DAMPAK INKONSISTENSI PENDEFINISIAN “KORPORASI” DALAM TATARAN HUKUM POSITIF INDONESIA

Safanah Aprillis, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Made Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI: KW.2023.v12.i08.p3

ABSTRAK

Tujuan dari jurnal ini adalah untuk menggarisbawahi perbedaan pendefinisian “Korporasi” yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan studi putusan. Hasil studi menunjukkan bahwa setidaknya terdapat 4 (empat) definisi dari korporasi yang berbeda-beda dalam seluruh tataran peraturan perundang-undangan di Indonesia. Bahwa 4 (empat) definisi tersebut sejatinya hanya mendefinisikan badan usaha dan bukan korporasi itu sendiri. Terlebih, peraturan perundang-undangan di Indonesia bahkan tidak membedakan badan usaha yang bersifat badan hukum dan yang tidak berbadan hukum, Hal ini menjadi suatu masalah tersendiri mengingat bahwa setiap badan usaha memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga akan menimbulkan dampak hukum yang juga berbeda. Dalam jurnal ini akan dijabarkan perbedaan-perbedaan yang ada serta dampak hukum yang timbul dari inkonsistensi pendefinisian tersebut.

Kata Kunci: Korporasi, Inkonsistensi, Badan Usaha, Badan Hukum.

ABSTRACT

The purpose of this journal is to emphasize the differences in the definition of "Corporation" in Indonesian laws and regulations. This study uses a normative legal research method with a statutory and decision study approach. The results of the study show that there are at least 4 (four) definitions of a corporation that differ at all levels of laws and regulations in Indonesia. Whereas the 4 (four) definitions actually only define business entities and not the corporation itself. Moreover, Indonesian laws and regulation does not differentiate business entities that is considered as a legal entity and business entities that is not considered as a legal entity. This is a problem in itself considering that each business entity has different characteristics so that it will have different legal impacts. In this journal, the differences that exist and the legal impacts arising from the inconsistencies in these definitions will be explained.

Key Words: Corporation, Inconsistency, Business Entity, Legal Entity.

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1 . Latar Belakang Masalah

Dalam zaman yang modern ini, badan usaha/korporasi dapat dikatakan sebagai tulang punggung dari ekonomi suatu negara. 1 Hal ini karena pada saat ini manusia sangat bergantung pada badan usaha untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sebagai contoh, dalam zaman yang sudah modern ini, ketika seseorang hendak memakan buah mereka tidak akan lagi bercocok tanam terlebih dahulu. Mereka akan lebih memilih untuk membeli buah-buahan melalui platform online atau membelinya pada supermarket. Maka dari itu korporasi dapat dilihat sebagai tulang punggung dari ekonomi suatu negara. Jika ditinjau secara historis, sejatinya keberadaan korporasi telah ada di dunia sejak lama.

Seperti yang disebutkan pada paragraf sebelumnya, konsep dan keberadaan korporasi sendiri sebagai suatu entitas yang digunakan untuk melansakan kegiatan ekonomi sudah ada sejak lama. Salah satu bukti konkret dari pernyataan dalam kalimat sebelumnya adalah keberadaan The East India Company yang didirikan pada tahun 1602 dan digadang-gadang sebagai korporasi multi-nasional pertama yang telah menerapkan secara konkrit konsep saham dengan menerbitkannya.2 Berdasarkan karakteristik dan kegiatan dari The East India Company, sarjana-sarjana jadi dapat mendefinisikan atau setidaknya memetakan unsur-unsur yang berkaitan dengan suatu korporasi di antara lain (1) suatu badan yang didirikan atau diakiui oleh negara, (2) memiliki hak untuk memiliki suatu properti/barang untuk digunakan, (3) memiliki hak untuk mengajukan gugatan kepada pihak tertentu, (4) jangka waktu berdirinya korporasi itu sendiri melebihi jangka waktu para pendirinya.3

Berdasarkan pemaparan dari 2 (dua) paragraf sebelumnya, dapat dimengerti bahwasannya keberadaan dan peran korporasi sangatlah penting bagi masyarakat dalam zaman yang modern ini. Maka dari itu, diperlukan untuk juga diatur mengenai hak dan kewajiban yang dimiliki oleh badan usaha tersebut. Jika ditinjau lagi secara historis, konsep korporasi yang memiliki hak dan kewajiban dahulu dianggap sebagai konsep yang asing.4 Salah satunya adalah karena dahulu konsep membebankan kewajiban kepada korporasi dianggap sebagai suatu konsep yang abstrak dan sukar untuk dipercayai.5 Sebagai contoh, dahulu membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi tidak pernah diterapkan karena korporasi sendiri merupakan konsep subjek hukum buatan dan tidak berwujud sehingga menjadi aneh jika membebankan sanksi pidana kepada korporasi.6 Namun secara perlahan, pemahaman tersebut mulai berubah. Salah satu putusan yang mengubah persepsi korporasi sebagai pengemban hak dan kewajiban adalah putusan Santa Clara Country v. Southern Pac. R. Co. (118 U.S.

394 [1886]. Putusan tersebut sejatinya menegaskan bahwa korporasi diberikan hak dan dibebankan kewajiban yang sama selayaknya pribadi kodrati.7

Hal yang sama juga berlaku di Indonesia, bahwa di Indonesia korporasi juga diberikan beberapa hak dan dibebani beberapa kewajiban. Hak dan kewajiban dari korporasi diatur melalui peraturan perundang-undangan. Terminologi "Korporasi" pada ketentuan perundang-undangan di Indonesia pertama kali diatur melalui UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Meskipun demikian, setelah diundangkannya UU tersebut hingga sekarang, pendefinisian korporasi kerap kali menemukan keinkonsistensian. Ada beberapa pengertian perusahaan yang sering digunakan. Antara lain, (i) "Persekutuan adalah kumpulan orang atau sumber daya yang terkoordinasi, baik yang merupakan substansi yang sah"8, (ii) Perusahaan adalah kumpulan orang dan sumber daya yang terkoordinasi, baik yang merupakan elemen yang sah, 9 (iii) Perusahaan adalah tindakan bisnis sebagai substansi bisnis atau elemen yang sah,10 (iv) Suatu perusahaan juga mencakup suatu kumpulan yang terkoordinasi, khususnya suatu kumpulan terorganisir yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang ada untuk jangka waktu tertentu, dan bertindak dengan niat penuh untuk melakukan setidaknya satu tindakan kejahatan yang diatur dalam Peraturan ini yang ditetapkan untuk mendapatkan keuntungan moneter atau non-moneter, baik secara langsung maupun tidak langsung. 11(v) Kemitraan berisi organisasi dengan risiko terbatas, perusahaan, koperasi, usaha yang dimiliki negara, usaha yang diklaim secara teritorial, atau yang serupa, serta afiliasi yang terkonsolidasi atau tidak terkonsolidasi, organisasi, CV, atau yang serupa dengan peraturan dan pedoman. 12 Berdasarkan definisi-definisi di atas, jelaslah bahwa "perusahaan" dicirikan sebagai elemen bisnis dalam peraturan di Indonesia.

Penulisan kali ini juga didukung dengan penelitian-penelitian yang terdahulu dimana sebagai bahan refrensi namun walaupaun demikian terdapat unsur kebaruan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini yakni sebagai bahan pembeda. Salah satu penelitian terdahulu yakni dilakukan oleh M. Hudi - Asrori S, Munawar Kholil, Endang Mintorowati dimana melakukan suatu penelitian dengan judul yakni “Implikasi Ketentuan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan Dalam Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ” dimana dalam penelitian ini membahas mengenai implikasi praktis dan teoritis ketentuan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan dalam Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Sehingga berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan dalam hal ini penulis ingin melakukan suatu penelitian dengan judul “DAMPAK INKONSITENSI PENDEFINISIAN “KORPORASI” DALAM TATARAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA”

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pengaturan definisi korporasi dalam tataran hukum positif di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana dampak perbedaan definisi korporasi dalam tataran peraturan perundang-undangan Indonesia?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

  • 1    Untuk menunjukkan perbedaan korporasi di seluruh tataran perundang-undangan di Indonesia.

  • 2    Untuk meninjau dampak hukum dari pendefinisian korporasi yang berbeda-beda di Indonesia.

  • II.    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif, yang berpusat pada kekhawatiran yang sah yang terjadi karena pengaburan standar dan perdebatan standar dalam gagasan organisasi dan penerapannya dalam keseluruhan hukum positif Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan statueapproach, yang menggunakan filosofi seperti mengikuti standar peraturan yang sah, peraturan yang serupa, dan standar yang sah. Dengan demikian, metodologi yang digunakan untuk mengikuti artikel ini adalah strategi pemeriksaan laporan, yang mencakup pembedahan sumber-sumber hukum yang ada. Statue-approach diterapkan dalam pemeriksaan. Sumber-sumber resmi utama dan opsional yang digunakan bergantung pada peraturan dan pedoman Indonesia yang mengatur gagasan organisasi, serta distribusi dan keputusan yang berlaku untuk kemitraan. Sumber informasi opsional, seperti tulisan dan hal-hal lain yang disusun, juga digunakan. Analisis kajian dalam tulisan ini memakai analisis kualitatif.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1.    Pengaturan Definisi Korporasi di Indonesia

Di Indonesia, istilah perusahaan muncul dalam berbagai peraturan dan pedoman. Istilah perusahaan tampaknya tidak hanya muncul dalam permintaan administratif peraturan umum dan pidana. Selanjutnya, masalah kesalahan dalam mengkarakterisasi organisasi ada di dalam satu subjek peraturan, namun juga antar bidang. Perbedaan makna organisasi dalam bagian ini akan diurutkan ke dalam dua klasifikasi: perbedaan peraturan umum dan perbedaan peraturan pidana.

  • 3.1.1    Definisi Korporasi dalam Hukum Pidana

Pertanggungjawaban pidana oleh korporasi terjadi ketika suatu tindak pidana termasuk dalam lingkup kerja korporasi yang memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan bagi korporasi.13 Maka dari itu, tindak pidana korporasi dimaknai dengan adanya suatu perbuatan pidana oleh korporasi yang kerugian menimbulkan kerugian

bagi pihak lain14.Ditinjau dari peran dalam perbuatan pidana, korporasi dalam hukum pidana memiliki setidaknya tiga kedudukan, yaitu (i) pelaku tindak pidana, (ii) alat tindak pidana, dan (iii) objek tindak pidana15. Menurut Putri, kejahatan korporasi merupakan tindakan korporasi atau pekerja yang bertindak sebagai korporasi yang merupakan perbuatan yang dialrang oleh hukum.16 Untuk menarik pertanggungjawan korporasi dalam suatu perbuatan pidana terdapat beberapa teori yang dapat digunakan17, yaitu identification theory, vicarious liability, strict liability18, teori agregasi, dan corporate culture model.19

Dalam peraturan pidana Indonesia, istilah kemitraan biasanya digunakan sebagai salah satu objek pertanggungjawaban pidana. UU No. 32/2009 tentang Keamanan Alam dan Eksekutif ("Peraturan 32/2009") dengan cepat melihat kesalahan korporasi sebagai semacam tanggung jawab pidana. Hal ini dinyatakan dalam keseluruhan penjelasan PP 35/2009, yang menyatakan, "PP 35/2009 memberikan pedoman tindak pidana korporasi." 20

Sayangnya, UU 35/2009 tidak menjelaskan apa yang menjadi ciri sebuah organisasi. Secara keseluruhan, PP 32/2009 menggunakan istilah "unsur usaha," seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1 angka 32, yang menunjukkan bahwa setiap orang yang dimaksud dalam peraturan ini adalah orang perorangan atau badan usaha, terlepas dari apakah sebagai perkumpulan yang berbadan hukum atau tidak21. Ungkapan "unsur usaha" tampaknya tidak hanya terdapat pada Pasal 1 angka 32 PP No. 32/2009, tetapi juga terdapat pada pasal-pasal lainnya:

  • a)    Pasal 87 ayat (1) dan (2), yang menyatakan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab untuk memperbaiki dan memulihkan iklim; 22

  • b)    Pasal 116 ayat (1), yang menyatakan bahwa apabila tindak pidana ekologi dilakukan untuk dan demi kepentingan unsur usaha, maka tuntutan pidana

akan dikenakan kepada pelaku usaha dan juga orang yang memerintahkan tindak pidana tersebut. 23

  • c)    Pasal 118, yang menunjukkan bahwa unsur korporasi dapat diancam dengan pidana. 24

  • d)    Pasal 119, Pasal 119, yang mengawasi denda lebih lanjut atau prosedur disipliner yang dapat dipaksakan pada organisasi bisnis. 25

  • e)    Pasal 120, yang menyatakan bahwa otoritas publik dapat mengelola usaha bisnis yang diotorisasi oleh situasi perwalian. 26

Bahwa berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang No.35 Tahun 2009 serta bunyi pasal-pasal di atas, dapat diketahui bahwa Undang-Undang No.35 Tahun 2009 mengilhami badan usaha sebagai korporasi. Hal tersebut karena Undang-Undang No.35 Tahun 2009 mengamini tindak pidana korporasi sebagaimana dimaksud dalam penjelasan umum, meskipun istilah yang digunakan dalam pasal-pasalnya adalah badan usaha.

Undang-Undang No.35 Tahun 2009 sebagai peraturan payung lingkungan hidup di Indonesia seharusnya menjadi acuan peraturan-peraturan sektoral lingkungan hidup lainnya. Maka dari itu, akan dianalisis apakah UU sektoral lingkungan hidup yang lain memiliki definisi yang sama dengan UU 35/2009. Kata perusahaan sudah dikenal dalam UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ("UU No. 41/2009"). Istilah perusahaan muncul dalam Pasal 1 angka 14 UU No. 41/2009, yang menyatakan:

Setiap Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, atau korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum.

Pasal 1 angka 14 dari Peraturan 41/2009 hanya menunjukkan bahwa kemitraan yang disinggung dalam peraturan tersebut dapat menjadi elemen yang sah atau tidak. Pengertian perusahaan dicirikan dalam Pasal 27 ayat (3) UU 41/2009, yang menyatakan bahwa kemitraan dapat berupa bisnis bantuan atau bisnis plasma yang sebagian besar penawarannya dipegang oleh orang Indonesia.27 Maka dari itu, dari bunyi kedua pasal UU 41/2009 tersebut, sudah terlihat perbedaan istilah yang digunakan, yaitu tidak lagi menggunakan istilah badan usaha, serta sudah mendefinisikan apa yang dimaksud sebagai “korporasi”.

Peraturan sektoral berikut yang menggunakan istilah organisasi adalah Peraturan Perikanan No. 45/2009 ("UU 45/2009"). Seperti yang ditunjukkan oleh Pasal 1 angka 15 dari Peraturan 45/2009, perusahaan dianggap sebagai salah satu subjek

hukum. Pengertian organisasi dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 15 Permen 45/2009, yang menentukan bahwa perusahaan adalah kumpulan atau sumber daya potensial yang merupakan subjek hukum atau bukan subjek hukum. 28 Pengertian kemitraan menurut PP 45/2009 berbeda dengan pengertian kemitraan menurut PP 41/2009.

Selain itu, ungkapan "substansi bisnis" secara umum tidak dipahami dalam Peraturan No. 18/2013 tentang Antisipasi dan Penghancuran ("Peraturan 18/2013"), dan ungkapan "organisasi" digunakan secara umum. Sebuah organisasi dicirikan dalam Pasal 1 angka 22 sebagai kumpulan individu atau potensi kekayaan yang terkoordinasi, apakah itu asosiasi yang sah. Peraturan ini memiliki arti yang sama dengan Peraturan 45/2009. Makna organisasi yang sebanding dapat ditemukan dalam UU No. 13/2010 tentang Budidaya, yang mencirikannya sebagai kumpulan orang dan kekayaan yang dikoordinasikan secara sah atau tidak sah.29

Pertanggungjawaban pidana korporasi tidak hanya dikenal dalam kesalahan ekologis, kesalahan yang berbeda, misalnya, penggelapan pajak, juga menggunakan pertanggungjawaban komparatif bersekongkol. Pengertian korporasi dalam delik penghindaran pajak secara ilegal sebagaimana tercantum dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana di Bidang Penggelapan Pajak, secara eksplisit dalam Pasal 1 angka 9 menyatakan bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi, baik yang berasal dari kekayaan yang sah maupun yang bukan kekayaan yang sah. Untuk sementara, Resolusi Migrasi No. 6/2011 ("Peraturan 6/2011") memiliki kepentingan yang sama dengan resolusi penggelapan pajak.

Sebuah organisasi dicirikan oleh UU No. 6/2011 sebagai kumpulan orang atau sumber daya yang terkoordinasi, baik perkumpulan yang sah maupun yang tidak sah. Makna organisasi dalam peraturan sektoral ekologi, peraturan penghindaran pajak ilegal, dan peraturan pergerakan kemudian diterapkan dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Perusahaan ("Perma 13/2016"). Perma 13/2016 berfungsi sebagai pembantu majelis hakim dalam menangani perkara-perkara yang berkaitan dengan unjuk rasa yang dilakukan oleh organisasi.

Kemudian, pada saat itu, dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, ditemukan arti lain dari perusahaan, yang mencirikan kemitraan sebagai bermacam-macam orang yang terkoordinasi atau berpotensi menjadi kaya, apakah itu merupakan asosiasi yang sah atau tidak.

Selain itu, ada beberapa standar berbeda yang menggunakan istilah perusahaan namun tidak menjelaskan apa yang tersirat dalam UU. Pedoman ini adalah sebagai berikut:

  • a)    UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

  • b)    UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

  • c)    UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

  • d)    UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Peraturan tersebut mengakui istilah kemitraan sebagaimana ditentukan dalam teks pedoman, khususnya bahwa ungkapan "individu" yang digunakan dalam peraturan ini mencakup individu dan organisasi. Untuk sementara, Peraturan No. 9/2008 tentang Bahan Sintetis dan Larangan Penggunaan Bahan Sintetis sebagai Senjata Api ("Peraturan 9/2008") memiliki arti "kemitraan" sendiri, yang berbeda dengan peraturan sebelumnya. Sesuai dengan Pasal 1 angka 21 PP 9/2008, organisasi adalah gerakan bisnis sebagai elemen bisnis dan substansi yang sah. Dari definisi ini, terdapat istilah yang berbeda dengan peraturan-peraturan yang telah dibahas sebelumnya, yaitu menggunakan istilah “kegiatan usaha” serta penggunaan “dan” dalam bentuk korporasi, yaitu korporasi harus berbentuk badan usaha dan badan hukum.

  • 3.1.2 Definisi Korporasi dalam Hukum Perdata

Berbagai peraturan perundang-undangan menerima kata perusahaan dalam hukum perdata. Istilah perusahaan diakui sebagai subjek hukum setiap orang oleh UU No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia ("UU 42/1999"). Oleh karena itu, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 5, 6, dan 10, UU 42/1999, pemberi dan penerima fidusia dapat berupa perusahaan. Istilah perusahaan juga dikenal dalam UU perasuransian, yaitu UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.

Korporasi memiliki arti yang berbeda dalam hukum perdata, apakah disebut sebagai badan usaha atau badan hukum, seperti halnya dalam hukum pidana. Dalam hukum perdata, badan usaha meliputi perseroan terbatas, persekutuan perdata, persekutuan komanditer, dan (iv) usaha. Perseroan Terbatas diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ("UU PT"). Sementara itu, peraturan yang mengatur Persekutuan Perdata, CV, dan Firma dapat ditemukan dalam dua UU: Burgerlijk Wetboek/Kitab UU Hukum Perdata ("KUHPer") dan Wetboek van Koophandel/Kitab UU Hukum Dagang ("KUHD").

Sesuai dengan Pasal 1618 KUHD, persekutuan komanditer adalah suatu organisasi yang dibentuk oleh suatu perjanjian antara tidak kurang dari dua orang untuk menyumbangkan sesuatu atau inbreng, dan benefit yang didapatkan dari adanya kerjasama tersebut dibagikan ditengah-tengah yang bersekutu. Pasal 16 KUHD mencirikan firma sebagai organisasi yang dibentuk untuk menjalankan pekerjaan dengan satu nama biasa30. Kemudian, di bawah Pasal 19, CV dicirikan sebagai firma yang dibingkai oleh mitra yang berbeda di mana para mitra berbagi tanggung jawab secara tanggung renteng.

Pasal 1 UU PT mencirikan organisasi tanggung jawab terbatas sebagai (1) substansi yang sah, (2) kolusi modal, (3) didirikan berdasarkan kesepahaman, dan (4) melakukan tugas- tugas bisnis dengan modal yang diizinkan yang sepenuhnya dibagi ke dalam penawaran dan memenuhi langkah-langkah yang sah.

  • 3.2 Dampak Inkonsistensi Pendefnisian Korporasi di Indonesia

Sebagaimana telah dibahas dalam bagian-bagian sebelumnya, dapat dipahami bahwa di Indonesia pendefinisian "korporasi" masih meliputi inkonsistensi. Salah satu dampak yang muncul dari inkonsistensi pendefinisian korporasi adalah tidak tepatnya penjatuhan pidana dalam hal terjadinya tindak pidana korporasi. Saat ini, semua substansi bisnis di Indonesia dipandang sama di bawah hukum dan dipandang sebagai organisasi. Sebagai aturan umum, setiap substansi perusahaan memiliki karakteristik dan sorotan yang luar biasa. Seperti yang ditunjukkan oleh Pasal 1 angka 1 UU No. 40 Tahun 2007, Perseroan Terbatas yakni badan hukum yang juga adalah asosiasi modal. 31 Sebagai badan hukum, tanggung jawab perusahaan terbatas memiliki kekuatan yang sah untuk melakukan kegiatan yang sah. Selain itu, tanggung jawab setiap investor terbatas pada berapa banyak modal yang dikontribusikan. 32

Ini tidak sama dengan bentuk badan hukum lainnya yaitu Firma ataupun Comanditaire Venotschaap (Persekutuan Komanditer), yang hanya merupakan perkumpulan para mitra33. Konsekuensi yang sah adalah bahwa komitmen para mitra bersifat pribadi untuk semua yang berkumpul. Ini pun turut ditegakkan pada Pasal 18 KUHD, dimana menyampaikan "dalam organisasi firma, setiap sekutu bertanggung jawab secara tanggung renteng atas setiap komitmen organisasi."34 Pada saat kedua elemen organisasi tersebut dipikirkan, jelas keduanya memiliki sorotan khusus. Meskipun demikian, pengaturan di Indonesia menyamaratakan seluruh badan usaha yang memiliki perbedaan ciri-ciri tersebut sebagai "korporasi".

Untuk memberikan sebuah gambaran nyata atau konkrit mengenai dampak dari inkonsistensi pendefinisian terminologi "korporasi" di Indonesia, penulis akan menjelaskan implikasi hukum dalam ranah tindak pidana korporasi. Setidaknya terdapat 3 (tiga) urgensi utama untuk memidana suatu korporasi dalam hak terjadinya tindak pidana korporasi. Ketiga urgensi tersebut adalah (i) untuk mengkompensasi kerugian masyarakat atas terjadinya tindak pidana35, (ii) sebagai suatu metode untuk mengatur perilaku korporasi36, dan (iii) salah satu instrumen untuk menimbulkan efek jera/detterence effect. 37 Pada saat keputusasaan organisasi yang menolak dipikirkan, terutama kekritisan kedua dan ketiga, jelas motivasi utama di balik penolakan/pendukungan terhadap sebuah perusahaan adalah untuk memberikan

dampak penghalangan terhadap kemitraan yang melakukan demonstrasi kriminal, sehingga mereka tidak akan mengulangi demonstrasi/aktivitas kriminal yang dihalangi oleh peraturan di kemudian hari.

Bagaimanapun, mengingat fluktuasi Indonesia dalam mengkarakterisasi "perusahaan" hingga saat ini, hal ini mungkin tidak dapat dibayangkan. Menyinggung kembali kualifikasi antara PT sebagai individu yang sah dan Firma/CV sebagai elemen bisnis yang hanya terdiri dari para mitra, kedua badan usaha tersebut memiliki jenis kewajiban yang jelas. Sementara PT, sebagai substansi yang sah, memiliki sumber daya yang jelas dan tanggung jawab yang terbatas terhadap investornya, Firma/CV tidak memiliki sumber daya yang terpisah dari elemen bisnis sehingga memiliki kewajiban yang tidak terbatas. Sorotan dan bobot tanggung jawab yang ditunjukkan pada bagian sebelumnya sangat penting untuk mencapai dua urgensi dari kesalahan perusahaan.

Menyindir rencana permainan Pasal 25 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, disiplin esensial yang bisa dibatasi pada organisasi hanya denda. 38 Dengan demikian, untuk benar-benar mencapai kesungguhan disiplin organisasi, maka urusan denda pidana harus diselesaikan dengan mempertimbangkan urusan sosial yang benar-benar dapat dipercaya. Kembali pada penjelasan kualifikasi karakteristik antara substansi bisnis yang merupakan komponen legal dan yang bukan, dengan mengharapkan denda pidana yang dibebankan pada komponen bisnis sebagai komponen yang nyata, organisasi "tidak akan terlalu merasakan dampaknya", tidak sedikitpun seperti jika denda pidana dibebankan pada komponen bisnis yang jelas-jelas bukan substansi yang sah.

Dengan demikian, beban hukuman pokok sejumlah Rp500.000.000,00 untuk tindak pidana yang dibebankan dari unsur usaha sebagai unsur yang sah dan unsur usaha sebagai unsur yang melanggar hukum akan menimbulkan berbagai dampak. Meskipun demikian, meskipun menyinggung makna "perusahaan" dalam peraturan dan pedoman di Indonesia, hal ini tampaknya tidak dipertimbangkan sama sekali. Faktanya, perlu diingat bahwa persekutuan sebenarnya adalah "persona ficta" atau "fiksi yang sah" sehingga tidak memiliki mens rea. 39 Dengan demikian, tindak pidana yang dilakukan oleh organisasi benar-benar muncul karena adanya mens rea dari administrasi. Oleh karena itu, dalam memberikan sanksi penjahat, penting untuk fokus pada apakah perkumpulan yang benar-benar memiliki mens rea akan terpengaruh atau tidak dengan alasan bahwa benar-benar dapat dibayangkan untuk memaksakan persetujuan kriminal pada administrasi kemitraan di luar otorisasi pelanggar hukum yang telah dipaksakan pada perusahaan yang sebenarnya. 40

  • IV. Kesimpulan sebagai Penutup

    4. Kesimpulan

Dalam kajian ini, dapat disimpulkan bahwa pengaturan definisi "korporasi" dalam tataran hukum positif di Indonesia masih mengalami inkonsistensi. Hal ini memengaruhi berbagai aspek hukum, terutama dalam konteks tindak pidana korporasi. Dampak dari inkonsistensi ini adalah ketidakjelasan dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap korporasi yang terlibat dalam pelanggaran hukum. Definisi

yang berbeda-beda dalam berbagai peraturan perundang-undangan menciptakan kesulitan dalam mengatur perilaku korporasi, mengkompensasi kerugian masyarakat, dan menciptakan efek jera yang efektif. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk merumuskan definisi yang lebih konsisten dan tepat mengenai "korporasi" dalam hukum Indonesia agar dapat mencapai tujuan hukum yang lebih jelas dan efisien. Dampak dari inkonsistensi ini adalah ketidakjelasan dalam penjatuhan pidana terkait tindak pidana korporasi. Pertama, dalam konteks tindak pidana korporasi, perusahaan dengan karakteristik yang berbeda, seperti Perseroan Terbatas (PT), Firma, dan Comanditaire Venotschaap (CV), diperlakukan sama sebagai "korporasi." Padahal, tanggung jawab dan karakteristik hukum dari masing-masing entitas tersebut berbeda. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakadilan dalam penjatuhan pidana. Kedua, penjatuhan pidana terhadap korporasi adalah salah satu cara untuk mengatur perilaku korporasi, memberikan kompensasi kepada masyarakat yang mungkin mengalami kerugian akibat tindak pidana, dan menciptakan efek jera. Namun, ketidakjelasan dalam definisi korporasi dapat menghambat efektivitas dari tindakan hukum terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana. Maka, diperlukan konsistensi dalam pendefinisian "korporasi" dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, terutama dalam konteks tindak pidana korporasi. Hal ini akan membantu memastikan bahwa penjatuhan pidana lebih adil dan efektif, serta membantu dalam mengatur perilaku korporasi yang sesuai dengan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Dr. H. Nur Solikin, S.Ag., MH. (2019). Pengantar Metodologi Penelitian Hukum.

Dr. Paramita Prananingtyas, S.H., LL.M. (2019). Buku Ajar: Hukum Perusahaan. Penerbit Yoga Pratama.

Jurnal

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. (2021). Penguatan Posisi Masyarakat terhadap Negara dalam Kerangka Perlindungan Kebebasan Berpendapat. Jurnal Legislasi Indonesia, 18(1).

Kurniawan, Syukri dan Hari Sutra Disemadi. “Corporation’s Criminal Liability in Indonesia: A Response to the Weak Enforncement of Corporate Social Responsibility.” Lentera Hukum 7 No. 2 (2020): 209-230.

Marbun, Andreas N “Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi.” MaPPI FH UI . (2020) hlm. 30.

Salim, M. Noor, Darwati Susilastuti dan Pudji Astuty. “Determinants of Indonesian MSME Exports and Their Performance during the COVID-19 Pandemic.” Economics and Business Quarterly Reviews Vol. 4, No. 3 (2021): 162-173.

Kristian, K. (2014). URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI. Jurnal Hukum & Pembangunan, 44(4), 575.

Satria, H. (2018). Pembuktian Kesalahan Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Integritas, 4(2).

Panggabean, Mompang L. “Anotasi Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidanan Kajian Putusan No. 1405 K/Pid.Sus/2013.” Dictum Edisi 12- Maret. (2017).

Purnomo, Andi. “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Tindak Pidana Penyelundupan Barang Oleh Korporasi?” COMSERVA: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2, No. 7 (2022): 842-849.

Sanjaya, Bahari, Muladi dan Ratna Kumala Sari. “Inkonsistensi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Peraturan Perundang-Undangan di Luar KUHP.” Jurnal Penelitian Ilmu Hukum 15, No. 2 (2020): 218-227.

Seth, V. K. (2012). The East India Company—A Case Study in Corporate Governance*.

Global Business Review, 13(2), 221–238. https://doi.org/10.1177/097215091201300203

Sirait, T. M. (2016). Urgensi Perluasan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Manifestasi Pengejawantahan Konstitusi. Jurnal Konstitusi,   13(3),   575.

https://doi.org/10.31078/jk1335

Sutherland, E. H. “Crime and Bussiness.” Annals of American Academy of Political and Social Science. Vol. 217, (1941), hlm. 112.

Putri, R. C. (2020). BENTUK HUKUM PERUSAHAAN PERSEKUTUAN DI INDONESIA DAN PERBANDINGANNYA DI MALAYSIA. Cepalo, 4(1), 15–28.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab UU Hukum Perdata Indonesia (Burgerlijk Wetboek)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Lembaran Negara Republik Indonesia 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Lembaran Negara Republik Indonesia 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3698

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2008 tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia, Lembaran Negara Republik Indonesia 2008 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4835

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Lembaran Negara Republik Indonesia 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5062

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Lembaran Negara Republik Indonesia 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Lembaran Negara Republik Indonesia 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura, Lembaran Negara Republik indonesia 2010 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5170

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Lembaran Negara Republik Indonesia 2023 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6842

Putusan Luar Negeri

Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat Santa Clara Country v. Southern Pac. R. Co., (Santa Clara v Souther Pac R. Co) (Decision) [1886]

Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 08 Tahun 2023, hlm. 407-419