Potensi Pertunjukan Musik Sasando Grup Musik Nusa Tuak Sebagai Ataksi Wisata
on
JURNAL KEPARIWISATAAN DAN HOSPITALITAS
Vol. 7, No. 2, November 2023.
Potensi pertunjukan musik sasando pada grup musik nusa tuak sebagai atraksi wisata
Novita Restiati Ina Wea1), I Gusti Agung Pradnyadari2)
Program Studi Sarjana Terapan Pengelolaan Perhotelan1), Program Studi S1 Pariwisata2) Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana
E-mail: novitarestiati@unud.ac.id
Abstrak
Nusa Tenggara Timur memiliki beragam alat musik tradisional, salah satu di antaranya adalah Sasando. Alat musik ini cukup terkenal di kalangan masyarakat namun tidak banyak yang memahami cara memainkannya, serta pelestariannya cukup minim yaitu hanya dijumpai di beberapa sanggar atau dipentaskan hanya pada saat pertunjukkan musik. Dengan melihat minimnya perhatian pada pelestarian musik sasando maka beberapa pemuda daerah berinisiatif melakukan pelestarian musik sasando dengan membuat grup musik Nusa Tuak. Sebagai sebuah produk yang dipromosikan dalam pertunjukan, memungkinkan musik sasando berpotensi sebagai atraksi wisata. Untuk dapat mengetahui hal tersebut, maka perlu dilakukan alanisis lebih mendalam terkait aspek-aspek pengembangan sebuah produk menjadi atraksi wisata. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi pertunjukan musik sasando sebagai atraksi wisata, khususnya pada pertunjukan grup musik Nusa Tuak. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur dan studi pustaka teknik simak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa musik sasando berpotensi sebagai atraksi wisata karena sudah memenuhi beberapa kriteria aspek atraksi wisata, yaitu sebagai berikut: 1) aspek keunikan; 2) aspek estetis; dan 3) aspek ilmiah. Aspek keunikan yang dimaksud adalah keunikan yang terdapat dari alat musik sasando, alat musik pendukung pertunjukan, tenun ikat pada kostum anggota, dan penggunaan topi ti'i langga. Aspek keindahan dirasakan adalah melalui penggunaan pakaian dan atribut oleh para anggota, serta dari pemilihan lagu yang akan dipentaskan. Selanjutnya aspek ilmiah yang didapat adalah aspek sejarah dan musikologi yang sangat bermanfaat bagi pembaca.
Kata Kunci: Potensi Pariwisata, Musik Sasando, Atraksi Wisata Budaya
Abstract
East Nusa Tenggara has a variety of traditional musical instruments, one of which is the Sasando. This instrument is well known in the community, but not many people understand how to play it and its preservation is only found in studios or during music performances. By seeing the lack of attention to the preservation of sasando music, several local youths took the initiative to preserve sasando music by creating the Nusa Tuak music group. As a product to be promoted, it is possible that sasando music has the potential as a tourist attraction. To be able to know this, it is necessary to conduct a more in-depth analysis related to the aspects of developing a product into a tourist attraction. The purpose of this study is to determine the potential of sasando music performances as tourist attractions, especially at the Nusa Tuak music group performance. The method used in this research is qualitative method, while the data collection techniques used in this research are structured interviews and literature study of listening techniques. The results showed that sasando music has the potential as a tourist attraction because it meets several criteria for aspects of tourist attractions, namely: 1) uniqueness aspect; 2) aesthetic aspect; and 3) scientific aspect. The aspect of uniqueness in question is the uniqueness of the sasando musical instrument, supporting musical instruments, ikat weaving on members' costumes, and the use of ti'i langga hats. The beauty aspect is perceived through the use of clothing and attributes by members, as well as from the selection of songs to be performed. Furthermore, the scientific aspects obtained are aspects of history and musicology which are very useful for readers.
Keywords: Tourism Potential, Sasando Music, Cultural Tourism Attraction
Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki beragam kebudayaan yang tersebar di berbagai pulau dan suku yang dapat dikemas untuk disajikan kepada wisatawan, contohnya upacara adat, tata busana, seni pertunjukan dan lainnya. Salah satu seni pertunjukan yang cukup digemari oleh wisatawan adalah pertunjukan musik. Ada beragam jenis alat musik tradisional di daerah Nusa Tenggara Timur, satu diantaranya yang paling terkenal adalah musik sasando. Sasando tergolong alat musik dawai yang dimainkan dengan cara dipetik. Alat musik dawai adalah jenis alat musik kordofon kerena bunyi yang dihasilkannya bersumber dari getaran dawai. Cara memainkan dawai sasando memiliki persamaan yang cukup dekat dengan alat dawai hitek yang berasal dari Flores, namun sasando dimainkan dengan cara diletakkan dipangkuan pemainnya, sedangkan hitek dimainkan langsung di atas lantai (Harahap, 2005).
Pada zaman dahulu, musik sasando hanya digunakan sebagai musik pengiring musik gong yang digunakan untuk berbagai acara adat di Rote, antara lain seperti pesta pernikahan, kematian, menyambut tamu dan lain-lain. Salah satu contoh upacara adat yang menggunakan musik sasando sebagai pengiring adalah upacara adat Hus. Upacara adat Hus merupakan pesta rakyat yang terkenal bagi masyarakat Rote hingga wisatawan dari luar daerah karena menampilkan pawai kuda dengan jumlah yang sanga banyak, dari puluhan hingga ratusan ekor kuda (Mandala, 2014). Namun seiring perkembangan zaman, musik sasando juga digunakan sebagai pertunjukan musik yang dapat dinikmati tidak hanya pada saat upacara adat.
Mella (2016) membagi alat musik sasando menjadi dua jenis yaitu sasando gong dan sasando biola. Sasando gong merupakan jenis alat musik tradisional pada mulanya yang masih menggunakan dawai. Namun seiring perkembangan zaman, alat musik tradisional mengalami komodifikasi dari bentuk hingga kualitas bunyi. Berikut adalah pemaparan jenis-jenis sasando: 1. Sasando Gong
Sasando gong adalah bentuk mula-mula dari perkembangan awal sasando atau sasandu. Menurut Francis (2017) sansado gong adalah alat musik yang dimainkan pada acara-acara adat masyarakat Rote seperti acara sambutan tamu, pernikahan, kematian, perpisahan, serta upacara adat lainnya. Jenis sasando ini mula-mula memiliki 7 buah dawai, namun seiring perkembangannya bertambah menjadi 9 buah, hingga 10 buah dengan menggunakan tangga nada pentatonik. Sasando gong terbuat dari daun lontar utuh yang dibentuk melengkung, batang bambu sebagai tempat senar, penyangga senar terbuat dari kayu berbentuk segitiga, serta tali senar nilon sebagai alat petik penghasil bunyi; dan
-
2. Sasando Biola
Sasando biola adalah jenis sasando yang masih mempertahankan bentuk aslinya tetapi telah dimodifikasi, khususnya pada jumlah dawai atau tali senarnya. Pada zaman dahulu, tali senar atau dawainya hanya berjumah 9 dengan meniru bunyi gong namun seiring perkembangannya, jumlah tali bertambah menjadi 24, 32, dan 48 buah (Francis, 2017). Sasando biola mengalami beberapa modifikasi seperti sasando elektrik dan sasando lipat, yang sering dikolaborasikan dengan musik modern.
-
a) Sasando Elektrik
Sasando elektrik merupakan variasi dari sasando biola yang berupa potongan bambu dengan posisi senar direntangkan tanpa menggunakan bundaran daun lontar. Sasando jenis ini mulai berkembang sejak tahun 1980-an (Francis, 2017). Musik yang dihasilkan sasando elektronik juga sama dengan sasando biasa lainnya, hanya bentuk sasando elektrik lebih bertujuan agar jari-jari pemain sasando waktu memainkan alat musik tersebut dapat lebih terlihat.
-
b) Sasando Lipat
Sasando lipat digolongkan sebagai sasando lontar, namun memiliki haik (anyaman daun lontar) yang berbeda karena telah dimodifikasi sehingga dapat diatur sendiri oleh penggunanya. Ukurannya haik bisa diperbesar atau pun diperkecil, serta memungkinkan untuk dibawa kemanapun. Karena penggunaannya yang praktis dan memungkinkan untuk
digunakan dengan posisi berdiri maka sasando jenis ini banyak digunakan oleh para pemain sasando masa kini (Francis, 2017).
Untuk memahami perbedaan jenis-jenis sasando yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 1. Sasando Gong (Sumber: Prasetyo, 2014)
Gambar 2. Sasando Biola (Sumber: Riso, 2018)
Gambar 3. Sasando Elektrik (Sumber: Prasetyo, 2014)
Menurut Mella (2016), sasando terdiri dari tiga bagian yaitu: 1) Bagian atas sasando meliputi: a) koan (hiasan pada puncak haik) yang terbuat dari daun lontar dan berbentuk seperti bunga, b) langa (potongan kayu ujung atas aon) yang berfungsi untuk mengatur jarak dawai, c) ai-didipo (tempat lilitan senar) berfungsi sebagai penyetem nada; 2) Bagian tengah terdiri dari: a) aon yaitu bambu tempat diletakkan senda, b) senda yaitu penyangga senar, c) senar sasando, d) haik yaitu ruang resonansi yang terbuat dari anyaman daun lontar; serta 3) Bagian bawah meliputi: a) paku (tempat pengait senar) dan b) mea (potongan kayu yang terdapat pada ujung bawah aon).
Gambar 5. Bagian-Bagian Sasando (Sumber: Mella, 2016)
Berdasarkan Buku Database Kepariwisataan Provinsi Nusa Tenggara Timur 2017, diketahui terdapat lima sanggar yang secara aktif mengembangkan musik sasando. Tiga sanggar di Kota Kupang yang mengembangkan sasando yaitu Edon Sasando Elektrik, Edon Sasando dan sangar Sasando di Kecamatan Kota Radja. Sedangkan dua sanggar di Kabupaten Rote Ndao yaitu sanggar Sosokoli dan Manukoa mengembangkan musik sasando gong atau sasandu yang masih tradisional. Dengan melihat minimnya perhatian pada pelestarian musik sasando, maka tergeraklah inisiatif oleh seorang pemuda bernama Agusto Andreas Naga Lana atau biasa dikenal dengan nama Ganzer Lana asal Atambua, Nusa Tenggara Timur untuk membentuk grup musik Nusa Tuak yang bertujuan untuk melestarikan musik sasando.
Nusa Tuak adalah salah satu grup musik beraliran neo-tradisi yang beranggotakan beberapa mahasiswa dan alumni ISI Yogyakarta, yang mayoritas anggotanya berasal dari Nusa Tenggara Timur. Grup ini didirikan pada tanggal 18 Mei 2013 yang awalnya mengembangkan musik sasando (sasando gong dan sasando biola) dalam pertunjukannya. Selanjutnya pada tahun 2015, grup musik ini bergabung menjadi combo dengan menambahkan beberapa alat musik lainnya seperti gitar elektrik, bass, hawaian (alat musik Maluku) dan oboe (alat musik Eropa). Nusa Tuak diambil dari kata Nusa artinya Pulau dan Tuak (minuman yang berasal dari pohon lontar) diartikan sebagai Lontar, merupakan sebuah grup musik yang bergenre Nusa Tuak, dengan sentuhan pengembangan musik tradisi dan modern. Arti kata Nusa Tuak diambil dari filosofi masyarakat Nusa Tenggara Timur yang menganggap Pohon Lontar sebagai pohon kehidupan. Harahap (2015) menambahkan bahwa seluruh bagian pohon lontar digunakan bermanfaat bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur. Contohnya daun lontar digunakan sebagai wadah penampung air (haik), topi ti’i langga, sasando, kerajinan anyaman dan untuk atap rumah. Bagian pelepah daun digunakan untuk pagar sedangkan batang untuk dijadikan kayu peralatan rumah. Selanjutnya nektar bunga lontar digunakan sebagai bahan baku pembuat tuak, sopi, gula air, gula lempeng serta buah lontar muda dikonsumsi masyarakat sedang yang tua dijadikan makanan ternak. Pohon lontar paling banyak ditemui di pulau Rote, sehingga pulau ini sering disebut sebagai Nusa Lontar. Nusa Tuak memiliki visi yaitu mempertahankan, mengembangkan dan melestarikan musik sasando, serta memiliki slogan “Beta Pung Sasando Untuk Dunia”. Visi dan slogan ini yang menjadi dasar pengembangan musik sasando dalam setiap pertunjukan musik yang dilakukan oleh grup musik Nusa Tuak.
Pada tahun 2013 sampai dengan 2017, Nusa Tuak sudah melakukan pementasan sebanyak 72 kali, dengan rincian: 22 kali konser, 6 kali konser tunggal, 41 kali pementasan di acara festival atau sebagai bintang tamu dan pengisi acara, serta 3 kali pementasan permintaan pribadi. Berikut adalah beberapa daftar pertunjukan Nusa Tuak yang dianggap penting, antara lain sebagai berikut: a) Memperkenalkan Budaya Indonesia dalam Acara “Introducing Indonesian Culture” di Taman Mini Indonesia Indah pada tahun 2014, 2015, dan 2016;
-
b) Konser Nusa Tuak pada Acara “Zero Tolerance for Human Trafficking”, di Atambua, 26 Juli 2015;
-
c) Solo Sasando pada Hari Raya Kemedekaan Republik Indonesia yang ke-70 di Istana Merdeka -Jakarta Pusat, bersama GBN Orkestra & Paduan Suara pada tanggal 17 Agustus 2015;
-
d) Konser Wonderful Indonesian “Indonesian Night” di Khan Shatyr Astana Kazakhstan, pada tanggal 21 dan 23 mei 2016;
-
e) JATA EXHIBITION Budaya Indonesia Sasando di Tokyo - Jepang, pada tanggal 20 September 2016; dan
-
f) Konser Bokor World Music Festival 2016 di Desa Bokor - Riau, pada tanggal 20 November 2016.
Gambar 6. Grup Musik Nusa Tuak (Sumber: Dokumen Pribadi, 2018)
Sebagai sebuah produk yang akan dipromosikan, maka memungkinkan musik sasando berpotensi sebagai atraksi wisata. Untuk dapat mengetahui hal tersebut, maka perlu dilakukan analisis lebih mendalam terkait aspek-aspek pengembangan sebuah produk menjadi atraksi wisata. Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis akan menganalisis potensi musik sasando sebagai atraksi wisata.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati (Bagdan dan Tylor dalam Moleong dalam Mandala, 2014). Strauss dan Corbin (1990) menambahkan bahwa metode kualitatif adalah semua jenis penelitian yang prosesnya tidak berdasarkan prosedur statistik, angka, atau kuantifikasi. Hal ini berarti metode penelitian kualitatif akan mebahas faktor-faktor yang tidak dapat diatasi oleh metode kuantitatif. Seperti pengalaman hidup, perilaku, emosi, perasaan dan juga pergerakan sosial, fenomena budaya dan interaksi sosial. Penelitian kualitatif biasanya berusaha mengkonstruksi realitas dan memahami makna penelitian, sehingga penelitian kualitatif biasanya sangat memperhatikan proses dan peristiwa (Somantri, 2005). Detail-detail kecil penelitian juga mengambil peran yang signifikan dalam penelitian kualitatif. Oleh karena itu, peneliti kualitatif biasanya ikut terlibat dalam interaksi dengan subjek yang ditelitinya. Keterlibatan antara peneliti dan subjek peneliti adalah salah satu ciri mendasar dari metode penelitian kualitatif (Jary dan Julian dalam Mandala, 2014). Dalam kasus ini peneliti akan mengerahkan kemampuannya sebagai seorang pewawancara untuk mengumpulkan data yang unik tentang permasalahan yang diteliti.
Selanjutnya teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
-
a) Wawancara Terstruktur
Wawancara yang dilakukan adalah wawancara terstruktur dan bersifat terbuka dimana pertanyaan-pertanyaan yang diajukan telah disusun terlebih dahulu agar lebih terarah dan informan yang diwawancarai mengetahui maksud dan tujuan wawancara yang dilaksanakan (Meleong dalam Mandala, 2014). Wawancara berfokus terkait grup musik Nusa Tuak dan pengetahuan mereka tentang musik sasando. Penentuan informan disesuaikan dengan informasi yang dibutuhkan untuk dibahas dalam makalah ini. Informan yang bersedia di wawancarai adalah: 1) Agusto Andreas Naga Lana asal Malaka, Atambua – Nusa Tenggara Timur sebagai Ketua sekaligus pelopor berdirinya grup musik Nusa Tuak; dan 2) Ulrich Zwingli Pingga asal Kota Kupang - Nusa Tenggara Timur sebagai anggota grup musik Nusa Tuak.
-
b) Studi Pustaka Teknik Simak
Studi pustaka merupakan metode untuk melakukan pencarian data dan informasi melalui dokumen, baik berupa dokumen tertulis, gambar, foto, maupun dokumen elektronik sebagai data pendukung penelitian. Studi pustaka kemudian dikombinasika dengan teknik simak, khususnya teknik simak catat. Teknik ini merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mencatat atau mengutip pendapat para ahli yang ada di dalam buku, literatur, ataupun bahan Pustaka untuk memperkuat landasan teori dalam penelitian. Teknik simak catat ini menggunakan buku, literatur, dan bahan pustaka yang relevan dan dapat ditemukan di perpustakaan maupun di tempat penulis melakukan penelitian (Sugiyono,2005).
Dalam UU Nomor 9 Tahun 1990 tentang kepariwisataan, atraksi memiliki dua komponen utama yaitu sebagai objek wisata (tourist object) dan atraksi wisata (tourist atraction). Dalam penyajiannya, objek wisata tidak membutuhkan persiapan khusus sebaliknya atraksi wisata merupakan sesuatu yang dapat dilihat melalui pertunjukan (shows) sehingga memerlukan persiapan yang matang.
Di Indonesia, atraksi wisata yang dianggap menjadi andalan adalah atraksi yang berkaitan dengan kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (1985), ada tujuh unsur pembentuk budaya. Unsur-unsur budaya ini adalah segala macam ide atau gagasan yang memberi jiwa pada suatu kelompok masyarakat bersifat universal (cultural universal). Ketujuh unsur tersebut yaitu: bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem religi, dan kesenian. Lebih lanjut Yoeti (2006) mepaparkan bahwa wisata budaya diartikan sebagai jenis kegiatan pariwisata yang objeknya adalah kebudayaan. Objek daya tarik wisata dapat berupa: kesenian (seni rupa dan segala bentuk seni pertunjukan), tata busana, upacara adat, demonstrasi kekebalan dan komunikasi dengan alam gaib, lingkungan binaan, serta ketrampilan-ketrampilan khusus. Objek-objek tersebut dikemas khusus untuk disajikan kepada para wisatawan dengan maksud agar lebih menarik.
Dalam pengembangan sebuah produk menjadi atraksi wisata perlu memperhatikan beberapa aspek yaitu: 1) Aspek keunikan; 2) Aspek estetis; 3) Aspek keagamaan; dan 4) Aspek ilmiah (Ahimsa-Putra, 2004). Wiyono (2012) menjelaskan bahwa atraksi wisata sebaiknya merefleksikan karakter alam dan budaya daerah setempat, dan dapat mewujudkan konservasi alam dan budaya, serta memelihara sense of place yang unik. Selanjutnya Ahimsa-Putra (2004) menjabarkan bahwa: 1) Aspek keunikan pada suatu objek wisata budaya dapat ditemui dari kekhasan dan keanehan yang menarik dan sulit ditemui kesamaannya atau tidak ada dalam masyarakat lain; 2) Aspek estetis pada objek wisata budaya ditemui ketika objek tersebut memiliki unsur keindahan, yaitu sebuah unsur yang dipandang menarik bagi wisatawan; 3) Aspek keagamaan memiliki arti bahwa objek wisata budaya bersifat suci, wingit, atau mempunyai kekuatan supernatural tertentu sehingga dapat mempengaruhi kehidupan manusia; serta 4) Aspek
ilmiah berupa nilai ilmiah atau nilai pengetahuan yang tinggi dari suatu objek wisata budaya. Keempat aspek ini dapat dijadikan potensi dari atraksi itu sendiri.
Pertunjukan grup musik Nusa Tuak memiliki beberapa aspek yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi atraksi wisata, yaitu Aspek Keunikan, Keindahan dan Ilmiah. Berikut akan dipaparkan satu demi satu.
-
1) Aspek Keunikan
-
a. Sasando
Dari hasil wawancara dengan anggota grup musik Nusa Tuak (Ganzer dan Ulrich) diketahui alasan mereka menggunakan sasando sebagai alat musik utama atau ikon grup mereka adalah karena sasando dianggap memiliki keunikan yang tidak didapatkan pada alat musik lainnya. Dari segi bentuk, sasando memiliki keunikan karena merupakan satu-satunya alat musik dawai yang penyangga senarnya berbentuk lingkaran. Umumnya alat musik dawai membentangkan senarnya, misalnya seperti harpa, gitar, biola, lira, dan lainya. Sekalipun hitek memiliki sedikit kemiripan dengan sasando, namun penyangga senarnya hanya berbentuk setengah lingkaran. Dengan keunikan pada bentuk fisik sasando ini, memungkinkan sasando (dengan menggunakan teknik bermain sasando) untuk mencapai nada-nada yang tidak dapat dicapai oleh alat musik lainnya.
Selanjutnya musik sasando dapat dikombinasikan dengan musik-musik daerah ataupun musik modern lainnya. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam pertunjukan musik Nusa Tuak yang mengkombinasikan musik sasando dengan combo yang memainkan lebih banyak musik swing atau jazz. Perpaduan musik ini terbentuk secara apik sehingga menjadi musik instrumental yang memiliki warna sendiri.
-
b. Alat Musik Pendukung
Berbeda dengan pertunjukan musik lainnya di Indonesia, yang umumnya hanya menggunakan beberapa alat musik pendukung seperti gitar, bass, dan drum, pertunjukan musik Nusa Tuak juga menggunakan alat musik hawaian dan oboe sebagai alat musik pendukung. Kurnia (2016) menjelaskan hawaian adalah alat musik yang berasal dari Maluku yang terbuat dari kayu dan logam. Hawaian merupakan alat musik non-tradisional yang terbuat dari kayu dan menggunakan aliran listrik sehingga fungsinya sama dengan gitar listrik. Walaupun alat musik ini diadopsi dari bangsa Eropa sejak abad ke 16 M, namun sudah menjadi bagian dari kebudayaan Maluku. Alat musik ini mempunyai 8 dawai kawat dan dimainkan dengan cara dipetik menggunakan alat pemetik berbentuk kuku jari yang terbuat dari kulit kerang/plastik. Selanjutnya Zaelani (2010) menjelaskan tentang alat musik oboe yang berasal dari Perancis. Oboe adalah alat musik double reed jenis woodwind yang merupakan alat musik turunan shawm. Dibandingkan dengan instrumen woodwind lainnya, oboe memiliki suara yang jernih dan melengking. Oboe biasanya digunakan untuk pertunjukan musik orkestra.
-
c. Tenun Ikat
Dalam pertunjukannya, Nusa Tuak selalu menggunakan kain tenun ikat asal Nusa Tenggara Timur. Tidak hanya tenun ikat dari pulau Rote, tetapi juga daerah-daerah lainnya seperti Sumba, Flores dan Timor. Dua jenis tenun ikat yang sering digunakan oleh anggota Nusa Tuak ketika melakukan pertunjukan adalah tenun ikat dari Rote. Sumba, dan Flores.
Tenun Ikat Rote yang dipakai oleh anggota Nusa Tuak adalah lafa (selimut untuk laki-laki) dan selendang. Terdapat beberapa jenis selendang Rote, antara lain: delafa songe, de lafa nggeok, delafa ketemak, dan de lafa kekeak. Baik selimut maupun selendang Rote ditenun dengan teknik ikat lungsi. Warna dasar kain biasanya adalah biru, merah, dan kuning. Warna-warna dasar tersebut diperoleh dengan cara mencelupkan benang kedalam larutan bahan-bahan pewarna tradisional seperti nila, mengkudu, dan kunyit (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990). Motif tenun Rote berpola bunga yang berasal dari patola India dengan pola bintik-bintik yang mewakili kulit ular piton (Cita Tenun Indonesia, 2011).

Gambar 9. Tenun Ikat Rote dan Tenun Ikat Sumba (Sumber: Cita Tenun Indonesia, 2011)

Tenun Ikat Sumba juga sering digunakan anggota Nusa Tuak ketika pertunjukan. Kain Sumba Timur yang digunakan oleh laki-laki dinamakan hinggi. Hinggi terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu hinggi kombu yang berwarna merah, hinggi raukadana yaitu kain tenun dengan warna campuran, hinggi kawuru yang memiliki warna belau, dan hinggi pahadu yakni kain sulam. Motif-motif yang terdapat pada kain lelaki maupun wanita adalah njara (kuda), manu (ayam), tau (manusia), andingu (tugu perang), ruha (rusa) kurangu (udang), ularu (ular), buaya, kakatua, pohon nangka, burung, ikan, petola dan bangu (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990).
Selain itu, ada anggota yang menggunakan kain tenun yang berasal dari pulau Flores, yaitu kain tenun Ende dan Ngada. Kain Ende yang digunakan oleh laki-laki disebut luka yang warna dasarnya hitam atau biru kehitam-hitaman, sedangkan yang wanita bernama lawo yang berwarna dasar merah tua kecoklat-coklatan. Motif kain ende umumnya adalah bunga dan saluran yang diselingi jalur-jalur hitam kecil. Selanjutnya kain tenun Ngada yang dipakai kaum lelaki disebut hagi bai yang berwarna hitam saja dan terkadang dijahit dengan siput yang membentuk motif bintang, sedangkan kain yang digunakan wanita disebut pole yang berwarna dasar hitam dengan motif awan berarak. Arti warna dan motif tenun Ngada menunjukkan status sosial (warna kuning), kesuburan daerah (warna hijau), dan unsur magis religius (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990). Selain beberapa kain yang sudah disebutkan sebelumnya, Nusa Tuak juga sering mengganti kostumnya dengan tenun-tenun daerah lainnya seperti tenun Sikka atau tenun Belu, namun kain tenun dari daerah Rote selalu digunakan dalam setiap pertunjukan mereka. Hal ini dilakukan agar penonton selalu teringat bahwa sasando berasal dari pulau Rote.
Pemilihan berbagai jenis tenun ikat dari dearah yang berbeda dalam penampilan Nusa Tuak jelas memiliki keunikan dengan pertunjukan musik lainnya yang umumnya menampilkan pakain adat dari daerah yang sama. Hal ini menjadi poin lebih agar
penonton dapat mengetahui bahwa Nusa Tenggara Timur memiliki beragam jenis kain tenun dengan motif yang berbeda-beda sesuai daerah asalnya masing-masing.
-
d. Topi Ti’i Langga
Topi ti’i langga adalah topi tradisional Rote yang berbentuk lebar dan memiliki semacam antena di bagian tengahnya yang digunakan oleh kaum lelaki. Ti’i langga terbuat dari daun lontar yang dianyam sedemikian rupa dengan tingkat kerumitan yang cukup berat. Karena bentuknya yang lebar, ti’i langga disebut juga sombrero-nya Rote karena kemiripan keduanya (Mandala, 2014). Topi ini menyimbolkan hubungan vertikal dan horizontal. Dari bentuk antenanya, ti’i langga mempresentasikan hubungan manusia dengan Tuhan sehingga menyiratkan bahwa manusia harus ingat akan Tuhan dalam segala hal, sedangkan representasi horizontalnya adalah bahwa ti’i langga juga merupakan simbol keperkasaan laki-laki dimana laki-laki dianggap sebagai pemimpin atau kepala dalam masyarakat (Lana, 2017). Topi ti’i langga digunakan oleh semua anggota grup musik Nusa Tuak (anggota perempuan terkadang memakai ti’i langga atau pun tidak). Topi ini juga dipadukan dengan pakaian adat atau kain tenun yang berbeda-beda, tidak hanya dari pulau Rote. Perbedaan inilah yang membuat penampilan Nusa Tuak terlihat unik dan khas.
Gambar 10. Nusa Tuak memakai Ti’i Langga (Sumber: Galeri Indonesia Kaya, 2017)
-
2) Aspek Keindahan
-
a. Pakaian dan Atribut Anggota
Pada saat pertunjukan, grup musik Nusa Tuak selalu menggunakan pakaian adat tradisional Nusa Tenggara Timur. Walaupun pada zaman dahulu pemain sasando hanya menggunakan pakaian adat Rote dalam suatu acara adat, namun grup musik Nusa Tuak menggunakan variasi kain tenun ikat yang berasal dari berbagai tempat di Nusa Tenggara Timur, yaitu tenun Rote, Flores, Sumba dan Timor. Perbedaan pada kostum ini menyimbolkan masyarakat Nusa Tenggara Timur yang walaupun terdiri dari beragam suku dan bahasa namun dapat bersatu secara harmonis. Dalam pertunjukannya pun Nusa Tuak selalu tampil dengan tidak menggunakan alas kaki seperti pada masyarakat Nusa Tenggara Timur tradisional. Semua unsur-unsur di dalam pakaian dan atribut yang digunakan anggota Nusa Tuak ini memiliki nilai keindahan yang mencerminkan masyakarat Nusa Tenggara Timur itu sendiri.
-
b. Lagu
Nusa Tuak adalah grup musik beraliran neo-tradisi yang menggabungkan musik tradisi dengan musik modern. Dalam pertunjukan, Nusa Tuak sering kali menggunakan lagu daerah Nusa Tenggara Timur misalnya Ofa Langga, Mana Lolo Banda, Te’O Renda, Batu Matia yang berasal dari pulau Rote, lagu Tebe Lai dari pulau Timor, lagu Gemu Fa Mi Re dari Maumere – Flores dan lainnya. Ada pula musik Re’U yang diciptakan oleh Ganzer dan juga pernah dipentaskan pada saat pertunjukan grup musik Nusa Tuak. Re’U adalah sebuah karya komposisi yang terinsipari dari tata cara kehidupan suku Loro di Pulau Timor (Lana, 2017). Selain lagu-lagu daerah, Nusa Tuak juga 93
menampilkan lagu-lagu modern seperti Despacito, Fix You, The Sound of Love, Blues on Friday dan lain sebagainya. Nusa Tuak bahkan juga pernah menampilkan lagu dangdut Kembang Kilaras serta lagu nasional Rayuan Pulau Kelapa.
Nusa Tuak selain berusaha melestarikan musik daerah namun juga tidak menutup diri untuk terus mengembangkan dengan menampilan musik yang modern. Oleh karena itu, penonton selain bisa mengenal lagu-lagu daerah Nusa Tenggara Timur juga dapat menikmati lagu-lagu yang lebih dikenal mereka. Nilai keindahan dapat terlihat dari apiknya kombinasi musik yang dipentaskan menjadi musik akustik yang menyatu satu dengan lainnya, baik musik yang dihasilkan oleh alat-alat musik yang berbeda dan lagu-lagu yang dipilih untuk dipentaskan. Lana (2017) menambahkan bahwa sebuah karya komposisi musik etnis memiliki unsur-unsur sebagai pembentuk karya yang menarik dan dapat dinikmati yaitu melodi, irama, harmoni, ritmis, nada, sukat, dinamika dan lain sebagainya.
-
3) Aspek Ilmiah
-
a. Sejarah
Tidak banyak masyarakat Nusa Tenggara Timur yang mengetahui asal usul alat musik sasando yang saat ini terkenal. Umumnya masyarakat hanya tahu bahwa alat musik ini berasal dari pulau Rote. Tidak banyak yang tahu tentang perbedaan sasando tradisional atau sasandu dengan sasando yang saat ini terkenal dan diketahui masyarakat. Dari makalah ini, pembaca dapat mengetahui sejarah asal-mula, jenis-jenis sasando serta perbedaan dari masing-masing sasando tersebut. Francis (2017) menambahkan bahwa sasado pada zaman dahulu selain digunakan sebagai pengantar musik gong untuk acara-acara adat Rote juga digunakan sebagai media terapi penyembuhan penyakit kusta yang konon pernah mewabah di pulau Rote dan sekitarnya. Pernyataan ini bisa dikaji lebih lanjut untuk pembaca yang tertarik atau mendalami ilmu antropologi maupun sejarah.
-
b. Musikologi
Dari hasil wawancara diketahui bahwa jumlah nada yang dihasilkan oleh musik sasando adalah 9 tingkatan nada, namun karena bentuknya yang unik membantunya dapat mencapai nada-nada yang mirip dengan musik yang dihasilkan oleh piano yang memiliki 12 tingatan nada. Karena keunikan inipun, sasando bermanfaat bagi pemusik untuk lebih mengembangkan imajinsinya dalam mengaransemen musik yang akan dimainkannya. Karakter bunyi, contohnya timbre yang dihasilkan oleh sasando memiliki kekhasan sehingga dapat dikembangkan menjadi musik modern, namun tetap tidak menghilangkan warna bunyi aslinya. Melihat dari nada-nada lain yang bisa didapatkan oleh sasando, maka memungkinkan di masa yang akan dating alat musik ini untuk mengalami perubahan dengan cara penambahan jumlah dawai dan diikuti oleh besarnya tabung penyokongnya.
Dari hasil analisis diketahui bahwa pertunjukan musik sasando, khususnya di dalam pertunjukan grup musik Nusa Tuak berpotensi sebagai atraksi wisata. Hal ini dikarenakan pertunjukan musik sasando sudah memenuhi beberapa kriteria aspek atraksi wisata yaitu: 1) Aspek Keunikan; 2) Aspek Estetis; dan 3) Aspek Ilmiah. Aspek keunikan yang terlihat dari pertunjukan musik Nusa Tuak adalah keunikan yang terdapat dari alat musik sasando, alat musik pendukung pertunjukan, tenun ikat pada kostum anggota, dan penggunaan topi ti'i langga. Aspek keindahan dirasakan melalui penggunaan pakaian dan atribut oleh para anggota, serta dari pemilihan lagu yang akan dipentaskan. Yang terakhir adalah aspek ilmiah yang didapat dari pertunjukan grup musik Nusa Tuak adalah aspek sejarah dan musikologi yang sangat bermanfaat bagi pembaca yang tertarik, belajar, atau meneliti dalam bidang-bidang ilmu tersebut.
Ucapan Terima Kasih
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana yang telah memberikan wadah publikasi jurnal sehingga penelitian ini bisa dipublikasikan dan bermanfaat bagi masyarakat dari kalangan luas. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kordinator Program Studi Sarjana Terapan Pengelolaan Perhotelan Fakultas Pariwisata atas dukungan bagi para dosen di dalam prodi untuk melakukan kegiatan penelitian. Selanjutnya ucapan terima kasih kepada informan yang bersedia untuk diwawancarai dan membantu memberikan data yang penulis butuhkan, serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu hingga terselesaikannya penelitian ini.
Ahimsa-Putra, H. S. (2004) Mengembangkan Wisata Budaya dan Budaya Wisata, Sebuah Refleksi Antropologis. Yogyakarta: PUSPAR.
Buku Database Kepariwisataan Provinsi Nusa Tenggara Timur 2017.
Cita Tenun Indonesia. (2011) Tenun Handwoven Textiles of Indonesia. Jakarta: Bab Publishing Indonesia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1990) Pakaian Adat Tradisional Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Francis, Yayo Sami. (2017) Jurnal “Transmisi Alat Musik Sasando Sebagai Media Seni Budaya di Kabupaten Rote Ndao Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Galeri Indonesia Kaya. (2017) Denting Suara Lontar Dari Rote oleh Nusa Tuak. Available at: https://www.indonesiakaya.com/photo/detail/galeri-indonesia-kaya/denting-suara-lontar-dari-rote-oleh-nusa-tuak-minggu-30-juli-2017-pukul--15.00 [Diunduh 21 November 2018].
Harahap, Irwansyah. (2005) Alat Musik Dawai. Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni Nusantara.
Koentjaraningrat. (1985) Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Kurnia, Yoga. (2016). Alat Musik Tradisional Maluku. Available at:
http://yogakurnia1234.blogspot.com/2016/03/alat-musik-tradisional-maluku.html [Diunduh 17 November 2018]
Lana, Agusto Andreas Naga. (2017) Skripsi “Re’U”. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Mandala, Dorce Juliance. (2014) Tesis “Kajian Pengembangan Potensi Upacara Adat Hus sebagai Atraksi Wisata Budaya di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur”. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Mella, Natalino. (2016) Solo Tutorial Sasando. Kupang: Mella Kursus Sasando.
Prasetyo, Bayu. (2014). Sasando, Si Merdu dari Pulau Rote. Available at: https://budaya-indonesia.org/Sasando-si-merdu-dari-Pulau-Rote [Diunduh 31 Oktober 2018].
Riso, Nadia. (2018) Mengenal Sasando, Alat Musik Tradisional asal Nusa Tenggara Timur.
Available at: https://kumparan.com/@kumparannews/mengenal-sasando-alat-musik-
tradisional-asal-nusa-tenggara-timur [Diunduh 7 November 2018].
Somantri, G. R. (2005) ‘Memahami Metode Kualitatif’. Jurnal Makara, Sosial Humaniora, 9 (2): 57-65.
Strauss, A. dan Corbin. (1990) Basis of Qualitative Research: Grounded Theory Procedure and Techniques. London: Sage Publications.
Sugiyono. (2005) Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.
UU Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan.
Yoeti, Oka A. (2006) Pariwisata Budaya Masalah dan Solusinya. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Zaelani, Rizal. (2010) Macam-Macam Alat Musik Tiup. Available at: http://rizalblogmusiczaelani.blogspot.com/2016/02/macam-macam-alat-musik-tiup.html [Diunduh 17 November 2018].
95
Discussion and feedback