VIRALNYA SKINCARE MASKER ORGANIK NON BPOM, PERLINDUNGAN KONSUMEN MULAI DIPERTANYAKAN

A. A. Ayu Eugene Satya Putri, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Made Aditya Pramana Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]

DOI: KW.2023.v12.i07.p4

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini yaitu Pertama yaitu untuk menganalisis peraturan terkait perlindungan konsumen terhadap peredaran masker wajah organik non BPOM yang terjual diberbagai platform e-commerce. Kedua, untuk menambah wawasan terkait sanksi yang diterima pihak penjual yang memasarkan masker wajah organik non BPOM. Ketiga, untuk menambah pengetahuan terkait bentuk pengawasan dari BPOM terkait produk masker wjaah organik non BPOM. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Metode pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan hukum berupa perundang – undangan, serta pendekatan analitis. Dalam penelitian ini ditunjukkan bagaimana perlindungan konsumen dapat dilakukan dalam bentuk preventif dan represif. Kemudian, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengatur pertanggungjawaban pedagang yang merugikan konsumen dengan memasarkan masker organik non BPOM pada Pasal 19 ayat (1). Selain itu, sanksi yang diterima pelaku usaha sebagai penjual mengacu pada UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 62 ayat (1), PP RI No. 80 Tahun 2019 tentang PMSE 17 ayat (1), dan Perpres RI No. 80 Tahun 2017 tentang BPOM Pasal 4 huruf a. Selain itu, ada semacam pengawasan BPOM terkait pendistribusian masker wajah organik non-BPOM. Bentuk pengawasan tersebut dijelaskan dalam Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang BPOM Pasal 3 ayat (1) bagian d.

Kata Kunci: Masker Wajah Organik, Perlindungan Konsumen, Non BPOM

ABSTRACT

The purpose of this study is first one to analyze regulations related to consumer protection regarding the distribution of non-BPOM organic face masks sold on various e-commerce platforms: Second, to add insight regarding the sanctions received by sellers who market non-BPOM organic face masks. Third, to increase knowledge regarding the form of supervision from BPOM regarding non-BPOM organic facial mask products. Utilising normative legal research techniques, this investigation. A legal approach in the form of legislation and an analytical approach are the two approaches used. In this study, it is demonstrated how consumer protection can take both preventive and repressive forms. Then, the Law No. 8 of 1999 Concerning Consumer Protection regulates the accountability of merchants who have damaged customers by marketing non-BPOM organic face masks in Article 19 paragraph (1). Additionally, the sanctions received by business actors as sellers refer to Law No. 8 of 1999 regarding Consumer Protection Article 62 paragraph (1), PP RI No. 80 of 2019 regarding PMSE 17 paragraph (1), and Republic of Indonesia Presidential Regulation No. 80 of 2017 regarding BPOM Article 4 letter a. Additionally, there is a type of BPOM monitoring pertaining to the distribution of non-BPOM organic face masks. This type of supervision is explained in Presidential Regulation No. 80 of 2017 about BPOM Article 3 paragraph (1) part d.

Key Words: Organik Face Mask, Consumer Protection, Non BPOM.

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Sebagai manusia sering melakukan transaksi jual beli antara pedagang dengan pembeli. Seperti halnya dalam membeli perlengkapan rumah, maka adanya hubungan yang terjalin antara pembeli dengan pedagang pada saat tranksasi jual beli tersebut terjadi. Hubungan tersebut dapat terbentuk dengan adanya suatu perjanjian contohnya ketika membeli suatu barang dan barang tersebut tidak bisa dikembalikan ketika sudah dibayar, maka sudah adanya perjanjian yang telah terjalin antara pembeli dan penjual. Penjual atau pedagang memiliki beberapa macam jenis salah satunya yaitu pedagang perantaran yang terdiri dari distributor, grosir, reseller, dan dropshiper.

Seiring berkembangnya waktu tidak menutup kemungkinan terjadinya suatu perubahan yang signifikan baik di bidang perekonomian, industri, pembangunan, dan hukum. Seperti halnya di era digital ini yang semua hal dapat dilakukan hanya melalui gadget yang sudah mencakup media sosial, tempat belanja online dan lainnya. Hal tersebut tentu saja membawa pengaruh yang sangat besar salah satu nya pada bidang perekonomian. Pengaruhnya era digital terhadap perekonomian dapat dilihat dari munculnya suatu penjualan online yang sering disebut e-commerce. Melalui ecommerce tersebut maka suatu transaksi jual beli yang secara umum dilakukan dengan bertatap muka, di era saat ini bisa dilakukan hanya melalui gadget. Berdasarkan hal tersebut tentu saja menunjukkan adanya suatu perubahan yang besar terkait hal nya transaksi jual beli.

Penjualan melalui e-commerce tentu saja memudahkan masyarakat untuk melakukan pembelanjaan kebutuhan secara online, hal ini dikarenakan sangat menghemat waktu. Selain itu ketersediaan dan pemilihan product yang dijual melalui platform e-commerce biasanya lebih bervariatif dan lebih ramah dikantong. Maka dari itu, tidak dapat dipungkiri jika masyarakat lebih banyak beralih belanja secara online dibandingkan dengan harus berbelanja secara langsung. Seperti halnya saat ini tengah viral nya penggunaan produk skincare yang berbahan organik bagi kaum perempuan. Salah satu skincare dengan kandungan organik yang saat ini sedang ramai diperbincangkan yaitu terkait masker wajah organik. Adapun yang dimaksud dengan masker organik yaitu masker dengan kandungan dasar yang terbuat dari bahan-bahan alami atau natural (organik) dan tidak ditambah dengan kandungan kimia. Manfaat perawatan wajah organik dipercaya membuat kulit wajah tampak lebih glowing, dan healthy skin dibandingkan perawatan kulit dengan bahan-bahan yang berasal dari bahan kimia.

Banyaknya produk perawatan wajah organik terutama masker wajah yang dijual di pasaran termasuk dalam produk kecantikan terlaris di internet.1 Produk skincare masker wajah organik tersebut banyak ditemukan pada platform e-commerce, hal ini dikarenakan

mudahnya para penjual seperti penjual reseller, maupun dropshiper untuk memasarkan barang tersebut dikarenakan biaya promosi yang cenderung tidak begitu mahal. Hal tersebut dikarenakan para penjual reseller maupun dropshiper cenderung memiliki modal yang lebih sedikit dibandingkan dengan penjual grosiran. Maka dari itu, para peminat masker wajah organik sangat mudah untuk membeli produk skincare

tersebut secara online, dikarenakan banyaknya seller yang menjual masker wajah organik dengan berbagai macam varian dan dari berbeda brand.

Namun, seiring berjalannya waktu, banyak bermuncullan kasus terkait skincare masker organik yang belum ber BPOM atau dengan katan lain non BPOM yang beredar di pasaran. Seperti contohnya pada tahun 2021 lalu telah terjadi penggerebekan oleh polisi pada sebuah industri rumahan yang memproduksikan 4 merk masker wajah organik berbeda yang banyak tersedia di e-commerce, dimana nampaknya merk-merk tersebut belum memiliki izin edar dari BPOM. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya menyebutkan bahwa ada empat jenis merek yaitu Yoleskin, Acone, NHM, dan Youra. Dengan tidak adanya izin edar dari BPOM, maka dapat dikatakan skincare tersebut termasuk kedalam jenis kosmetik illegal yang diproduksi menggunakan bahan berbahaya dan tidak berijin BPOM .2 Berdasarkan hal tersebut tentu saja sangat membahayakan para pembeli dikarenakan tingkat pendidikan konsumen yang rendah sering kali menimbulkan ketidakseimbangan dalam perlindungan konsumen.3 Selain itu, dengan adanya minat konsumen yang tinggi dipergunakan oleh pelaku usaha untuk menjual harga terjangkau, namun tidak memperhatikan hak konsumen dan melakukan perbuatan yang dilarang yaitu dengan tidak mencantumkan komposisi bahan, tanggal kadaluwarsa, dan aturan pakai hingga izin edar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada konsumen.4 Dengan adanya penggerebekan terkait peredaran masker wajah organik yang diklaim mengandung ingredients yang aman karena terbuat dari bahan natural, namun tidak memiliki izin edar BPOM, produk perawatan kulit tersebut dicap ilegal dalam pemasarannya.

Berkaitan dengan banyaknya penulisan jurnal terkait masker wajah organik yang belum ber BPOM, maka adapun perbedaannya jika dibandingkan dengan penulisan lainnya, diantaranya Pertama, Karya Anak Agung Istri Gita Cantika Agastya dan I Made Dedy Priyanto, dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Masker Wajah Organik Tanpa Izin Edar BPOM”. Adapun hasil dari penelitiannya yaitu dalam UUPK dan Peraturan Presiden tentang BPOM sudah mengatur perlindungan bagi konsumen yang dirugikan akibat masker wajah organik tanpa izin edar dan sanksi bagi pelaku usahanya. Kedua, Karya Miftakhul Aini, I Nyoman Putu Budiartha, dan Ni Gusti Ketut Sri Astiti, dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen yang Dirugikan Akibat Pemakaian Masker Wajah Organik Ilegal yang dibeli Melalui Media Online”. Hasil daripada penelitiannya yaitu berkaitan dengan perlindungan konsumen terhadap edaran masker wajah alami yang illegal di media sosial diatur dalam UUPK. Selain itu, sanksi hukum bagi pelaku usahanya yaitu berupa sanksi administrative. Sehingga, dapat kita lihat bahwasannya kedua penelitian tersebut membahas tentang perlindungan konsumen yang sah terhadap produk perawatan masker wajah yang terbuat dari bahan organik dan dijual secara online yang belum berBPOM. Sanksi bagi seller produk perawatan masker wajah organik yang belum berBPOM juga dibahas. Perbedaan penulisan artikel sebelumnya dengan penulisan artikel ini ditambahkan pembahasan berupa pengawasan BPOM terhadap produk masker wajah organik yang belum berBPOM namun sudah dipasarkan di

masyarakat. Berdasarkan pemaparan diatas, penulis tertarik untuk membuat jurnal dengan topik: “Viralnya Skincare Masker Organik Non BPOM, Perlindungan Konsumen Dipertanyakan”

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan pada latarbelakang tersebut, maka dapat ditemukan 3 (tiga) permasalahan, diantaranya:

  • 1)    Bagaimanakah perlindungan konsumen terhadap peredaran masker wajah organik non BPOM yang terjual diberbagai platform e-commerce?

  • 2)    Bagaimanakah tanggungjawab serta sanksi yang diterima bagi pihak penjual masker wajah organik non BPOM?

  • 3)    Bagaimanakah bentuk pengawasan dari BPOM terkait peredaran produk masker wajah organik non BPOM?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Berbicara mengenai maksud penulisan jurnal ini diantaranya, Pertama yaitu untuk menambah pengetahuan terkait analisis perlindungan konsumen terhadap peredaran masker wajah organik non BPOM yang terjual diberbagai platform ecommerce. Kedua, untuk menambah wawasan terkait sanksi yang diterima pihak penjual yang memasarkan masker wajah organik non BPOM. Ketiga, untuk menambah pengetahuan terkait bentuk pengawasan dari BPOM terkait produk masker wjaah organik non BPOM.

  • II.    Metode Penelitian

Metodologi penelitian hukum normatif diterapkan dalam penelitian ini. Dua pendekatan yang digunakan adalah pendekatan analitis dan pendekatan hukum berupa pendekatan perundang-undangan. Pendekatan undang-undang digunakan untuk menilai seberapa menguntungkan ketentuan hukum Indonesia bagi perusahaan-perusahaan yang dapat dipailitkan. Perusahaan pelarut dapat menghindari penyalahgunaan kebangkrutan dengan menggunakan teknik analitis (analytical approach) untuk menyelidiki dan menemukan solusi. Sumber hukum utama yang dikutip adalah yang menjadi landasan bagi dokumen hukum lainnya, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. sumber daya hukum tambahan serta buku, jurnal, dan makalah terkait penelitian. Dalam penelitian ini, data dikumpulkan melalui kajian literatur. Data yang terkumpul selanjutnya diperiksa, dievaluasi secara kualitatif, dan terakhir ditulis secara deskriptif5.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Masker Wajah Organik Non BPOM yang Terjual Diberbagai Platform e-commerce

Perlindungan konsumen adalah salah satu bidang prioritas utama di antara program kesadaran. Dengan adanya pendidikan, nasabah telah menyadari hak dan kewajibannya sebagai nasabah. Mengetahui produk hak untuk dibeli dan kewajiban untuk memenuhi konsumen tidak bisa diakali sekarang oleh pemilik toko yang kejam. Cara lain untuk mendefinisikan perlindungan konsumen adalah sebagai praktik yang didirikan untuk melindungi masyarakat umum dari praktik bisnis yang tidak adil. Kekuatan hukum biasanya menentukan upaya perlindungan konsumen. Peraturan ini berfungsi sebagai penghalang untuk penipuan atau praktik bisnis tidak adil lainnya oleh korporasi. Bisnis terlibat dalam jenis kegiatan ini untuk mendapatkan keunggulan dalam pasar yang kompetitif dan juga untuk mengarahkan pelanggan secara salah. Pemerintah juga telah menginisiasi produk-produk yang dijual para pengusaha kepada konsumen lokal, aparat pemerintah biasanya melakukan pengawasan dan pengaturan untuk melindungi masyarakat dari pasokan produk berbahaya.

Hukum Konsumen memastikan pasar yang adil dan dengan demikian pada akhirnya melindungi konsumen individu dalam transaksi umum mereka. Seorang mahasiswa perlu memahami hukum perlindungan konsumen, mereka harus lihai dalam penelitian hukum, dan harus tahu bagaimana menginterpretasikan teknik hukum undang-undang. Perlindungan konsumen terkait dengan gagasan tentang hak-hak konsumen dan pembentukan organisasi konsumen, yang membantu pelanggan dalam membuat keputusan pembelian yang lebih bijak dan melaporkan perusahaan yang tidak jujur. Organisasi pemerintah juga merupakan organisasi yang melobi undang-undang perlindungan konsumen dan mendukung penegakan hukum.

Pada dasarnya, masker wajah biasanya berupa gel, pasta dan serbuk yang dibalurkan pada wajah yang dapat terbuat dari bahan-bahan organik.6 Namun, siapa sangka bahwasannya masker wajah organik menjadi viral dan banyak diminati dikarenakan harga nya yang terjangkau dan adanya persepsi masyarakat yang merasa kandungan pada masker wajah organik lebih aman dikarenakan dibuat dengan bahan natural. Namun, dikarenakan banyaknya seller yang tidak bertanggung jawab dengan menjual masker organik non BPOM di platform e-commerce, hal itu jelas sangat berbahaya bagi masyarakat sebagai konsumen. Hal tersebut dikarenakan masker wajah yang seharusnya terbuat dari bahan – bahan natural seperti sebutan nya yaitu organik yang seharusnya aman untuk digunakan, namun dikarenakan belum memiliki izin edar atau dengan kata lain non BPOM, maka menjadikan masker wajah organik tersebut diragukan untuk kandungan yang ada di dalamnya. Adapun beberapa kandungan zat berbahaya yang seharusnya tidak ada pada kandungan skincare diantaranya:

  • 1)    SLS dan ALS

  • 2)    Mercury

  • 3)    Fragrance, dan

  • 4)    Isopropyl Alcohol

Dengan adanya bahan berbahaya tersebut tentu saja membahayakan kesehatan para konsumen nya yang telah menggunakan produk skincare tersebut. Konsumen yang sudah terlanjur menggunakan produk tersebut harus melakukan pengobatan sebagai akibat dari efek samping skincare non BPOM. Pasal 63 ayat (2) Undang – Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur “penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengendalian, pengobatan, dan / atau perawatan.”

Sehingga, dapat diketahui bahwasannya konsumen yang mendapat efek samping dari produk skincare non BPOM tersebut harus melakukan perawatan guna mengembalikan kesehatan kulitnya seperti semula. Berdasarkan viral nya kasus penjualan atau perederan masker wajah organik non BPOM membuat konsumen bertanya – tanya terkait perlindungan mereka sebagai konsumen yang sedikit mereka ketahui 7bahwa masker organik yang mereka gunakan adalah non BPOM. Sehubungan dengan pelanggaran hak-hak konsumen, maka adapun secara umum bentuk atas perlindungan konsumen diantaranya perlindungan terkait peluang atau kemungkinan suatu barang yang dibeli atau diserahkan kepada konsumen bertentangan dengan perjanjian sebelumnya dan perlindungan konsumen terhadap kondisi yang dianggap tidak pantas bagi konsumen. Selain itu, terdapat pula cara lain berkaitan dengan perlindungan konsumen terhadap beredarnya masker wajah organik non BPOM dipasaran diantaranya dengan cara preventif maupun represif. Adapun yang dimaksud dengan perlindungan secara preventif yaitu mengacu pada pencegahan mengenai pokok sengketa dalam sengketa incompleteness (ketidaklengkapan) informasi yang diberikan oleh seller mengenai suatu produk barang/jasa. Dengan demikian, perlindungan diperlukan untuk melindungi secara hukum penggunaan barang atau jasa ini. Sedangkan, perlindungan secara represif akibat karena sanksi akan dikenakan apabila terjadi kekurangan informasi atau produk cacat yang dijual oleh seller kepada customer. Dalam hal ini, penjual akan menderita kerugian karena sanksi yang dikenakan.8 Hal ini dikarenakan perlindungan represif ini bersifat memaksa agar cepatnya proses penyelesaian suatu sengketa. Perlindungan represif biasanya dilakukan melalui jalur peradilan.9

Selain itu, kewajiban pelaku usaha diatur pada Pasal 12 Undang – Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengatur “Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya.” Tidak hanya itu, Pasal 7 UUPK. Sedangkan, pada Pasal 8 ayat (1) huruf e UUPK membahas pada dasarnya seller sebagai penjual dilarang memproduksi dan/atau memasarkan barang dan/atau jasa yang bermutu rendah. Disamping itu, dalam UUPK Pasal 8 ayat (1) huruf i membahas terkait tindakan yang dilarang oleh pelaku usaha yaitu tidak mencatumkan label yang berisikan information seperti nama product, size, net, compositon, cara penggunaan, tanggal pembuatan, peringatan, dan alamat usaha. Hal ini dimaksudnya agar barang yang diperjual belikan dapat diketahui asal usul, kondisi dan kualitasnya sesuai dengan informasi pada pelabelan, etiket, iklan, dan lainnya.10 Sehubungan dengan itu, apabila ditetapkan pelaku usaha memasarkan skincare masker wajah organik non BPOM, berarti pelaku usaha tersebut telah melanggar Pasal 8 ayat (1) huruf e UUPK dan mengacu pada Pasal 8 ayat (4) UUPK, yang menyatakan bahwa pelaku usaha yang melanggar ayat (1) dan ayat (2) dilarang memasarkan

barang/jasa yang melanggar dan wajib menariknya dari peredaran. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), lembaga lain, bertugas melindungi konsumen. Pasal 1 Angka 11 UUPK mengatur hal tersebut. Oleh karena itu, jelas bahwa undang-undang UUPK dan peraturan BPOM menjadi acuan karena fakta bahwa label berfungsi sebagai sarana sosialisasi tentang produk dan merupakan komponen penting dari perlindungan konsumen ketika menggunakan produk perawatan kulit masker wajah organik. 11

  • 3.2    Tanggungjawab Serta Sanksi yang Diterima Bagi Pihak Penjual Masker Wajah Organik Non BPOM

Maraknya peredaran atau penjualan masker wajah organik non BPOM berkaitan pula dengan tanggungjawab dari para pelaku usaha. Adapun tanggungjawab para pelaku usaha dapat dilihat pada UU Perlindungan Konsumen Pasal 19 ayat (1) menjelaskan pada intinya pihak seller bertanggung jawab atas suatu ganti kerugian terhadap kerusakan, kerugian konsumen serta pencemaran yang diakibatkan konsumsi barang dan jasa yang diproduksi atau dijual. Berdasarkan penjelasan pasal tersebut maka dapat kita lihat bahwasannya kasus para oknum – oknum pelaku usaha masker wajah organik non BPOM tersebut telah membahayakan para masyarakat sebagai konsumen dengan menjual atau mengedarkan barang skincare illegal serta berbahaya dikarenakan tergolong non BPOM sehingga tidak diketahui nya kandungan apa yang terkandung di dalam skincare tersebut. Dalam keadaan demikian, penjual wajib menawarkan ganti rugi sesuai dengan UUPK Pasal 19 ayat (2) melalui pengembalian atau penukaran barang atau jasa yang nilainya sama atau sebanding, atau melalui pemberian perawatan kesehatan dan/atau ganti rugi sesuai dengan hukum dan peraturan yang ada. Pelanggaran jaminan konsumen, kelalaian, dan tanggung jawab terhadap konsumen produk kosmetik yang terkontaminasi juga dapat menjadi dasar klaim tanggung jawab produk. Jika unsur pelanggaran terbukti, penjual dapat dikenakan hukuman, dalam hal ini beban pembuktian beralih ke pihak tergugat. 12

Merujuk pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2017 Pengawas Obat dan Makanan, dapat didiskusikan mengenai sanksi yang didapat bagi pelaku usaha yang terlibat dalam penjualan masker wajah organik non BPOM. Menurut Perpres RI No. 80 Tahun 2017 Pasal 4 Huruf A, BPOM berwenang memberikan izin edar dan sertifikasi produk sesuai dengan keamanan, khasiat/manfaat, standar dan persyaratan mutu, serta pengujian obat dan makanan yang diamanatkan undang-undang, dalam menjalankan tugas pengawasannya. Dari uraian artikel ini jelas bahwa untuk dapat dipromosikan atau diperdagangkan, suatu produk skincare perlu mendapatkan izin edar dari BPOM. Dalam hal pelaku usaha terbukti melanggar BPOM dan disebutkan dalam Peraturan Presiden RI No. 80 Tahun 2017 tentang BPOM, pasal 4 huruf c akan dikenakan sanksi administratif terhadap pelaku usaha tersebut. Pemberian surat teguran kepada pelaku usaha pelanggar dapat menjadi sanksi administratif.

Tak hanya itu, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2019 Republik Indonesia tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik mengatur sanksi bagi pelaku usaha yang menjual produk perawatan wajah masker organik non BPOM melalui platform e-commerce. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 dijelaskan bahwa perdagangan melalui sistem elektronik atau disingkat PMSE pada hakekatnya adalah perdagangan yang dilakukan dengan menggunakan berbagai alat dan prosedur elektronik. Menurut Pasal 17 Ayat 1 PP RI No. 80 Tahun 2019, PMSE lokal dan asing tidak diperbolehkan menerima vendor dalam dan luar negeri yang tidak memenuhi kriteria hukum Indonesia. Menurut penjelasan artikel tersebut, pedagang yang menggunakan platform e-commerce untuk menjual item skincare masker wajah organik non BPOM melanggar syarat dan ketentuan. Pasalnya, pedagang tersebut menyediakan produk perawatan kulit untuk dijual tanpa izin edar BPOM, padahal izin edar merupakan prasyarat penting bagi produk perawatan kulit sebelum bisa dijual dan digunakan untuk memastikan keamanan kandungannya. Dengan melanggar PP RI No. 80 Tahun 2019 Pasal 17(1) terkait dengan sanksi yang diterima bagi penjual yaitu sanksi administratif. Sanksi administratif tersebut, yang tercantum dalam Pasal 80 ayat (2) PP RI No. 80 Tahun 2019, antara lain berupa teguran, ditambahkan dalam daftar prioritas pengawasan, dimasukkan dalam daftar hitam, dihentikan sementara pelayanan PMSE oleh lembaga perizinan baik domestik dan internasional, dan kehilangan izin usaha. Pelaku usaha yang berjualan di platform ecommerce tanpa adanya izin usaha juga dikenakan sanksi administrative yang mengacu pada Pasal tersebut. Pelaku usaha yang memasarkan skincare masker wajah organik non BPOM dikenakan sanksi pidana selain sanksi administratif. Mengenai sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 62(1) UUPK bagi pelaku usaha yang memproduksi dan mengedarkan produk skincare non BPOM yang mengandung bahan kimia berbahaya. Seperti disebutkan sebelumnya, pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 8 ayat (1) UUPK dengan menjual skincare masker wajah organik non BPOM diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp2 miliar.

  • 3.3    Bentuk Pengawasan dari BPOM Terkait Peredaran Produk Masker Wajah Organik Non BPOM

BPOM merupakan lembaga pemerintah non kementerian yang mengatur urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pengawasan obat dan makanan, sesuai Pasal 1 Angka 1 Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan. Secara umum, BPOM ini merupakan suatu badan yang berfungsi untuk mengeluarkan izin edar terkait seperti makanan, obat, skincare, dan lainnya. Sehingga, dapat diketahui bahwa suatu produk skincare dalam pemasaran nya perlu mendapatkan izin edar terlebih dahulu dari BPOM sebelum dipasarkan. Hal ini untuk memastikan bahwa kandungan yang terkandung di dalam suatu produk skincare tidak mengandung bahan berbahaya. Walaupun suatu produk skincare dikatakan berasal dari bahan organik seperti masker wajah organik, tetap saja membutuhkan izin edar dari pihak BPOM guna untuk meyakinkan bahwa bahan – bahan yang digunakan memang benar bahan natural dan aman. Sehingga, tentu saja apabila ditemukan nya suatu produk skincare yang belum ber BPOM seperti yang sedang viral saat ini yaitu terkait masker wajah organik non BPOM, maka tidak dapat dipungkiri jika para konsumen bertanya – tanya terkait bagaimana pengawasan dari pihak BPOM. Hal ini dikarenakan, bagaimana suatu produk skincare non BPOM bisa terlewat dari

pengawasan BPOM dan sudah terpasarkan secara luas di e-commerce dengan jumlah peminat atau konsumen yang tinggi. Hal tersebut, menunjukkan hambatan pihak BPOM dalam melakukan pengawasan dimana karena terlalu banyaknya minat konsumen terhadap skincare sehingga mulai munculnya berbagai tipe skincare dipasaran yang berakibat terdapat produk skincare yang non BPOM namun lulus dari pengawasan BPOM.

Sehubungan dengan itu, Keputusan Presiden tentang BPOM Pasal 3 Ayat (1) Huruf D yang menyebutkan bahwa pelaksanaan pengawasan dilakukan sebelum peredaran dan pengawasan selama peredaran, mengatur bentuk pengawasan dari BPOM. Berdasarkan pengaturan pada pasal tersebut, maka dapat kita lihat bahwasannya BPOM dalam melakukan pengawasan dilakukan dengan pertama yaitu memastikan suatu produk itu tidak berbahaya. Tidak hanya itu, BPOM juga memiliki tanggungjawab atas adanya pemberian izin edar, sehingga BPOM tetap melakukan pengawasan walaupun produk tersebut sudah dipasarkan dan memiliki izin edar.13 Selain itu, dalam pengawasannya BPOM memiliki tolak ukur atau acuan sebagai standard tersendiri untuk menentukan suatu produk itu aman, adapun beberapa hal yang menjadi indicator diantaranya terkait standard suatu produk yang didistribusikan di Indonesia, maka harus melaporkan kepada kepala kantor pendaftaran untuk mendapatkan nomor izin edar. Disamping itu, sesuai dengan standard waktu yaitu BPOM harus melakukan pemantauan masyarakat minimal satu tahun sekali.

Selain itu, adapun bentuk pengawasan dari BPOM terkait sedang viralnya masker wajah organik non BPOM yaitu dengan menyebarkan informasi baik melalui media online maupun secara langsung. Hal tersebut bertujuan agar menambah pengetahuan masyarakat bahwasannya dalam menggunakan suatu produk skincare harus yang sudah ada nomor BPOM nya. Tidak hanya itu, pihak BPOM juga melakukan pengawasan pada e-commerce dengan melakukan patroli cyber. Sehingga, ketika adanya suatu pihak penjual yang menjual produk skincare masker wajah organik non BPOM di e-commerce, maka dapat dilakukan pelacakan terhadap penjual tersebut. Selain itu, ada kebutuhan akan keterlibatan masyarakat dengan melaporkan atau memberikan informasi indikasi penjualan masker wajah organik non BPOM. Razia BPOM dimaksudkan untuk menertibkan seller dan juga dimaksudkan sebagai pengenalan singkat apa yang perlu disiapkan pemilik usaha saat menjual produknya agar laku dan aman digunakan konsumen. Selain itu, BPOM concern terhadap pembelian produk palsu bermerek BPOM dengan cara mengedukasi para konsumen melalui generasi peduli obat dan makanan (GENPOPA).14

  • IV.    Kesimpulan sebagai Penutup

    4. Kesimpulan

Viral nya kasus penjualan masker wajah organik non BPOM mendapat perhatian serius terutama terkait perlindungan konsumen. Berdasarkan hal tersebut, ada beberapa cara untuk menjaga pelanggan. Contohnya antara lain perlindungan

terhadap syarat-syarat yang dianggap tidak adil bagi konsumen dan perlindungan terhadap peluang atau kemungkinan suatu barang yang dibeli atau diserahkan kepada konsumen tidak sesuai dengan yang telah diperjanjikan sebelumnya. Selain itu, terdapat berbagai pendekatan untuk melindungi konsumen dari ketersediaan masker organik yang tidak sesuai dengan BPOM, seperti tindakan preventif dan represif. Kemudian, ketika membahas pertanggungjawaban pengecer yang merugikan konsumen dengan menjual masker organik non BPOM, perlu diperhatikan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berdasarkan ketentuan ini, mengamanatkan pelaku usaha untuk bertanggung jawab dengan memberikan ganti rugi apabila terjadi kerugian. Tidak hanya itu, adapun sanksi yang diterima oleh para pelaku usaha sebagai penjual yaitu mengacu pada Pasal 4 huruf a Perpres RI No 80 Tahun 2017 tentang BPOM, Pasal 17 ayat (1) Peraturan Pemerintah RI No 80 Tahun 2019 tentang PMSE dan Pasal 62 ayat (1) Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan peraturan tersebut maka adapun 2 (dua) jenis sanksi yang diterima para pelaku usaha yaitu sanksi administrative dan sanksi pidana. Kemudian, terkait bentuk pengawasan BPOM dalam peredaran produk masker wajah organik non BPOM dapat dilihat dari Pasal 3 ayat (1) huruf d Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang BPOM yang mengatur bahwasannya pelaksanaan pengawasan sebelum dan selama beredar. Tidak hanya itu, adapun bentuk pengawasan lainnya yang dilakukan pihak BPOM yaitu dengan adanya patroli cyber, adanya keikutsertaan masyarakat dalam pemberian informasi terkait penjual yang memasarkan produk masker wajah organik non BPOM, melakukan Razia terhadap para penjual masker wajah non BPOM, dan adanya GENPOPA.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Soerjono Soekanto. “Pengantar Penelitian Hukum.” cet.3 (Jakarta: UI Press, 2007).

Hadjon, Philipus M. “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia”. Surabaya: Bina Ilmu. (1987).

Zulham. “Hukum Perlindungan Konsumen”. Edisi Revisi. Jakarta: Prenadamedia Group. (2016).

Retno Iswari Trianggono dan Fatma Latifah. “Ilmu Pengetahuan Kosmetik”. Jakarta: Gramedia Pustaka. (2007).

JURNAL

Sri, arlina. “Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Online Produk Kosmetik (Pemutih Wajah) Yang Mengandung Zat Berbahaya Berdasarkan Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1999.” Universitas Islam Riau. Vol 02. No 1.

Syahruddin Nawi, “Hak Dan Kewajiban Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,” Pleno Jure 7, no. 1, 2018.

Luh Putu Dianata Putri & A.A Ketut Sukranatha. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Terkait Produk Kosmetik Tanpa Komposisi Bahan”. Jurnal Hukum. Vol.6, No.10. 2018.

Aini, Miftakhul, I Nyoman Putu Budiartha dan Ni Gusti Ketut Sri Astiti. “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen yang Dirugikan Akibat Pemakaian Masker Wajah Organik Ilegal yang Dibeli Melalui Media Online”. Jurnal Analogi Hukum. Vol 4, No 1. (2022).

Humaira, Ayu, Yulia dan Fatahillah. “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Pengguna Kosmetik yang Tidak Terdaftar Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) (Studi Penelitian di Kota Idi Kabupaten Aceh Timu).” Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Hukum (JIM FH). Vol. IV, No. 2. (2021).

Ningrum, Ayu Mustika dan Puti Priyana. “Pengawasan BPOM Terhadap Masker Organik Ilegal yang Beredar dan Bentuk Perlindungan Konsumennya”. Justitia: Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora. Vol.8, No. 6. (2021).

Dyla Junita Sari, Biyan Yesi Wilujeng, Dewi Lutfiati, Sri Dwiyanti. “Masker Perawatan Kulit Wajah Berbahan Wortel (Daucus carota)”. e-Jurnal Edisi Yudisium 3. Vol.9, No.4. (2020).

Yulia Susantri, Sri Walny Rahayu, dan Sanusi. “Pencantuman Informasi Pada Label Produk Kosmetik Oleh Pelaku Usaha Dikaitkan Dengan Hak Konsumen”. Jurnal Hukum. Vol. 2, No.1. (2018).

Palguna, Dewa Gede Agung Oka Dharma, Desak Putu Dewi Kasih, and Suatra Putrawan. "Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Yang Cacat Akibat Pemakaian Cream Pelembab Wajah Ilegal Di Kota Denpasar." Journal Ilmu Hukum. Vol. 4, No. 1

WEBSITE

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210129144331-12-599987/pabrik-4-merek-masker-wajah-digerebek-beredar-di-online-shop diakses pada tanggal 6 Maret 2023

PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN

Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 07 Tahun 2023, hlm. 363-373