PERLINDUNGAN HUKUM KONSEP POSITION MARK SEBAGAI MEREK NON-KONVENSIONAL DI INDONESIA
on
PERLINDUNGAN HUKUM KONSEP POSITION MARK
SEBAGAI MEREK NON-KONVENSIONAL DI
INDONESIA
Putu Mulyani Puspa, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: puspaputu42@gmail.com
A.A. Istri Eka Krisna Yanti, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: gungistri_krisnayanti@unud.ac.id
DOI: KW.2023.v12.i11.p4
ABSTRAK
Penulisan jurnal ini bertujuan untuk mengetahui analisis yuridis konsep position mark sebagai merek non-konvensional di Indonesia menurut UU 20/2016 tentang Merek Dan Indikasi Geografis serta untuk memahami kendala perlindungan konsep position mark di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif dengan memakai pendekatan peruu. Sifat penelitian dalam penyusunan ini ialah analisis bahan hukum kepustakaan dengan meneliti referensi berupa jurnal, skripsi, dan buku-buku hukum lainnya sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam menarik kesimpulan persoalam hukum terkait. Pada jurnal ini, penulis mengangkat permasalahan konsep position mark sebagai merek non-konvensional di Indonesia Pengaturan mengenai merek non-konvensional di Indonesia sudah disusun dalam Pasal 1 (1) UU 20/2016, tetapi cuma terbatas pada bentuk 3 (tiga) dimensi, suara, serta hologram. Sedangkan, di negara lain seperti Uni Eropa dan Jepang sudah mengatur mengenai merek non-konvensional selain yang sudah dilindungi di Indonesia salah satunya yaitu merek posisi. Indonesia hanya mengatur merek non-konvensional yang berbentuk tiga dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut sehingga hal ini akan memicu permasalahan apabila pengaturan mengenai position mark belum diatur di Indonesia karena semakin maraknya jenis-jenis merek yang beredar di pasaran. Padahal, negara-negara lain seperti Uni Eropa dan Jepang sudah melindungi dan mengatur merek non-konvensional tersebut di dalam pengaturan negaranya masing-masing.
Kata Kunci: Merek Posisi, Hak Cipta, Indikasi Geografis
ABSTRACT
The aim of this study is to find out a juridical analysis of the concept of position marks as unconventional brands in Indonesia according to Law 20/2016 concerning Trademarks and Geographical Indications and as well as the constraints on protecting the concept of position marks in Indonesia. This research is a normative juridical legal research with statutory regulations. The nature of the research in this compilation is an analysis of legal literature by reviewing references in the form of journals, theses, and other law books so that it can be used as a basis for drawing conclusions on related legal issues. In this journal, the author raises the problem of the position mark concept as an unconventional brand in Indonesia. The reason for choosing this theme is because Indonesia has not yet protected the concept of non-conventional marks in the Law on Trademarks and Geographical Indications. Indonesia only regulates non-conventional marks in the form of three dimensions, sound, holograms, or a combination of these elements so this will trigger problems if the regulation regarding position marks has not been regulated in Indonesia due to the increasing number of types of brands circulating in the market. In fact, other countries such as the European Union and Japan have protected and regulated these unconventional marks in their respective country settings.
Key Words: Brand Position, Copyright, Geographical Indication.
Cepatnya arus globalisasi dan komersialisasi ilmu pengetahuan menghasilkan perkembangan yang sangat besar di bidang teknologi, sains, ekonomi, budaya, dan seluruh hal yang berkenaan dengan aspek kehidupan manusia. Perkembangan tersebut juga melahirkan ide-ide baru yang awalnya berwujud menjadi tidak berwujud (intangible rights) seiring dengan perkembangan kehidupan yang terus menerus dinamis. Pesatnya arus globalisasi juga membawa perkembangan yang cukup signifikan bagi ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga menghasilkan akibat yang besar bagi perluasan ruang lingkup KI.1 Merek adalah salah satu jenis KI yang di lindungi oleh negara-negara di dunia. Perlindungan mengenai hak merek bagi negara-negara di dunia yang berasal dari TRIPs Agreement yang telah disetujui menyentuh standar terkait kesiapan, jangkauan, dan pemakaian KI, salah satunya yaitu merek. Di Indonesia, perlindungan merek diatur dalam Undang-Undang 20/2016 tentang merek dan indikasi geografis.
Secara tradisional, merek dagang digunakan untuk mengidentifikasi asal suatu produk. Selain merek dagang seperti logo, perangkat/simbol umum, ada kategori merek lain yang disebut merek dagang non-konvensional. Hal ini terjadi terutama dalam bentuk tanda bau, tanda suara, tanda rasa, tanda sentuhan/tanda warna. Untuk menjadi tak tergantikan, seseorang itu harus selalu tampil beda dan khas. Merek dagang non-konvensional dapat masuk ke dalam area merek dagang jika memenuhi kriteria kekhasan dan keterwakilan grafis. Sebuah merek harus mempunyai potensi untuk menjadi khash hal itu harus menunjukkan sumbernya dan dengan demikian membedakan barang/jasa dari barang/jasa lainnya. Konsep merek yang non-konvensional ini harus memiliki kemampuan komunikatif yang memungkinkan barang dan jasa seseorang dapat dibedakan dari barang dan jasa orang lain.
Konsep mengenai Merek Dan Indikasi Geografis serta perbandingan pengaturan perlindungan hukum aroma (scent) sebagai merek di Indonesia dan berdasarkan perspektif Internasional. Sedangkan, penelitian yang dilakukan oleh penulis akan berfokus kepada analisis yuridis konsep position mark sebagai merek non-konvensional di Indonesia menurut UU 20/2016 serta penulis akan menjelaskan rekonstruksi pengaturan konsep position mark yang tepat di Indonesia dengan menganalisis pengaturan konsep position mark di Uni Eropa dan Jepang.
Merek secara konvensional juga dikenal sebagai merek tradisional terbatas pada gambar atau desain, nama, kata, angka, huruf, warna, ataupun kombinasi dari satu atau lebih komponen tersebut.2 Merek posisi pertama kali diatur pada tahun 2017 pada Pasal 3 (3)(d) Peraturan Pelaksanaan Komisi (UE) 2017/1431 dalam Pasal 3 (3) menerengkan bahwa Apabila permohonan menyangkut salah satu jenis merek dagang yang tercantum dalam poin (a) sampai (j), maka permohonan tersebut harus memuat indikasi untuk efek itu. Tanpa mengurangi paragraf 1/2, jenis merek dagang dan representasinya harus sesuai satu sama lain sebagai berikut dalam (d) Dalam hal merek dagang terdiri dari cara tertentu di mana merek tersebut ditempatkan/dibubuhkan pada produk (tanda posisi), merek tersebut harus diwakili dengan menyerahkan reproduksi yang mengidentifikasi secara tepat posisi merek dan ukuran serta proporsinya terhadap barang yang bersangkutan. Unsur-unsur yang tidak terbentuk bagian dari pokok bahasan pendaftaran harus ditolak secara visual, sebaiknya dengan
garis putus-putus itu representasi dapat disertai uraian yang menjelaskan secara rinci bagaimana tanda itu dibubuhkan pada barang. Doktrin dari Jerman melahirkan gagasan untuk melindungi merek posisi. Jika merek atau tanda tersebut mampu untuk dilindungi, maka merek posisi tidak dibutuhkan.3
Persyaratan utama dari permohonan pendaftaran merek tersebut didasarkan pada penempatan atau posisi dari merek dan deskripsi yang rinci pada sebuah produk. Merek posisi kemungkinan besar tidak dapat didaftarkan jika deskripsi pada produk menunjukkan bahwa penempatan tanda bervariasi pada produk tersebut. Hubungan antara tanda dan posisi harus dijelaskan dalam deskripsi sehingga dapat menunjukkan bahwa bentuk yang digambarkan maupun tanda itu sendiri bukanlah merek yang dilindungi, tetapi yang dilindungi adalah tanda dalam posisi khusus pada produk. Untuk mengklaim merek posisi, pemohon harus menetapkan fakta bahwa logo beserta posisinya pada produk mereka cukup khas untuk berfungsi sebagai pengenal sumber karena jika hanya dikenali sebagai elemen dekoratif, rata-rata konsumen tidak menganggapnya sebagai pengenal produk sehingga merek atau tanda tidak memiliki ciri khas.
Semakin maraknya merek atau brand lokal yang menjual produk sepatu dan hak tinggi di Indonesia, menciptakan potensi permasalahan dikarenakan banyak produsen sepatu di Indonesia yang meniru produk yaitu terkait merek posisi dari sol berwarna merah dalam sepatu dan hak tinggi. Sepatu dan hak tinggi tersebut diperjualbelikan di toko, sosial media, dan e-commerce di Indonesia. Fenomena tersebut menciptakan permasalahan karena adanya kekosongan hukum dalam pengaturan terkait merek posisi di Indonesia yang disebabkan belum adanya pengaturan mengenai merek posisi hingga saat ini di dalam UU 20/2016. Oleh karena itu, hal ini harus diatur dalam peraturan peruu di Indonesia, karena UU 20/2016 selama ini hanya mengatur mengenai tentang gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, skema warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/3 (tiga) dimensi, suara, hologram, maupun kombinasi dari 2 (dua)/lebih elemen tercantum. Jadi, pengaturan mengenai merek posisi sangat krusial untuk diatur karena apabila tidak kunjung diatur, maka akan menimbulkan permasalahan di Indonesia karena belum adanya pengaturan tentang hal tersebut.4
Adapun penelitian yang juga meneliti terkait position mark ini yaitu Isu hukum yang diangkat oleh penulis bernama Farah Widyanti dengan judul Analisis Permasalahan Hukum Perlindungan Position Mark Sebagai Merek (2021) sebelumnya pada tahun 2021 yaitu berjudul “Analisis Permasalahan Hukum Perlindungan Position Mark Sebagai Merek” berfokus pada perlindungan position mark di sebagain negara seperti Uni Eropa, Jepang, dan Korea. Selanjutnya, juga dibahas mengenai persoalan atau gangguan di dalam melindungi position mark sebagai merek, seperti ketiadaan daya pembeda, anggapan position mark sebagai dekorasi semata, definisi yang masih rancu, dan persoalan di dalam UU Merek Indonesia, serta urgensi perlindungannya di Indonesia. Sedangkan, penelitian yang dilakukan penulis berfokus pada analisis yuridis konsep position mark sebagai merek non-konvensional di Indonesia menurut UU 20/2016 serta penulis akan menjelaskan rekonstruksi pengaturan konsep position mark yang tepat di Indonesia dengan menganalisis pengaturan konsep position mark di Uni Eropa dan Jepang. Sedangkan, Alfaina Sakinah meneliti mengenai “Tinjauan Yuridis
Perlindungan Hukum Aroma (Scent) Sebagai Merek Di Indonesia Menurut UU 20/2016” berfokus pada Perlindungan Hukum Aroma (Scent) Sebagai Merek Di Indonesia. Menurut UU 20/2016 serta perbandingan pengaturan perlindungan hukum aroma (scent) sebagai merek di Indonesia dan berdasarkan perspektif Internasional. Sedangkan, penelitian yang dilakukan oleh penulis akan berfokus kepada analisis yuridis konsep position mark sebagai merek non-konvensional di Indonesia menurut UU 20/2016.
-
1.2. Rumusan Masalah
Berlandaskan penjabaran tersebut, oleh sebab itu penulis mengangkat rumusan masalah dalam jurnal ini yakni:
-
1. Bagaimanakah analisis yuridis konsep position mark sebagai merek non-konvensional di Indonesia menurut UU 20/2016?
-
2. Bagaimana kendala perlindungan konsep position mark di Indonesia?
-
1.3. Tujuan Penulisan
Jurnal ini bertujuan untuk memahami bagaimanakah analisis yuridis konsep position mark sebagai merek non-konvensional di Indonesia menurut UU 20/2016 serta kendala perlindungan konsep position mark di Indonesia.
Metode penelitian yang diterapkan oleh penulis ialah metode penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif ialah proses penelitian buat menelaah serta mempelajari hukum sebagai norma, kaidah, dasar hukum, ketentuan hukum, doktrin hukum, teori hukum, dan literatur lainnya guna merespon persoalan hukum yang dikaj.5 Dengan menggunakan metode penelitian ini, penulis bertujuan untuk menganalisis sumber hukum utama dengan mengkaji rancangan-rancangan dan peruu yang berkaitan dengan Analisis Yuridis Konsep Position mark Sebagai Merek Non-Konvensional Di Indonesia.
Dalam memperoleh balasan dari permasalahan yang merupakan inti dari topik persoalan yang akan diambil sehingga menerima informasi dari bermacam aspek atas isu yang dikaji untuk mencari balasan.6 Penulis memakai sebagian pendekatan penelitian hukum yaitu, Pendekatan Peruu (Statue Approach) memiliki keterkaitan dengan isu hukum yang akan dan sedang ditangani yaitu dengan cara mengulas dan menjabarkan semua UU serta peraturan yang sedang ditangani.7 Penelitian ini akan melihat, mengkaji, dan mempelajari regulasi yang memiliki keterkaitan dengan isu yang akan diangkat dan dibahas dengan melakukan pendekatan peruu. Dalam hal ini undang-undang yang digunakan yaitu UU 20/2016. Pendekatan Konseptual ini berawal dari pengetahuan-pengetahuan serta ajaran-ajaran yang tumbuh dalam ilmu hukum.8 Pendekatan konseptual yang dipakai dalam riset ini yaitu dengan melihat, mempelajari, dan mengidentifikasi pandang-pandangan serta doktrin hukum di negara Indonesia.
Sumber Bahan Hukumnya yaitu Bahan Hukum Primer UU 20/2016, beserta instrument hukum internasional yang mengatur mark position. Penulis mengumpulkan bahan hukum dengan melakukan riset kepustakaan yakni dengan meneliti penjelasan tertulis mengenai hukum yang berasal dari beragam sumber dan diterbitkan secara leluasa. Sumber informasi tertulis tersebut berasal dari perundang-undangan, yurisprudensi, konvensi, buku hukum, jurnal hukum, dan media cetak. Kemudian dilakukan identifikasi, inventarisasi bahan, mencatat dan mengutip, serta menelaah bahan hukum sesuai dengan masalah dan tujuan riset ini. Penulis melaksanakan penghimpunan bahan hukum melalui sebagian cara yakni dengan melakukan pencarian di dunia maya, meminjam buku di aplikasi perpustakaan digital yaitu iPusnas, jurnal-jurnal internasional, dan lain sebagainya yang selanjutnya akan diulas untuk menemukan jawaban dari persoalan dalam riset ini.
Penulis mengulas bahan hukum dalam riset ini dengan melakukan penginterpretasi (tafsiran) tentang bahan-bahan hukum yang sudah dikerjakan. Tujuan penerapan metode penginterpretasi (tafsiran) ini adalah buat memaknakan hukum, apakah dalam bahan hukum tercantum kekosongan norma hukum, antinomi norma hukum, dan norma hukum yang kabur.9 Metode ini dipakai dalam riset yang penulis angkat melalui topik ini yaitu: Interpretasi Gramatikal, yaitu cara menafsirkan hukum menurut istilah yang terkandung dalam UU. Penafsiran ini didasarkan pada makna kata-kata yang saling berkaitan satu sama lainnya dalam kalimat yang digunakan dalam UU. Lebih jauh lagi, menafsirkan bahasa yang digunakan dalam UU itu bermakna berusaha menangkap makna teks berdasarkan bunyi kata-katanya.10 Interpretasi Sistematis, yaitu penafsiran yang menghubungkan suatu pasal dalam suatu perundang-undangan maupun yang terdapat dalam UU yang berbeda secara keseluruhan dan membaca penjelasan UU tersebut sehingga dapat ditelaah maksud dan tujuan dari aturan-aturan dalam pasal tercantum.
-
III. Hasil Dan Pembahasan
Merek merupakan sebuah tanda yang difungsikan dan dipakai dalam pekerjaan usaha perdagangan untuk memisahkan jenis barang atau jasa dari suatu pembuat dengan pembuat lainnya. Tanda yang dilindungi merek tersebut diharuskan untuk tidak berlawanan dengan peruu, tidak rumit, serta telah menjadi milik umum.11 Sejak dibentuknya Persetujuan TRIPs di dalam Pasal 15 (1), Pemerintah Indonesia mulai banyak meratifikasi konvensi-konvensi internasional di bidang HKI yakni yang memiliki keterikatan dengan merek yaitu Konvensi Paris (The Paris Convention for the Protection of Industrial Property) yang diundangkan lewat Keppres 15/1997 tentang perubahan atas Keppres 24/1979.12 Lahirnya gagasan mengenai merek non-konvensional menciptakan banyaknya penemuan merek baru yang belum diatur
sebelumnya dalam UU Merek seperti merek tiga dimensi (three dimensional marks), aroma (olfactory marks), tekstur (texture marks), suara (sound marks), gerak (gesture marks), hologram, hingga merek posisi (position mark).
Menurut Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO), merek posisi diartikan sebagai tanda yang diwakili secara grafis yang diposisikan pada bagian tertentu dalam sebuah produk dengan ukuran dan proporsi yang konstan. Merek posisi diakui sebagai merek jenis baru dengan pertimbangan bahwa merek posisi bukan hanya tanda tiga dimensi atau figuratif biasa. Merek posisi adalah tanda figuratif yang berupa warna, elemen figuratif, atau tiga dimensi yang diterapkan pada bagian tertentu dari barang atau jasa yang dapat membedakan produk satu produsen dengan produsen lainnya.13 Dalam pedoman pemeriksaan European Union Intellectual Property Organization (EUIPO) telah merekomendasikan untuk menentukan dalam deskripsi merek posisi yang diwakili tanda garis padat. Sedangkan, garis putus-putus akan digunakan untuk menunjukkan posisi tanda pada produk yang dikecualikan dari perlindungan.
Merek posisi menjamin perlindungan merek pada objek tertentu yang tidak dapat didaftarkan sebagai merek tersendiri. Tanda tercantum memiliki ukuran atau proporsi yang sesuai dan ditempatkan pada area spesifik produk. Misalnya, di tengah produk atau direpresentasikan sebagai siluet. Merek posisi harus dapat direpresentasikan secara grafis dengan deskripsi yang rinci dan jelas. Oleh karena itu, pada saat mengaplikasikan merek, perlu untuk menentukan produk (dengan memberikan gambar) dan menunjukkan penempatan dari merek posisi. Jika merek posisi tertentu sedang atau akan digunakan pada beberapa objek yang homogen. Maka, penting untuk menyertakan representasi grafis dari merek posisi serta menyertakan informasi tambahan untuk menjelaskan hubungan antara objek tertentu dan merek posisi. Terdapat dua aspek agar merek posisi dapat didaftarkan, yaitu:
-
a. Posisi
Penempatan merek tertentu dapat dianggap sebagai indikasi asal dalam kasus di mana posisi tersebut merupakan subjek yang tidak biasa untuk pasar tertentu. Sangat penting untuk mengetahui apakah konsumen mengharapkan tanda biasanya ditampilkan dalam posisi spesifik produk.
-
b. Merek
Jika dianggap hanya sebagai elemen dekoratif, rata-rata konsumen tidak akan menilai merek sebagai indikasi asal. Akibatnya, merek tidak akan memiliki ciri khas.
Di Indonesia, belum terdapat pengaturan untuk melindungi konsep merek posisi karena dalam UU 20/2016 hanya menyusun merek non-konvensional di ruang lingkup merek tiga dimensi, suara, dan hologram serta kombinasi dari satu unsur/bertambah unsur tercantum. Hal ini menimbulkan adanya kekosongan hukum mengenai konsep merek posisi di Indonesia. Padahal, konsep merek posisi sudah ditemukan di Indonesia seperti merek dari Christian Louboutin yang sudah diperjualbelikan di Indonesia. Dalam merek Christian Louboutin tersebut yang dilindungi merek posisi adalah sol berwarna merah pada produk sepatu dan hak tingginya. Adanya kekosongan hukum tersebut akan menimbulkan permasalahan karena semakin banyak produsen sepatu di Indonesia yang meniru konsep merek posisi dari produk Christian Louboutin tersebut. Maka, diperlukan langkah preventif dengan memperbaharui UU 20/2016 agar dapat memperluas jangkauan dan ruang lingkup dari merek non-konvensional khususnya mengenai position mark selain yang sudah diatur yaitu merek tiga dimensi, suara, dan
hologram.14
Seringkali merek posisi sulit dibedakan dengan merek figuratif karena kedua merek tersebut memiliki ikatan yang sangat erat satu sama lain. Unsur-Unsur di dalam merek figuratif juga termasuk ke dalam unsur-unsur dari merek posisi. Merek posisi dan merek figuratif memang memiliki kemiripan satu sama lain, namun kedua merek tersebut berbeda. Menurut Kantor Kekayaan Intelektual Uni Eropa (EUIPO), merek figuratif merupakan merek dagang dengan karakter non-standar, gaya atau tata letak, fitur grafis atau warna dapat digunakan dan termasuk pada merek yang hanya terdiri dari elemen figuratif. Namun, di Indonesia sendiri memang belum adanya regulasi yang menjelaskan mengenai merek posisi, dan menjadi hal yang sangat penting untuk digunakan. Definisi merek figuratif juga terdapat dalam ASEAN Common Guidelines For The Substantive Examination Of Trademarks yaitu jenis tanda yang terdiri dari satu atau lebih elemen figuratif dua dimensi yang diwakili oleh makhluk hidup seperti binatang, orang, karakter nyata, karakter fiktif, dan benda atau makhluk nyata. Tanda tersebut juga terdiri dari fantasi, abstrak, bentuk geometris, perangkat, gambar, logo, dan elemen dua dimensi lainnya.15
Kendala selanjutnya terkait konsep merek posisi yaitu adanya monopoli atau biasa yang disebut juga dengan persaingan usaha. Definisi dari persaingan usaha tidak sehat yaitu kompetisi yang dilaksanakan dengan cara licik, melawan hukum, dan menahan persaingan bisnis pelaku usaha lainnya dalam menjalankan sebuah pemasaran barang serta kegiatan mereka berproduksi.16 Salah satunya yaitu menggunakan merek dagang serupa dengan merek dagang pedagang lain tanpa izin. Guna mendapat perlindungan hukum dan menahan orang lain buat menggunakan merek dagang serupa, merek tersebut harus terdaftar secara resmi. Perlindungan merek bertujuan untuk melindungi konsumen dari kebingungan tentang indikasi asal produk barang ataupun jasa dan mencegah adanya ketidakadilan dari pelaku usaha lain. Eksklusivitas ini menyebabkan produsen lain tidak dapat menggunakan merek tersebut atau yang disebut juga sebagai monopoli. Pengertian monopoli tercantum dalam Pasal 1 (1) UU 5/1999.17 Hal ini juga menyebabkan masalah pada merek jika yang dilindungi dalam merek posisi adalah warna seperti yang terjadi pada merek Christian Louboutin. Christian Louboutin mendapat perlindungan merek posisi atas sol berwarna merah pada sepatu dan hak tingginya di beberapa negara Uni Eropa salah satunya Belanda. Merek terdaftar memberikan pemiliknya hak eksklusif untuk menahan pihak lain memerlukan tanda-tanda yang identik atau serupa dalam perdagangan. Sering dikatakan bahwa sifat khusus dari warna tidak dibatasi oleh bentuk atau logo.
Dalam hal ini terdapat dua kendala perlindungan merek posisi di Indonesia. Pertama, mengenai persinggungan antara konsep merek posisi dan merek figuratif. Persinggungan tersebut berupa apa saja batasan-batasan agar pemohon tidak keliru dan dapat membedakan merek diantara merek posisi dan merek figuratif karena masih banyak terjadi pendaftaran yang pada mulanya mendaftarkan untuk merek posisi,
tetapi setelah dilakukan analisis oleh putusan pengadilan ternyata tanda tersebut hanyalah tanda figuratif yang bersifat dekoratif. Batasan tersebut dapat dilihat dari apakah tanda atau elemen figuratif yang didaftarkan pemohon memiliki ciri khas sehingga dapat disebut memiliki daya pembeda dari barang atau jasa produsen lain. Setelah itu, apakah pemohon merek posisi tersebut sudah mengikuti syarat-syarat permohonan merek posisi seperti representasi grafis dengan menggambarkan merek posisi tersebut dengan elemen yang solid dan padat bagi produk yang akan dilindungi oleh merek posisi serta menambahkan garis putus-putus bagi barang atau jasa yang tidak dijaga oleh merek posisi dan yang terakhir yaitu bagaimana persepsi masyarakat terhadap merek tersebut. Persepsi masyarakat dalam hal ini yaitu apakah masyarakat dapat langsung mengasosiasikan tanda tersebut sebagai merek sehingga masyarakat sendiri bisa mengaitkan serta mengidentifikasi asal sumber dari barang atau jasa tersebut hanya dengan melihat tanda yang didaftarkan pemohon. Kedua, apabila merek posisi tersebut berkaitan dengan warna seperti yang terjadi dalam merek Christian Louboutin yang akan menjadi kekhawatiran yaitu akan menimbulkan monopoli atau kompetisi usaha yang merugikan kesehatan yang baik di dalam pasar. Maka sebab itu, di dalam perlindungan merek warna, warna saja memang tidak cukup, tetapi warna tersebut harus digunakan secara konsisten dari waktu ke waktu dan diasosiasikan oleh konsumen dengan merek. Batasan yang harus dijelaskan yaitu bahwa pemohon yang mendaftarkan warna sebagai merek dagang tidak benar-benar “memiliki” warna yang dimaksud. Pemohon tidak mendapatkan kepemilikan warna, tetapi hanya hak untuk menggunakan warna secara eksklusif dalam kaitannya dengan barang atau jasa pemohon.
Seringkali terdapat kekhawatiran adanya monopoli dalam penggunaan merek posisi. Untuk membuktikan potensi monopoli dalam penggunaan merek posisi, maka pembuktian harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip dasar hukum merek. Bahwasannya pada prinsipnya sebuah merek harus memiliki daya pembeda (ciri khas) sehingga produknya dapat dengan mudah dibedakan di pasar agar tidak menimbulkan kerancuan di masyarakat. Kemudian berkaitan dengan hal tersebut, maka kembali kepada pengertian merek posisi bahwa merek posisi adalah sebuah tanda yang diwakili secara grafis yang diposisikan pada posisi tertentu pada sebuah produk dalam ukuran yang konstan atau tetap. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa posisi bukan satu-satunya unsur yang berperan penting dalam perlindungan merek posisi. Banyak terjadi kekeliruan yang menganggap bahwa posisi merupakan satu-satunya unsur di dalam merek posisi. Padahal, terdapat unsur-unsur merek secara umum yang terkandung di dalam merek posisi yang membedakan antara merek biasa dengan merek posisi adalah pada merek posisi, merek tersebut harus berada pada posisi tertentu dengan ukuran yang konstan. Bahwa adanya pendaftaran merek posisi tidak berarti memberikan limitasi apabila terdapat pihak ketiga yang ingin mendaftarkan merek pada posisi serupa. Pihak-pihak lain tetap dapat mendaftarkan merek posisi meskipun pada posisi yang serupa selama tidak mengandung persamaan pada pokoknya yang menunjukkan telah terjadi pelanggaran hak merek.
-
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
-
4. Kesimpulan
Pengaturan mengenai merek non-konvensional di Indonesia sudah disusun dalam Pasal 1 (1) UU 20/2016, tetapi cuma terbatas pada bentuk 3 (tiga) dimensi, suara, serta hologram. Merek posisi ialah sebuah tanda yang diwakili secara grafis yang diposisikan pada posisi tertentu dengan ukuran yang konstan atau tetap dalam sebuah produk. Unsur utama dalam merek posisi yaitu tanda dan posisi. Merek posisi dapat didaftarkan
di Indonesia karena merek tersebut masih dapat direpresentasikan dalam bentuk grafis, seperti merek konvensional lainnya. Merek tersebut juga dapat memenuhi unsur-unsur esensial dalam merek jika pemohon dapat membuktikannya. Unsur esensial tersebut yaitu memiliki tanda yang dapat ditampilkan secara grafis dan dapat menjadi daya pembeda dengan suatu barang atau jasa usaha lain hingga memperoleh makna sekunder dari konsumen yang relevan serta dapat memenuhi pertimbangan yang tercantum dalam Pasal 20 UU 20/2016. Kendala dalam merek posisi dengan melihat kasus dan pendaftaran. Seringkali, merek posisi sulit dibedakan dengan merek figuratif ataupun merek non-konvensional lain seperti bentuk tiga dimensi dan kekhawatiran merek tersebut akan memonopoli pasar seperti yang sudah terjadi dalam kasus-kasus di Uni Eropa dan Jepang. Oleh karena itu, memang diperlukan batasan-batasan dalam perlindungannya seperti mencantumkan deskripsi dan gambar yang jelas dalam pendaftaran. Terkait monopoli dalam merek posisi khususnya mengenai warna tunggal, dapat dipertimbangkan dengan melihat dari Putusan Pengadilan Tinggi Manhattan terkait Qualitex yang menghiraukan doktrin fungsionalitas dan estetika. Maka, merek posisi dapat dijadikan pertimbangan untuk Dirjen KI untuk diberikan perlindungan sama seperti merek non-konvensional lain seperti yang sudah diatur di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
ASEAN, Common Guidelines For The Substantive Examination Of Trademarks (Second Edition, Jakarta, ASEAN Secretariat, 2020), 33.
Dharmawan, Ni Ketut Supasti, dkk, Hak Kekayaan Intelektual (HKI). (Yogyakarta: Deepublish Publisher, 2016), 51.
Dirjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum & Hak Asasi Manusia R.I., Modul Kekayaan Intelektual Lanjutan, (Jakarta, Dirjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum & Hak Asasi Manusia, 2020) 31.
Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, (Mataram, Mataram University Press, 2020), 47-48. Hidayah Khoirul, Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Malang, Setara Press, 2017), 5 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, (Jakarta, Kencana, 2014), 93 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, (Bandung, PT. Alumni
Bandung, 2000), 148.
Louboutin and Christian Louboutin, Tinjauan Internasional terhadap Hukum Kekayaan Intelektual dan Persaingan, (49 IIC, 2018), 878.
Jurnal
Ansyari, Septarina Muthia, Perlindungan Hukum Kekayaan Intelektual Pada Merek Berbentuk Hologram, Jurnal Al’Adl, Vol. X1. No.02, Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan MAB Banjarmasin, Kalimantan Selatan, (2019).
Indirani Bastian Christy Wauran & Titon Slamet Kurnia, “confusion dan Pembatalan Merek oleh Pengadilan”, Mimbar Hukum Vol. 27, (2015).
Maria Alfons, Implementasi Hak Kekayaan Intelektual Dalam Perspektif Negara Hukum, Jurnal Legalisasi Indonesia, Vol.14, No.03, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum Dan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, (2017).
Meray Hendrik Mezak, Jenis, Metode, Dan Pendekatan Dalam Penelitian Hukum, Law Review, Vol.V. No.4, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Tanggerang, (2006).
Rideau Camille, Position mark (A Category Of Signs Eligible For Trade Mark Protection?
Different Standards Of Examination, Different Scope Of Protection?), Me Valorisation des Biens Immatériels, (2010).
Roberto Carapeto, A Reflection About The Introduction Of Non Traditional Trademark, Waseda Bulletin Of Comparative Law, Vol 34, (2016).
Sacabrata, Ilham Azenal. Graphical Representation In The Form Of Label Merek/Mark Etiquette In Relation With Non-Conventional Trademarks Registration In Indonesia”. Indonesia Law Review. Vol.9. No.1. Departement Of African Affair, Ministry Of Foreign Affairs, Indonesia, (2019).
Saputra Yoga, Nurhayati Yati. Analisis Perbandingan Terhadap Merek Non-Tradisional Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016, Jurnal Al-Adl, Vol.XI, No.2, Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan MAB Banjarmasin, Kalimantan Selatan, (2019).
Wauran dan Kurnia, Confusion Dan Pembatalan Merek Oleh Pengadilan, Mimbar Hukum, Vol.27, No.2, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, (2015).
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis
Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 11 Tahun 2023, hlm. 575-584
Discussion and feedback