Vol. 45 No. 3, Desember 2023

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthapatrika

E ISSN 2579 94S7

P ISSN 0215 899X


Artificial Intelligence dan Kreatifitas Digital: Subyek Hukum dan Sarananya Dalam Perspektif Kekayaan Intelektual

Putu Aras Samsithawrati1

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk : 16 Oktober 2023 Diterima : 19 Desember 2023

Terbit : 30 Desember 2023

Keywords :

Artificial Intelligence; Creative Work, Intellectual Property;

Legal Subject


Kata kunci:

Kecerdasan Buatan; Karya Kreatif; Kekayaan Intelektual;

Subjek Hukum

Corresponding Author:

Putu Aras Samsithawrati,

E-mail:

[email protected]

DOI :

10.24843/KP.2023.v45.i03.p03


Abstract

This article aims to analyze legal protection of creative works created by Artificial Intelligence (AI) from the perspective of Intellectual Property (IP) Law and future construction of IP law regarding works produced by AI. This article uses normative legal research methods with statutory, conceptual and analytical approaches. The results show that in the first pattern, creative work involves AI only as a supporting tool and humans take a full share in the production process of the work, then the work can be protected by IP law as long as it meets the legal object and subject checks based on statutory IP regulations. In the second pattern, if the creative work in the IP field is created entirely by AI then the work cannot be given legal protection in the IP realm because it can be interpreted that AI is the creator/inventor/designer and not humans. In this second pattern, although the object check is fulfilled, the legal subject check is not fulfilled because in general the IP laws and regulations in Indonesia stipulate that the legal subject must be a human and not AI. In the future, existing legislation in the field of IP needs to include several basic provisions such as (1) works that receive protection in the realm of IP are works produced by humans where the legal subject is humans and not AI; and (2) the use of AI as technology is to bring maximum benefits to human life and not actually harm or even shift human existence.

Abstrak

Artikel ini bertujuan menganalisis perlindungan hukum terhadap karya kreatif yang dihasilkan oleh Kecerdasan Buatan (AI) dalam perspektif Kekayaan Intelektual (KI) dan menemukan konstruksi hukum KI di masa depan terkait karya yang dihasilkan oleh AI. Artikel ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan analisis. Hasil penelitian menunjukkan dalam pola pertama dimana karya kreatif yang melibatkan AI hanya sebagai alat pendukung dan manusialah yang mengambil andil penuh dalam proses penghasilan karyanya, maka bisa ditafsirkan karya tersebut dapat dilindungi oleh KI asalkan memenuhi pengecekan objek dan subjek hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang KI yang dimaksud. Namun demikian, pada pola berikutnya, jika karya kreatif dalam bidang KI tersebut dihasilkan sepenuhnya oleh AI

(AI bukan lagi sekedar alat pendukung manusia namun menjadi otak dan penghasilnya sedangkan manusia hanya sekedar memberi perintah) maka karya tersebut tidak dapat diberikan perlindungan hukum dalam ranah KI karena dapat ditafsirkan AI adalah pencipta/penemu/pendesainnya dan bukan manusianya. Pada pola kedua ini walaupun secara pengecekan objeknya terpenuhi, tetapi pengecekan subjek hukumnya tidak dipenuhi sebab secara garis besar peraturan perundang-udangan KI di Indonesia mengatur bahwa subjek hukum tersebut haruslah manusia dan bukanlah AI. Terhadap berbagai perundang-undangan di bidang KI yang sudah ada saat ini penting ke depannya untuk memuat beberapa ketentuan pokok seperti (1) karya yang mendapat perlindungan dalam ranah KI adalah karya yang dihasilkan oleh manusia dimana subjek hukumnya adalah manusia dan bukan AI; serta (2) penggunaan AI sebagai teknologi adalah untuk mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan bukan justru merugikan bahkan menggeser keberadaan manusia.

  • 1.    Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian pesat semakin membawa perubahan dalam aktivitas kehidupan manusia sehari-hari dewasa ini. Salah satu kecanggihan teknologi yang saat ini menjadi isu menarik dan hangat adalah kehadiran kecanggihan teknologi berupa Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan (selanjutnya disebut “AI”). Seperti sebuah pisau yang bermata dua, di satu sisi AI ini banyak membawa dampak positif bagi kelancaran, kenyamanan dan pengalaman yang luar biasa (excellent experience) bagi kehidupan manusia namun di lain sisi juga menyisakan ruang persoalan yang menunggu untuk diselesaikan. Wangsa dkk dalam studinya tahun 2023 mengemukakan tidak ada satu industripun yang kebal terhadap dampak dari adanya AI dan bidang Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut “KI”) bukanlah pengecualian terhadap hal ini1. Kehadiran AI tidak dapat dipungkiri bermanfaat untuk efisiensi penggunaan waktu2.

Tidak hanya generasi alpha3, Z4 dan Y5, tetapi generasi X6 bahkan hingga baby boomers7 sudah akrab dengan kehadiran berbagai AI yang mampu jauh meningkatkan kenyamanan dan kemudahan hidup mereka sehari-hari. Beberapa contoh AI yang sering dijumpai dalam keseharian manusia di era digital saat ini misalnya AI yang dipergunakan pada otomotif (mobil otonom tanpa pengemudi dengan AI “robotaxi” pada Hyundai IONIQ 58, perintah suara berbasis AI seperti “WIND” pada Wuling Almaz9), AI yang dipergunakan pada dunia pendidikan (“Personalized learning10,“Smart

Content11), virtual assistant (Alexa12, Google Assistant13, Siri14) serta AI pada fotografi dan videografi (“jpgHD15, dan “Eye Contact” oleh NVIDIA16).

Dampak positif yang dikemukakan tersebut, pada kenyataannya diikuti pula oleh berbagai potensi-potensi persoalan yang memicu munculnya dampak negatif atas kehadiran AI dalam kehidupan manusia bermasyarakat. Keberadaan karya KI rupanya juga tidak luput akan ancaman penggunaan AI, baik terkait subyek hukum hingga sarananya dalam perspektif KI. KI dewasa ini juga merupakan isu yang banyak diangkat karena potensi ekonomi yang terkandung dalam KI, khususnya dalam hal dilakukannya komersialisasi terhadap karya KI tersebut. Pemanfaatan KI yang baik secara tidak langsung dapat menjadi roda penggerak perekonomian bangsa. Pencatatan dan/atau pendaftaran KI kini mulai ramai dan secara sadar dilakukan oleh masyarakat (baik komunal maupun personal) salah satunya melalui ekonomi kreatif yang memang mensyaratkan keberadaan surat pencatatan atau sertifikat KI contohnya pada skema pembiayaan berbasis KI sesuai Pasal 7 Ayat 2 huruf d Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif (selanjutnya disebut sebagai “PP 24/2022”).

Selain dampak positif, ternyata keberadaan AI di sisi lain juga mengancam keberadaan pekerja kreatif yang realitanya banyak menghasilkan karya-karya yang berkaitan dengan KI. Penelitian AI Occupational Exposure (AIOE) tahun 2023 sebagaimana dikutip dari laman Kompas.id menunjukkan beberapa profesi pekerja kreatif seperti musisi, penyanyi, animator multimedia, desainer grafis serta mode, editor video, serta penulis

adalah profesi yang terpapar AI17. Sejalan dengan hal tersebut, sebuah kasus terkait kontroversi penggunaan AI semakin mendapat atensi publik. Contohnya manakala hadiah utama dalam kompetisi seni rupa Colorado State Fair justru diperoleh oleh Jason Allen yang menggunakan AI Art Generator dalam karyanya18. Seorang komikus Bandung, Ario Anindito, berpendapat bahwa pengambilan ciri khas style seniman yang sudah ada dalam karya seninya yang diambil oleh AI Generator inilah yang dipandang merugikan dalam hal izin penggunaannya tidak diberikan. Manfaat di satu sisi serta persoalan yang ditimbulkan antara kehadiran AI dengan para pelaku industri kreatif yang notabene adalah para seniman yang erat dengan karya KI, menyebabkan urgensi studi yang mengangkat apakah suatu karya yang dihasilkan AI tersebut dapat memperoleh perlindungan hukum dari sudut pandang hukum KI serta bagaimanakah kondisi hukum KI saat ini mengatur hal tersebut sehingga diketahui konstruksi hukum KI seperti apakah yang diperlukan terkait karya KI yang dihasilkan AI sehingga penggunaan dan pengaturan AI ke depannya dalam keseharian ini agar menjadi etis dan tidak merugikan berbagai pihak, khususnya pencita/pendesain/penemu dalam perspektif KI. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka artikel ini mengangkat rumusan masalah terkait apakah karya kreatif yang dihasilkan oleh Artificial Intelligence mendapatkan perlindungan hukum dalam perspektif Hukum Kekayaan Intelektual?; dan bagaimana konstruksi hukum Kekayaan Intelektual di masa depan terkait karya yang dihasilkan oleh Artificial Intelligence? Sehingga penting untuk melakukan penelitian dengan judul “Artificial Intelligence dan Karya Kreatif: Kajian Subyek Hukum Dalam Perspektif Hukum Kekayaan Intelektual”.

Beberapa studi terdahulu yang serupa pernah dilakukan oleh contohnya: (1) Romi Fadhlurrahman (2023) berjudul “Urgensi Pengaturan Artificial Intelligence Sebagai Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia”19 dengan fokus urgensi pengaturan AI sebagai KI di Indonesia dan penekanan doktrin Work Made for Hire; dan (2) Febri Jaya dan Wilton Goh (2021) tentang “Analisis Yuridis Terhadap Kedudukan Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence Sebagai Subjek Hukum Pada Hukum Positif di Indonesia” yang berfokus pada AI sebagai subjek hukum pada positif hukum Indonesia secara garis besar serta kepastian hukum terhadap tanggung jawab pebuatan hukum yang dilakukan oleh AI sebagai subjek hukum20. Namun demikian, artikel ini memiliki perbedaan dari studi terdahulu yang serupa tersebut karena dalam artikel ini fokus kajiannya lebih kepada apakah karya kreatif yang dihasilkan oleh AI bisa diberi perlindungan hukum

khususnya dari perspektif hukum KI dan bagaimana kontruksi hukum KI ke depannya dalam menghadapi maraknya karya yang dihasilkan oleh AI.

  • 2.    Metode Penelitian

Artikel ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang mencari jawaban terhadap persoalan hukum dengan menganalisis teks hukum dan mengedepankan interpretasi norma-norma dan teori-teori hukum yang mendasarinya21. Pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan analitikal (analytical approach). Dalam penelusuran bahan hukum menggunakan teknik studi dokumen. Artikel ini menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai bidang Kekayaan Intelektual serta Ekonomi Kreatif di Indonesia. Kemudian bahan hukum sekunder yang dipergunakan dari artikel ini bersumber dari buku, jurnal, skripsi yang terkait dengan AI dan KI. Bahan hukum tersier terdiri dari kamus ensiklopedia dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut sebagai “KBBI”). Bahan hukum tersebut dianalisis menggunakan analisis deskriptif kualitatif.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Perlindungan Hukum Terhadap Karya Kreatif yang Dihasilkan oleh Artificial Intelligence dalam Perspektif Hukum Kekayaan Intelektual

Karya-karya kreatif yang lahir seperti misalnya dari dunia seni, sastra, kuliner, arsitektur, pendidikan, fashion maupun periklanan, pada konteks konvensional, lahir dari seseorang maupun sekelompok orang, baik yang menghasilkan karya untuk dirinya sendiri atau dalam konteks pekerjaannya. Seseorang ataupun sekelompok orang tersebut pada dasarnya adalah manusia. Sedangkan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat dewasa ini, karya-karya kreatif tersebut juga ternyata mampu dihasilkan oleh pihak selain manusia, yaitu Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence atau singkatnya terkenal sebagai AI.

Mengkaji dari persepektif biologi, New World Encyclopedia mendefinisikan human being atau human dalam hal ini manusia, sebagai setiap anggota spesies mamalia Homo sapiens, sekelompok primata tak berekor yang hidup di darat yang tersebar di seluruh dunia dan dicirikan oleh bipedalisme serta kemampuan berbicara dan bahasa, dengan pembawa tubuh tegak yang membebaskan tangan untuk memanipulasi objek.22 Jika dijabarkan, Homo sapiens terdiri dari kata “homo” yang merupakan sebuah kata Yunani kuno yang berarti manusia/man atau sama/same, dan “sapiens” yang berasal dari kata Latin yang berarti bijak/wise23. Sehingga bilamana digabung menjadi “manusia bijak”. Homo sapiens

adalah spesies yang dimiliki oleh semua manusia modern dan merupakan salah satu dari beberapa spesies yang dikelompokkan ke dalam genus Homo, namun merupakan satu-satunya yang tidak punah24. Lebih lanjut, KBBI mendefinisikan manusia sebagai, “makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain); insan; orang….”25. Dalam bersosialisasi, manusia dikenal juga sebagai political animals atau zoon politikon26. Aristoteles merupakan pakar yang pertama menyebutkan manusia sebagai political animal atau makhluk yang berpolitik dimana tujuan yang dikehendaki manusia kemudian mewujudkan kemerdekaan dari suatu negara27.

Di lain sisi, Kecerdasan Buatan atau AI merupakan sebuah istilah yang diperkenalkan oleh John McCarthy pada tahun 195628. Pabubung dalam studinya mengemukakan AI sebagai sebuah “payung istilah” untuk menggambarkan simulasi mesin yang terhubung dengan lautan (samudera) data, yang seperti kecerdasan manusia29. Afrizal Zein dalam studinya mengemukakan AI merupakan sumber utama inovasi namun keberadaan AI tersebut mengancam pekerjaan yang mempergunakan layanan manusia30. Sebagai contoh sederhana adalah pekerjaan manusia di pabrik yang kini mulai perlahan digantikan oleh mesin-mesin. Namun demikian, di lain sisi, studi oleh Hanifa, Sholihin dan Ayudya menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara kehadiran AI dalam industri kreatif di Indonesia yang meningkatkan kinerja perusahaan dan karyawan serta mengefisiensikan waktu dalam melakukan eksplorasi karya31. Hal tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya kecanggihan teknologi dan inovasi mampu membawa dampak yang baik maupun kurang menguntungkan bagi kehidupan manusia, sehingga pada akhirnya kebijaksanaan manusia dalam penciptaan dan penggunaan AI tersebut menjadi diperlukan.

AI terbagi menjadi beberapa jenis. Sebagaimana kecerdasan manusia, rupanya masing-masing jenis AI juga memiliki level kecerdasan yang berbeda. Secara umum, Sidabutar dan Munthe dalam studinya mengemukakan ada 3 jenis AI. Pertama, AI dengan jenis yang paling umum dan fungsi terbatas seperti misalnya hanya mampu mengerjakan satu tugas saja yang dikenal dengan nama Artificial Narrow Intelligence (selanjutnya

disebut sebagai “ANI”)32. Dewasa ini AI yang paling banyak dipergunakan manusia adalah ANI, seperti contohnya adalah pengenalan wajah (face detection), namun demikian dari segi kecerdasannya, ANI belum mampu menungguli otak manusia33. Kedua, AI yang memiliki kemampuan bekerja dengan level kognitif yang menyerupai manusia seperti misalnya mampu mengambil keputusan dan pemrosesan bahasa yang mana AI ini dikenal dengan nama Artificial General Intelligence (selanjutnya disebut sebagai “AGI”)34. AGI ini, jika ke depannya berhasil diciptakan secara sempurna, akan mampu menggantikan pekerjaan profesional manusia yang memerlukan kemampuan intelektual yang tinggi seperti ilmuan35. Jenis ketiga adalah Artificial Super Intelligence (selanjutnya disebut sebagai “ASI”) yang mampu bekerja tidak hanya selevel kognitif dengan manusia tetapi juga dapat melampaui level tersebut, contohnya AI ini mampu membuat keputusan, berpikir dengan rasioal dan menciptakan sesuatu36. Lebih lanjut, dewasa ini AI dengan jenis AGI dan ASI masih dalam konsep kasar namun demikian tidak menutup kemungkinan perkembangan teknologi yang pesat dikemudian hari mampu menyebabkan AGI dan ASI ini juga berkembang cepat37. Zorins dan Grabusts mengemukakan aspek yang sangat penting dari suatu AI yang aman adalah kemampuan untuk menjelaskan, dimana pengguna harus memahami dengan jelas dan sepenuhnya keluaran sistem AI dan melakukan koreksi bilamana diperlukan38.

Terlihat 2 (dua) pola dalam menghasilkan suatu karya kreatif yang mungkin terjadi:

  • 1.    Pola pertama, manusia adalah otak utama dalam menghasilkan suatu karya kreatif sedangkan penggunaan AI hanya sebagai teknologi pendukung saja dalam menghasilkan karya tersebut. Dalam pola ini, dapat ditafsirkan bahwasanya AI hanya sebagai alat bantu (supporting tool) dalam menghasilkan ciptaan dan manusialah yang mengambil andil penuh dalam proses penghasilannya     (penciptaan/penemuan/pendesainannya).     Contoh:

pemanfaatan AI dalam membuat sketsa awal dalam penyusunan konsep karya fotografi.

  • 2.    Pola kedua, manusia hanya sebagai pemberi tugas saja sedangkan karya kreatif tersebut dihasilkan sepenuhnya oleh kecerdasan AI (AI sebagai otak utamanya). Contoh: seseorang yang memerintahkan AI seperti ChatGPT39 untuk membuat artikel jurnal dengan topik “AI dan Pengaturan Hukumnya di

Dunia” dimana kemudian AI tersebutlah yang menghasilkan artikel jurnal tersebut. Manusia tersebut hanya sebatas memasukkan perintah buatlah jurnal dengan topik dimaksud.

Berdasarkan pola-pola tersebut di atas, terdapat dua hal yang menjadi persoalan dari sisi KI yaitu apakah objek dan subjek hukum terkait karya KI di dunia kreatif tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang diatur perundang-undangan positif KI di Indonesia sehingga karya yang dihasilkan dengan keterlibatan AI tersebut mendapatkan perlindungan hukum atau tidak.

Objek karya dalam KI sesungguhnya sudah diatur dalam masing-masing peraturan di bidang KI. Industri kreatif yang erat dengan penciptaan karya-karya kreatif sesungguhnya erat dengan ranah KI khususnya Hak Cipta. Suatu karya kreatif dalam ranah KI berupa Hak Cipta baru akan mendapat perlindungan hukum jika karya tersebut termasuk dalam lingkup ilmu pengetahuan, seni dan sastra (Pasal 40 Ayat (1) UU 28/2014. Lebih lanjut, Pasal 40 Ayat (1) huruf (a)-(s) Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Selanjutnya disebut sebagai “UU 28/2014”) tersebut menentukan secara rinci Ciptaan atau objek yang dilindungi Hak Cipta. Beberapa contoh objeknya adalah buku, lagu dan/atau music, karya fotografi, serta semua hasil karya tulis.

Beranjak pada subjek hukum, pada dasarnya subjek hukum adalah segala sesuatu yang merupakan pendukung hak dan kewajiban40. Hak tersebut meliputi kekuasan untuk berbuat sesuatu, kekuasaan yang benar atas sesuatu, memiliki, kepunyaan, kewenangan yang contohnya adalah hak moral dan hak legal, hak khusus dan hak umum, hak individual dan hak sosial41. Sedangkan kewajiban pada dasarnya adalah kepatuhan pada suatu norma atau peraturan terkait hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam rangka penertiban dan pewujudan cita-cita hukum berupa kepastian, keadilan dan kemanfaatan dalam masyarakat42.

Di Indonesia, dikenal adanya 2 (dua) jenis subjek hukum yaitu: (1) manusia (natuurlijk persoon); dan (2) badan hukum (recht persoon)43. Failaq dalam studinya mengemukakan bahwa manusia merupakan subjek hukum yang mutlak dengan mendasarkannya pada 3 (tiga) alasan yaitu: (1) manusia memiliki akal budi (animal rationale), sebagaimana definisi klasik; (2) manusia memiliki sifat-sifat badani (geist-in-welt); dan (3) manusia adalah roh yang berwujud ke dalam daging (esprit incarne)44. Kemudian selain manusia, dalam menjwab perkembangan zaman dan kebutuhan hukum dalam masyarakat maka muncullah badan hukum sebagai salah satu subjek hukum yang dikenal di Indonesia. Marwa berpendapat bahwa badan hukum (recht persoon) hadir sebagai kreasi yang diciptakan oleh hukum melalui kehadiran teori organ sehingga membuat badan hukum

tersebut mampu bertindak selayaknya manusia dengan perantara organ dari badan hukum tersebut45. Sehingga merujuk pada hal tersebut, di Indonesia sendiri secara umum belum mengenal secara resmi AI sebagai subjek hukum.

KI merupakan hak yang diberikan kepada pemilik atas hasil olah kreatifitas intelektualitasnya dalam wujud karya yang bermanfaat serta mempunyai nilai ekonomis46. Pengaturan KI secara nasional di Indonesia tersebar ke dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Dimana diketahui bahwasanya KI tersebut terbagi menjadi beberapa jenis yaitu: Hak Cipta, Desain Industri, Merek dan Indikasi Geografis, Paten, Rahasia Dagang, Varietas Tanaman, serta Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Secara lebih rinci, Tabel 1 di bawah ini mengelaborasi lebih lanjut siapa sajakah subyek hukum yang mendapat perlindungan dalam hukum KI dari masing-masing jenis KI yang dikenal di Indonesia.

Tabel 1. Subjek Hukum yang Menghasilkan Karya KI dalam Perundang-Undangan Mengenai Kekayaan Intelektual di Indonesia

No.

Jenis Kekayaan Intelektual

Ketentuan

Subyek Hukum

1

Hak Cipta

Pasal 1 angka 2 UU 28/2014

“Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi”

Seorang atau beberapa orang

2

Desain

Industri

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (Selanjutnya disebut sebagai “UU 31/2000”)

“Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan Desain

Industri”

Seorang atau beberapa orang

3

Merek dan Indikasi Geografis

Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Selanjutnya disebut sebagai “UU 20/2016”) “Pemohon adalah pihak yang mengajukan permohonan Merek atau Indikasi Geografis”

Pihak yang mengajukan permohonan merek atau Indikasi Geografis

4

Paten

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten

Seorang atau beberapa orang

(Selanjutnya disebut sebagai “UU 13/2016”)

“Inventor adalah seorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi”

5

Rahasia

Dagang

Pasal 4 Undang-Undang No. 30

Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (Selanjutnya disebut sebagai “UU 30/2000”)

“Pemilik Rahasia Dagang memiliki hak untuk…”

Tidak didefinisikan siapa itu Pemilik Rahasia Dagang

6

Varietas Tanaman

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (Selanjutnya disebut sebagai “UU 29/2000”) “Pemulia tanaman yang selanjutnya disebut pemulia, adalah orang yang melaksanakan pemuliaan tanaman”

Orang

7

Desain Tata

Letak Sirkuit Terpadu

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Selanjutnya disebut sebagai “UU 32/2000”) “Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu”

Seorang atau beberapa orang

Sumber: data diolah dari berbagai perundang-undangan tentang Kekayaan Intelektual oleh Penulis

Tabel 1 menunjukkan bahwasanya terkait subjek hukum yang menghasilkan karya di bidang KI, semuanya (kecuali Merek dan Indikasi Geografis serta Rahasia Dagang) menentukan bahwa subjek hukum tersebut haruslah manusia melalui kata “seseorang” serta frasa “beberapa orang”. Perundang-undangan mengenai Merek dan Indikasi Geografis serta Rahasia Dagang tidak mendefinisikan secara lebih lanjut “pihak” yang dimaksud apakah hanya manusia atau dapat juga mencakup subjek hukum lainnya yang telah dikenal dan diakui di Indonesia seperti badan hukum atau bahkan pihak lainnya seperti AI yang merupakan perkembangan terbaru dari kecanggihan teknologi masa kini. Namun demikian, secara implisit dapat diartikan melalui ketentuan Pasal 4 UU 20/2016 bahwasanya dalam permohonan pendaftaran merek yang harus mencantumkan “kewarganegaraan” pemohon ini mengarah pada subjek hukum dalam ranah KI merek juga merupakan manusia. Kalaupun coba dikaitkan dengan teori konsesi hukum, Nampak bahwasanya hukum di bidang KI itu sendiri belum nampak menginginkan kehadiran AI sebagai subjek hukum dalam peraturan perundang-undangan tersebut.

Kajian yang dilakukan oleh Jaya dan Goh (2021) mengemukakan bahwasanya AI dapat dipandang sebagai subjek hukum yang dipersamakan dengan badan hukum yang merupakan pendukung hak dan kewajiban secara hukum yang bukan manusia47. Studi tersebut menegaskan bahwasanya daripada dipersamakan dengan subjek hukum manusia, AI lebih cenderung dapat dipersamakan dengan badan hukum sebagai subjek hukum48. Failaq (2022) juga berpendapat kalaupun akan diandaikan sebagai subjek hukum, maka AI tersebut paling mungkin dipersamakan dengan badan hukum dan bukan manusia49. Namun demikian, di lain sisi Failaq menegaskan dalam studinya bahwa walaupun dengan mentransplantasi teori fiksi dan teori konsesi dapat merangkai AI sebagai subjek hukum, sebagaimana kedua teori tersebut merangkai badan hukum sebagai subjek hukum, pada dasarnya karena kurangnya nilai etika dan kedaulatan dalam AI, maka AI tidak dapat dikemukakan sebagai salah satu subjek hukum50. Merujuk pada perbedaan pendapat yang diperoleh dari penelitian studi-studi terdahulu tersebut, menjadi menarik untuk melakukan pengecekan secara langsung pada ketentuan perundang-undangan mengenai KI terkait subjek hukum yang dikenal dalam peraturan tersebut. Hal ini penting untuk mengetahui, apakah hukum KI di Indonesia tersebut mengenal AI sebagai subjek hukum pengemban hak dan kewajiban di bidang KI.

Dalam tulisan ini, secara lebih spesifik dikaji perlindungan hukum terhadap karya kreatif yang dihasilkan oleh AI dalam perspektif hukum KI. Oleh karena itu, setelah terlebih dahulu memiliki pemahaman mengenai objek dan subjek hukum, maka perlu dilakukan tes terlebih dahulu apakah jika suatu karya kreatif dihasilkan oleh AI memenuhi syarat objek dan subjek hukum sebagaimana ditentukan oleh perundang-undangan yang mengatur mengenai KI di Indonesia.

Dalam pembahasan sebelumnya telah dikemukakan bahwasanya terdapat dua pola yang sekiranya berpotensi menggambarkan kondisi suatu karya kreatif tersebut dihasilkan.

  • 1.    Pembahasan terkait objek, pada pola pertama diberikan contoh pemanfaatan AI dalam membuat sketsa awal dalam penyusunan konsep karya fotografi sebagai bentuk dari manusia hanya sebagai pemberi tugas saja sedangkan karya kreatif tersebut dihasilkan sepenuhnya oleh kecerdasan AI. Dalam contoh tersebut, perlu dilihat bahwasanya fotografi adalah merupakan ranah seni. Karya atau ciptaan dalam bidang seni merupakan karya yang berpotensi mendapat perlindungan di bawah ranah KI berupa Hak Cipta. Namun demikian, perlu mengecek terlebih dahulu apakah fotografi merupakan objek Hak Cipta sebagaimana diatur pada Pasal 40 Ayat (1) UU 28/2014. Setelah dilakukan pengecekan, ternyata diketahui bahwa karya fotografi merupakan objek yang dapat diberikan perlindungan hak cipta berdasarkan Pasal 40 Ayat (1) huruf (k) UU 28/2014. Sehingga dari sisi objeknya, terpenuhi. Dari sisi subjek hukum, terlihat pada pola kedua disini manusia yang memiliki peran besar (sebagai otak) dalam terciptanya suatu karya fotografi, maka dengan demikian manusia adalah

Pencipta dari suatu karya fotografi tersebut. Sesuai dengan elaborasi pada Tabel 1 di atas, manusia memenuhi syarat untuk disebut sebagai Pencipta (merupakan “seseorang”) dan karenya memenuhi kriteria sebagai subjek hukum dalam ranah Hak Cipta. Sehingga pada pola kedua ini, pengecekan terhadap baik objek maupun subjek hukum dari persepektif perundang-undangan KI-nya, khususnya Hak Cipta, terpenuhi, dan menjadikan karya kreatif fotografi yang dihasilkan tersebut sebagai karya yang dapat diberi perlindungan berdasarkan ranah KI hak cipta. Sebagai salah satu tambahan penting, Pencipta dinilai penting dengan merujuk ketentuan Pasal 31 huruf (a) dan (b) UU 28/2014 untuk mencantumkan namanya dalam karya ciptanya, seperti misalnya foto tersebut, untuk semakin menguatkan ialah yang menciptakan karya tersebut51.

  • 2.    Pola kedua, manusia hanya sebagai pemberi tugas saja sedangkan karya kreatif tersebut dihasilkan sepenuhnya oleh kecerdasan AI (AI sebagai otak utamanya dan bukan lagi sekedar alat pendukung/supporting tool manusia). Contohnya artikel jurnal yang dibuat AI atas dasar perintah tulisan manusia ke AI. Terhadap hal tersebut perlu juga dilakukan pengecekan objek dan subjek hukumnya terlebih dahulu. Dari sisi subjek, artikel jurnal masuk ke dalam kategori Objek Hak Cipta yang mendapat perlindungan di berdasarkan ketentuan Pasal 40 Ayat (1) huruf (a) UU 28/2014. Namun demikian, dari sisi subjek hukumnya, disini nampak AI adalah otak dan pihak yang menghasilkan karya tulis tersebut (bukan lagi sekedar supporting tool) dan manusia hanya memerintahkan, sehingga dapat ditafsirkan AI tidak lulus sebagai subjek hukum sebagaimana diatur dalam UU 28/2014. UU 28/2014 mengatur bahwa subjek hukum tersebut haruslah manusia melalui kata “seseorang” serta frasa “beberapa orang” dan bukan AI. Sehingga pada contoh pola kedua ini, karya kreatif berupa karya tulis jurnal tersebut tidak dapat diberikan perlindungan berdasarkan ranah KI Hak Cipta karena setelah dilakukan analisa test objeknya terpenuhi namun test subjek hukumnya tidak terpenuhi.

Terkait industri ekonomi kreatif, Undang-Undang No. 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif (Selanjutnya disebut sebagai “UU 24/2019”) telah secara tegas menyebutkan manusialah yang harus menghasilkan suatu kreativitas. Hal tersebut terlihat dari definisi apa itu Ekonomi Kreatif dalam Pasal 1 angka 1 UU 24/2019 dimana “Ekonomi kreatif adalah perwujudan nilai tambah dari KI yang bersumber dari kreativitas manusia yang berbasis warisan budaya, ilmu pengetahuan, dan/atau teknologi. Dalam hal ini secara tegas diatur bahwa manusialah sebagai subjek yang menghasilkan kreativitas suatu karya yang memiliki KI tersebut. Dengan demikian, berdasarkan tes subjek hukum berdasarkan UU 24/2019, AI tidak lulus untuk dapat dikemukakan sebagai subjek hukum yang menghasilkan karya kreatifitas dalam ekonomi kreatif.

Penjelasan di atas memperjelas bahwa dalam pola pertama karya kreatif yang melibatkan AI hanya sebagai alat pendukung dan manusialah yang mengambil andil penuh dalam proses penghasilan karyanya (penciptaan/penemuan/pendesainannya), maka bisa ditafsirkan karya tersebut dapat dilindungi oleh hukum Kekayaan Intelektual

asalkan memenuhi pengecekan objek dan subjek hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang KI yang dimaksud. Hal ini mengingat di antara 2 subjek hukum yang dikenal di Indonesia, manusia adalah subjek hukum mutlak (natuurlijk persoon) yang mampu secara utuh mengemban hak dan kewajiban. Namun demikian, pada pola kedua, jika karya kreatif dalam bidang KI tersebut dihasilkan sepenuhnya oleh AI (AI bukan lagi sekedar alat pendukung manusia namun menjadi otak dan penghasilnya sedangkan manusia hanya sekedar memberi perintah), dapat ditafsirkan walaupun secara pengecekan objeknya terpenuhi, tetapi pengecekan subjek hukumnya tidak dipenuhi sebab dalam pola ini AI adalah pencipta/pendesain/penemu karya tersebut dan secara garis besar peraturan perundang-udangan KI di Indonesia mengatur bahwa subjek hukum tersebut haruslah manusia melalui kata “seseorang” serta frasa “beberapa orang” sebagai pihak yang menciptakan atau mendesain atau menemukan suatu karya dan bukanlah AI. Sehingga pada pola yang kedua, karya tersebut tidak dapat diberikan perlindungan hukum dalam ranah KI karena dapat ditafsirkan dalam konteks AI adalah penciptanya maka AI itu sendiri tidak lulus dalam pengecekan subjek hukum berdasarkan perundang-undangan di bidang KI yang dimaksud.

  • 3.2.    Konstruksi Hukum Kekayaan Intelektual di Masa Depan Terkait Karya yang Dihasilkan Oleh Artificial Intelligence

Penemuan termasuk penggunaan teknologi AI beserta pengembangan generasi berikutnya dari AI tersebut, jika dibijaksanai dengan baik berpotensi untuk membawa dampak positif yang lebih banyak pada kehidupan manusia sehari-hari. Penggunaan AI jenis ANI misalnya, terasa cenderung membawa manfaat yang positif dalam kehidupan manusia. Namun demikian, dalam realitanya hal ideal seperti itu tidak selalu terjadi. Keinginan manusia yang tinggi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta eksistensi diri untuk selalu menjadi unggul dan terbaik tidak dipungkiri menjadi salah satu alasan mengapa manusia selalu terpacu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keberadaan AI dengan jenis AGI dan ASI yang masih dalam konsep kasar sebagaimana dijelaskan dalam bahasan sebelumnya justru terasa seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, AGI dengan level kecerdasan yang selevel kognitif manusia dan ASI yang level kecerdasannya bahkan ditilik mampu melampau kecerdasan manusia, nantinya jika dikembangkan dan dipergunakan dengan bijaksana bisa jadi membawa dampak positif bagi manusia. Namun demikian, di sisi lain, kehadirannya nantinya dengan level kecerdasan kognirif yang selevel atau bahkan melampaui manusia juga ditakutkan akan mengancam keberadaan manusia itu sendiri di berbagai sektor kehidupan utamanya para kaum intelektual dan tidak terkecuali sektor penghasil karya kreatif. Bila tidak dibuat suatu konstruksi hukum yang baik, kehadiran AI yang kian lama semakin canggih dan nantinya mampu melampaui kecerdasan manusia ditafsir akan semakin menjadi-jadi dan berpotensi menggeser manusia. Padahal awalnya AI ini merupakan tool atau alat/sarana yang ditujukan untuk mempermudah dan membuat nyaman kehidupan manusia sehari-hari.

Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan suatu konstruksi hukum kekayaan intelektual di masa depan terkait karya yang dihasilkan oleh AI. Konstruksi hukum sejalan dengan dolematig heid dimana pada dasarnya hukum memiliki manfaat di saat

hukum tersebut diaplikasikan pada dunia nyata.52 Merujuk pada 53KBBI, kata “konstruksi” berarti, “1. Susunan (model, tata letak)…”. Lebih lanjut, konstruksi (rekayasa) hukum merupakan suatu langkah dalam mengisi kekosongan peraturan dalam suatu perundang-undangan dengan asas dan sendi hukum54. Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini di bidang KI sesungguhnya merupakan awal pengaturan yang baik. Ditafsirkan demikian karena pada dasarnya perundang-undangan di bidang KI sebagaimana terlihat dalam tabel 1 mempersyaratkan manusia melalui kata “seseorang” atau “beberapa orang” sebagai pencipta/pendesain/penemu suatu karya. Hal ini sesuai dengan konsep subjek hukum pada umumnya yang dikenal, termasuk di Indonesia, yaitu terdiri dari manusia dan badan hukum. Manusia pada dasarnya subjek hukum pengembang hak dan kewajiban hukum yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya sebagaimana dibahas dalam pembahasan sebelumnya. Di lain sisi, mengacu kepada keberadaan badan hukum yang merupakan subjek hukum atas hasil kreasi hukum dalam menjwab perkembangan kebutuhan dan dianggap mampu mengemban hak dan kewajiban hukum melalui teori fiksi, nampaknya terlalu memaksakan bilamana AI dipersamakan seperi badan hukum sebagai subjek hukum. Walaupun dengan merangkai teori fiksi dan konsensi terhadap AI sebagai subjek hukum, penulis sependapat dengan Failaq dalam studinya di tahun 2022 bahwasanya AI memiliki kekurangan pada nilai etika dan kedaulatannya untuk dapat dikatakan sebagai subjek hukum.

Ramli dalam tulisannya di tahun 2022 mengemukakan pentingnya keberadaan regulasi mengenai AI dengan memuat beberapa unsur penting diantaranya yaitu55: (1)

perkembangan AI yang pesat perlu didasari oleh hukum yang mampu menjadi akselerator perkembangan tersebut; (2) perkembangan AI tersebut tetap dikembangkan namun dengan tidak mendisrupsi hakikat dan keberadaan manusia melalui minimalisasi dampak; (3) keberadaan AI sebagai teknologi haruslah untuk manfaat manusia yang sebesar-besarnya dan bukan mendisrupsi eksistensi manusia. Beberapa ketentuan yang penting ada terhadap perundang-undangan di bidang KI yang sudah ada saat ini dengan mengadopsi pemikiran Ramli yaitu:

  • 1.    karya yang mendapat perlindungan dalam ranah KI adalah karya yang dihasilkan oleh manusia. Subjek hukum yang diatur dalam perundang-undangan KI adalah manusia dan bukan AI. Ketentuan ini sangat penting untuk dipertegas lagi sehingga bila konstruksi hukumnya tidak hanya melalui pencantuman “seseorang” atau “beberapa orang” saja sebagai subjek hukumnya namun perlu juga mencantumkan kalimat yang pada intinya mengatur “AI bukanlah subjek hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan ini sehingga karya yang dihasilkan AI tidak dapat diberi perlindungan hukum

dalam rangh KI”. Ketentuan ini penting mengingat potensi ke depannya AI dapat berkembang dengan pesat sehingga AGI, ASI atau bahkan AI dengan jenis lainnya yang lebih canggih yang mungkin muncul tidak akan menggeser hakikat dan keberadaan manusia. Dalam konteks yang pertama ini, AI boleh saja dipergunakan oleh manusia dalam menghasilkan karya tetapi AI disini hanya sebatas supporting tools atau alat pendukung saja. Hasil karya tersebut tetap secara     garis     besar     dihasilkan     oleh     manusia     sebagai

pencipta/pendesain/penemunya; serta

  • 2.    Ketentuan bahwasanya penggunaan AI sebagai teknologi adalah untuk mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Hal ini penting sebab perlu ditegaskan kembali AI itu hanyalah teknologi yang dipergunakan manusia dalam membantunya menghasilkan karya dan penggunaan AI itu harus membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi manusia dan bukan justru sebaliknya yaitu merugikan manusia atau bahkan yang paling ekstrim yaitu menggeser keberadaan manusia.

Ketentuan-ketentuan tersebut dapat dipergunakan sebagai dasar untuk mengunci ketergeseran umat manusia oleh keberadaan AI yang level kecerdasannya kian hari kian meningkat dan tak dapat dipungkiri bahkan suatu saat mampu melampaui kecerdasan manusia. Oleh karena itu, sangat perlu ditegaskan, AI ini adalah sebatas teknologi atau alat atau sarana dalam membantu kehidupan manusia, namun subjek hukum sesungguhnya yang memiliki kecerdasaan adalah manusia itu sendiri. Sebagaimana teori mengenai kemanfaatan teknologi informasi oleh Chin dan Todd yang pada dasarnya mengemukakan penggunaan teknologi tersebut adalah untuk kemanfaatan manusia, seperti misalnya membuat pekerjaan menjadi lebih mudah56.

  • 4.    Kesimpulan

Karya kreatif yang melibatkan AI hanya sebagai alat pendukung (supporting tool) dan manusialah yang mengambil andil penuh dalam proses penghasilan karyanya (penciptaan/penemuan/pendesainannya), maka bisa ditafsirkan karya tersebut dapat dilindungi oleh hukum Kekayaan Intelektual asalkan memenuhi pengecekan objek dan subjek hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang KI yang dimaksud. Namun demikian, pada pola kedua, jika karya kreatif dalam bidang KI tersebut dihasilkan sepenuhnya oleh AI (AI bukan lagi sekedar alat pendukung manusia namun menjadi otak dan penghasilnya sedangkan manusia hanya sekedar memberi perintah), dapat ditafsirkan walaupun secara pengecekan objeknya terpenuhi, tetapi pengecekan subjek hukumnya tidak dipenuhi sebab dalam pola ini AI adalah pencipta/pendesain/penemu karya tersebut. Secara garis besar peraturan perundang-udangan KI di Indonesia mengatur bahwa subjek hukum tersebut haruslah manusia melalui kata “seseorang” serta frasa “beberapa orang” sebagai pihak yang menciptakan atau mendesain atau menemukan suatu karya dan bukanlah AI. Terhadap perundang-undangan di bidang KI yang sudah ada saat ini penting untuk memuat beberapa ketentuan seperti (1) karya yang mendapat perlindungan dalam ranah KI adalah karya yang dihasilkan oleh manusia dimana subjek hukumnya adalah manusia dan bukan AI;

serta (2) penggunaan AI sebagai teknologi adalah untuk mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan bukan justru merugikan bahkan menggeser keberadaan manusia. Dalam menghasilkan sebuah karya kreatif di bidang KI, sangat perlu ditegaskan, AI ini adalah sebatas teknologi atau alat atau sarana dalam membantu kehidupan manusia, namun subjek hukum sesungguhnya yang memiliki kecerdasaan adalah manusia itu sendiri.

Daftar Pustaka

Buku

Borren, M. (2020). Plural agency, political power, and spontaneity. The Routledge Handbook of Phenomenology of Agency.

Hartati, S. (2021). Kecerdasan Buatan Berbasis Pengetahuan. UGM Press.Yogyakarta.

Jurnal

Alfiyah, N. I., & Rasaili, W. (2023). Meningkatkan Kecerdasan Politik Pemuda Karang Taruna “Karya Bajuaju” Di Desa banuaju Barat Kecamatan Batang-Batang. Abhakte Jurnal Pengabdian Kepada   Masyarakat, 1(1),   14-20.

https://doi.org/10.24929/abhakte.v1i1.2422

Muhammad As Ari. AM, (2016), Upaya Kemandirian Anak Menabung di Bank Melalui Konstruksi Hukum Nasional, Jurnal Ilmiah Hukum QISTIE 9(2),91-97.

Budihardjo, Andreas. (2022). AI dan Manusia: Mengoptimalkan Kinerja Perusahaan?. In Forum Manajemen. Vol. 36, No. 2. 38-48

Bunyamin, J. B. (2018). AGI (Artificial General Intelligence): Peluang Indonesia Melompat Jauh ke Depan. Jurnal Sistem Cerdas.   1(2).   1-11.

https://doi.org/10.37396/jsc.v1i2.8

Failaq, Muhammad RM Fayasy. (2022). Transplantasi Teori Fiksi dan Konsesi Badan Hukum terhadap Hewan dan Kecerdasan Buatan sebagai Subjek Hukum. Jurnal Hukum dan HAM Wara Sains. 1(02). 121-133

Hafifah, S. & Widjayatri, R. D. (2022). Pengaruh Pola Asuh Generasi X dan Generasi Y (Milenial) Terhadap Karakter Anak Usia Dini. QURROTI: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini, 4(1).33-44

Hanifa, H., Sholihin, A., & Ayudya, F. (2023). Peran AI Terhadap Kinerja Industri Kreatif Di Indonesia. Journal of Comprehensive Science (JCS), 2(7). 2149-2158.

Jaya, Febri dan Goh, W.(2021).Analisis yuridis terhadap kedudukan kecerdasan buatan atau artificial intelligence sebagai subjek hukum pada hukum positif

Indonesia.Supremasi                  Hukum, 17(02),                  01-11.

https://doi.org/10.33592/jsh.v17i2.1287

Juanda, Enju.(2017).Konstruksi Hukum dan Metode Interpretasi Hukum. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, 4(2). 168-180

Lubis, A. E. N., & Fahmi, F. D. (2021). Pengenalan dan Definisi Hukum Secara Umum (Literature Review Etika). Jurnal Ilmu Manajemen Terapan, 2(6).  768-789.

https://doi.org/10.31933/jimt.v2i6

Marune, A. E. M. S. (2023). Metamorfosis Metode Penelitian Hukum: Mengarungi Eksplorasi Yang Dinamis. Civilia: Jurnal Kajian Hukum dan Pendidikan Kewarganegaraan, 2(4), 73-81. https://doi.org/10.572349/civilia.v2i4.896

Marwa, Muhammad Habibi Miftakhul. (2020). Analisis Status Badan Hukum Dana Pensiun.     Jurnal     Yustika.     Vol.     23,     No.     01.     1-12.

https://doi.org/10.24123/yustika.v23i01.2403

Pabubung, M. R. (2021). Epistemologi Kecerdasan Buatan (AI) dan Pentingnya Ilmu Etika dalam Pendidikan Interdisipliner. Jurnal Filsafat Indonesia, 4(2), 152-159. https://doi.org/10.23887/jfi.v4i2.34734

Putra, Febriansyah Ramadhana dan Nurhayati, (2020), Rancang Bangun Sistem Voice Command Siri (Apple Assistance) Terhadap Kontrol Perlengkapan Elektronik Rumah Menggunakan Raspberry Pi Berbasis Iot (Internet Of Thing), Jurnal Teknik Elektro, 9(1),815-820

Putri, B. T., Ramli, T. S., & Mayana, R. F. (2023). Penerapan Digital Iproline: Tinjauan UU ITE dan Perspektif Kekayaan Intelektual. COMSERVA, 2(12).2892-2903

Samsithawrati, P. A., Dharmawan, N. K. S., Dwijayanthi, P. T., Krisnayanti, A. A. I. E., & Sawitri, D. A. D. (2023). Perlindungan Seni Menghidangkan Makanan dan Karya Turunannya Berbasis Teknologi: Perspektif Hak Cipta. Jurnal Analisis Hukum, 6(1), 1-17

Sidabutar, H., & Munthe, H. P. (2022). Artificial Intelligence dan Implikasinya Terhadap Tujuan Pembelajaran Pendidikan Agama Kristen. JMPK: Jurnal Manajemen Pendidikan Kristen, 2(2), 76-90.

Singh, S. B., & Pluskota, M. (2020). Homo sapiens and Criminality. The Oriental

Anthropologist, 20(2), 223-230. https://doi.org/10.1177/0972558X20952635

Tjahyanti, L. P. A. S., Saputra, P. S., & Santo Gitakarma, M. (2022). Peran Artificial Intelligence (AI) Untuk Mendukung Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19. KOMTEKS, 1(1)

Wangsa, J. J., Fortunata, K. F., & Hanunisa, S. Z. (2023). Impact of Artificial Intelligence on Intellectual Property Rights in Indonesia. Anthology: Inside Intellectual Property Rights, 1(1).

Wilonotomo, (2018), Pelayanan Pembuatan Paspor dalam Kajiannya Terhadap Teori Manfaat Teknologi Informasi, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 12 (2), 163-178.

Zein, A. (2021). Kecerdasan Buatan Dalam Hal Otomatisasi Layanan. Jurnal Ilmu Komputer, 4(2), 16-25.

Prosiding

Sari, Mieke Yustia Ayu Ratna. (2016). Pembangunan Kekayaan Intelektual (KI) Berbasis Teknologi Informasi di Era Globa. Prosiding Seminar Nasional Multi Disiplin Ilmu & Call For Papers Unisbank (Sendi_U) Ke-2 Tahun 2016.490-500

Zorins, Aleksejs dan Peter Grabusts. (2019). Safety of artificial superintelligence. In Environment Technologies Resources Proceedings of the International Scientific and Practical Conference. Vol. 2. 180-183

Skripsi

Fadhlurrahman, R. (2023). Urgensi Pengaturan Artificial Intelligence Sebagai Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau)

Website

ChatGPT. Retrieved from https://chat.openai.com/.Diakses pada 12 Oktober 2023

Good Firms. (2023). Alexa atau Google Assistant-Asisten AI manakah yang merupakan pemenang sebenarnya?. Retrieved from https://www.goodfirms.co/artificial-

intelligence-software/blog/alexa-or-google-assistant-which-ai-assistant-winner. Diakses pada 26 September 2023

Hybrid.co.id.(2023).NVIDIA Broadcast Kini Bisa ‘Palsukan’ Pandangan Mata ke Kamera. Retrieved from https://hybrid.co.id/post/nvidia-broadcast-palsukan-pandangan-mata-ke-kamera. Diakses pada 23 September 2023.

Irfan Ihsan. (2023).Penggunaan Teknologi “AI” Jadi Kontroversi. Seniman Digital Indonesia:   Sesuatu yang Tak Bisa Dihindari. Retrieved from

https://www.voaindonesia.com/a/penggunaan-teknologi-ai-jadi-kontroversi-seniman-digital-indonesia-sesuatu-yang-tak-bisa-dihindari/7071147.html. Diakses pada 26 September 2023

jpgHD.(2023).AI Old Photo Lossless Restoration. Retrieved from https://jpghd.com/id. Diakses pada 23 September 2023

Kamus    Besar    Bahasa    Indonesia.    Konstruksi.    Retrieved    from

https://kbbi.web.id/konstruksi. Diakses pada 13 Oktober 2023

________________________________________.Manusia.        Retrieved        from https://www.kbbi.web.id/manusia. Diakses pada 29 September 2023.

Kompas.com. (2021). Mengenal Apa Itu Generasi Baby Boomers. X. Y. Z. Millenials. dan Alpha.                          Retrieved                          from

https://www.kompas.com/tren/read/2021/12/26/170000565/mengenal-apa-itu-generasi-baby-boomers-x-y-z-millenials-dan-alpha?page=all. Diakses pada 23 September 2023

New    World    Enscyclopedia.    Human    Being.    Retrieved    from

https://www.newworldencyclopedia.org/entry/Human_being.     Diakses

pada 29 September 2023.

Puteri Rosalina. Margaretha. Satrio Pangarso Wisanggeni. dan Albertus Krisna.(2023). AI Ancam Pekerja Kreatif dan Intelektual. Retrieved from https://www.kompas.id/baca/investigasi/2023/06/27/ai-ancam-pekerja-kreatif-dan-intelektual. Diakses pada 26 September 2023

Ramli, Ahmad M. 2022. Urgensi UU AI Bagi Indonesia dan Pasal-pasal yang Perlu Diatur.                          Retrieved                          from

https://tekno.kompas.com/read/2023/09/25/07000087/urgensi-uu-ai-bagi-indonesia-dan-pasal-pasal-yang-perlu-diatur?utm_source=Whatsapp&utm_medium=Referral&utm_campaign=Bott om_Mobile. Diakses pada 13 Oktober 2023.

Sumaryanto M.Kom.(2022).Penggunaan Teknologi Artificial Intelligence (AI) Pada Mobil.         Retrieved         from         https://sistem-komputer-

s1.stekom.ac.id/informasi/baca/Penggunaan-Teknologi-Artificial-Intelligence-AI-pada-Mobil/cdc942efdec57d38414d18733854923f5f56c6d5. Diakses pada 23 September 2023

Tattersall,      Ian.      (2023).      Homo      Sapiens.      Retrieved      from

https://www.britannica.com/topic/Homo-sapiens. Diakses pada 29 September 2023.

Wuling.Wuling      Indonesian      Voice      Command.Retrieved      from

https://wuling.id/id/wind.Diakses pada 23 September 2023

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6414)

Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5953)

Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5922)

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5599)

Undang-Undang No. 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Nomor (4046)

Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 243 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4045)

Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 242 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4044)

Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 241 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4043)

Jurnal Kertha Patrika, Vol. 45, No. 3 Desember 2023, h. 295-314