PENGATURAN HUKUM YANG MEMBATASI TINDAKAN EUTHANASIA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
on
PENGATURAN HUKUM YANG MEMBATASI
TINDAKAN EUTHANASIA DI INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
Anak Agung Gede Bagus Widiadi Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
I Dewa Gede Dana Sugama, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]
DOI: KW.2023.v12.i06.p4
ABSTRAK
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memahami bagaimana aturan hukum yang membatasi praktek euthanasia di Indonesia, apakah sudah sesuai dengan hak asasi manusia yang selama ini dianut oleh negara Indonesia, serta mengkaji ulang apakah diperlukan pembaharuan hukum terhadap aturan hukum yang membatasi praktek euthanasia tersebut. Hal ini dikarenakan, salah seorang perwakilan dari Komnas HAM yang sempat mengutarakan pendapatnya untuk pembaharuan hukum di Indonesia terhadap pelegalan euthanasia pada kondisi tertentu. Hal ini pun menjadi bertentangan, mengingat terdapat beberapa kasus permohonan euthanasia oleh beberapa pasien yang ditolak oleh pengadilan dengan alasan hak asasi manusia. Maka dari itu, perlu analisa lebih dalam mengenai aturan-aturan yang selama ini membatasi praktek euthanasia di Indonesia dari segi hak asasi manusia.
Kata Kunci: Euthanasia, Hak Asasi Manusia, Hukum Pidana
ABSTRACT
The aim of this paper is to understand how the law that limit the practice of euthanasia in Indonesia, whether it is already suitable with human rights concept which has been used by Indonesia, and reviewing whether we need a law renewal or not about the law that limit the practive of euthanasia. This is because, one of the representative of National Commission of Human Rights ever stated their opinion about legalization of euthanasia during certain condition. Their opinion obviously collided with one of court judgement, when they choose to decline a patient request to get euthanized, because respecting the human rights. That was the reason, why we need a deeper analysis about the law that limit the practice of euthanasia, in terms of human rights.
Keywords: Euthanasia, Human Rights, Criminal Law
Euthanasia atau yang lebih dikenal dengan pencabutan kehidupan manusia yang lumarah di dengar dengan tindakan suntik mati, hal ini bukan merupakan istilah yang asing di dunia medis. Euthanasia sendiri, jika dikutip dari wikipedia, merupakan “sebuah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan malalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, yang biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan”.1 Terdapat beragam pengertian mengenai euthanasia. Di negara Belanda sendiri, definisi euthanasia dijelaskan oleh euthanasia study group dari KNMG yang dalam hal ini arti
dari “euthanasia merupakan dengan sengaja tidak melakukan tindakan untuk memperpanjang hidup pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek kehidup atau menyudahi hidup seorang pasien, dan ini dijalankan untuk kepentingan pasien sendiri”.2 Selain itu, seorang penulis Yunani yang bernama Suetonis juga ikut menjelaskan apa arti euthanasia itu, ia menjelaskan euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”.3
Kemudian, mengutip dari salah satu jurnal mengenai Euthanasia yang ada dijelaskan bahwa:
”Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik, tanpa penderitaan dan thanatos berarti mati, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, akan tetapi untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya”.4
Jika melihat ke dalam Kamus Oxford English Dictionary, euthanasia dirumuskan sebagai “the patience of killing without pain a person who is suffering from a disease that cannot be cured.” Artinya kesabaran membunuh tanpa rasa sakit seseorang yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan.5
Aturan hukum yang mengatur mengenai masalah euthanasia ini, beragam tiap negaranya, dan kerap kali berubah-ubah, seiring dengan perkembangan zaman dan pergantian kondisi maupun kesiapan semua pihak. Hampir di seluruh dunia, pelegalan euthanasia menjadi perdebatan, baik itu di bidang hukum ataupun bidang kesehatan. Banyak pihak yang memperdebatkan, apakah suntik mati ini termasuk ke tindakan pembunuhan. Namun, di masa kini, jika diperhatikan ada juga beberapa negara yang akhirnya sudah melegalkan penggunaan euthanasia ini. Dikutip dari berita yang dimuat di Okezone, negara yang melegalkan tindakan euthanasia antara lainnya adalah: Belanda, Luksemburg, Belgia, Swiss, Jerman, Amerika Serikat, dan Jepang.6
Di negara Indonesia sendiri, tindakan Euthanasia tersebut dilarang oleh pemerintah. Meskipun tidak ada undang-undang yang secara jelas melarang praktek penggunaan euthanasia. Namun, praktek euthanasia ini terlarang dalam KUHP pada pasal 344 KUHP yang mana berbunyi: “Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.7
Dari bunyi pasal tersebut, dapat diketahui bahwa tindakan membunuh meski dengan konsen korban, seperti bagaimana jalannya praktek euthanasia, dilarang dalam hukum Indonesia. Hal ini dikarenakan praktek euthanasia dianggap juga tidak sesuai dengan hak asasi manusia.
Seperti bagaimana tercantum dalam Pasal 28A UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa, “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya”.8
Dilihat dari beberapa penelitian terdahulu yang membahas mengenai euthanasia di Indonesia yaitu penelitian yang berjudul “Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau Dari Aspek Hukumpidana Dan Hak Asasi Manusia Di Indonesia” yang di tulis oleh Tjandra Sridjaja Pradjonggo, pada inti dari pembahasnya tersebut bahwa euthanasia memang belum jelas diatur secara yuridis pada hukum pidana termasuk juga UU Kesehatan yang ada di Indonesia serta lebih identik pada tenaga kesahatan yang menjadi pelakunya sehingga pertanggungjawaban yang dikenakan adalah tanggung jawab pidana, profesu dan etis.9
Selanjutnya penelitian yang membahas “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Keluarga Yang Meminta Untuk Dilakukan Euthanasia Ditinjau Dari Perspektif KUHP Indonesia” yang di tulis oleh Ni Putu Esa Bulan Purnamiyanti dan Anak Agung Ngurah Wirasila, pada inti dari pembahasnya tersebut bahwa euthanasia tidak memiliki aturan yang jelas dari undang-undang yang ada di indoesia sehingga terdapat kekosongan norma, sehingga yang dianggap paling mendekati adalah Pasal 344 dan 345 KUHP mesikipun memang tidak di jelasakn secara tegas dan konkret.10 Memang benar hal tersebut berarti menandakan terdapatnya kekosongan norma, bila dikaji menurut hak asasi manusia tentunya terdapat suatu permasalahan.
Dari sekian banyak peraturan hukum yang menjadi aturan di Indonesia, tidak ditemukan sebuah aturan yang melegalkan praktek penggunaan euthanasia. Secara hukum, berdasarkan ketentuan hukum positif di Indonesia khusunya dalam hukum pidana mengenai ketentuan euthanasia belum diakomodir atau diatur dalam norma yang jelas dan tegas, dalam pengertin ilmu kedokteran forensik, dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan euthanasia merupakan salah satu metode model pembunuhan yang dalam hal ini seseorang manusia yang diakhiri hidupnya memiliki sait atau penderitaan sehingga tujuan dari hal tersebut adalah untuk mengakhiri penderitaan orang tersebut.11 Walaupun semua peraturan hukum tampak melarang praktek euthanasia di Indonesia, namun dilansir dari ucapan Choirul Anam, seorang komisioner Komnas HAM menyatakan harapan mereka, agar dalam kondisi tertentu, dan ada prosedur yang legitimate, praktek euthanasia diharap untuk agar boleh dilakukan. Mengutip pernyataan Choirul Anam sebagai perwakilan dari Komnas HAM menyatakan “harapan mereka terhadap perkembangan hukum di Indonesia, yang mengarah kepada legalisasi euthanasia, dengan alasan kesehatan yang ketat dan merupakan pilihan sukarela atas itu”. Praktek pelaksanaan euthanasia pun tidak dapat dilakukan dengan sembarangan, harus diatur secara jelas.12
Dari penuturan singkat dari perwakilan pihak Komnas HAM di atas dapat diketahui bawha pihak Komnas HAM bahkan turut berharap atas pelegalan praktek euthanasia nanti, di masa depan, seperti beberapa negara lain yang melegalkan hal tersebut. Hal ini lah yang perlu dipertanyakan, mengapa komnas HAM bahkan mengharapkan kelak euthanasia dilegalkan pada kondisi-kondisi tertentu, padahal praktek euthanasia itu sendiri, bertentangan dengan hak asasi manusia yang dianut oleh Indonesia. Karena itulah, penulis mengangkat penelitian berjudul “Pengaturan Hukum Yang Membatasi Praktek Euthanasia Di Indonesia Dari Segi Hak Asasi Manusia”.
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan, maka terdapat beberapa rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
-
1. Bagaimana aturan hukum yang membatasi pelaksanaan praktek euthanasia di Indonesia?
-
2. Apakah aturan terkait larangan euthanasia tersebut sudah sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia yang dianut bangsa Indonesia?
-
3. Apakah diperlukan pembaharuan hukum terhadap aturan mengenai euthanasia di Indonesia?
Tujuan dari penulisan jurnal ini adalah untuk untuk mengetahui bagaimana aturan hukum yang membatasi pelaksanaan dari praktek euthanasia di Indonesia serta mengetahui aturan yang membatasi praktek euthanasia tersebut sudah sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia yang dianut oleh bangsa Indonesia dan apakah diperlukan pembaharuan hukum mengenai euthanasia di Indonesia.
Adapun metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif yang mana merupakan sebuah metode penelitian hukum yang membahas serta menganalisis mengenai norma - norma, asas, dan doktrin hukum. Kemudian, adapun pendekatan yang digunakan pada metode penelitian hukum normatif ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan atau statute approach, yang mana pendekatan peraturan perundang-undangan ini merupakan pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi. Serta, turut menggunakan pendekatan kasus atau case approach yaitu dengan cara memahami ratio decidendi, yaitu alasan-alasan yang dipakai oleh hakim untuk tertuju pada putusannya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam prakteknya, euthanasia dibatasi dengan adanya pasal 344 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan: “barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Jika kita teliti bunyi pasal tersebut menemukan beberapa unsur di dalamnya, yaitu: “merampas nyawa orang lain, permintaan sendiri, dengan
kesungguhan hati”. Walaupun pasal ini tidak secara eksplisit mengenai pelarangan pelegalan euthanasia. Namun, pasal tersebut bertentangan dengan euthanasia sukarela dan mercy killing sukarela. Perlu diketahui bahwa “euthanasia sukarela” merupakan salah satu jenis euthanasia yang dimana pernyataan Dr. R. Soeprono dalam buku Bunga Rampai Hukum Kesahatan, mengemukakan bahwa euthanasia jenis ini dilakukan jika pasien meminta, memberi izin atau persetujuan untuk menghentikan atau meniadakan perawatan yang memperpanjang hidup. Sementara, mercy killing sukarela merupakan dilakukannya sebuah tindakan sengaja untuk menyebabkan kematian, atas persetujuan pasien ataupun pihak keluarganya.13
Pasal 344 KUHP tentu saja melarang hal tersebut, dikarenakan pada pasal tersebut melarang tindakan pembunuhan, meski tindakan tersebut berdasarkan oleh permintaan pasien itu sendiri. Bahkan, jika seseorang melanggar pasal tersebut, tidak segan akan dikenakan pidana penjara selama maksimal 12 (dua belas) tahun lamanya. Penerapan pasal ini di Indonesia cukup ketat, hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus yang sudah terjadi di Indonesia mengenai penerapan langsung dari euthanasia salah satu kasus yang terjadi pada tahun 2004 tepatnya pada tanggal 22 Oktober 2004 terdapat seroang suami yang bernama Hasan Kusuma yang mengajukan permohoan euthanasia kepada PN Jakpus, yang dalam hal ini Hasan menjelaskan mengenai latar belakang yang terjadi sampai harus mengajukan permohonan tersebut, yaitu istrinya sudah mengalami koma selama dua bulan di sebuah rumah sakit selain itu juga Hasan mengajukan permohonan tersebut karena tidak memiliki dana yang cukup untuk terus melakukan perawatan rutin terhadap istrinya, yang dalam hal ini keadaan finansial yang kurang baik, namun dalam proses pemeriksaan hingga memberikan putusan PN Jakpus melaui majelis hakim menolak permohonan tersebut.14 Kasus tersebut tentu saja membuktikan, betapa dikecamnya euthanasia di Indonesia, dan bagaimana ketatnya mereka dalam menegakkan aturan-aturan tersebut.
Contoh kasus lainnya yang ada di Indonesia adalah, kasus permohonan euthanasia yang diajukan Berlin Silalahi, yang mana dengan cepatnya sudah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh. Berlin diketahui merupakan salah satu dari korban tsunami Aceh. Adapun alasan Berlin mengajukan euthanasia, jika dikutip dari hukumonline adalah:
“Permohonan euthanasia yang diajukan karena sakit yang alami Berlin Silalahi sejak 2013. Pria yang lahir pada 1971 itu mengalami lumpuh dan tak biasa mencari pekerjaan untuk menafkahi keluarganya. Berlin Silalahi tinggal di barak Neuheun, Mesjid Raya, Aceh Besar. Keperluan sehari-hari sebagian besar dibantu tetanga yang juga menempati barak. Selain lumpuh, Berlin Silalahi memiliki penyakit kronis, yaitu infeksi peradangan pada tulang dan asma sehingga tidak bisa melalukan aktivitas seperti orang normal. Upaya melakukan pengobatan medis ke rumah sakit dan pengobatan alternatif sudah lakukan tetapi juga tidak membuahkan hasil. Penderitaan permohon semakin sangat berat karena kepala daerah menyuruh puhak terkait untuk bongkar paksa barak yang ditinggali pemohon. Karena hal tersebut, Berlin Silalahi
meminta untuk mengajukan permohonan euthanasia ke pengadilan. Surat pernyataan dari Berlin Silalahi, surat persetujuan dari isteri, dan surat konsultasi dari dokter spesialis sudah dilampirkan sebagai bukti. Namun nihil, permohonan BS ditolak pengadilan. Hanya dalam kurun waktu dua pekan, hakim tunggal sudah mencapai kata sepakat untuk menolak permohonan pemohon. Hakim mengarah pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Kode Etik Kedokteran, dan Pasal 344 KUH Pidana. Dalam pertimbangannya, hakim menegaskan punya kewajiban untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sesuai dengan amant Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam kaitan itu, hakim tidak hanya menggunakan perspektif dari peraturan perundang-undangan saja, tetapi juga hukum Islam yang dianut pemohon, dan hukum adat setempat”.15
Dari beberapa contoh kasus yang disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa aturan hukum yang selama ini membatasi pelaksanaan euthanasia benar-benar diberlakukan secara ketat karena termasuk kedalam kejahatan pidana pembunuhan. Dengan melarang segala upaya pengajuan praktek euthanasia dengan langsung ditolak secara mentah-mentah oleh pihak pengadilan.
Seperti yang diketahui, bahwa Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Dan, jika diperhatikan dengan seksama, pada sila yang terdapat di dalam Pancasila, tepatnya sila kedua yang berbunyi: “kemanusiaan yang adil dan beradab.” Bunyi sila kedua tersebut, kemudian dicerminkan dari hak asasi manusia yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya. Hak asasi manusia yang dimiliki oleh masing-masing warga negara Indonesia dapat dilihat dalam beberapa pasal yang termuat di dalam UUD NRI 1945 dan UU HAM.16 Hak untuk hidup ini tentu saja akan menjadi hilang, dalam praktek euthanasia diperlaksanakan. Karena terdapat jenis euthanasia, selain euthanasia sukarela dan juga mercy killing sukarela, yaitu terdapat juga yang dimaksud dengan euthanasia dipaksakan atau involuntary euthanasia, dalam hal ini yang dapat diartikan bahwa khusus untuk jenis euthanasia ini, pasien mereka dapat mententukan untuk melakukan tindakan ini yaitu tanpa adanya persetujuan dari pihak manapun dikarenkan dia secara sadar ingin untuk melakukan hal tersebut.17 Tentu saja dengan melakukan dua jenis praktek euthanasia tersebut, akan merampas salah satu dari hak asasi manusia yang dimiliki masing-masing rakyat Indonesia. Karena di negara ini hanya mengenal hak untuk hidup, bukan hak untuk meninggal.
Pasal – pasal yang mengatur terkait hak asasi manusia didalam UUD NRI 1945 dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34, khusus mengenai Hak Hidup diatur dalam Pasal 28A, yang pada intinya dalam pengaturan pasal tersebut, dapat ditemukan bahwa salah satu hak asasi manusia yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia yaitu
hak untuk hidup dan bertahan hidup.18 Dalam pasal tersebut hanya menjelaskan tentang hak asasi yang dimiliki manusia, yaitu hak untuk hidup, serta mempertahankan kehidupannya. Dengan adanya Pasal 344 KUHP tentu saja berkeselarasan, terhadap hak asasi manusia milik rakyat, yaitu hak untuk hidup. Namun, jika diteliti lebih jauh, pada pasal tersebut tidak menjelaskan secara eksplisit, bagaimana jika pasien atau keluaga pasien yang sudah tidak ingin mempertahankan hidupnya. Karena sebagai masyarakat, untuk mempertahankan hidupnya merupakan sebuah hak, yang mana menjadi bebas untuk digunakan haknya, atau justru tidak.
Kemudian, pada pasal 4 UU HAM, mengatur mengenai hak-hak yang dimiliki seseorang dalam menjalani hidup, yaitu :
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.19
Pada intinya, isi pasal tersebut sama-sama memiliki konsep yang sama, yaitu hak untuk hidup. Namun, jika diperhatikan lebih lanjut, dalam pasal tersebut juga menyebutkan mengenai hak untuk tidak disiksa dan juga hak kebebasan pribadi. Jika memperhatikan mengenai beberapa kasus euthanasia yang dicoba diajukan ke pengadilan, rata-rata, hal ini diajukan karena penyakit yang sudah tidak bisa disembuhkan, atau penyakit yang membuat penderitanya hanya mampu bertahan hidup dengan bantuan mesin medis. Sehingga, dapat dikatakan, bahwa pasien selama bertahan hidup menggunakan alat-alat tersebut, juga mengalami penderitaan dan siksaan. Secara dasar, memang dengan pelaranagan pelegalan euthanasia sudah sesuai dengan hak asasi manusia yang dianut oleh bangsa Indonesia yaitu hak untuk hidup. Namun, jika dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia yang lain, yaitu hak untuk tidak disiksa dan hak kebebasan pribadi, hal tersebut tentunya bertentangan. Seorang pasien seharusnya juga memiliki hak kebebasan pribadi untuk mengajukan permohonan tindakan euthanasia agar tidak lagi hidup dengan badan yang tersiksa oleh penyakit.
Mengutip dari artikel milik Helly Prajitno, yang mana menjelaskan mengenai kematian dari sudut pandang euthanasia:
“Kematian adalah hak jika si mati mempunyai andil yang besar untuk menentukan kematiannya baik dengan bantuan maupun tanpa bantuan orang lain. Euthanasia biasanya dibicarakan suatu proses pengakhiran kehidupan. Secara pasif, euthanasia adalah pengakhiran kehidupan seseorang yang berupa penghentian semua upaya untuk menjadikan seseorang tetap “hidup”. Bisa jadi si sakit menyadari mengenai perlakuan seperti itu, namun dapat pula si sakit tidak mampu lagi untuk menyadari tentang kondisinya”.20
Kebebasan pribadi pula, berarti seorang pasien memiliki haknya, untuk bebas memilih jalan kehidupan mereka. Namun, walaupun bebas untuk memilih, tentu harus ada hukum yang membatasinya, agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan terhadap praktek penggunaan euthanasia tersebut. Karena, tidak dapat dipungkiri bahwa, dalam penggunaan euthanasia ini memungkinkan terjadinya penyalahgunaan karena efek yang dimiliki oleh euthanasia yang bisa saja dimanfaatkan untuk suatu kejahatan pembunuhan berencana
Bahwa di dunia internasional, sudah banyak negara yang mengizinkan pelegalan euthanasia di negaranya dengan alasan tertentu. Mengambil beberapa contoh negara yang memperbolehkan tindakan euthanasia negaranya adalah negara Belanda dan Swiss. Pertama, Belanda. Belanda diketahui telah mengizinkan euthanasia dengan mengadaptasi konsep konsep euthanasia dengan memasukkannya ke dalam kitab undang-undang hukumnya. Namun, dalam melakukan praktek euthanasia ini tentu saja tidak dapat dilakukan secara sembarangan, dan cukup ketat. Untuk mengajukan permohonan euthanasia, haruslah minimal sudah berusia 12 (dua belas) tahun, dan orang tua sang pemohon tetap harus sebagai pemberi keputusan akhir serta proses izin juga sangat amat diawasi. Dalam pengajuan sebuah permohonan euthanasia yang hal ini memang pemohon harus secara sadar untuk meminta dilakukan tindakan euthanasia tersebut, dan kemudian permohonan tersebut dikabulkan serta dilanjutkan dengan tindakan dengan salah satu caranya adalah disuntik mati, maka setelah itu petugas medis yang mencakup dokter hingga perawat harus memberikan penjelasan yang sesuai, benar dan pasti mengenai kasus tersebut agar tindakan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan.21
Kemudian, negara berikutnya adalah Swiss. Hukum yang mengatur mengenai praktek euthanasia ini telah berlaku sejak tahun 1914, yang mana hukum ini memperbolehkan orang untuk melakukan bunuh diri dengan pendampingan, walaupun pada masa tersebut, praktek ini sempat dilarang secara besar-besaran. Dengan mengutip dari berita yang terbit di okezone, diketahui bahwa banyak orang datang ke Swiss untuk melakukan euthanasia untuk melakukan pengharian hidup. Pada intinya, dalam ketentuan hukum negara Swiss dapat membuka peluang untuk dilakukannya tindakan euthanasia namun dengan ketentuan bahwa pemohon harus mengetahui mengenai hal tersebut, dan dalam norma hukumnya neagar Swiss melarang mengenai tindakan petugas medis dalam hal ini dokter maupun perawatan atau petugas yang berwenang untuk menyuntik pasienya tanpa ada permohonan sadar dari pemohon yang bersangkutan bisa dibilang dilarang melakukannya secara diam-diam.22
Beberapa contoh di atas, merupakan contoh perkembangan hukum di beberapa negara yang mulai melegalkan praktek euthanasia, jadi, sebenarnya, diharapkan juga bahwa Indonesia juga turut melakukan perkembangan hukum mengenai euthanasia jika pada kondisi tertentu. Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah ada perkembangan hukum baru yaitu dengan munculnya RUU KUHP. Dalam RUU KUHP ini, dapat kita temukan bahwa ancaman pidana penjara untuk euthanasia menjadi lebih ringan yaitu
maksimal 9 (sembilan) tahun penjara. Berbeda 3 (tiga) tahun dengan aturan dalam KUHP sebelumnya yaitu mengancam pidana penjara maksimal 12 (dua belas) tahun.23
Serta, sebelum melakukan pembaharuan hukum yang jelas dan pasti mengenai praktek pelegalan euthanasia di Indonesia, perlu ahli dari ilmu bantuan lain dalam pembentukan undang-undang tersebut. Seperti ahli medis, karena euthanasia sendiri merupakan sebuah tindakan medis yang cukup berbahaya, dikarenakan efek yang dihasilkan cukup berbahaya. Serta, para pakar hukum harus lebih meneliti lebih dalam, bagaimana hak asasi manusia yang dimaksudkan di dalam UU HAM, dan juga UUD NRI 1945. Walaupun dalam hak asasi manusia yang termuat dalam aturan hukum di Indonesia hanya memuat mengenai hak untuk hidup, harus diteliti lagi, apakah dalam hak asasi tersebut tidak juga memuat hak manusia untuk bebas memilih kebebasan dalam menentukan kehidupannya. Karena, seperti bunyi Pasal 28A yang menyatakan bahawa: ''Iwk untuk mepertahankan hidup dan kehidupannya”, pasal tersebut dapat ditafsirkan juga bahwa rakyat menjadi berhak untuk tidak mempertahankan hidupnya. Jadi, diharapkan terjadinya pembaharuan aturan hukum mengenai aturan euthanasia baik itu mengenai pelarangan praktek euthanasia, agar aturannya menjadi lebih jelas. Ataupun pembaharuan hukum yang membatasi pelegalan euthanasia, agar tidak ada multitafsir pasal, jika kelak terjadi pengajuan terhadap permohonan praktek euthanasia kelak di masa depan nanti.
Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak negara yang masih melarang praktek euthanasia di negaranya dengan alasan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Di era globalisasi ini, sudah banyak negara yang mulai melegalkan praktek euthanasia dengan memasukkannya ke dalam kitab hukum undang-undang negara masing-masing, seperti misalnya, Belanda dan Swiss. Di Indonesia sendiri, memang belum ada aturan yang jelas dan pasti, yang melarang praktek pelaksanaan euthanasia ini. Namun, dengan adanya pasal 344 KUHP, menjadi halangan dalam menyetujui praktek pelaksanaan euthanasia di Indonesia. Salah satu hak asasi manusia yang mana hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya, sebenarnya juga bertentangan dengan hak asasi manusia yang lain, yaitu hak untuk tidak disiksa dan hak kebebasan pribadi. Hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya tersebut, juga dapat ditafsirkan sebagai jika warga negara tersebut, tidak ingin mempertahankan kehidupannya, maka ia juga berhak untuk mengakhiri kehidupannya, seperti salah satu contoh adalah dengan mengajukan euthanasia. Oleh karena itu, diperlukan pembaharuan hukum yang lebih jelas mengenai pengaturan mengenai euthanasia di Indonesia. Kebijakan jika kelak memang diperlukan pembaharuan hukum atau bahkan pembentukan hukum baru yang mana akan mengatur mengenai euthanasia. Maka, kelak dalam penyusunan rancangan undang undang (RUU) tersebut, diharapkan dikaji terlebih dahulu dari berbagai sudut. Mulai dari segi hukum, medis, dan juga hak asasi manusia. Agar kelak undang-undang tersebut diharapkan dapat mencakup dan bersifat seadil-adilnya terhadap segala aspek yang ada tanpa ada aspek lainnya yang tidak terpenuhi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hanafiah, M. Jusuf, Amri Amir, 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Hornby, AS, 2005, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Oxford University Press, University of Oxford.
Idries, Abdul Mun’im, 1997, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi Pertama Bina Rupa Aksara, Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir, 2014, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Jurnal
Aziz, Abdul Hakim. “Tinjauan Yuridis Euthanasia Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Etika Kedokteran.” National Journal of Law 1, no. 1 (2019)
Badu, Lisnawaty. “Euthanasia Dan Hak Asasi Manusia.” National Journal of Law 5, no.1: (2012).
Butar-butar, Evander Reland, and Purwoto Eko Soponyono. “Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Dokter yang Melakukan Euthanasia.” Diponegoro Law Journal 5, no. 2 (2016): 1-14
Haryadi, H. “Masalah Euthanasia Dalam Hubungannya Dengan Hak Asasi Manusia” Inovatif| Jurnal Ilmu Hukum, no.5 (2011)
Hayati, Nur, 2004, “Euthanasia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia dan Kaitannya Dengan Hukum Pidana”, Lex Jurnalica Vol. 1 No. 2, April 2004.
Pradjojo, Tjandra Sridjaja, 2016, “Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau Dari Aspek
_______Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia di Indonesia”, Jurnal Ilmiah _______Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan th. 1 No. 1, Juni 2016.
Purnamiyanti Bulan.E.P.N, Wirasila Ngurah.A.A., “Pertanggungjawaban Pidana
Terhadap Keluarga Yang Meminta Untuk Dilakukan Euthanasia Ditinjau Dari Perspektif KUHP Indonesia”, Jurnal Kertha Wicara Vol.9 No.9 Tahun 2020
Soetjipto, Helly Prajitno, “Konteks dan Kontruksi Sosial Mengenai Kematian Elektif (Euthanasia)", Buletin Psikologi Tahun VIII No. 1, Juni 2000 .
Suwarto, Suwarto. “Euthanasia Dan Perkembangannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.” Jurnal Hukum Pro Justitia 27. no. 2 (2009)
Tania, Lieta Vina. “Analisis Perspektif Victimologis Terhadap Korban Tindak Pidana Pemalsuan Dokumen Tenaga Kerja Wanita.” (2018).
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886)
Internet
Anonim, 2019, Komnas HAM Berharap Eutanasia Dilegalkan, NusaBali, URL: https://www.nusabali.com/berita/58813/komnas-ham-berharap-eutanasia dilegalkan, diakses 09 Juli 2023.
Dharma, Silviana, 2016, Negara-Negara yang Legalkan Praktek Euthanasia, Okezone, URL:https://news.okezone.com/read/2016/09/19/18/1493002/negaranegar a-yang-legalkan-praktik-euthanasia, diakses tanggal 09 Juli 2023.
“Eutanasia” Wikipedia: Ensiklopedia Gratis. Wikipedia, Ensiklopedia Gratis, 08 Juli 2023. Web. 09 Juli 2023, id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia
Yasin, Muhammad, Aida, Mardhatillah, 2019, Euthanasia di Indonesia, Masalah Hukum dari Kisah-Kisah yang Tercatat, Hukum Online,
URL:_https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5dd4f5e2a4f7f/euthanasia-di-indonesia-masalah-hukum-dari-kisah-kisah-yang-tercatat/ diakses tanggal 09 Juli 2023.
Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 06 Tahun 2023, hlm. 318-328
Discussion and feedback