PENYELESAIAN SENGKETA HUKUM TERHADAP PEMUTUSAN SEPIHAK DALAM PERJANJIAN WARALABA

Putu Meidina Dita Priscilla, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: meidinadita015@gmail.com

Made Aditya Pramana Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: adityapramanaputra@unud.ac.id

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum untuk penerima waralaba dan pemberi waralaba apabila terjadinya wanprestasi serta bentuk penyelesaian terhadap wanprestasi yaitu pemutusan secara sepihak waralaba oleh pemberi waralaba. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Penelitian ini mengkaji dari Peraturan Perundangan-Undangan sebagai sumber primer yaitu KUH Perdata, Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Abitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Selain itu menggunakan sumber sekunder dan tersier dengan mengkaji pada buku, jurnal serta artikel. Hasil penelitian ini penyelesaian sengketa pada perjanjian waralaba atau franchise diselesaikan menggunakan jalur litigasi ataupun non- litigasi. Namun banyak perusahaan memilih memakai jalur non-litigasi yaitu dengan abitrasi dan alternatif penyelesaian.

Kata Kunci : Franchise, Franchisor, Perjanjian Waralaba, Abitrasi

ABSTRACT

The aim of this research is to determine the form of legal protection for franchisees and franchisors in the event of default and the form of resolution of default, namely unilateral termination of the franchise by the franchiser. The research method used is a normative juridical method with a statutory approach. This research examines statutory regulations as primary sources, namely the Civil Code, Government Regulation no. 42 of 2007 concerning Franchising and Law Number 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution. Apart from that, it uses secondary and tertiary sources by studying books, journals and articles. The results of this research are that dispute resolution in franchise agreements is resolved using litigation or non-litigation. However, many companies choose to use non-litigation routes, namely arbitration and alternative settlements.

Keywords: Franchise, Franchisor, Franchise Agreement, Abitration

  • 1.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Di era globalisasi, setiap bidang kehidupan telah berubah. Dalam hal perubahan sosial, budaya dan ekonomi. Secara ekonomi, perkembangan perdagangan sangat pesat di era globalisasi. Banyak perusahaan dan pemilik bisnis memamerkan inovasi mereka. Salah satu inovasi yang paling cepat berkembang adalah bisnis franchise. Franchise ialah gabungan ilmu dasar dan kekuatan usaha bisnis yang sukses. Waralaba sering dijadikan pilihan pertama saat memulai bisnis baru, dan risiko kegagalan dalam bisnis waralaba dianggap rendah. Menurut Asosiasi Waralaba Indonesia, waralaba atau perusahaan waralaba menjual barang atau jasa kepada pelanggan menggunakan pemberi waralaba (franchise), hak yang diberikan kepada seseorang dan atau perusahaan dalam melakukan bisnis dengan cara menggunakan merek, nama, sistem atau proses. sistem yang mendistribusikan Metode yang didirikan pada era atau wilayah tertentu. Bisnis franchise atau waralaba dua pihak yang ikut serta yaitu franchisor adalah yang menyewakan, memiliki dan menjual merek dan sistem perusahaan. Pihak selanjutnya adalah franchise sebagai pihak yang membeli merek dan sistem perusahaan.

Franchise dicantumkan dalam PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Pasal 1 angka 1 PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dijelaskan waralaba ialah seorang ataupun badan milik usaha yang memiliki hak khusus dalam bisnis yang mempunyai ciri khas memasarkan barang dan jasa yang terbukti dimanfaatkan oleh pihak lain yang menjadi dasar yaitu perjanjian waralaba.1 Pengertiаn waralaba yaitu suatu pengembangan usaha yang pemberi izin terlibat untuk memanfaatkan serta menggunakan hak kekayaan intelektual pemiliki lisensi.2 Lisensi ialah izin yang telah diterima pembeli merek terdaftar dengan perantara surat perjanjian bertujuan menggunakan merek tersebut dalam jangka waktu serta syarat tertentu. Permasalahan yang ada dalam PP No. 42 Tahun 2007 dimana pengaturan lebih lanjut terdapat pada Peraturan Menteri Perdagangan No. 53 tahun 2012. Pada Pasal 3 PP No. 42 Tahun 2007, menjelaskan kriteria yang didapat penerima waralaba dari penerima waralaba yaitu memiliki ciri khas, keuntungan, standar pelayanan tertulis, dapat diajarkan, terdapat hubungan kesinambungan, terdaftar dalam HAKI.3 Perikatan waralaba sebagai pemberian hak atau izin dari pemberi waralaba untuk menggunakan Hak Kekayaan Intelektual untuk penerima waralaba yang sudah memberikan royalty atas penggunaan HAKI seperti nama usaha, logo, desain maupun paten. PP No. 16/1997 dan SK Menprindag memberikan syarat waralaba yang diselenggarakan menggunakan perjanjian tertulis yang dibuat menggunakan Bahasa Indonesia dan berdasar pada hukum positif Indonesia. Isi perjanjian diberikan seutuhnya kepada kedua pihak yang disesuaikan dengan porsi atau kebutuhan masing-masing. Perjanjian harus diterapkan sebagai Undang-Undang bagi pembuatnya berdasarkan pada prinsip Pacta Sun Sevarda.

Peraturan Perundang-Undangan mengatur waralaba bertujuan menciptakan tertib usaha dan perlindungan konsumen, menaikan peranan masyarakat di dalam usaha waralaba, mendorong pertumbuhan usaha pemberi waralaba. Perjanjian waralaba bersifat mengikat antara franchisor dan franchisee. Suatu hubungan hukum terdiri dari kewajiban dan hak para pihak yang diatur dengan kontrak. Hak serta kewajiban antara dua pihak tersebut, pemberi waralaba serta penerima waralaba, harus ditegakkan untuk mencapai keseimbangan dan kepastian serta perlindungan hukum untuk kedua belah pihak. Perjanjian waralaba memuat kontrak tertulis yang menggunakan asas yaitu, kebebasan dalam berkontrak. Asas kebebasan dalam berkontrak diatur oleh Pasal 1338 KUH Perdata dijelaskan setiap kesepakatan yang dibuat berlaku sah seperti Undang-Undang untuk para pembuatnya. Terdapat juga telah disebutkan, ada subjek lisensi dalam perjanjian waralaba. Perjanjian lisensi terkait erat dengan hak kekayaan intelektual. Ini adalah tindakan pencegahan untuk mencegah pemalsuan dan plagiarisme.

Perjanjian waralaba atau waralaba tunduk pada potensi perselisihan antara para pihak. Contoh perselisihan adalah ketika pemilik waralaba secara sepihak mengakhiri kontrak sebelum penghentiannya, yang mengakibatkan kerugian bagi waralaba. Kasus wanprestasi termasuk pemutusan kontrak secara sepihak. Terdapat macam-macam faktor terjadinya pngikaran janji atau wanprestasi dalam perjanjian waralaba. Pemahaman dan integritas adalah fondasi terpenting dari etika bisnis waralaba kami. Format perjanjian waralaba adalah kontrak standar. Kontrak standar cenderung memiliki kelemahan, salah satunya adalah ketidakadilan.

Terjadi ketidaksepahaman antara franchisor dan franchisee kedudukannya berat sebelah. Beberapa penyebab yang menyebabkan perjanjian baku menjadi berat sebelah sebagai berikut: ada berbagai macam penyebab perjanjian baku menjadi berat sebelah adalah kesempatan dari salah satu pihak melakukan negosiasi tidak ada, sehingga tidak diketahuinya isi perjanjian. Pihak hanya ditekan dalam perjanjian serta hanya mampu bersikap “take it or leave it”.4

Faktor tersebut dapat, misalnya, memungkinkan pelaksana perjanjian waralaba menutup waralaba secara sepihak, sehingga merugikan penerima waralaba. Pemenuhan yang merasa dirugikan dapat menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan sengketa tersebut sesuai dengan Pasal 1266 KUH Perdata. Penutupan sepihak waralaba yang tidak sesuai dengan perjanjian waralaba tidak batal, tetapi harus dibatalkan oleh pengadilan. Ada dua cara untuk menyelesaikan perselisihan ini: litigasi dan non-litigasi. Dengan ada kemungkinan tersebut, penulis tertarik mengangkat masalah “Penyelesaian Hukum Terhadap Franchisor Memutus Sepihak Waralaba Dalam Perjanjian Waralaba”. Penelitian ini dilakukan agar mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap franchise dan franchisor jika terjadinya wanprestasi serta penyelesaian hukum jika adanya pemutusan kepada franchise dan franchisor apabila terjadinya wanprestasi.

Untuk menjamin keaslian atau originalitas dari artikel yang saya tulis, maka dari itu saya menyajikan artikel yang serupa dengan harapan menjadi pembanding dalam proses penyusunan artikel saya. Artikel yang saya jadikan pembanding berjudul ”Akibat Hukum Pemutusan Perjanjian Franchise Secara Sepihak Oleh Franchisor Sebelum Berakhirnya Kontrak” karya dari Lannemey.

Hal yang membedakan adalah pada bagian pembahasan yaitu artikel ini berfokus pada akibat hukum dari pemutusan perjanjian franchise secara sepihak. Pemutusan sepihak adalah hal yang bisa terjadi dan merugikan penerima waralaba. Hal ini terlihat bahwa tidak adana keseimbangan dalam perjanjian waralaba tersebut.5 Sehingga dari pembanding ini penulis menganalisis bentuk penyelesaian dari pemutusan secara sepihak pemberi waralaba terhadap penerima waralaba dalam perjanjian waralaba sebagai ruang lingkup permasalahan. Dengan bersumber dari beberapa litelatur baik buku dan jurnal serta hukum positif di Indonesia. Serta penulisan ini memberikan wawasan mengenai penyelesaian hukum terhadap isu yang sering terjadi pada perjanjian waralaba yaitu pemutusan secara sepihak.

  • 1.2    Rumusan Masalah

    • 1.2.1.    Apa yang menjadi bentuk perlindungan hukum untuk franchise dan franchisor apabila terjadinya wanprestasi?

    • 1.2.2.    Bagaimana penyelesaian hukum jika adanya pemutusan secara sepihak waralaba oleh franchisor?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum jika terjadi wanprestasi dalam perjanjian waralaba. Serta, untuk mengetahui bentuk penyelesaian hukum terhadap wanprestasi dalam bentuk pemutusan secara sepihak dari pemberi waralaba terhadap penerima waralaba.

  • 2.    Metode Penelitian

Untuk tercapainya suatu penelitian ini. Penyusunan memakai metode penelitian yuridis normatif. Penggunaan metode pada penelitian ini meggunakan pendekatan terhadap Undang-Undang sebagai acuan utama dalam penulisan. Sumber hukum yang digunakan terdapat 3 sumber yaitu, sumber primer yang bersifat berkuasa dan memiliki otoritas. Penelitian ini mengkaji dari Peraturan Perundangan-Undangan sebagai sumber primer yaitu KUH Perdata, Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Abitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sumber kedua adalah sumber sekunder adalah sumber yang berkaitan erat dengan sumber primer. Sumber ini merupakan analisis-analisis dari hukum primer. Sumber sekunder yang digunakan yaitu, buku dan jurnal-jurnal. Selanjutnya adalah sumber tersier yaitu sumber atau informasi tambahan seperti artikel.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Bentuk Perlindungan Hukum Kepada Franchise dan Franschisor Jika Terjadi Wanprestasi

Indonesia belum terdapat hukum yang mengatur tentang kontrak waralaba atau franchise secara detail atau khusus. Franchise adalah perjanjian yang tidak memiliki nama atau disebut innominant. Belum diaturnya secara khusus perjanjian franchise, Walaupun begitu dalam pembuatan dan keberadaan perjanjian ini tetap wajib mengacu pada Peraturan Perundang-Undangan serta kesusilaan.6 Perjanjian franchise tidak hanya menyatukan semua dari element bisnis dan membuat ketetapan secara legal tetapi, memberikan dasar dalam praktek berbisnis. Maka dari itu perjanjian waralaba berlandaskan kepada asas yakni, kebebasan dalam berkontrak (Pasal 1338 KUH Perdata). Berdasarkan pendapat Philipus M. Hadjon, ada 2 jenis perlindungan hukum ialah perlindungan preventif serta perlindungan represif. Bentuk perlindungan hukum secara preventif bertujuan mengurangi serta menghindari dari wanprestasi. Wanprestasi yaitu gagalnya debitur dalam upaya pemenuhan kewajiban dalam perikatan. Dua alasan debitur tidak melakukan kewajiban perikatan yaitu karena kelalaian dan keadaan memaksa (force majure).7 Salah satu langkah perlindungan hukum preventif adalah membuat perjanjian waralaba atau franchise antara franchise dan franschisor. Perjanjian waralaba memuat klausul yang disepakati bersama oleh kedua pihak, klausul itu berupaya memberikan penerima waralaba dan pemberi waralaba perlindungan hukum, namun terkhusus penerima waralaba karena menduduki posisi lemah. Pada pasal 5 PP No.42 Tahun 2007 menjelaskan perjanjian waralaba wajib berisi klausal yang ditetapkan oleh peraturan yaitu paling sedikit memuat nama dan alamat para pihak, jenis Hak Kekayaan Intelektual, kegiatan usaha, hak dan kewajiban para pihak, bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran yang diberikan pemberi waralaba kepada penerima waralaba, wilayah usaha, jangka waktu perjanjian, tata cara pembayaran imbalan, kepemilikan, perubahan kepemilikan dan hak ahli waris, penyelesaian sengketa serta tata cara perpanjanga, pengakhiran dan pemutusan perjanjian. Perjanjian waralaba wajib didaftarkan.8

Perlindungan hukum secara represif merupakan perlindungan untuk meindaklanjuti terjadinya wanprestasi pada perjanjian waralaba. Perlindungan represif ini memberikan sanksi terhadap salah satu dari pihak yang berbuat wanprestasi. Penyelesaian sengketa atau masalah wanprestasi melalui 2 jalur yaitu jalur litigasi ataupun non-litigasi.

  • 1.    Jalur Litigasi

Jalur litigasi yaitu penyelesaian terhadap sengketa dilakukan di pengadilan. Bentuk penyelesaian litigasi terdapat 2 jalur yaitu pengadilan negeri dan pengadilan niaga. Proses pengadilan negeri yaitu diselesaikan

dalam perdamaian oleh hakim pengadilan perdata. Jika perdamiaan diselesaikan pada persidangan, maka saat sidang dibuatkannya akta perdamaian ialah memiliki kekuatan hukum serupa dengan suatu vonis hakim.

Pengadilan khusus seperti yang telah tercantum pada Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ialah Pengadilan Niaga. Hak Kekayaan Intelektual memiliki hubungan terhadap proses Pengadilan Niaga. Proses penyelesaian memakai klausul abitrase dan berlangsung secara cepat dan tidak berbelit-belit. Penyelesaian litigasi memiliki kelebihan sebagai berikut, putusan pengadilan memiliki kekuatan hukum yang memiliki kepastian dan final, bersifat memaksa untuk pelaksanaan putusan bagi para pihak.9

  • 2.    Jalur Non-Litigasi

Jalur pnyelesaian secara non-litigasi merupakan penyelesaian pada luar pengadilan. Penyelesaian ini bisa ditempuh melalui abitrase. Sebagaian pengusaha memilih menempuh penyeleseaian sengketa melalui jalur abitrasi salah satunya sengketa wanprestasi perjanjian waralaba. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya suatu forum yang terlalu terbuka untuk penerima waralaba yang tidak mempunyai itikad baik. Seharusnya pada sengketa perjanjian waralaba dilaksanakan melalui rangka pranata abitrase dan penyelesaian alternatif. UU No. 30 Tahun 1999 mengatur abitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Dalam penyelesaiannya terdapat lembaga abitrase, lembaga abitrase hanya mampu menyelesaikan sengketa di bidang perdagangan yang dikuasai oleh pihak bersengketa menurut hukum.

  • 3.2    Penyelesaian Hukum Jika Ada Pemutusan Waralaba Sepihak Oleh Franchisor Sebelum Kontrak Berakhir

Kedudukan dari franchisor tinggi dibandingkan dengan franchise. Franchisor sebagai yang menyewakan usahanya kepada franchise. Kedudukan franchisor yang mampu menentukan isi dari perjanjianpun memutuskan atau menetapkan dengan sepihak. Pemutusan sepihak ini diakibatkan oleh salah satu pihak. Kesepakatan di antara franchisor dan franchise dalam perjanjian merupakan syarat yang wajib dipenuhi untuk dapat dikatakan sah dimata hukum untuk mengikay para pihak.10 Akibat dari adanya pemutusan perjanjian secara sepihak oleh franshisor namun belum pada masa akhirnya perjanjian dapat merugikan franchisee dan franchise tidak dapat menuntut kerugian. Tidak

seimbangnya kesepakatan disebabkan dominasi pihak franchisor terhadap franchisee.11 Pemutusan disebabkan phak franchisor atau pemberi waralaba yang melakukan wanprestasi ataupun pihak franchise sebagai penerima waralaba yang melakukan tindakan wanprestasi. Alasan yang seringkali ditemukan franchisor memutus sepihak perjanjian dikarenakan franchise tidak terpenuhinya sales quota minumum yang sudah disepakati bersama. Kemungkinan yang terjadi seperti franchise tidak bisa membayar utang kepada franchisor (insolven), adanya pelanggaran, laporan royalti yang terlaambat, tidak membayar royalti, dan beprilaku di luar standar operasional.

Jika diputusnya secara sepihak perjanjian waralaba dari franchisor sebelum berakhirnya perjanjian. Dengan itu, franchisor atau pemberi waralaba tidak diperkenankan mengganti franchise atau penerima waralaba baru terhadap daerah yang sama sebelum adanya persetujuan bersama dengan penyelesaian masalah paling lambat 6 bulan dari dua pihak setelah pemutusan perjanjian waralaba. Hal tersebut sesuai ketentuan Pasal 6 PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Pasal 8 Permendag No. 53 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Akibat tersebut franchise berhak menuntut ganti rugi sebagai pihak yang dirugikan.12

Dalam sebuah perikatan jika salah satu pihak merasa dirugikan bisa mengajukan ganti rugi ke pihak yang merugikan. Dalam permasalahan ini, sebelum dinyatakan bahwa pihak franchisor melakukan wanprestasi. Pihak franchisor dan franchise menyelesaikan sengketa melalui musyawarah berupa memberikan somasi. Somasi diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata menjelaskan pada surat perintah yang tidak dilaksanakan sesuai waktu yang ditentukan maka si berutang dianggap lalai. Pasal 1243 KUH Perdata mengatur somasi menjelaskan apabila debitur lalai dalam memenuhi perikatannya dapat dikenakan penggantian biaya, kerugian dan bunga. Somasi merupakan peringatan atau teguran dari kreditor kepada debitor untuk terpenuhinya kewajiban sesuai dengan perjanjian yang sudah disepakati. Somasi minimal dilakukan tiga kali. Apabila pihak franchisor tidak melaksanakan somasi yang diberikan kepada franchise makan franchisor dapat dinyatakan melakukan wanprestasi. Pemutusan sepihak yang dilakukan franchisor sebelum berakhirnya kontrak merupakan perbuatan wanprestasi jika pihak franchisor tidak melakukan wanprestasi yaitu membayar kerugian kepada pihak franchise. Pasal 1243 sampai Pasal 1252 pada Buku III KUHPerdata berisikan aturan mengenai ganti rugi yang disebabkan oleh wanprestasi.

Penyelesaian hukum terhadap pemutusan sepihak yang dilakukan franchisor sebelum berakhirnya perjanjian atau kontrak dapat ditempuh 2 jalur seperti yang dibahas pada pembahasan pertama yaitu jalur litigasi serta non-

litigasi. Dengan jalur litigasi pemutusan sepihak atau pembatalan hanya dapat dilakukan oleh hakim seperti yang tertuang pada Pasal 1267 KUH Perdata. Pasal 1267 KUH Perdata menjelaskan pihak yang dirugikan perikatannya berhak menuntut untuk dibatalkan persetujuan melalui penggantian biaya baik kerugian maupun bunga.

Proses litigasi menimbulkan konflik baru dikarenakan proses ini bersifat menang kalah, tidak akuntabel, proses berperkaranya memakan waktu dan terbuka secara umum. Di era yang modern, prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan pun juga dikembangkan.13 Penyelesaian selanjutnya yakni jalur non-litigasi. Jalur non-litigasi penyelesaiannya melalui abitrase dan alternatif penyelesaian. Penyelesaian yang dilakukan diluar pengadilan atau abitrase merupakan penyelesaian yang paling sering digunakan oleh pengusaha. Penyelesaian abitrase cenderung cepat serta tidak berbelit-belit serta penyelesaiannya dilakukan secara tertutup. Lima langkah penyelesaian sengketa melalui Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu:

  • 1.    Konsultasi

Konsultasi sebagai bentuk penyelesaian secara personal atau privat. Penyelesaian sengketa para pihak bersengketa yaitu, menghadirkan pihak luar sebagai konsultan. Konsultan tidak mengambil keputusan dalam penyelesaian sengketa, Namun, memberikan pendapat yang diminta oleh pihak bersengketa. Maka dari itu, pihak bersengketa sebagai kliennya bebas dan tidak terikat menjalankan kewajiban memenuhi pendapat konsultan.14

  • 2.    Negosiasi

Berdasarkan pada Pasal 6 ayat (2) UU Abitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menjelaskan bahwasanya negosiasi adalah kesepakatan dari kedua belah pihak untuk menyelesaian sengketa sendiri dan dituangkan secara tertulis yang disepakati para pihak.

  • 3.    Mediasi

Pasal 6(3) menjelaskan bahwa mediasi yaitu kesepakatan para pihak bersengketa yang diselesaikan oleh mediator dan kesepakatan tersebut bersifat tertulis. Mediator wajib menjakankan tugas berdasarkan yang diminta oleh pihak.15 Secara jelas, mediasi ialah penyelesaian sengketa dengan menghadirkan pihak ketiga bersifat netral atau penengah. Pihak ketiga tidak memiliki kewenang dalam mengambil keputusan, membantu mencari solusi untuk kedua belah pihak.16

  • 4.    Konsiliasi

Konsiliasi merupakan penyelesaian dilaksanakan di luar pengadilan dan mengikutsertakan pihak ketiga ataupun lebih pada suatu lembaga, pihak yang dihadirkan ialah pihak yang profesional.17

  • 5.    Pendapat Ahli

Penyelesaian sengketa dengan pendapat ahli sebagai bentuk pendapat hukum yang penafsirannya digunakan untuk memperjelas permasalahannya.

Penyelesaian sengketa secara abitrase memiliki 2 opsi yaitu penyeselesaian secara lembaga atau penyelesaian secara Ad Hoc. Kedua jenis abitrase memiliki perbedaan dari segi terkoordinasi yaitu abitrase institusional dan tidak terkoordinasi yaitu abitrase Ad Hoc. Syarat dari penyelesaian abitrase dan alternatif penyelesaian masalah ada 2 syarat yaitu, syarat subjektif serta syarat objektif. Syarat subjektif tertuang pada Pasal 130 dan 433 KUH Perdata dibuat demi kepastian hukum untuk melakukan perjanjian. Syarat kedua yaitu, syarat objektif sesuai ketentuan UU Abitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yaitu permasalahan di bidang perdagangan dan mengenai hak yang dikuasai oleh pihak.

Perjanjian abitrase merupakan perjanjian berbentuk tertulis yang disepakati dan ditanda tangani para pihak dan bersifat mengikat.18 Jenis klausul arbitrase berdasarkan Undang-Undang Abitrase yakni :

  • a.    Pactum de compromettido yaitu, klausul ditulis sebelum permasalahan itu timbul.

  • b.    Perjanjian penyelesaian yaitu, perjanjian arbitrase ditulis setelah timbul permasalahan.19

Eksekusi putusan abitrase dilaksanakan jika putusan abitrase sesuai dengan perjanjian dan persyaratan pada UU Abitrase. Para pihak mampu membatalkan putusan abitrase melalui Pengadilan Negeri secara sebagian maupun menyeluruh dari isi putusan jika ditemukan unsur-unsur yang menjadi alasan perjanjian tersebut batal. Penjelasan pada pasal 72 UU Abitrase disimpulkan Pengadilan tidak memiliki kewenganan memeriksa serta mengadili perkara yang sudah dibatalkan. Pengadilan memiliki fungsi serta kewenangan pada pemeriksaan yaitu meneliti kebenaran yang dikemukakan oleh pemohon. Namun, jika Pengadilan Negeri mendapatkan tiga unsur yang dapat putusan dibatalkan, hal ini sudah tercantum pada Pasal 70 UU Arbitrase dengan itu, Pengadilan Negeri menerima permohonan pembatalan putusan arbitrase.20

4. Kesimpulan

Bentuk perlindungan hukum kepada franchise dan franchisor dalam perjanjian waralaba terdapat perlindungan hukum mencegah atau preventif serta perlindungan hukum menindaklanjuti atau represif. Pada perlindungan hukum mencegah atau preventif dilakukan dengan pembuatan kontrak waralaba sebelum pelaksanaan usaha franchise. Sedangkan perlindungan hukum represif memberikan sanksi terhadap salah satu pihak yang melaksanakan wanprestasi. Diberikan sanksi melalui penyelesaian hukum baik melalui jalur litigasi ataupun non-litigasi.

Penyelesaian hukum terhadap pemutusan secara sepihak dilakukan franchisor sebelum kontrak berakhir dapat ditempuh 2 jalur seperti yang dibahas pada pembahasan pertama yaitu jalur litigasi dan non-litigasi. Dengan jalur litigasi pemutusan sepihak atau pembatalan hanya dapat dilakukan oleh hakim. Sedangkan, pada jalur non-litigasi dilakukan dengan abitrase dan alternatif penyelesaian. Terdapat lima jalur ditempuh melalui abitrase dan alternatif penyelesaian yakni konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi serta pendapat ahli.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Abdulkadir Muhammad. Hukum Perdata Indonesia (Bandung, 2014)

Winarta, Frans Hendra. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional dan Internasional (Jakarta, Sinar Grafika, 2016)

Zaidah, Yusna. Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan dan Arbitrase Sayri’ah di Indonesia (Yogyakarta,Aswaja Pressindo,2015)

Jurnal :

Agustina, Kadek Dinda dan Nurmawati, Made. “Perlindungan Hukum Terhadap Rahasia Dagang Dalam Usaha Franchise Di Bidang Makanan Dan Minuman”. Jurnal Kertha Semaya 6, No. 2 (2018)

Aliyah, Habibatul. “Analisis dari Segi Hukum Terhadap Perjanjian Kemitraan Antara Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar”. Jurnal Kertha Semaya 7, No. 3 (2019)

Andriansyah, Muhammad. “Pembatalan Putusan Abitrase Nasional Oleh Pengadilan Negeri”. Jurnal Citra Hukum 2, No. 2 (2014). ISSN: 2356-1440

Asuan. “Eksistensi Waralaba (Franchise) Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Sebagai Perjanjian Innominat, Universitas Palembang 13, No. 3(2017)

Entriani, Anik. “Abitrasi Dalam Sistem Hukum Di Indonesia”. An-Nisbah Jurnal Ekonomi Syariah 3, No. 2 (2017). DOI : 10-21274/an.2017.3.2.277-293

Idrus, Norman Syahdar. “Aspek Hukum Perjanjian Waralaba (Frachise) Dalam Prespektif Hukum Perdata Dan Hukum Islam”, Jurnal Yuridis 4, No. 1 (2017). ISSN 1693-4458

Lannemey. “Akibat Hukum Pemutusan Perjanjian Franchise Secara Sepihak Oleh Franchisor Sebelum Berakhirnya Kontrak”, Lex Privatum 3, No. 1 (2015)

Priyono, Ery Agus. “Aspek Keadilan dalam Kontrak Bisnis di Indonesia (Kajian pada Perjanjian Waralaba)”. Law Reform 14, No. 1 (2018)

Puspitaningrum, Sri. “Mediasi Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Perdata Di Pengadilan”. Jurnal Spektrum Hukum 15, No. 2 (2018). DOI : 10.35973

Rosita. “Alternatif Dalam Penyelesaian Sengketa (Litigasi dan Non Litigasi)”. Al-Bayyinah: Journal of Islamic Law 6, No. 2 (2022). ISSN: 1979-7486

Sari, Indah. “Keunggulan Abitrase Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan”. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara 9, No. 2 (2019) : 56. ISSN 2656-4041

Widodo, Tris. “Penyelesaian Secara Konsiliasi Dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menurut UU No. 2 Tahun 2004”. Jurnal Warta 49 (2016). ISSN: 1829-7463.

Perundang-Undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Abitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa

Artikel :

R. Indra, 2019, Perjanjian/Kontrak Baku dalam Hukum Perdata, dokterhukum.com

Jurnal Kertha Negara Vol 11 No. 9 Tahun 2023 hlm 959-970

970