URGENSI PENTINGNYA SURAT WASIAT DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN OLEH PEWARIS KEPADA AHLI WARIS

Made Raysally Augustine Pradwi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Ayu Putu Laksmi Danyathi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI: KW.2023.v12.i08.p5

ABSTRAK

Tujuan dari adanya penulisan ini, yaitu agar dapat menyadari pentingnya surat wasiat terhadap suatu harta warisan yang belum dibagikan kepada ahli waris dan pentingnya pembagian suatu harta warisan bersama adanya tujuan agar mengetahui pemerincian suatu harta warisan jika ditinjau menurut hukum perdata serta hukum Islam. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, dalam melakukan penelusuran hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan kepustakaan. Bahan Pustaka yang dimaksud adalah produk hukum perundang- undangan yang digunakan sebagai ajang utama dalam mengidentifikasi suatu permasalahan. Hasil penelitian menemukan bahwa seorang pewaris harus membuat suatu surat wasiat yang perlu berisi tentang seluruh harta peninggalannya karena surat wasiat tersebut sangat penting diberitahukan kepada ahli waris agar ahli waris tahu tentang harta apa saja yang telah ditinggalkan oleh pewaris. Pembagian harta warisan dilihat menurut hukum perdata bahwa 1:1 untuk laki-laki serta perempuan seperti yang sudah dinyatakan dalam Pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sedangkan pembagian suatu harta warisan dilihat menurut hukum Islam bahwa laki-laki serta perempuan telah berbeda bagiannya dijelaskan bahwa laki-laki mendapat dua bagian serta perempuan mendapat satu bagian.

Kata Kunci: Wasiat, Warisan, Harta, Pewaris, Ahli Waris

ABSTRACT

The purpose of this writing, which is to realize the importance of a will on an inheritance that has not been distributed to heirs and the importance of the division of an inheritance along with the purpose of knowing the details of an inheritance when reviewed according to civil law and Islamic law. This research method uses normative research methods. The approach in this study uses a statutory approach, in conducting legal searches carried out by examining literature materials. The Library Material in question is a product of laws and regulations that is used as the main event in identifying a problem. The results of the study found that an heir must make a will that needs to contain all his inheritance because the will is very important to be notified to the heirs so that the heirs know about what assets have been left by the heir. The division of inheritance is seen according to civil law that 1: 1 for men and women as stated in Article 852 of the Civil Code. While the division of an inheritance is seen according to Islamic law that men and women have different shares, it is explained that men get two shares and women get one share.

Keywords: Will, Inheritance, Estate, Heir, Beneficiary

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang sebagai pedoman dari segala hal yang menyangkut dengan masalah keperdataan yang dimana dalam kitab tersebut bahwa tidak ada pasal ataupun klausa yang memberikan pengertian hukum waris. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya menetapkan bahwa suatu pewarisan dapat terjadi setelah kematian seperti yang telah diaturkan pada Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.1 Penyelesaian hak dan kewajiban yang timbul karena kematian seseorang dijelaskan dengan Hukum Waris. Hukum waris dalam hukum perdata memiliki tiga unsur suatu pewarisan, yakni sebagai berikut:

  • 1.    Pewaris

Pewaris adalah seseorang yang sudah meninggal dengan memiliki harta kekayaan yang ditinggalkannya.

  • 2.    Ahli waris

Ahli waris adalah seseorang yang mengganti kedudukan si pewaris dan menerima harta kekayaan si pewaris karena meninggalnya sang pewaris menurut bidang hukum harta

  • 3.    Warisan

Warisan merupakan adanya harta kekayaan yang ditinggalkan.2 Pembagian suatu warisan kepada ahli waris jika pewaris sudah meninggal dapat dilihat dalam surat wasiat yang telah dibuat oleh pewaris.

Pengertian surat wasiat merupakan hal yang perlu dilakukan saat sebelum seseorang (pewaris) tersebut meninggal yang merupakan perbuatan hukum. Wasiat biasanya dimaksudkan dengan keinginan seseorang yang terakhir yang dimana keinginan itu akan dilaksanakan apabila seseorang tersebut sudah meninggal. Surat yang didalamnya memuat ketetapan yang berisi keinginan-keinginan terakhir seseorang yang sudah meninggal dapat dikatakan dengan wasiat.3 Surat wasiat terdapat dua macam, yakni erfsterlling atau wasiat bernama pengangkatan suatu wasiat yang dimana berisi tentang ditunjuknya seseorang atau mungkin beberapa orang yang akan ditunjuk sebagai ahli waris, dan hibah suatu wasiat atau legaat.4 Surat wasiat yang telah dibuat oleh seseorang yang telah meninggal mesti dapat dipertanggungjawabkan bersama adanya suatu bukti akta. Maka dari itu, pembuatan suatu wasiat sudah seharusnya dapat dibuktikan jika bersama adanya suatu bukti tertulis. Meskipun pada Kompilasi Hukum Islam suatu wasiat mampu dijalankan baik dengan cara lisan ataupun tulisan.5

Merujuk pada ketentuan yang tertulis pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 921 bahwa “surat wasiat harus dibuat dalam wujud akta wasiat yang menyatakan dalam menentukan besarnya bagian dalam suatu warisan, baiknya dilakukan terlebih dahulu penjumlahan atas semua harta peninggalan yang ada pada saat yang mewariskan meninggal. Setelah itu ditambah pada jumlah dari barang-barang yang diwariskan pada saat pewaris masih hidup, barang-barang mana masih harus ditinjau, tapi mengenai harganya, sesuai harga pada waktu yang mewariskan meninggal, kemudian dihitung dari jumlah satu sama lain, berapakah setelah ini dikurangi dengan semua hutang yang mewariskan, dalam keseimbangan dengan kesetaraaan ahli waris mutlak, besarnya bagian mutlak mereka, setelah mana bagian-bagian ini harus dikurangi dengan semua yang telah mereka terima dari pewaris.”

Penjelasan tentang wasiat tidak diatur hanya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata nyatanya di dalam masyarakat hal tersebut sudah sering dilakukan. Yang berarti bahwa pelasaksanaan wasiat sudah menjadi hal yang umum dalam kebiasaan dimasyarakat, yang disebut dengan amanat dari sesorang yang telah tiada. Harta peninggalan yang akan ditinggalkan saat seseorang yang memiliki harta tersebut telah meninggal atau bisa dikatakan pewaris kepada ahli waris dikatakan sebagai suatu bentuk penetapan terhadap suatu harta peninggalan yang akan ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal atau pewaris untuk ahli waris. Suatu pernyataan ini dapat dijalankan dengan adanya persetujuan dari seorang ahli waris.6 Menurut ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 876 telah dikatakan bahwa “suatu pengangkatan waris merupakan sebuah wasiat, yang mewasiatkan apabila ia meninggal, memberikan harta yang akan ditinggalkannya baik seluruhnya maupun sebagian kepada seorang atau lebih.”

Maka dapat dikatakan wasiat adalah suatu Tindakan hukum dimana suatu penerapannya ditampung berdasarkan suatu aturan hukum dimana dapat berasal menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kompilasi Hukum Islam, bahkan sudah menjadi suatu kerutinan pada masyarakat disebut sebagai suatu perilaku hukum adat.7 Tetapi, perlu dimengerti jika suatu wasiat yang telah diciptakan oleh masyarakat dapat memiliki suatu kekuatan hukum apabila itu diciptakan dihadapan notaris baik dengan cara lisan ataupun tertulis.8 Maka dari itu sangat disarankan untuk membuat suatu surat wasiat yang dapat memiliki kekuatan hukum agar dapat dipertanggungjawabkan nantinya.

Meskipun surat wasiat merupakan hal yang penting untuk dibuat oleh seseorang sebelum ia meninggal, tetapi dalam masyarakat umum masih banyak yang belum dan tidak memiliki surat wasiat untuk pembagian harta peninggalannya kepada ahli waris. Terutama masyarakat yang berada di desa sebagian besar tidak memiliki surat wasiat. Dari hal itulah sering terjadinya permasalahan dalam suatu keluarga yang ditinggalkan oleh seseorang yang memiliki harta. Seperti contoh jika orang tua telah meninggal dan memiliki beberapa anak maka ia harus membuat surat wasiat yang menjelaskan tentang pembagian harta peninggalannya kepada anak-

anaknya tersebut. Jika orang tua tersebut tidak memiliki surat wasiat ketika ia meninggal maka anak-anak yang ditinggalkannya akan bingung bahkan dapat terjadi masalah diantara mereka. Seperti tidak sama ratanya pembagian harta peninggalan tersebut terhadap anak-anaknya, tidak adanya informasi apa saja harta yang ditinggalakn oleh orang tua tersebut.

Dari adanya gambaran yang sudah dijelaskan, maka penulis berkeinginan untuk meneliti secara lebih dalam mengenai suatu kedudukan surat wasiat terhadap suatu harta warisan yang belum dibagikan kepada ahli waris dan pentingnya pembagian suatu harta warisan bersama adanya tujuan agar mengetahui pemaparan suatu harta warisan jika dilihat menurut hukum perdata serta hukum Islam.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan dengan latar belakang yang sudah dijelaskan tersebut, maka terdapat pesoalan yang ingin diteliti oleh penulis di dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimana pentingnya surat wasiat terhadap suatu harta warisan yang belum dibagikan kepada ahli waris?

  • 2.    Bagaimana pentingnya pembagian suatu harta warisan bersama adanya tujuan agar mengetahui pemerincian suatu harta warisan jika ditinjau menurut hukum perdata serta hukum Islam?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan dari adanya penulisan ini, yaitu agar dapat menyadari pentingnya surat wasiat terhadap suatu harta warisan yang belum dibagikan kepada ahli waris dan pentingnya pembagian suatu harta warisan bersama adanya tujuan agar mengetahui pemerincian suatu harta warisan jika ditinjau menurut hukum perdata serta hukum Islam.

  • II.    Metode Penelitian

Metode yang sudah digunakan di dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif. Penelitian normatif adalah penelitian yang telah membahas mengenai suatu asas-asas hukum, suatu sistematika hukum, suatu sejarah hukum serta suatu perbandingan hukum. Bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata serta Kompilasi Hukum Islam. Bahan hukum sekunder yang digunakan terdiri dari suatu hasil-hasil penelitian dan suatu hasil karya ilmiah dari kalangan hukum. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, dalam melakukan penelusuran hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan kepustakaan. Bahan Pustaka yang dimaksud adalah produk hukum perundang-undangan yang digunakan sebagai ajang utama dalam mengidentifikasi suatu permasalahan.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1.    Pentingnya Surat Wasiat Terhadap Suatu Harta Warisan yang Belum Dibagikan Kepada Ahli Waris

Wasiat dapat diterangkan bersama adanya suatu pernyataan dari seseorang yang telah meninggal tentang sesuatu yang akan dia inginkan. Kata dari pernyataan ini yang memberi arti hukum jika dalam wasiat tersebut dapat dijadikan oleh satu individu. Jika pernyataan tersebut merupakan pernyataan dari suatu pihak, maka pernyataan itu kapan saja dapat dicabut oleh seseorang yang membuat suatu

pernyataan tersebut.9 Pernyataan ini dapat diciptakan bersama adanya ketentuan yang berbentuk suatu akta yang berisi tentang keinginan dari seseorang yang sudah menciptakannya.

Kadang pembuatan suatu wasiat dapat tidak terjalani karena pewaris telah meninggal duluan sebelum dapat dibuatnya surat wasiat tersebut. Hal ini menyebabkan harta yang ditinggalkan mungkin saja dihentikan, dihilangkan, atau diperkecil dari beberapa banyak wasiat yang telah dinyatakan oleh seorang ahli waris dari si pewaris. Melalui ketentuan hukum yang berlaku hal ini dapat dilaksanakan. Dapat diketahui bahwa sebenarnya wasiat perlu adanya suatu perlindungan hukum terhadap para si penerima suatu wasiat.10 Hal ini tentu harus dengan sama pada pemahaman suatu hukum kepada suatu wasiat.

Pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 875 menjelaskan bahwa “yang dinamakan dengan surat wasiat yaitu, suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang diinginkannya akan terjadi setelah ia meninggal, serta yang dapat dicabut kembali lagi oleh yang membuat.” Maka dari penjelasan tersebut, sebab suatu wasiat tersebut mungkin saja terjadi apabila mempunyai suatu unsur, sebagai berikut:11

  • 1.    Berupa akta

Berupa akta yaitu wasiat tersebut dibuat bersama adanya suatu akta otentik atau akta dibawah tangan yang berupa tulisan.

  • 2.    Pernyataan kehendak yang sepihak

Ada pernyataan keinginan yang sepihak. Keinginan tersebut bisa saja memicu suatu akibat hukum yang sepihak.

  • 3.    Meninggal

Meninggal yaitu wasiat tersebut baru dapat diterima jika seseorang yang telah menciptakan wasiat tersebut sudah meninggal.

  • 4.    Dapat dicabut Kembali

Dapat dicabut kembali oleh yang berwasiat yang dimana perilaku hukum dari wasiat tersebut dapat saja tidak dilakukan apabila yang tertulis di dalam wasiat tersebut telah dicabut oleh yang membuatnya tersebut.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa sudah dijelaskan “wasiat terjadi dalam 4 tahapan pembahasan. Keempat tahapan pembahasan tersebut, sebagai berikut:12

  • 1.    Ketentuan umum wasiat. Ketentuan umum tersebut mengenai pengaturan secara umum terhadap surat wasiat. Pada Pasal 874 hingga Pasal 894 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hal tersebut dapat dilihat. Inti pembahasannya berisi tentang penjelasan umum surat wasiat, isi pernyataan wasiat, keinginan dari pewasiat, wasiat dibuat secara khusu ataupun secara umum, hubungan keluarga dari pewasiat dengan wasiat, wasiat sebagai

kepentingan orang miskin, wasiat dilakukan dengan tidak membeda-bedakan agama.

  • 2.    Kecakapan dalam wasiat. Kecapakan yang dimaksud yaitu kemampuan bernalar dalam membedakan suatu keuntungan atau rugi pada saat seseorang itu ingin membuat wasiat. Seseorang tersebut tidak dapat membuat wasiat jika belum berusia 21 tahun.

  • 3.    Batasan dalam wasiat atau legitieme portie. Pembatasan itu disebabkan oleh adanya bagian ahli waris yang menurut undang-undang harus dialihkan langsung kepada ahli waris yang tidak dapat dicegah dengan suatu keputusan. Bahkan terhadap suatu ketetapan yang sengaja dibuat supaya menguntungkan salah satu keluarga baik keluarga sedarah dekat maupun tidak tanpa ada suatu penjelasan maka dapat dianggap sebagai batasan dalam wasiat. Batasan dalam wasiat tersebut perlunya melihat ahli waris, jika ahli waris tidak ada baik ahli waris garis keatas, kebawah, atau anak luar kawin yang diakui menurut undang-undang maka harta waris dihibahkan.

  • 4.    Bentuk wasiat. Bentuk pembuatan surat wasiat tersebut pada pelaksanaannya dibuat dengan cara akta tulisan tangan sendiri. Hal tersebut dilakukan baik dengan akta umum/terbuka, akta rahasia, atau akta tertutup.”

Bentuk wasiat menurut Kompilasi Hukum Islam yakni dapat dengan cara lisan bersama adanya dua orang saksi, tulisan bersama adanya dua orang saksi, maupun dengan notaris. Wasiat yang diciptakan secara lisan cenderung tidak digunakan lagi apabila dicermati menurut perwujudan hukum Islam yang fleksibel. Beberapa masyarakat yang sekarang sudah membuat suatu wasiat dalam wujud akta untuk ketentuan hukum.13 Menurut hal yang dijelaskan diatas beberapa seorang sarjana muslim yang mengatakan bahwa “sebenarnya akta otentik akan dapat lebih dipercaya pembuktiannya pada masa sekarang dan pada masa yang akan datang. Oleh sebab itu, masyarakat cenderung membuat wasiat dalam bentuk tulisan atau yang disebut dengan akta.”

Maka jika dilihat dari penjelasan yang sudah dipaparkan tersebut maka bisa dimengerti bahwa pewaris harus membuat suatu surat wasiat yang perlu berisi tentang seluruh harta peninggalannya karena surat wasiat tersebut sangat penting diberitahukan kepada ahli waris supaya ahli waris dapat menyadari harta kekayaan apa saja yang sudah ditinggalkan oleh pewaris. Dan pembuatan surat wasiat juga sangat penting dibuat dalam bentuk tulisan atau yang disebut akta agar memiliki kepastian hukum yang kemudian dapat digunakan sebagai pembuktian disaat masa sekarang atau disaat masa nanti yang akan mendatang.

  • 3.2.    Pentingnya Pembagian Suatu Harta Warisan Bersama Adanya Tujuan Agar Mengetahui Pemerincian Suatu Harta Warisan Jika Ditinjau Menurut Hukum Perdata Serta Hukum Islam

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 832 dinyatakan bahwa “ahli waris merupakan para anggota keluarga sedarah yang sah ataupun diluar perkawinan serta suami istri yang hidup diluar perkawinan serta suami istri yang hidup terlama.” Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 833 juga menjelaskan bahwa “ahli waris karena adanya hukum memperoleh hak milik atas semua barang,

semua hak dan semua piutang yang dimiliki oleh seseorang yang telah meninggal.” Dilihat dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada dua cara agar seseorang mendapatkan warisan, yakni:14 “ahli waris yang telah ditentukan oleh undang-undang serta ahli waris yang telah ditentukan oleh surat wasiat.”

Besarnya batasan atau bagian yang diterima oleh anak yang ditinggal oleh seseorang yang telah meninggal atau ahli waris dalam wasiat menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 914 dijelaskan sebagai berikut: “Bila hanya seorang anak maka bagian mutlaknya adalah sebesar setengah dari bagian yang dapat diterimanya. Bila dua orang anak maka bagian mutlaknya adalah sebesar dua pertiga dari bagian yang dapat diterima oleh masing-masing anak yang ditinggalkannya. Bila tiga orang anak atau lebih maka bagian mutlak dari masing-masing anak yang ditinggalkannya adalah sebesar tiga perempat dari bagian yang dapat diterima masing-masing anak tersebut terima menurut undang-undang.”

Menurut Hukum Waris dalam Islam dijelaskan bahwa seorang ahli waris dipecah menjadi dua jenis, yang pertama adalah ahli waris Nasabiyah yang merupakan ahli waris yang memiliki ikatan kekeluargaan yang terjadi sebab adanya suatu hubungan darah dan yang kedua ahli waris Sababiyah yang merupakan hubungan suatu kewarisan yang terjadi karena adanya perkawinan yang sah atau terjadi karena adanya perjanjian tolong menolong.

Besarnya batasan atau bagian yang diterima oleh anak yang ditinggal oleh seseorang yang telah meninggal atau ahli waris menurut Hukum Islam dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ dijelaskan bahwa ada enam tipe dalam pembagian harta waris, yaitu sebagai berikut:15

  • 1.    Ada pihak yang mendapatkan setengah

  • 2.    Ada pihak yang mendapatkan seperempat

  • 3.    Ada pihak yang mendapatkan seperdelapan

  • 4.    Ada pihak yang mendapatkan dua pertiga

  • 5.    Ada pihak yang mendapatkan sepertiga

  • 6.    Ada pihak yang mendapatkan seperenam

Menurut surat al-Nisa’ ayat 11, Sayyid Qub menjelaskan bahwa “ketika seseorang meninggal jika tidak memiliki ahli waris kecuali anak-anaknya saja, laki-laki serta perempuan, maka ahli waris mengambil seluruh harta yang telah ditinggalkannya. Dengan menggunakan prinsip 2:1 yaitu bahwa seorang anak laki-laki mendapatkan dua bagian dari harta yang ditinggalkan serta anak perempuan mendapatkan satu bagian dari harta yang ditinggalkan.”16

Dengan adanya ayat ini terjadinya banyak persoalan yang terjadi diantara laki-laki serta perempuan karena pihak perempuan merasa tidak adanya keadilan bagi pihak perempuan dalam pembagian harta yang ditinggalkan. Tetapi Sayyid Qub

mengatakan bahwa “ayat itu tidak berarti merendahkan pihak perempuan, tetapi terkait dengan adanya keseimbangan serta keadilan antara suatu beban yang akan diterima oleh anak laki-laki serta anak perempuan baik dalam urusan rumah tangga ataupun kemasyarakatan. Seorang anak laki-laki setelah ia menikah akan menanggung seluruh nafkah anak serta istrinya. Sedangkan seorang anak perempuan sebelum dan sesudah ia menikah hanya akan mengurusi dirinya sendiri, bahkan telah menjadi tanggungan orang lain atau suaminya nanti.”17

Jika dihubungkan persamaan antara sistem hukum waris dilihat bersama dalam Islam dan menurut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu samasama meyakini suatu sistem kewarisan yang individual, yang memiliki arti bahwa sejak terciptanya suatu waris atau meninggalnya seorang pewaris maka harta kekayaan atau warisan dapat dibagi kepemilikannya kepada ahli waris dan ahli waris dapat berhak menginginkan suatu bagian dari warisan yang sudah menajadi haknya.

  • IV. Kesimpulan sebagai Penutup

4 Kesimpulan

Surat wasiat merupakan hal yang diciptakan saat sebelum seseorang itu akan meninggal yang merupakan perbuatan hukum. Wasiat biasanya dikatakan dengan keinginan terakhir seseorang yang mana keinginan itu akan dilaksanakan jika seseorang tersebut sudah meninggal. Surat yang didalamnya memuat ketetapan yang berisi keinginan-keinginan terakhir seseorang yang sudah meninggal dapat dikatakan dengan wasiat. Surat wasiat yang telah diciptakan seseorang yang telah meninggal wajib dapat dipertanggungjawabkan dengan adanya suatu bukti akta. Oleh sebab itu, pembuatan suatu wasiat sudah seharusnya dapat dibuktikan dengan adanya suatu bukti tertulis. Meskipun pada Kompilasi Hukum Islam suatu wasiat perlu diciptakan dengan cara lisan ataupun tulisan. Terkadang terciptanya wasiat mungkin saja tidak tercipta karena pewaris telah meninggal duluan sebelum dapat dibuatnya surat wasiat tersebut. Hal ini menyebabkan harta yang ditinggalkan mungkin saja dihentikan, dihilangkan, atau diperkecil dari beberapa banyak wasiat yang telah ditentukan oleh seorang ahli waris dari si pewaris. Berdasarkan dengan permasalahan serta hasil pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa seorang pewaris harus membuat suatu surat wasiat yang perlu berisi tentang seluruh harta peninggalannya karena surat wasiat tersebut sangat penting diberitahukan kepada ahli waris agar ahli waris menyadari tentang harta mana saja yang telah ditinggalkan oleh pewaris. Dan pembuatan surat wasiat juga sangat penting dibuat dalam bentuk tulisan atau yang disebut akta agar memiliki kepastian hukum yang kemudian dapat digunakan sebagai pembuktian disaat masa sekarang atau disaat masa nanti yang akan mendatang. Pembagian suatu harta warisan dilihat menurut hukum perdata bahwa 1:1 untuk laki-laki serta perempuan seperti yang telah dijelaskan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa Pasal 852 “anak-anak serta keturunannya memiliki kedudukan yang sama dalam mewarisi harta yang ditinggalkan oleh pewaris sehingga tidak dipermasalahkan tentang mereka laki-laki atau perempuan, tertua atau termuda.” Pembagian suatu harta warisan dilihat menurut hukum Islam bahwa “laki-laki serta perempuan telah berbeda bagiannya dijelaskan bahwa pihak laki-laki mendapat bagian dua serta pihak perempuan mendapat bagian satu. Karena pihak laki-laki jika

ia menikah, maka harta warisan yang akan ia dapat dari orang tuanya akan ia gunakan untuk membayar mahar serta menafkahi istri serta anaknya, sedangkan anak perempuan jika ia menikah, maka harta warisan yang akan ia dapat dari orang tuanya akan tidak terpakai karena ia akan mendapat nafkah serta mahar dari suaminya nanti.” Jika dihubungkan persamaan antara sistem hukum waris dilihat bersama dalam Islam dan menurut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu samasama meyakini suatu sistem kewarisan yang individual, yang memiliki arti bahwa sejak terciptanya suatu waris atau meninggalnya seorang pewaris maka harta kekayaan atau warisan dapat dibagi kepemilikannya kepada ahli waris dan ahli waris dapat berhak menginginkan suatu bagian dari warisan yang sudah menajadi haknya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Haris Sanjaya, Umar dan Aunur Rahim Faqih. Tahun 2017. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media

Setiady, Tolib. Tahun 2013. Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Cetakan 3 Bandung: Alfabeta.

Wati Rahmi, Muhamad Zulfikar, Hukum Waris Berdasarkan Sistem Perdata Barat dan Kompilasi Hukum Islam.

Jurnal

Anang Hadi, Ade Darmawan, “Analisis Terhadap Pembagian Harta Warisan Ditinjau dari Hukum Perdata Dan Hukum Islam,” Alauddin Law Development Journal (ALDEV), Volume 2 Nomor 2 Agustus 2020.

Assyafira, Gisca Nur, “Waris Berdasarkan Hukum Islam di Indonesia”, Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam, Volume 08, Nomor 1, Mei 2020

Fauzi, Mohammad Yasir, “Legislasi Hukum Kewarisan Di Indonesia”, Volume 9 Nomor 2 Agustus 2016

Haniru, Rahmat, “Hukum Waris Di Indonesia Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Adat”, Volume 4 Nomor 2 Tahun 2014, Desember 2014

Haris Sanjaya, Umar, “Kedudukan Surat Wasiat Terhadap Harta Warisan yang belum Dibagikan Kepada Ahli Waris,” Jurnal Yuridis Volume 5 Nomor 1, Juni 2018, Hal 67-97.

Lawendatu, Yovanca Azer, “Hak Ahli Waris Atas Harta Warisan Berdasarkan Testamen (Surat Wasiat) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, Volume 9 Nomor 1 Tahun 2021, Lex Privatum

Medellu, Karini Ravayanti, “Pelaksanaan Surat Wasiat Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dalam Praktek Kenotariatan”, Volume 6 Nomor 1 Tahun 2018, Lex Privatum

Munarif, Asbar Tantu, “Hukum Waris Islam Dan Hukum Waris Perdata di Indonesia (Studi Perbandingan)”, Jurnal Ilmu Hukum dan Ekonomi Islam, Volume 4 Nomor 2 Hal 138-156, Juli 2022

Sarman, Sri Novita, “Keabsahan Surat Hibah Wasiat Yang Dibuat Dihadapan Kepala Desa Dalam Penyelesaian Sengketa Warisan”, Volume 10 Nomor 5 Tahun 2022, Lex Administratum

Triwahyuni, Putih Nurfitriani, “Dampak Hukum Terhadap Wasiat Tanpa Akta Notaris”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Volume 2 Nomor 3 Maret 2022, hal 1-13

Wijaya M, “Tinjauan Hukum Surat Wasiat Menurut Hukum Perdata,” Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Edisi 5 Volume 2, Tahun 2014.

Yusrolana, “Konsep Dasar Hukum Waris di Indonesia Dalam Perspektif Sejarah”, Asy-

Syari’ah, Volume 1 Nomor 1, Juni 2015

Peraturan Perundang-Undangan

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 08 Tahun 2023, hlm. 430-439