RESTITUSI KEPADA ANAK YANG JADI KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (STUDI PUTUSAN NOMOR 346/Pid.Sus/2017/PN. Amb)

Sagung Agung Diah Prameswari Puspitaningtyas, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: diah.prameswari14@gmail.com

I Dewa Gede Dana Sugama, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dewasugama@ymail.com

DOI: KW.2023.v12.i10.p4

ABSTRAK

Penelitian berguna sebagai pengkajian pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 346/Pid.Sus/2017/PN. Amb dalam menjatuhkan pidana restitusi kepada pelaku tindak pidana perdagangan orang. Metode yang dipergunakan ialah normatif dengan pendekatan perundang-umndangan dan kasus. Studi menampilkan anak korban tindak pidama perdagangan orang mendapat perlindungan hukum bahkan berhak memperoleh restitusi. Majelis hakim dalam Putusan Nomor 346/Pid.Sus/2017/PN. Amb ketika menjatuhkan hukuman berupa kewajiban untuk membayar restitusi kepada korban atas pertimbangannya dalam rangka repatriasi, rehabilitasi, dan reintegrasi kembali ke masyarakat, termasuk memberikan jaminan perlindungan dari ancaman pelaku perdagangan orang yang mungkin mengancam keselamatan korban.

Kata Kunci: Anak, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Restitusi, Pertimbangan Hakim

ABSTRACT

Research is useful as a review of judges' considerations in Decision Number 346/Pid.Sus/2017/PN. Amb in imposing restitution on trafficking offenders. The method used is normative with a legal and case approach. Studies show that child victims of trafficking crimes receive legal protection and are even entitled to restitution. The panel of judges in Decision Number 346/Pid.Sus/2017/PN. Amb when imposing penalties in the form of an obligation to pay restitution to victims for their consideration in the context of repatriation, rehabilitation, and reintegration into society, including providing guarantees of protection from the threat of traffickers who may threaten the safety of victims.

Key Words: Children, Human Trafficking, Restitution, Judge's Considerations

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Globalisasi berdampak signifikan bagi bermacam aspek kehidupan tak terkecuali bagi hukum. Seimbang bersama perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi, praktik kesehatan terjadi di masyarakatpun berkembang. Banyak jenis kejahatan muncul yang menyebabkan korban yang banyak disebabkan media kejahatan bermutu serta modern. Kejahatan yang terjadi dewasa ini tidak jarang menargetkan anak sebagai korban. Kejahatan yang terjadi dewasa ini tidak jarang menargetkan anak sebagai korban. Banyak korban kejahatan yaitu anak dan

peremapuan yang menjadi sasaran utamanya. Pemerintah sebaiknya menegaskan aturan atau meningkatkan keamanan di sekitar masyarakat agar kejahatan tidak dapat terjadi atau dapat di cegah. Selain itu perlunya kesadaran dari diri sendiri juga sangat penting dilaksanakan agar terciptanya kehidupan yang tentram dan damai. Kedamaian dan ketentraman inilah yang slalu dinantikan oleh masyarakat dan pemerintah dalam kehidupan bermasyarakat, karena tujuan utama dari adanya negara adalah kedamaian untuk bangsa, serta kedamaian untuk masyarakat. Inilah maksud dari mengapa kita harus mengutamakan kepentingan kelompok atau kepentingan bersama dibandingkan dengan kepentingan individu, karena dalam kehidupan kita tidak bisa memaksakan kehendak sendiri karena dapat menyebabkan pertikaian satu dengan yang lainnya. Jika kita sudah mengutamakan kepentingan bersama atau golongan maka kita dapat terhindari dari pertikaian tersebut dan kehidupan akan aman. Selain itu perlu diadakannya sebuah sosialisasi yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya suatu hukum. Jika masyarakat dapat paham dan mengerti dengan adanya hukum maka akan timbul rasa takut untuk melanggar aturan hukum yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.

Setelah timbul aturan hukum, maka dapat ditegakkan kembali melalui sebuah hukuman yang setara atau hukuman yang berat untuk para pelaku kejahatan yang telah menjalankan aksi kejahatan nya tersebut. Mengapa hal ini sangat penting untuk dilakukan, tujuannya agar ketika ia sudah melakukan kejahatan tersebut, ia akan dihukum berat dan membuat para pelaku tidak mau mengulangi perbuatannya lagi (karena hukumannya berat dan sangat merugikan pelaku dan menyebabkan pelaku tersebut kapok). Selain itu disisi lainnya, seseorang yang hendak akan melakukan kejahatan jika melihat aturan atau hukuman yang tegas dan sudah dilaksanakan maka ia akan takut untuk berbuat hal tersebut. Hal yang ditakutkan adalah hukuman yang akan ia terima saat sudah melakukan kejahatan itu, selain itu dampak lainnya yang akan dirasakannya selama ia mengalami masa hukuman. Jadi kesimpulannya sangat penting aksi dan peranan aparat hukum dalam menuntaskan kasus kejahatan ini. Jika kasus ini dianggap hal yang mudah untuk dilewati maka akan menyebabkan seseorang atau masyarakat luas akan tidak mengenal rasa takut untuk melaksanakan aksi kejahatannya.

R.A. Koesnan. mengemukakan anak diuraikan sebagai “Anak-anak yaitu manusia muda dalam umur muda dalam jiwa dan perjalanan hidupnya karena mudah terpengaruh untuk keadaan sekitarnya.”1 Salah satu aspek penegakan hukum yaitu perlindungan bagi setiap orang, termasuk anak. Konstitusi Indonesia menjamin hak anak di Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Anak ialah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, berhak mendapatkan perlindungan haknya, tumbuh kembangnya, cinta dan kasih sayangnya, serta harkat dan martabatnya. Segala tindakan atau perlakuan yang merusak dan mengganggu hak-haknya serta mengeksploitasi semua anak yang tidak manusiawi harus dihentikan tanpa terkecuali. Salah satu kejahatan yang korbannya seringkali merupakan anak yakni perdagangan orang. Kasus ini tidak baru terjadi. Mayoritas perdagangan orang memakan korban perempuan & anak. Berdasarkan UU 21/2007).

Kejahatan perdagangan orang mengancam masyarakat umum, khususnya warga penghasilan rendah & pendidikan rendah2. Kemenlu RI mengungkapkan pada tahun 2021 terdapat 361 kasus tersebut. Tahun 2022 kasus ini meroket sebesar 100% menjadi 752 kasus3. Korban perdagangan orang mayoritas merupakan wanita serta anak. Kaum wanita serta anak paling rentan diperdagangkan, khususnya untuk eksploitasi, seksual, eksploitasi secara ekonomi serta dijadikan pengemis.

Perdagangan anak ialah pelanggaran HAM yang serius, karena korban diperlakukan secara tidak manusiawi layaknya barang dagangan yang diperjual belikan, dialihkan, kemudian diambil semua haknya bahkan dengan resiko kematian. Hal tersebut termasuk dalam perbudakan dan penghambaan. Tahun 2016 silam terdapat kasus perdagangan orang yang korbannya merupakan 7 (tujuh) anak di bawah umur di Ambon. Ketujuh anak itu dijanjikan bekerja ngelayani tamu dengan menuangkan minuman di kafe.

Kenyataannya ketika sampai di Ambon, ketujuh anak tersebut justru disuruh melayani tamu untuk berhubungan badan. Pengadilan Negeri Ambon yang mengadili kasus ini telah menjatuhkan pidana terhadap kedua terdakwa yang memperdagangkan anak di bawah umur tersebut. Pidana tersebut berupa tiga tahun penjara dan denda serta mewajibkan membayar restitusi kepada korban. KBBI mendefinisikan restitusi ialah “ganti kerugian”/“pembayaran kembali”. Berdasarkan Perma 1/2022). Kerugian ditimpa dikenakan ganti rugi, ganti rugi mencakup pengembalian harta serta pembayaran ganti rugi serta jasa4. Berkaitan dengan hal itu, peneliti mengkaji mengenai kewajiban restitusi pada anak selaku korban tindak pidana perdagangan orang dalam Putusan Nomor 346/Pid.Sus/2017/PN. Amb.

Jika melihat penelitian mengenai hak restitusi korban kejahatan perdagangan orang saat ini, cukup banyak penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu, salah satunya yakni: Salsabila Dewi Vitasari, Satria Sukananda, Sandra Wijaya dengan judul Pelaksanaan Pemberian Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Kadiri (2020) yang dilakukan menggunakan metode normatif. Berdasarkan penelitian terdahulu tersebut, maka dapat diketahui bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian tersebut. Penelitian ini memfokuskan kajian pada bentuk perlindungan hukum kepada anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana perdagangan orang berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia?

  • 2.    Apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 346/Pid.Sus/2017/PN. Amb dalam memberikan hak restitusi kepada anak korban tindak pidana perdagangan orang?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

  • 1.    Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana perdagangan orang berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia.

  • 2.    Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 346/Pid.Sus/2017 PN. Amb dalam memberikan hak restitusi kepada anak korban tindak pidana perdagangan orang.

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode normatif. Metode ini bermaksud wadah guna mengajak peneliti mencari jalan keluar atas kasus ini kekosongan hukum, konflik norma/kekaburan norma dengan cara menelusuri norma, kaidah, asas-asas, teori, filosofi, beserta peraturan hukum. Penelitian mengkaji hak restitusi anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) digunakan dalam penelitian ini & memakai pendekatan kasus (case approach). Penelitian ini bahan hukumnya bersumber dari Putusan Pengadilan, Per-UU, serta buku & jurnal hukum. Bahan hukum dikumpul melalui teknik studi dokumen & dianalisis menggunakan analisis kualitatif.

  • III.   Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Perdagangan

Orang berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Indonesia

Manusia sejak berada di kandungan telah memiliki hak asasi. Anak ialah generasi yang meneruskan bangsa wajib dilindungi karena memiliki martabat sebagai manusia yang wajib dijunjung tinggi karena anak ialah kekayaan utama. Anak ialah generasi penerus bangsa, baik / buruknya masa yang akan mendatang bergantung pada kondisi anak. Berhubungan dengan ini, perlakuan kepada anak harus baik karena anak pengemban risalah peradaban 5.

KBBI mendefinisikan perlindungan sebagai “tempat berlindung” atau “merupakan perbuatan untuk melindungi”. Sudikno Mertokusumo mendefinisikan bahwa “yang dimaksud dengan hukum adalah kumpulan peraturan atau kaedah yang mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah.”6 Setiono mengungkapkan “Perlindungan Hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.”7

Terdapat 2 bentuk sarana perlindungan hukum yakni sarana secara preventif & represif. Preventif bermakna bahwa subyek hukum diberi kesempatan mengusulkan pendapatnya sebelum keputusan pemerintah berbentuk denitif. Bertujuan menanggulangi terjadi konflik. Perlindungan hukum preventif tindak pemerintah berdasar kebebasan bertindak pada perlindungan hukum preventif pemerintahan didorong kehati-hatian ketika menentukan keputusan yang didasarkan diskresi serta

bertujuan mendamaikan sengketa8. Perlindungan korban bergantung bentuk penderitaan & kerugian.9 Perlindungan anak dijamin pada konstitusi, UU HAM, UU Perlindungan Anak & berbagai instrumen hukum internasional lainnya. UU Perlindungan Anak Pasal 1 angka 2 mengatur “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Indonesia menetapkan berbagai ketentuan perlindungan, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai “anak” berdasarkan perspektif Per-UU Indonesia.

Pasal 1 ayat (1) 23/2002 mengenai Perlindungan Anak, ditentukan “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Pasal 330 KUH Perdata menegaskan “Seseorang dianggap sudah dewasa jika sudah berusia 21 tahun / sudah menikah.” Berdasarkan ketentuan Pasal 330 KUHPer maka anak ialah dibawah usia 21 Th / belum kawin. Berdasarkan UU No. 1 Th 2023 Tentang KUHP menentukan “Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.”

Korban perdagangan manusia mayoritas merupakan wanita dan anak-anak. UU HAM secara jelas telah melarang perbudakan, penghambaan dan juga perdagangan manusia. Pasal 20 UU HAM mengatur bahwa:

  • 1)    “Dilarang adanya perbudakan / diperhamba”;

  • 2)    “Perhambaan / perbudakan, perdagangan budak, perdagangan wanita, & segala tindakan sejenis dilarang”.

UU HAM menjamin perlindungan hukum terhadap anak. Pasal 41 ayat (2) menetapkan “Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.” Penjelasan terhadap frasa kemudahan dan perlakuan khusus tersebut “Yang dimaksud dengan "kemudahan dan perlakuan khusus" adalah pemberian pelayanan, jasa, atau penyediaan fasilitas dan sarana demi kelancaran, keamanan, kesehatan, dan keselamatan.” Pasal 52 ayat (1) UU HAM menentukan “Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.” Aturan tersebut telah mengamanatkan negara untuk melindungi anak. UU 35/2014 juga telah memberikan amanat ke pemerintah daerah & lembaga negara guna melakukan tindakan khusus terhadap korban perdagangan orang.

Pasal 68 UU 35/2014 menentukan “Perlindungan Khusus bagi Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat 2 huruf h dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi.” Pengaturan yang menetapkan mengenai perlindungan khusus diatur PP No. 78 Th 2021 mengenai Perlindungan Khusus Bagi Anak.

UU 35/2014 telah melarang perbuatan mengeksploitasi anak dengan ekonomi & seksual. Pasal 76I ditentukan “Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap Anak.” Istilah eksploitasi dengan ekonomi & eksploitasi secara seksual diartikan pada Pasal 66 UU 35/2014.

Pasal 88 UU 35/2014 menetapkan ketentuan pidana apabila melanggar Pasal 76I tersebut yakni “Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 76I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).” Ketentuan tersebut melarang dengan keras dan tegas eksploitasi dengan ekonomi & seksual terhadap anak. Pasal 71D ayat (1) UU 35/2014 menentukan “Setiap Anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf h, huruf i, dan huruf j berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan.” Penjelasan Pasal 71D ayat (1) mengatur bahwa “Yang dimaksud dengan “restitusi” adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau imateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Khusus untuk Anak yang berhadapan dengan hukum yang berhak mendapatkan restitusi adalah Anak korban.” Restitusi ialah pidana yang diberikan hakim yang memerintahkan membayar ganti kerugian korban & keluarganya.10 Prinsip ini memberi ketegasan sebagai pemulihan yang dilakukan mencakup aspek yang terjadi akibat kejahatan. Pengajuan restitusi menimbulkan kebebasan korban, pemulihan pekerjaan, asetnya dapat dipulihkan.11 Permasalahan restusi korban kejahatan hubungan pelaku & korban ialah wujud resosialisasi masyarakat sebagai pelaku.12

Hak korban diganti rugi di integral dari bidang kesejahteraan / jaminan sosial (social security)13 bagian Hak Asasi. Restitusi timbul karena adanya gerakan hak korban menimbulkan sentiment sistem peradilan pidana memberatkan pelaku & acapkali tidak berhasil memenuhi kepentingan korban.14 Bentuk restitusi bertujuan memberikan kegunaan pada korban berdasarkan teori Utilitarianisme yang merupakan teori pemikiran memberi kesejahteraan untuk luasnya masyarakat, untuk mengukur keadilan seberapa besar manfaat kesejahteraan dilakukan selama proses peradilan pidana perkara berlanjut.15

  • 3.2    Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor 346/Pid.Sus/2017/PN. Amb dalam Memberikan Hak Restitusi kepada Anak Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Tahun 2017 terdapat kasus perdagangan orang di Ambon yang melibatkan 2 orang terdakwa serta menimbulkan 3 korban anak. Para terdakwa beridentitas sebagai Debi Sirajuddin (yang selanjutnya disebut dengan Terdakwa I) dan Siti Aisha (yang selanjutnya disebut dengan Terdakwa II). Anggota polisi, saksi Alfred Sasuwuhe memperoleh informasi terkait adanya anak-anak dibawah umur yang bekerja di lokalisasi Tanjung Batu Merah, sehingga saksi melakukan penyelidikan di tempat

tersebut. Penyelidikan tersebut menghasilkan ditemukannya 7 anak perempuan di bawah umur yang dipekerja sebagai pramuria sekaligus melayani tamu laki-laki guna melakukan persetubuhan. Bagian Perlindungan Anak Reserse Kriminal Umum Polda Maluku kemudian mengamankan para korban yang dipekerjakan di lokasi tersebut.

Kasus ini bermula dari terdakwa II yang bekerja sebagai pramuria di tempat terdakwa I, pulang kampung ke Makassar. Kesempatan tersebut digunakan terdakwa II untuk merekrut para korban yakni anak-anak dibawah umur (Andini Angreani alias Andini, Adinda Nurul Nafisa alias Dinda alias Nucek, dan Nur Hikma Sari alias Ima) untuk bekerja di tempat karaoke di Ambon dengan iming-iming upah Rp. 5.000.000,-/bulan bahkan Rp. 1.000.000,-/hari hanya dengan menuangkan minuman. Terdakwa II setelah merekrut para korban langsung menghubungi Terdakwa I yang kemudian memesankan pesawat kepada Siti Aisha beserta para korban ke Ambon. Sesampainya di Ambon, terdakwa II membawa para korban ke Wisma Anggrek di lokalisasi Tanjung Batu Merah untuk menemui terdakwa I dan diberikan kamar sewa untuk ditempati dan bekerja sebagai pramuria dan PSK.

Putusan No. 346/Pid.Sus/2017/PN. Amb, Hakim menjatuhkan pidana pokok & mewajibkan terdakwa membayar restitusi secara tanggung renteng kepada para korban. Penuntut umum. Penuntut umum mendakwa para terdakwa beserta konstruksi dakwaan berbentuk alternatif, yakni melanggar Pasal 2 ayat (2) UU 21/2007 jo. Pasal 55 ayat ke-1 KUHP / serta melanggar Pasal 88 jo. Pasal 761 UU 35/2014. Majelis Hakim dalam putusan tersebut mempertimbangkan dakwaannya sesuai fakta hukum dalam persidangan. Majelis hakim mempertimbangkan Pasal 2 ayat (2) UU 21/2007 jo. Pasal 55 ayat ke-1 KUHP. Unsur tersebut diuraikan:

  • 1.    “Unsur Setiap Orang;

  • 2.    Unsur yang  melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan,

pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atas posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia mengakibatkan orang tereksploitasi;

  • 3.    Unsur yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan.”

Setiap orang pertimbangan hakim yakni “orang atau perseorangan selaku subyek hukum yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dimana yang bersangkutan sedang dihadapkan ke persidangan dan apabila perbuatannya memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana yang didakwakan maka orang tersebut akan dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana.” Hakim mengemukakan kasus ini tidak ada error in persona / seseorang ketika keliru ketika mengadili & yang dimaksudkan setiap orang pada perkara ini ialah terdakwa. Unsur kedua yakni “unsur yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atas posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia mengakibatkan orang tereksploitasi”. Majelis hakim berpendapat bahwa frasa “untuk tujuan” sebelum frasa “mengeksploitasi orang tersebut” membuktikan tindak pidana perdagangan orang terpenuhi unsur perbuatan & tidak diwajibkan menyebabkan akibat. Sesuai fakta hukum terdapat di persidangan

terdakwa melakukan penyangkalan tanpa didukung alat bukti lain. Saksi a de charge yang ditunjukkan oleh terdakwa tidak mendukung penyangkalan terdakwa. Majelis hakim mengemukakan unsur kedua terpenuhi berdasarkan hukum.

Selanjutnya ketiga yakni “yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan.” Unsur turut melakukan melibatkan 2 pihak / lebih dan ketika melaksanakan tindak pidana tersebut terdapat kerjasama yang sedemikian erat diantara sesama mereka. Unsur penyertaan (deelneming) merupakan unsur alternatif dimana ketika diantaranya terbukti, unsur ini dapat dinyatakan terpenuhi dan terbukti. Majelis hakim mempertimbangkan bahwa dalam rumusan UU 21/2007 secara formal telah dimuat beberapa ketentuan yang mengatur perlindungan korban (Bab 5 Perlindungan Saksi & Korban Pasal 43-55). Memberikan perlindungan (protection) korban perdagangan orang, seyogyanya bukan hanya memberikan bantuan sosial dan hukum, tetapi juga memastikan bahwa korban perdagangan orang dalam rangka repatriasi, rehabilitasi, dan reintegrasi kembali ke masyarakat, termasuk memberikan jaminan perlindungan dari ancaman pelaku perdagangan orang yang mungkin mengancam keselamatan korban. Diberatkan oleh sifat dari tindak pidana itu sendiri, perbuatan terdakwa yang dilakukan secara bersekutu, dan hasil yang telah dinikmati dari kejahatan yang diperbuat oleh para terdakwa. Sesuatu yang diringankan yakni para terdakwa belum mendapatkan hukuman, berlaku dipersidangan secara sopan dan para terdakwa merupakan wanita yang kehadirannya diperlukan dalam keluarga untuk memberi penghidupan dalam keluarga.

  • IV. Kesimpulan sebagai Penutup

    4. Kesimpulan

Saat anak mengalami tindak pidana perdagangan orang, seorang anak dilindungi secara hukum. Perlindungan hukum kepada anak telah diatur dalam berbagai regulasi di Indonesia. UU 35/2014 memberikan hak terhadap korban tindak pidana perdagangan untuk memperoleh restitusi. Hakim Putusan Nomor 346/Pid.Sus/2017/PN. Amb dalam memberikan hukuman berupa kewajiban untuk membayar restitusi kepada korban atas pertimbangannya dalam rangka repatriasi, rehabilitasi, dan reintegrasi kembali ke masyarakat, termasuk memberikan jaminan perlindungan dari ancaman pelaku perdagangan orang yang mungkin mengancam keselamatan korban.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Koesnan, R.A. Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 2005)

M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk di Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) Setiono, Supremasi Hukum, (Surakarta: UNS, 2004)

Jurnal Ilmiah

Ali, Mahrus, and Ari Wibowo. "Kompensasi Dan Restitusi Yang Berorientasi Pada Korban Tindak Pidana." Yuridika 33, no. 2 (2018): 260.

Apriyani, Maria Novita. "Restitusi Sebagai Wujud Pemenuhan Hak Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Indonesia." Risalah Hukum (2021): 1-10.

Daud, Brian S., and Eko Sopoyono. "PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PERDAGANGAN MANUSIA (HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA." Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 1, no. 3 (2019): 352-365.

Lestari, Meilan. "Hak anak untuk mendapatkan perlindungan berdasarkan peraturan perundang-undangan." Jurnal UIR Law Review 1, no. 2 (2017): 188-189.

Mareta, Josefhin, and J. H. R. R. S. Kav. "Penerapan Restorative Justice Melalui Pemenuhan Restitusi Pada Korban Tindak Pidana Anak." Jurnal Lex et Societatis 3, no. 1 (2018): 104.

Putri, Miszuarty. "Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Sebagai Bentuk Pembaruan Hukum Pidana Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017." Soumatera Law Review 2, no. 1 (2019): 115-134.

Sabri, Fadillah, Zahara Zahara, and Tasman Tasman. "PERLINDUNGAN HUKUM DENGAN RESTITUSI TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA." UNES Journal Of Swara Justisia 6, no. 4 (2023): 398-414.

Sinaulan, J. H. "Perlindungan Hukum Terhadap Warga Masyarakat." Ideas: Jurnal Pendidikan, Sosial, Dan Budaya 4, no. 1 (2018).

Vitasari, Salsabila Dewi, Satria Sukananda, and Sandra Wijaya. "Pelaksanaan Pemberian Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang." DIVERSI: Jurnal Hukum 6, no. 1 (2020): 92-117.

Wibawa, Iskandar. "Pidana Kerja Sosial Dan Restitusi Sebagai Alternatif Pidana Penjara Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia." Jurnal Media Hukum 24, no. 2 (2017): 105-114.

Wijaya, Irawan Adi, and Hari Purwadi. "Pemberian Restitusi sebagai Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana." Jurnal Hukum Dan Pembangunan Ekonomi 6, no. 2 (2018).

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Lembaran Negara Tahun 1999 Tahun 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886

Internet

Kumparan News, “Kemlu: Kasus Pidana Perdagangan Orang Naik 100%, Sepanjang 2022 Ada 752 Kasus” URL: https://kumparan.com/kumparannews/kemlu-kasus-pidana-perdagangan-orang-naik-100-sepanjang-2022-ada-752-kasus-209EJp3osaz/2 diakses pada tanggal 24 Maret 2023 pada 12.57 WITA

Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 10 Tahun 2023, hlm. 526-534