnya tak memiliki wewenang untuk menolak perkara yang diajukan kepadanya. Pasal 4 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa pengadilan harus mengadili kasus - kasus sesuai dengan hukum, tanpa membeda - bedakan individu atau perkara yang datang kepada mereka. Hal ini berarti bahwa hakim tak memiliki kewenangan untuk menolak perkara, termasuk perkara perceraian PNS, yang diajukan kepada mereka.

PNS yang ingin melakukan perceraian memang diwajibkan untuk memperoleh izin dari atasan. Namun, perlu dicatat bahwa kewajiban untuk mendapatkan izin atasan tersebut tidak akan menghalangi pengadilan untuk mengadili perkara perceraian, bahkan jika izin tersebut belum diperoleh pada saat perkara diajukan. Dalam hal ini, izin atasan dapat diperoleh setelah pengajuan perkara, dan sesuai

dengan perintah hakim, sidang dapat ditunda untuk memberi kesempatan kepada PNS tersebut untuk mendapatkan izin. Jika setelah penundaan selama enam bulan PNS tersebut masih belum mendapatkan izin, maka hakim akan mengembalikan perkara kepadanya dan menanyakan apakah PNS tersebut bersedia melanjutkan sidang dengan syarat bahwa dia bersedia menerima segala konsekuensi dari perceraian tanpa persetujuan atasan. Dengan demikian, hakim memberi kesempatan kepada PNS untuk menyelesaikan masalah izin atasan sambil tetap mempertimbangkan perkara perceraian di pengadilan.

Selaras dengan ketentuan diatas, Mahkamah Agung telah membuat Surat Edaran No. 5 Thn 1984 yang memberikan panduan bagi hakim dalam meninjau kasus perceraian PNS, terkhusus terkait keterikatan izin atasan bagi PNS yang akan bercerai dan tidak memiliki izin tersebut. Surat tersebut memerintahkan hakim untuk meminta kepada PNS yang memberi pengajuan perceraian agar menyertakan izin dari atasan. Hakim juga diberi kewenangan untuk menunda sidang selama enam bulan agar PNS terkait memiliki waktu dalam mendapatkan persetujuan dari atasan. Jika PNS tersebut tetap ingin melanjutkan perkara perceraian setelah lewat dari batas waktu enam bulan, maka hakim diberi wewenang untuk memberikan peringatan tentang sanksi yang mungkin dijatuhkan jika PNS tersebut melanggar ketentuan tersebut. Dalam hal PNS mengajukan protes karena menganggap perkaranya akan diundur hingga 6 bulan dan merasa bahwa hakim seakan – akan menghambat tahap percobaan untuk pegawai yang ditolak cuti, penting untuk dicatat bahwa hakim tetap tunduk pada aturan hukum yang berlaku, dan sanksi yang mungkin dijatuhkan jika PNS melanggar ketentuan hukum akan sesuai dengan peraturan yang berlaku.20

Dalam Hukum Acara Perdata, seorang hakim diharapkan dapat bersikap pasif, yang berarti bahwa hakim tidak diperkenankan untuk mendorong seseorang untuk mengajukan gugatan. Prinsip pasifitas hakim juga mengakibatkan bahwa hakim tidak memiliki wewenang untuk mencegah seseorang jika mereka ingin mencabut gugatan atau jika pihak - pihak yang terlibat dalam perkara ingin mencapai perdamaian. Namun, jika seorang PNS tidak ingin mencabut gugatannya dan bersedia menerima konsekuensi dari tindakannya, maka hakim harus menjalankan tugasnya dengan memeriksa perkara tersebut. Dalam konteks Hukum Acara Perdata, prinsip yang mengatur adalah bahwa hakim sudah seharusnya bertindak secara adil, menyikapi semua unsur yang terlibat dalam perkara dengan cara yang sama, dan tidak berat sebelah. Hal ini memastikan bahwa pemeriksaan perkara dilakukan secara obyektif dan semua pihak memiliki kesempatan untuk disimak di depan pengadilan. Perceraian bukan berarti putusnya hubungan kekeluargaan akan tetapi kedua pihak diwajibkan untuk tetap menyisihkan beberapa bagian dari penghasilan yang didapat untuk anak dan mantan istri. Biasanya, dalam kasus perceraian PNS, langkah pertama adalah mencoba upaya pendamaian melalui mediasi yang dilakukan oleh pimpinan, sebelum akhirnya melibatkan persidangan di mana keputusan diambil oleh seorang Hakim.21

IV.  Kesimpulan sebagai Penutup

4.   Kesimpulan

Keluarga memegang peran penting dalam membentuk dan mewujudkan kelompok yang lebih besar, seperti suatu negara. Di Indonesia, pemerintah telah mengatur prosedur untuk mengakhiri hubungan rumah tangga seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan pasangan hidupnya melalui proses perceraian sesuai dengan PP No. 10 Tahun 1983 juncto PP No. 45 Tahun 1990. Penting untuk dicatat bahwa izin atasan pada kasus perceraian PNS tidak diperlukan sebagai persyaratan mutlak untuk mengajukan perkara perceraian, melainkan merupakan persyaratan administratif. Meskipun PNS yang ingin melaksanakan perceraian diharuskan memperoleh persetujuan atasan lebih awal, ketiadaan izin tersebut tidak akan menghambat pengadilan dalam memeriksa perkara perceraian. PNS yang tidak memenuhi persyaratan dalam melakukan perceraian dapat dikenai sanksi disiplin berat sesuai yang ditetapkan dalam PP No. 53 Thn 2010. Atasan memiliki peran penting dalam memberi keputusan, mereka harus mematuhi prosedur yang telah ditetapkan, termasuk dalam hal pemanggilan, pemeriksaan, dan penjatuhan hukuman disiplin. Perceraian biasanya melibatkan upaya pendamaian, seperti mediasi oleh atasan, sebelum masuk ke tahap persidangan di pengadilan yang dipimpin oleh hakim. Mahkamah Agung telah membuat Surat Edaran No. 5 Thn 1984 yang memberikan panduan bagi hakim dalam meninjau kasus perceraian PNS, terkhusus terkait keterikatan izin atasan bagi PNS yang akan bercerai dan tidak memiliki izin tersebut. Seorang hakim diharapkan dapat bersikap pasif, yang berarti bahwa hakim tidak diperkenankan untuk mendorong seseorang untuk mengajukan gugatan, dalam konteks ini perceraian. Penting untuk diingat bahwa perceraian tidak selalu berarti putusnya hubungan kekeluargaan secara permanen, dan para pihak diwajibkan untuk menyisihkan sebagian persen dari pendapatan mereka untuk mendukung anak - anak dan mantan istri mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Simanjuntak, P.N.H. Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Pranadamedia Group, 2015. Syarifuddin, Muhammad, dkk. Hukum Perceraian. Jakarta : Sinar Grafika, 2014.

Jurnal

Benuf, Kornelius dan Azhar, Muhamad. “Metodologi Penelitian Hukum sebagai Instrumen Mengurai Permasalahan Hukum Kontemporer.” Jurnal Gema Keadilan 7, No.1 (2020): 20 – 33.

Brody, Made dan Purwanto, I Wayan Novy. “Analisi Yuridis Terhadap Pendamaian Dalam Perkara Perceraian Aparatur Sipil Negara Dengan Pendekatan Hukum Perkawinan.” Jurnal Kertha Semaya 5 No. 1 (2017): 1-17.

Darmawati. “Perceraian Dalam Perspektif Sosiologi”. Sulesana Jurnal Wawasan Keislaman 11. Nomor 1 (2017) : 64 – 78.

Jami, Muh Jamal. “Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS (Suatu Analisis Hukum Islam Terhadap PP No. 10/1983-Jo PP No 45/1990.” Jurnal Al-Qadau 1 (2014): 1015.

Lestari, Kartika. “Perceraian Keluarga Pegawai Negeri Sipil (PNS) (Studi Kasus Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau).” Journal Fisip, Program

Studi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi Universitas Riau 3, No. 1 (2016): 1-15.

Matondang, Armansyah. “Faktor-faktor yang Mengakibatkan Perceraian Dalam Perkawinan.” Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik 2. No. 2 (2014): 141 – 150.

Mulida, Hayati. “Pemberian Ijin Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.”Jurnal Ilmu Hukum Tambun Bungai 5 No. 1 (2020): 725 – 737.

Salendu, Anggy Lavencia Mauren. “Tinjauan Hukum Terhadap Izin Perceraian Pegawai Negeri Sipil Menurut Peraturan Pemerintah N. 45 Tahun 1990.” Lex Privatum 4, No.4 (2016): 83-93.

Salim, Rahmad Fauzi. “Pemberian Izin Perceraian Untuk PNS Menggunakan Teori Maslahat.” Jurnal Ilmu Islam 6, No. 2 (2022): 247-260.

Saputera, Abdur Rahman Adi. “Konsep Keadilan Pada Cerai Bagi Pegawai Negeri Sipil.” Jurnal Hukum 15 No. 2 (2018): 247-284.

Siregar, Ramadhan Syahmedi. “Dampak Perceraian yang Tidak Sesuai Dengan Prosedur Perundang – Undangan.” Jurnal Kajian Ilmu – Ilmu Keislaman 1, No. 1 (2015):161-176.

Suisno. “Tinjauan Yuridis Mengenai Perceraian Pegawai Negeri Sipil Yang Tidak Ada Izin Pejabat Atasan Langsung.”Journal Independen. Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan 4. No. 2 (2017): 8-14.

Sukiati dan Herdiansyah, Denni. “Urgensi Surat Izin Pejabat Perceraian PNS Pada Putusan Pengadilan Agama No.2059/Pdt.G/2019/PA.Lpk Perspektif Advokat Kota Medan.” Jurnal Preferensi Hukum 4, No.3 (2023): 310-320

Peraturan Perundang - Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.

Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Displin Pegawai Negeri Sipil.

Surat Edaran No. 5 Thn 1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 10 Thn 1983

Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 11 Tahun 2023, hlm. 585-594