KEABSAHAN PERJANJIAN JUAL BELI ONLINE OLEH ANAK DI BAWAH UMUR: PERBANDINGAN

INDONESIA DAN SINGAPURA

Ni Kadek Maretri Pretysya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: maretripretisya9@gmail.com

Putu Aras Samsithawrati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: samsithawrati@unud.ac.id

DOI: KW.2023.v12.i09.p5

ABSTRAK

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis syarat sahnya perjanjian serta akibat hukum transaksi jual beli online yang dilakukan oleh anak di bawah umur berdasarkan pengaturan hukum Indonesia dan Singapura. Artikel ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perbandingan, perundang-undangan dan kontekstual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) syarat sahnya perjanjian di Indonesia sesuai Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu: (a) sepakat kedua belah pihak; (b) cakap; (c) sebab yang halal; dan (d) objek tertentu. Berdasarkan The Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909, suatu perjanjian dapat terbentuk yaitu salah satu pihak membuat suatu “penawaran” atas beberapa barang maupun jasa, pihak atau pihak lain dapat “menerima” penawaran tersebut dan, dalam beberapa pertimbangan melewati antara para pihak. Lebih lanjut akibat hukum transaksi jual beli online yang dilakukan oleh anak di bawah umur di Indonesia yaitu terlihat tidak dipenuhinya syarat kecakapan (syarat subjektif) sehingga kontraknya menjadi dapat dibatalkan. Sedangkan di Singapura berdasarkan Pasal 35 (1) dari The Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909, terhitung sejak tanggal 1 Maret 2009, kontrak yang dibuat oleh anak di bawah umur yang telah mencapai usia 18 tahun akan berlaku seolah-olah ia telah mencapai usia dewasa. Dapat diasumsikan bahwa dalam konteks jual beli online sederhana selain yang berkaitan tanah atau hal-hal lain yang tercantum dalam Pasal 35 (4) dari the Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909, dapat dilakukan oleh anak di bawah umur yang telah mencapai usia 18 tahun (terhitung sejak 1 Maret 2009) menurut hukum Singapura.

Kata Kunci: Anak, Indonesia, Keabsahan, Perjanjian Jual Beli Online, Singapura.

ABSTRACT

This article aims to analyze the legal terms of the agreement and the legal consequences of online buying and selling transactions carried out by minors based on Indonesian and Singaporean laws. This article uses normative research methods with comparative, statutory, and contextual approaches. The results of the research show that: (1) the requirements for an agreement to be valid in Indonesia are in accordance with Article 1320 of the Indonesian Civil Code, namely: (a) both parties agree; (b) proficient; (c) lawful reasons; and (d) certain objects. Based on The Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909, an agreement can be formed, namely one party makes an "offer" for some goods or services, the other party or parties can "accept" the offer and, in some considerations, pass it between the parties. party. Furthermore, the legal consequence of online buying and selling transactions carried out by minors in Indonesia is that it appears that the proficiency requirements (subjective requirements) are not fulfilled so the contract becomes revocable. Whereas in Singapore, based on Article 35 (1) of The Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909, as of March 1, 2009, contracts made by minors who have reached the age of 18 will apply as if they had reached adulthood. It can be assumed that in the context of simple online buying and selling other than those related to land or other matters listed in Article 35 (4) of the Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909, minors who have reached the age of 18 years of age (as of 1 March 2009) according to Singapore law.

Key Words: Minors, Indonesia, Agreements, Buy and Sell Online, Singapore.

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Pada era globalisasi seperti sekarang, perkembangan teknologi dan informasi tentunya berkembang semakin cepat dan mengisi hampir setiap aspek kehidupan di dalam masyakarat.1 Saat ini salah satu transaksi elektronik bertujuan untuk mendukung peningkatan ekonomi digital, seperti halnya transaksi jual beli yang dilakukan secara online atau bisa disebut bisnis elektronik (e-commerce). Banyak sekali faktor yang mempengaruhi dan menjadi alasan para masyarakat untuk memilih melakukan jual beli secara online. Semua kalangan usia dari remaja, dewasa, hingga tua, bahkan pada usia anak di bawah umur tidak bisa lepas dengan kegiatan jual beli secara online ini. Nyaris seluruh transaksi yang dilakukan di tengah masyarakat dilaksanakan secara online, karena banyak sekali kemudahan yang tentunya dirasakan dalam bertransaksi. Dapat terlihat pada jaman modern ini, pendidikan, pembayaran, maupun jual beli dilaksanakan secara online. Inilah yang menjadi salah satu contoh faktor positif karena berbagai macam kemudahan dapat dirasakan, seperti lebih praktis dan tentunya dapat menghemat tenaga dan juga waktu. Sesunguhnya pengembangan kegiatan berbasis online termasuk model bisnis berbasis online sejalan, relevan serta merupakan bagian integral dalam mewujudkan “Tujuan Pengembangan Berkelanjutan” (Sustainable Development Goals atau SDGs) secara sukarela untuk semua pemangku kepentingan.2

Banyak pula dijumpai kasus jual beli online yang telah dijalankan oleh anak di bawah umur seperti yang telah penulis temukan pada artikel website RMOL.ID, pelaku penipu online anak di bawah umur yang merupakan pelajar sekolah menengah pertama (SMP).3 Dalam website tersebut dinyatakan empat anak di bawah umur menjadi pelaku penipuan online dengan metode jual beli produk edisi terbatas melalui jejaring sosial Instagram yang telah merugikan banyak pihak. Salah satu korbanya merupakan anak dari Presiden ke-7 Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo, yaitu Kaesang Pangarep. Sehingga pentingnya melakukan penelian ini, agar dapat memahami apa sebenarnya yang menjadi syarat sahnya perjanjian serta akibat hukumnya di Indonesia. Lalu menarik dijadikan sebagai suatu perbandingan terutama di negara sesama ASEAN yaitu di Singapura dengan mengkaji pula kententuan hukum di Singapura, sebagaimana diketahui Indonesia menganut civil law sedangkan Singapura menganut common law.

Sesungguhnya telah ditemukan beberapa studi-studi serupa terdahulu yang telah membahas terkait syarat sahnya perjanjian jual beli online : (1) Sriayu Aritha Panggabean dan Azriadi Tanjung mengenai Jual Beli Online dari sudut pandang Hukum Islam dan Hukum Negara dimana objek bahasannya adalah mengenai pengaturan sifat keabsahan jual beli online dari sudut pandang hukum Islam; serta (2)

Yudha Sri Wulandari mengenai Perlindungan Hukum bagi Konsumen terhadap Jual Beli E-Commerce, dimana yang menjadi pokok pembahasan pada penulisannya mengenai upaya hukum bagi konsumen dalam penyelesaian sengketa pada transaksi jual beli secara online tersebut.4 Sedangkan yang menjadi fokus dalam artikel ini adalah syarat sah perjanjian dan akibat hukum dari transaksi jual beli online oleh anak di bawah umur berdasarkan perspektif perbandingan hukum Indonesia dan Singapura. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa tulisan ini memiliki originalitas dibandingkan studi-studi terdahulu.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas dirumuskan 2 permasalahan sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimanakah syarat sah perjanjian berdasakan hukum Indonesia dan Singapura?

  • 2. Bagaimana akibat hukum transaksi jual beli online yang dilakukan oleh

anak di bawah umur berdasarkan hukum di Indonesia dan Singapura?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Artikel ini bertujuan untuk memahami menganalisis syarat sahnya perjanjian serta akibat hukum transaksi jual beli online yang dilakukan oleh anak di bawah umur perjanjian jual beli online oleh anak di bawah umur berdasarkan perbandingan pengaturan hukum Indonesia dan Singapura.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif berdasarkan pengertian Peter Mahmud Marzuki yaitu suatu proses penelitian yang memiliki tujuan untuk memperoleh suatu aturan hukum, baik prinsip-prinsip hukum, ataupun doktrin-doktrin hukum guna menanggapi suatu isu hukum yang ditemui. Penelitian hukum normatif dinyatakan pula penelitian dilakukan dengan meneliti bahan pustaka serta data sekunder.5 Pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan perbandingan, perundang-undangan dan konseptual.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Syarat Sah Perjanjian Berdasarkan Hukum Indonesia dan Singapura

Definisi dari perjanjian diatur di dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Pasal 1313 KUHPer menentukan bahwa “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Suatu perjanjian yang mampu dinyatakan sah dapat diartikan sebagai perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan

oleh undang-undang, sehingga dapat diakui keberadaannya oleh hukum.6 Ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata tentu saja telah memperkenalkan ketentuan KUHPerdata Bab II Buku III Judul “Tentang Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian”, dengan menyatakan bahwa “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Salah satu definisi dari perjanjian menurut Black’s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan (an agreement) antara dua orang atau lebih yang mewujudkan kewajiban untuk berbuat maupun tidak berbuat suatu hal yang khusus.7

Di Indonesia sendiri juga telah di atur syarat sah perjanjian dalam ketentuan pada Pasal 1320 KUHPer.8 Keempat syarat tersebut yaitu:

  • 1.    Syarat pertama dapat dinyatakan sahnya suatu perjanjian yakni “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya” pada konteks ini “kesepakatan”, dapat dimaknai bahwa sebagai kedua belah pihak dalam suatu perjanjian ataupun kotrak hendaklah mereka memiliki kehendak bebas untuk mengikat diri dan kehendak tersebut patut dinyatakan, serta pernyataan tersebut dapat pula dilakukan dengan absolut.

  • 2.    Syarat kedua dapat dinyatakan sahnya suatu perjanjian yakni “kecakapan untuk membuat suatu perjanjian”. Pada konteks ini makna dari “kecakapan” merupakan kewenangan untuk melangsungkan suatu perbuatan hukum dan dengan kaitannya hukum setiap orang ialah cakap untuk menciptakan suatu perjanjian kecuali dalam hal ini ialah orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Dalam suatu perjanjian seseorang yang di nyatakan tidak cakap ialah orang-orang yang belum dewasa, keadaan tengah dalam pengampuan (tidak cakap bertindak sendiri), dan perempuan yang telah melakukan perkawinan. Seseorang yang dapat dikatakan belum dewasa ialah mereka yang belum genap menginjak usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum melangsungkan perkawinan. Dapat disimpulkan dewasa dalam konteks ini adalah mereka yang genap menginjak usia 21 (dua puluh satu) tahun dan telah melangsungkan perkawinan.

  • 3.    Syarat ketiga dapat dinyatakan sahnya suatu perjanjian yakni wajib adanya “suatu hal tertentu”. Pada konteks ini makna dari “suatu hal tertentu” adalah sesuatu kesanggupan yang diperjanjikan pada suatu kontrak, apakah sesuatu hal atau sesuatu berupa barang yang cukup jelas atau “pasti” (pokok suatu perjanjian hanya barang dagangan yang dapat diperjualbelikan).

  • 4.    Syarat keempat dapat dinyatakan sahnya suatu perjanjian yakni wajib adanya “suatu sebab yang halal”. Pada konteks ini makna dari “suatu sebab yang halal” adalah suatu hal yang hendak dicapai oleh kedua belah pihak dengan melangsungkan perjanjian tersebut. Saat membuat perjanjian, kedua belah telah menyetujui akan perjanjian tersebut, perjanjian tidak dapat dibuat tanpa tujuan bersama, maupun dibuat karena alasan yang salah atau dilarang. Oleh karena itu, jika mengadakan suatu perjanjian tanpa syarat-syarat tertentu dan

tanpa alasan yang sah, maka menurut ketentuan undang-undang perjanjian itu batal demi hukum.

Selanjutnya dalam Burgerlijk Weatboek (BW) pada ketentuan Pasal 1457 dan Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa “jual beli merupakan suatu persetujuan, dengan suatu pihak mengikat diri untuk berwajib menyerahkan suatu barang, dengan suatu pihak lain berwajib pula untuk melakukan pembayaran atau membayar harga (prijs) yakni sudah sepakat oleh kedua belah pihak”. Mengingat bahwa pengertian batas usia 21 (dua puluh satu) tahun bagi orang dewasa sebagaimana diatur dalam Pasal 330 KUHPerdata, Pasal ini sedikit menimbulkan persoalan. Pada media sosial yang menjadikan wadah untuk menjalankan promosi dalam transaksi jual beli online saat ini seperti contohnya media sosial facebook dan juga instagram mensyaratkan batasan usia dewasa pengguna yang diperkenankan menggunakan aplikasi tersebut ialah telah menginjak usia 13 (tiga belas) tahun keatas. Sehingga, dalam konteks ini dapat dinyatakan seorang anak yang telah menginjak usia 13 (tiga belas) tahun belum dinyatakan cakap hukum jika merujuk pada ketentuan Pasal 330 KUHPerdata. Namun dari kebijakan media sosial tersebut mengizinkan anak di bawah umur dapat melangsungkan transaksi jual beli online. Pasal 330 KUHperdata orang yang dinyatakan belum dewasa adalah orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum pernah kawin. Anak di bawah umur hanya dapat melaksanakan hak dan kewajibannya melalui perantara orang tua maupun wali.

Berdasarkan peraturan Undang-Undang Singapura the Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909, suatu perjanjian dapat terbentuk jika: (1) salah satu pihak membuat suatu “penawaran” atas beberapa barang maupun jasa; (2) pihak atau pihak lain dapat “menerima” penawaran tersebut dan; (3) dalam beberapa pertimbangan melewati antara para pihak. Dalam memenuhi definisi hukum tersebut, “tawaran” dalam konteks hal ini harus menyatakan ataupun menyiratkan suatu janji untuk terikat dengan tawaran tersebut dan dapat dinyatakan bukan sekedar ajakan. Penerimaan harus tanpa syarat dan dapat di ungkapkan melalui perkataan ataupun perilaku (Silence is almost never sufficient to be considered an acceptance).9

Perumusan dalam pengaturan yang sudah di atur berdasarkan hukum di Indonesia yaitu KUHPerdata, tentunya dapat dijadikan sebuah sarana untuk menetapkan suatu subjek hukum dalam sebuah perjanjian terkhusus pada transaksi jual beli online yang melibatkan kedua belah pihak. Pada transaksi jual beli online mempunyai persamaan dengan jual beli pada umumnya yang dilakukan oleh para pihak terkait, hanya saja berhubungan melalui internet dan tidak dilaksanakan secara bertatap muka. Dengan menggunakan sistem jual beli online ini seorang seller tidak bertemu secara langsung dengan consumers pada suatu transaksi jual beli.

Meskipun kenyataanya dapat di katakan setiap orang tunduk pada kontrak, tetapi dalam konteks ini, setiap orang tidak bebas menjadi pihak dalam suatu transaksi, karena ada ketentuan khusus dalam hal ini diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian mengenai subjek hukum dalam melakukan transaki jual beli online. Dalam kaitannya dengan hukum perjanjian Singapura mengikuti hukum negara (hukum umum), dimana suatu perjanjian ataupun kontrak yang dibuat melalui “penawaran” dan “penerimaan”

antara dua pihak atau lebih dengan kapasitas hukum untuk bertukar “consideration” untuk menciptakan suatu kewajiban hukum diantara pihak tersebut.10

Pada pengaturan hukum Singapura telah mensyaratkan suatu perjanjian hendaklah memiliki istilah tersirat bahwa penjual memiliki hak untuk menjual barang. Dalam penafsirannya pengadilan telah memiliki standar ataupun persyaratan orang yang dapat melakukan suatu perjanjian, antara lain: “orang yang memiliki akal” pada konteks ini makna dari “orang yang memiliki akal” adalah sebagaimana orang yang berakal sehat, seperti halnya pihak yang membuat kontrak menggunakan klausul pengecualian untuk membatasi atau pengecualian tanggung jawab berdasarkan perjanjian. Di Singapura, Unfair Contract Terms Act (UCTA), yang di dasarkan pada Undang-Undang serupa di Inggris, telah menetapkan batas kewajaran pada klausul tersebut “Undang-undang untuk memberlakukan batasan lebih lanjut tentang sejauh mana tanggung jawab perdata atas pelanggaran kontrak, atau karena kelalaian atau pelanggaran kewajiban lainnya, dapat dihindari melalui syarat-syarat kontrak dan sebaliknya”.

Di Singapura, berdasarkan Pasal 35 ayat 1 The Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909 menyatakan bahwa “a contract entered into by a minor who has attained the age of 18 years shall have effect as if he were of full age”. Ini berarti terkait persyaratan usia, kecuali ditentukan lain oleh bagian ini atau oleh undang-undang tertulis lainnya, mulai tanggal 1 Maret 2009, kontrak yang dibuat oleh anak di bawah umur yang telah mencapai usia 18 tahun akan berlaku seolah-olah ia sudah dewasa. Lebih lanjut Pasal 35 ayat 2 dari the Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909 menentukan apabila seorang anak di bawah umur, pada tanggal 1 Maret 2009, telah mencapai umur 18 tahun, ayat (1) tersebut berlaku baginya dan terhadap kontrak-kontrak yang dibuatnya pada dan setelah hari itu. Namun demikian, Pasal 35 ayat 3 the Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909 menentukan lebih jauh bilamana ada perundang-undangan tertulis lainnya di Singapura yang menetapkan persyaratan khusus terkait usia minimum tertentu untuk tujuan perundang-undangan yang dimaksud tersebut, maka usia minimum sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) the Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909 ini tidak berlaku. Pasal 35 ayat (1) the Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909 ini juga tidak mempengaruhi maupun mengubah ketidakmampuan anak di bawah umur untuk mengadakan kontrak yang disebabkan oleh alasan lain selain karena usianya (Pasal 35 ayat 2 the Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909). Kemudian, merujuk kepada bunyi Pasal 35 ayat 4 dari the Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909, dapat diasumsikan bahwa dalam konteks jual beli online sederhana selain yang berkaitan tanah atau hal-hal lain yang tercantum dalam Pasal 35 (4) dari the Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909, dapat dilakukan oleh anak di bawah umur yang telah mencapai usia 18 tahun (terhitung sejak 1 Maret 2009) menurut hukum Singapura.

  • 3.2    Akibat Hukum Transaksi Jual Beli Online yang Dilakukan Oleh Anak di

    Bawah Umur Berdasarkan Hukum Indonesia dan Singapura

Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem civil law yang mana kodifikasi hukum perdata tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum

Perdata warisan zaman Belanda.11 Di Indonesia, pengaturan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur sebagai dasar syarat sahnya perjanjian, juga berimplikasi pada persyaratan sahnya jual beli online. Lebih lanjut sesuai ketentuan Pasal 1331 KUHPerdata mengatur “orang-orang yang dalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap untuk membuat persetujuan, boleh menuntut pembatalan perikatan yang telah mereka buat dalam hal kuasa untuk itu tidak dikecualikan oleh undang-undang12”. Pada era modern seperti ini perkembangan teknologi dan informasi tentunya berkembang sangatlah cepat, pada hakikatnya telah banyak sekali ditemui konsumen ataupun penjual yang merupakan anak di bawah umur, dengan persoalan batasan usia yang di anggap telah cakap untuk melakukan transaksi jual beli tersebut. Dalam pengaturan hukum Indonesia maupun Singapura mengenai ketentuan kecakapan usia yang di anggap cakap tidak sepenuhnya sama. Dapat kita lihat pada KUHPerdata, dalam ketentuan Pasal 330 KUHPerdata, orang yang dapat dinyatakan belum dewasa ialah orang yang belum menginjak usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah melangsungkan perkawinan sebelumnya. Syarat yang dapat dipergunakan untuk menentukan seseorang anak di bawah umur diperkenankan atau tidak untuk melangsungkan transaksi jual beli secara online ialah kecakapan serta keterampilan dan pengetahuan berdasarkan pengalaman yang dimiliki serta wawasan pemikiran yang terbuka. Seorang anak di bawah umur diperkenankan melangsungkan transaksi jual beli secara online dengan persyaratan jika barang yang diperjualbelikan masih dalam lingkup barang yang dinyatakan rendah nilainya serta mesti dalam sepengetahuan atau atas seizin orang tua maupun walinya.

Dalam suatu perjanjian ketika suatu syarat subjektif tidak terpenuhi, maka daripada itu suatu perjanjian dapat dinyatakan batal, dengan salah satu pihak yang dirugikan maupun terjadi wanprestasi.13 Pada konteks perjanjian sekalipun pihak tersebut ialah anak di bawah umur, selama para pihak dapat mendahulukan prinsip itikad baik, serta mampu bertanggung jawab, maka perjanjian tersebut tetap berlaku dan sah di hadapan hukum.14 Hingga saat ini suatu transaksi jual beli online oleh anak dibawah umur merupakan suatu transaksi tanpa perkara yang sudah banyak dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat, dimana belum pernah ada sebuah pembatalan atas perjanjian jual beli online tersebut. Tetapi, dalam pengaturan dari sisi hukum dinyatakan seorang anak yang masih dibawah umur ketika dilihat dari pengaturan Pasal 1320 KUHPerdata dinyatakan tidak memenuhi syarat subjektif mengenai kecakapan hukum, subjek yang memberikan akibat dapat dibatalkan15.

Dalam implementasinya usia dewasa seseorang masih menjadi tolak ukur untuk melangsungkan suatu perjanjian. Batas usia orang yang dapat dikatakan dewasa untuk melangsungkan transaksi jual beli online menjadi suatu konteks penting dalam perjanjian untuk suatu kecakapan bertindak dari seseorang dalam melakukan suatu

perbuatan hukum.16 Dengan demikian, dapat disimpulkan suatu perjanjian tidak batal demi hukum, dan pembatalanya dapat atas kehendak dari salah satu pihak. Kemudian, perjanjian dapat dilanjutkan jika para pihak sepakat untuk melanjutkan dan masih memiliki niat ingin melanjutkannya.17 Terkait dengan hal ini, menentukan subjek hukum agar dapat dinyatakan sahnya suatu perjanjian pada umumnya selalu mengacu pada ketentuan cakap hukum pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat-syarat sahnya perjanjian itu, mengenai syarat sah perjanjian yang memuat syarat subjektif dan objektif perjanjian.18

Dalam pembahasan sebelumnya terlihat bahwasanya anak di bawah umur dapat melakukan perjanjian jual beli online dengan beberapa catatan. Anak di bawah umur tersebut diperbolehkan melakukan jual beli online dimaksud asalkan anak tersebut, terhitung mulai tanggal 1 Maret 2009, sudah mencapai usia 18 tahun, sehingga berdasarkan Pasal 35 ayat 2 dari the Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909 dianggap seolah-oleh ia sudah dewasa. Catatan berikutnya, asalkan ia hanya melakukan perjanjian jual beli online dalam konteks jual beli online sederhana selain yang berkaitan tanah atau hal-hal lain yang tercantum dalam Pasal 35 ayat 4 dari the Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909. Berikutnya, usia anak di bawah umur yang dianggap seolah-olah sudah dewasa tersebut tidak berlaku, salah satunya, jika ada perundang-undangan tertulis lainnya di Singapura yang menetapkan persyaratan khusus terkait usia minimum tertentu untuk tujuan perundang-undangan yang dimaksud tersebut (Pasal 35 ayat 3 the Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909). Terkait usia tersebut, Pasal 35 ayat 7 the Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909 menentukan, bahwasanya tidak ada ketentuan dalam bagian ini yang membatasi atau mempengaruhi aturan hukum yang menyatakan bahwa anak di bawah umur tidak bertanggung jawab dalam perbuatan melawan hukum karena mengadakan kontrak melalui pernyataan palsu mengenai usianya sendiri atau masalah lainnya.

  • IV.  Kesimpulan sebagai Penutup

    4.   Kesimpulan

Berdasakan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat sahnya perjanjian di Indonesia mengacu pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu: (a) sepakat kedua belah pihak; (b) cakap; (c) sebab yang halal; dan (d) objek tertentu. Sedangkan di Singapura, berdasarkan The Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909, suatu perjanjian dapat terbentuk yaitu salah satu pihak membuat suatu “penawaran” atas beberapa barang maupun jasa, pihak atau pihak lain dapat “menerima” penawaran tersebut dan, dalam beberapa pertimbangan melewati antara para pihak. Akibat hukum transaksi jual beli online oleh anak di bawah umur di Indonesia yaitu terlihat tidak dipenuhinya syarat kecakapan (syarat subjektif) sehingga kontraknya menjadi dapat dibatalkan. Sedangkan di Singapura berdasarkan Pasal 35 (1) dari The Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909, terhitung sejak

tanggal 1 Maret 2009, kontrak yang dibuat oleh anak di bawah umur yang telah mencapai usia 18 tahun akan berlaku seolah-olah ia telah mencapai usia dewasa. Dapat diasumsikan bahwa dalam konteks jual beli online sederhana selain yang berkaitan tanah atau hal-hal lain yang tercantum dalam Pasal 35 (4) dari the Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909, dapat dilakukan oleh anak di bawah umur yang telah mencapai usia 18 tahun (terhitung sejak 1 Maret 2009) menurut hukum Singapura. Terkait usia tersebut, Pasal 35 ayat 7 the Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909 menentukan, bahwasanya tidak ada ketentuan dalam bagian ini yang membatasi atau mempengaruhi aturan hukum yang menyatakan bahwa anak di bawah umur tidak bertanggung jawab dalam perbuatan melawan hukum karena mengadakan kontrak melalui pernyataan palsu mengenai usianya sendiri atau masalah lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial (Jakarta, Prenada Media Group, 2019).

Jonaedi Efendi, S. H. I., S. H. Johnny Ibrahim, and M. M. Se. Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris (Depok, Prenada Media, 2018).

Miru, Ahmadi dan Pati Sakka. Hukum Perjanjian: Penjelasan Makna Pasal-Pasal Perjanjian Bernama Dalam KUH Perdata (BW) (Jakarta, Sinar Grafika, 2020).

Saija, Ronald dan Letsoin, Roger F.X. V. Buku Ajar Hukum Perdata (Yogyakarta, Deepublish, 2016).

Setiawan, I Ketut Oka. Hukum Perikatan (Jakarta, Sinar Grafika, 2021).

Jurnal

Anggraeny Isdian, Al-Fatih Sholahuddin. “Kata Sepakat Dalam Perjanjian Dan Relevansinya Sebagai Upaya Pencegahan Wanprestasi.” DE LEGA LATA Jurnal Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM 5, 1 (2020): 57-66.

Lingga Saputra, Sena. “Status Kekuatan Hukum terhadap Perjanjian dalam Jual Beli Online yang Dilakukan oleh Anak di Bawah Umur.” Jurnal Wawasan Yuridika 3, 2 (2019): 199-216.

Murni R. A. R., Dharmawan, N. K. S., & Samsithawrati, P. A. “Transformasi Good Faith Principle Dalam hukum perbankan Khususnya BPR: Perspektif Lokal Nasional dan Internasional” Arena Hukum 11, 3 (2018): 579.

Rusviana Zuni, Suliantoro Adi. “Perjanjian Jual Beli Melalui Internet (E-Commerce) Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata.” Dinamika Hukum 21, 2 (2018): 61-69.

Ruzaipah, Manan Abdul, A’yun Qurrota. “Penetapan Usia Kedewasaan Dalam Sistem Hukum di Indonesia.” JURNAL MISAQAN GHALIZAN I, I (2021): 1-20.

Samsithawrati, P. A., Kurniawan I. G. A., & Dharmawan, N. K. S. “Model Perjanjian Bisnis Kreatif Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Start-Up Berbasis Paid Promote: Era Hyper-Connected Society”. Jurnal Hukum Kenotariatan 7, 03 (2022): 356.

Sari, Novi Ratna. “Komparasi Syarat Sahnya Perjanjian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Hukum Islam.” Jurnal Repertorium IV, 2 (2017): 79-86.

Sitepu, Rehulina. “Digital Signature Insurance in E-Commerce Agreement.” Doktrina: Journal of Law 1, 1 (2018): 45-55.

Syamsiah, Desi. “Kajian Terkait Keabsahan Perjanjian E-Commerce Bila Ditinjau Dari Pasal 1320 KUHPerdata Tentang Syarat Sah Perjanjian.” Jurnal Inovasi Penelitian 2, 1 (2021): 327-332.

Wulandari, Yudha Sri. “Perlindungan Hukum bagi Konsumen terhadap Transaksi Jual Beli.” AJUDIKASI: Jurnal Ilmu Hukum 2, 2 (2018): 199-210.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) The Statutes of the Republic of Singapore Civil Law Act 1909

Website

Corporate Guide Singapore, Key Points of Singapore’s Contract law, URL: https://www.corporateguide.sg/key-points-singapores-contract-laws/

Corporate      Services.com,      Singapore      Contract      Law,      URL:

https://www.corporateservices.com/singapore/contract-law-of-singapore/

Kantor Berita Politik RMO.ID Republik Merdeka, Pelaku Penipu Online Anak di Bawah Umur, Polri Ingatkan Orang Tua Awasi Kegiatan Daring Anak, URL:      https://rmol.id/read/2020/09/18/452943/pelaku-penipu-

online-anak-di-bawah-umur-polri-ingatkan-orang-tua-awasi-kegiatan-daring-anak

Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 09 Tahun 2023, hlm. 488-497