PERLINDUNGAN HUKUM BANK SELAKU KREDITUR

SEPARATIS DALAM MELAKSANAKAN HAK

EKSEKUSI TERHADAP JAMINAN KEBENDAAN DEBITUR PAILIT

Goldberd Barak Pardomuan Manurung, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Made Aditya Pramana Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI: KW.2023.v12.i06.p3

ABSTRAK

Penelitian ini dimaksudkan guna menginvestigasi bagaimana proteksi hukum yang dikhususkan kepada bank selaku kreditur separatis saat mereka melakukan eksekusi hak atas jaminan kebendaan dari debitur yang telah dilaporkan sebagai pailit. Metode yang diterapkan dalam studi ini mencakup pendekatan studi kasus dan analisis normatif. Penelitian ini akan mengidentifikasi peran dan wewenang bank dalam pelaksanaan hak-hak mereka serta mengevaluasi perlindungan hukum yang tersedia dalam proses eksekusi tersebut. Penelitian ini berdasarkan peraturan yang mengatur hak eksekusi bank selaku kreditur separatis, termasuk dalam UU Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 2 ayat (1) dan UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 55 ayat (1) serta hukum jaminan kebendaan. Hasil analisis dalam studi ini mengungkapkan beberapa hambatan yang dihadapi oleh bank saat menjalankan hak eksekusi terhadap jaminan kebendaan saat debitur mengalami pailit, seperti prosedur yang rumit, potensi konflik dengan hak-hak kreditur lainnya, dan perlindungan yang lebih kuat bagi debitur yang pailit. Implikasi praktis dari penelitian ini akan memberikan panduan bagi bank sebagai kreditur separatis dalam menghadapi situasi pailit debitur. Dalam konteks perlindungan hukum, penelitian ini juga akan menghasilkan rekomendasi kebijakan dan saran untuk memperkuat perlindungan bank sebagai kreditur separatis, menjaga stabilitas sektor keuangan, dan meningkatkan efisiensi proses eksekusi jaminan kebendaan.”

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Jaminan Kebendaan, Pailit”

ABSTRACT

This research aims to analyze the legal protection provided to banks as separate creditors when executing their rights over collateral assets from debtors declared bankrupt. The research is conducted using a case study approach and normative analysis method. It seeks to identify the roles and authorities of banks in exercising their rights and examines the legal protections available in the execution process. When juxtaposed with relevant official regulations, this study is based on laws governing bank execution rights as separate creditors, including Article 2(1) of Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations and Article 55(1) of the Collateral Security Law.The analysis in this research reveals several challenges faced by banks when executing their rights over collateral assets upon a debtor's bankruptcy declaration, such as complex procedures, conflicts with other creditors' rights, and stronger legal protections for bankrupt debtors. The results of this research have practical implications for banks as separate creditors when dealing with debtor bankruptcy cases. In the context of legal protection, this study presents policy recommendations and suggestions to strengthen the legal protection of banks as separate creditors, maintain financial sector stability, and facilitate efficient collateral asset execution processes. ”

Key Words: Legal Protection, Collateral Security, Bankruptcy

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Baik perseorangan (natural person) ataupun entitas hukum (badan hukum) terkadang menghadapi situasi di mana mereka mengalami keterbatasan dana untuk membiayai kebutuhan atau aktivitas bisnis mereka. Oleh karena itu, banyak dari mereka mengambil langkah tertentu, salah satunya adalah dengan melakukan peminjaman keuangan dari bank. Dalam proses pengajuan pinjaman ini, biasanya dibentuk sebuah perjanjian kredit antara bank dan nasabah terkait pemberian kredit. Perjanjian ini termasuk dalam kategori perjanjian pinjam meminjam dan ketentuannya mengacu pada Pasal 1754 KUH Perdata. Pasal tersebut berbicara tentang pinjammeminjam yang merupakan suatu bentuk kesepakatan atau perjanjian di mana satu pihak memberikan barang yang akan digunakan habis kepada pihak lain, dengan persyaratan bahwa pihak kedua harus mengembalikan barang yang serupa, baik jenis maupun kondisinya. Perjanjian kredit ini umumnya mencakup informasi tentang jumlah dan durasi kredit, syarat-syarat pembayaran kembali pinjaman, hak-hak peminjam, sanksi atas keterlambatan pembayaran bunga, dan juga ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam perjanjian tersebut.

Pemberian kredit yang dilakukan oleh bank akan berpotensi mengalami risiko dalam pelaksanaannya sehingga selain diperlukan penerapan prinsip 5C yakni, “Character, Capacity, Capital, Collateral dan Condition of Economic” ialah elemen krusial dalam menganalisis adakah calon debitur dapat memperoleh kredit dari bank ataupun tidak1. Bank juga akan meminta agunan dari debitur sebagai perlindungan padanya jika dikemudian hari debitur tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi/cidera janji)2. Pasal 1131 dalam KUH Perdata menekankan jika seluruh jenis aset yang dimiliki oleh pihak yang berutang, termasuk benda yang dapat bergerak atau tidak dapat bergerak, yang dimilikinya saat ini atau yang akan diperolehnya di masa depan, dapat dijadikan sebagai jaminan atas komitmen pribadi debitur. Jenis-jenis jaminan ini bisa berupa benda bergerak maupun tidak bergerak.

Kesengajaan tidak membayar atau ketidaksanggupan melunasi, tentu saja membuat pihak bank selaku kreditur akan menderita kerugian akibat tidak dipenuhinya piutang-piutang tersebut jika terjadi wanprestasi pada debitur. Jika bank telah memberikan surat peringatan serta telah berupaya memberikan kesempatan pada debitur dengan upaya lain seperti rescheduling, reconditioning, atau restrukturisasi tetapi debitur belum kunjung melaksanakan pelunasan, maka bank dapat melakukan upaya berupa eksekusi objek yang dijaminkan debitur dengan pelelangan umum. Selain itu dapat juga dilakukan upaya secara litigasi, yakni mengajukan gugatan wanprestasi pada permohonan pernyataan pailit dihadapan pengadilan niaga atau pengadilan negeri.

Terkait dengan proses pelikuidasian dalam kepailitan, dapat ditemukan dalam ketentuan dasarnya yang disebutkan pada Pasal 2 ayat (1) dalam UU No 37 Tahun 2004 (disebut juga UU KPKPU) mengatur bahwa apabila seorang debitur memiliki dua atau lebih kreditur dan tidak dapat memenuhi pembayaran utang yang telah jatuh

tempo dan dapat diminta kembali, maka debitur tersebut akan diumumkan pailit berdasarkan putusan pengadilan, baik jika dia mengajukannya sendiri atau jika ada permintaan dari salah satu atau beberapa krediturnya. Menurut uraian Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU, yang dimaksud sebagai kreditor sesuai dengan ketentuan tersebut ialah kreditur konkuren, separatis, dan preferensial. Kreditur preferensial dalam konteks kepailitan merujuk kepada kreditur yang memiliki prioritas dalam pembayaran utangnya berdasarkan ketentuan hukum karena mereka memiliki status istimewa. Sementara itu, kreditur separatis merupakan pihak yang memiliki jaminan kebendaan sebagai pengaman atas utang mereka. Terakhir, kreditur konkuren adalah kreditur yang tidak memiliki jaminan kebendaan untuk utang mereka dan tidak mendapat perlakuan istimewa dari undang-undang dalam hal piutang mereka.3

Bank sebagai kreditur yang menggenggam jaminan kebendaan digolongkan dalam kreditur separatis. Munir Fuady mendefinisikan “separatis” sebagai pemisahan dimana keadaan kreditur berbeda dengan kreditur lainnya dimana kreditur tersebut diperbolehkan untuk melaksanakan kuasa eksekusi dengan mengambil atau menjual barang yang dijaminkan seolah-olah tidak ada. kebangkrutan.4 Dengan memperhatikan sejumlah ketentuan seperti tertulis pada Pasal 56, 57, serta 58 yang memberikan kewenangan kepada seluruh kreditur yang memiliki jaminan seperti agunan fidusia, hak tanggungan, atau kepemilikan atas harta benda tertentu untuk menjalankan hak-hak mereka seakan-akan situasi kepailitan tidak sedang terjadi, sesuai Pasal 55 (1) UU KPKPU yang memberikan dukungan tambahan dalam pernyataan ini. Meskipun kreditur separatis memiliki wewenang dalam melakukan eksekusi sendiri, mereka tetap bisa mengajukan pailit karena kedudukan mereka masih memenuhi unsur pada Pasal 2 (1) UU KPKPU. Namun, terdapat sejumlah hal yang perlu ditelaah pada pelaksanaan Pasal 55 (1) tersebut, dikarenakan terdapat pembatasan hak kreditur separatis yang ditentukan pada Pasal 56 dan 59 UU KPKPU, di mana di dalamnya terdapat suatu pengaturan mengenai penangguhan eksekusi yang mengarah pada suatu inkonsistensi serta tidak mampu memberikan kepastian hukum bagi kreditur separatis, sehingga akan mempengaruhi perlindungan hukum bagi kreditur separatis atas pemenuhan jaminan kebendaan bagi debitur pailit, maka jelas pengaturan ini harus diusut tuntas.

Karya tulis ini akan menitikberatkan kepada Proteksi Hukum bagi Kreditur Separatis dalam Penyelesaian Kebangkrutan yaitu UU No.37 Tahun 2004. Karya ilmiah yang mempunyai motif hampir sama, akan tetapi memiliki perbedaan dalam fokus penulisannya yaitu karya ilmiah oleh Sri Redjeki Slamet pada tahun 2016 dengan judul “Proteksi Hukum serta Posisi Kreditur Separatis mengenai Kebangkrutan Pada Debitur” dibahas bagaimana perlindungan hukum bisa menjamin serta memberi kepastian hukum kepada kreditur dalam kesepakatan kredit jika terjadi kebangkrutan.5 Kaitan karya ilmiah tersebut pada karya ini adalah dalam hal perlindungan hukum bank sebagai kreditur separatis pada jaminan kebendaan debitur pailit. Selain itu, karya ilmiah lain oleh Titik Tejaningsih yang berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Separatis Dalam Pengurusan dan Penyelesaian Harta Pailit”

pada tahun 2016. Kepentingan kreditur telah dilindungi oleh UU 37 Tahun 2004, khususnya kreditur separatis.6 Namun demikian, karya-karya tersebut mempunyai analisis yang berbeda dengan karya ilmiah ini. Akibatnya, adanya auran-aturan yang dibatasi pada UU No. 37 Tahun 2004, dalam prakteknya tidak semua diterapkan sehingga penting ditelaah secara mendalam pada kajian ini. Penyelesaian pembagian harta pailit kepada kreditur sebagai akibat menyimpang dari ketentuan UU No. 37 Tahun 2004.”

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Seperti apa posisi bank selaku kreditur separatis pada jaminan kebendaan debitur pailit dalam kebangkrutan/kepailitan?

  • 2.    Bagaimana perlindungan hukum yang diberikan kepada bank selaku kreditur separatis dalam melaksanakan hak eksekusi terhadap jaminan kebendaan debitur pailit, dengan mempertimbangkan contoh kasus dalam eksekusi jaminan kebendaan yang dilakukan oleh bank.

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

  • 1. Untuk mengenal lebih lanjut kedudukan bank selaku kreditur separatis

jaminan kebendaan bagi debitur pailit dalam kepailitan

  • 2. Untuk menganalisis bagaimana status bank sebagai kreditur separatis

memengaruhi kemampuannya dalam melaksanakan jaminan material debitur yang pailit dan untuk mengkaji contoh kasus konkret terkait eksekusi jaminan kebendaan yang dilakukan oleh bank sebagai kreditur separatis terhadap debitur pailit

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian ini akan menerapkan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif disebut juga dengan penelitian kepustakaan.7 Metode ini akan fokus pada analisis norma-norma hukum yang relevan dengan perlindungan hukum bank sebagai kreditur separatist dalam proses eksekusi terhadap jaminan kebendaan debitur yang mengalami pailit. Data primer yang akan digunakan mencakup peraturan hukum dan putusan pengadilan yang relevan, sedangkan data sekunder akan berupa literatur hukum seperti buku dan jurnal ilmiah yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. Teknik pengumpulan data akan didasarkan pada studi dokumen, sementara metode analisis yang akan digunakan adalah analisis kualitatif untuk mengungkapkan kekaburan norma, konflik norma, dan permasalahan hukum terkait. Dengan pendekatan ini, penelitian bertujuan untuk memberikan wawasan yang mendalam tentang perlindungan hukum bank dalam situasi pailit dan mengidentifikasi gap antara norma hukum yang ada dan pelaksanaannya dalam praktik hukum.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Kedudukan Bank Selaku Kreditur Separatis dalam Kepailitan

Kreditur separatis ialah mereka yang memiliki hak tanggungan atas kebendaan sesuai ketentuan UU kepailitan. Demikian pula, UU kepailitan juga mengatur kreditur yang memiliki jaminan atas kebendaan. Berdasarkan regulasi yang terdapat pada Pasal 55 ayat (1) UU No 37 Tahun 2004 tentang PKPU, kreditur yang memiliki gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hak tanggungan, atau hak milik lainnya diizinkan untuk menjalankan eksekusi seakan-akan tidak ada proses kepailitan yang terjadi. Golongan kreditur ini tidak terpengaruh oleh putusan yang menyatakan pailitnya debitur, yang berarti bahwa hak mereka untuk melakukan eksekusi tetap berlaku seakan-akan tidak ada pailit debitur.8 Dalam konteks ini, bank dapat dikategorikan sebagai kreditur separatis karena merupakan kreditur yang memiliki agunan kebendaan dari debitur.”

Istilah "kreditur separatis" dikenal dalam Hukum kepailitan. Kata "separatis" berarti "pemisahan" karena kedudukan kreditur jelas berbeda dengan kreditur lainnya. Dengan kata lain, kreditur separatis memiliki hak untuk menjual agunan mereka sendiri dan mengumpulkan hasil penjualannya secara terpisah dari harta pailit yang merupakan aset umum.9 Itulah yang mengakibatkan perbedaan antara kreditur separatis dan kreditur yang mempunyai hak atas jaminan aset dalam kerangka hukum jaminan. Kreditur pemegang jaminan kebendaan dalam hukum jaminan memiliki posisi yang unggul daripada kreditur lainnya. Hal ini didukung oleh ketentuan yang terkandung dari isi Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata yang secara pokok menyebutkan bahwa kreditor pemegang hak gadai dan hak tanggungan memiliki status yang lebih tinggi dibandingkan dengan kreditur yang memiliki hak istimewa. Dalam praktiknya, ditegaskan pada ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan yang secara substansial menyiratkan bahwa kreditur separatis dapat mengamankan aset yang mereka jamin, dan dengan merujuk pada Pasal 56, 57, serta 58 seakan-akan tidak ada proses kepailitan yang tengah berlangsung.

Bahkan setelah status pailit debitur diumumkan, posisi bank sebagai kreditur separatis memungkinkan mereka untuk tetap melaksanakan eksekusi terhadap aset debitur. Ini dikarenakan bank memiliki peranan kunci sebagai pemegang hak jaminan yang signifikan. Kreditor separatis tidak termasuk dalam prinsip paritas kreditorium yang memberikan semua kreditur hak yang setara untuk memperoleh kompensasi dari harta pailit berdasarkan "porsi gewijs pool", karena mereka bukan bagian dari proses kepailitan debitur.10

  • 3.2.    Perlindungan Hukum Bank Selaku Kreditur Separatis Untuk Melaksanakan Hak Eksekusi Terhadap Jaminan Kebendaan Debitur Pailit

Dalam konteks proses kepailitan, perlu diingat bahwa hak atas agunan tetap ada dan diakui, serta hak separatis dihormati sepanjang proses kepailitan. Para kreditur separatis dilindungi secara hukum ketika melakukan eksekusi berdasarkan Pasal 55 (1)

UU KPKPU yang menyebutkan bahwa mereka dapat mengeksekusi hak agunan kebendaan dengan tetap berpegang pada aturan dalam Pasal 56, 57, dan 58. Namun, jika melihat persyaratan tersebut, kesannya seakan-akan proses kepailitan tidak berlangsung dan dapat diungkapkan bahwa jika hak atas aset jaminan kebendaan dipegang oleh kreditor separatis, aset tersebut tidak termasuk dalam harta kekayaan yang terkena dampak dari masa pailit.11 Pada saat agunan kebendaan debitur dilaksanakan, kreditur separatis wajib mengembalikan kelebihannya kepada debitur. Apabila hasil eksekusi agunan kebendaan debitur lebih besar dari utangnya, maka kreditur separatis dapat menagih selisihnya dari debitur sebagai kreditur konkuren.

Berkaitan dengan Pasal 55 UU KPKPU, ketentuan perlindungan terhadap kreditur separatis juga tercantum di Pasal 21 UU No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah dan Benda-Benda yang Terkait dengan Tanah. Ini berlaku ketika pihak yang meminjam tidak memenuhi kewajibannya dengan benar atau mengalami pailit, yang memungkinkan kreditur separatis untuk menjalankan semua hak jaminan kebendaan yang menjadi miliknya, termasuk hak atas jaminan untuk memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur. Prinsip tersebut pun dinyatakan dengan tegas di dalam Pasal 27 ayat (3) UU dari No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang mengindikasikan apabila kreditur yang memiliki status separatis memegang fidusia, maka haknya akan diberikan prioritas dan tidak akan kehilangan kedudukannya dalam situasi kepailitan. Regulasi ini menggambarkan kekuatan posisi kreditur yang memegang hak jaminan dan secara lebih kuat mengokohkan kedudukan kreditur separatis. Namun, pelaksanaan langsung dari ketentuan tersebut oleh kreditur separatis tidak dapat dilakukan karena ada ketidaksesuaian antara Pasal 56 UU KPKPU dengan kedudukan kreditur separatis dan hak jaminan kebendaan yang dimilikinya.

Menurut Pasal 56 (1) UU KPKPU menyatakan bahwa hak kreditur untuk menjalankan proses eksekusi, seperti yang diuraikan di Pasal 55 ayat (1) dan pihak ketiga memiliki hak untuk mengajukan klaim terhadap aset yang dikelola oleh Debitor Pailit atau Kurator akan mendapat perlindungan hukum selama periode maksimum 90 hari, dimulai sejak diumumkannya putusan pailit. Pasal tersebut membatasi hak kreditur separatis sesuai dengan ketentuan yang terdapat di Pasal 21 UU Hipotek dan Pasal 27 UU agunan Fidusia dengan mengatur batas waktu penundaan hak eksekusi kreditur separatis paling lama 90 hari. Selain itu, terdapat ketentuan tambahan yang mengikat hak kreditur separatis yang diatur dalam Pasal 59 UU KPKPU mengamanatkan bahwa kreditur pemegang hak jaminan, sesuai dengan Pasal 55 ayat (1) UU KPKPU, wajib menjalankan haknya pada rentang waktu maksimal 2 bulan sejak dimulainya keadaan ketidakmampuan membayar utang, seperti dijelaskan dalam Pasal 178 ayat (1) UU KPKPU. Jika batas tenggat ini terlewati, tugas Kurator adalah menuntut penyerahan aset yang dijadikan jaminan, yang selanjutnya akan dijual sesuai dengan prosedur yang dijelaskan dalam Pasal 185 UU KPKPU. Namun, hak kreditur terhadap hasil penjualan tetap terlindungi. Selain itu, Kurator memiliki hak untuk melepaskan jaminan kapan saja dengan melakukan pembayaran kepada pemberi pinjaman sejumlah paling sedikit antara nilai pasar jaminan dan jumlah utang yang dijamin oleh jaminan tersebut.

Dalam Pasal tersebut mengamanatkan bahwa setelah berakhirnya periode penundaan yang dapat mencapai maksimal 90 hari, kreditur separatis diperbolehkan untuk menjalankan hak eksekusi terhadap jaminan kebendaan dalam periode tidak lebih dari 2 bulan setelah dimulainya masa ketidakmampuan pembayaran utang. Kedua pasal ini bertentangan dengan KUH Perdata, UU Hak Tanggungan, dan UU Jaminan Fidusia yang melarang pendirian lembaga yang memberikan jaminan kebendaan.12 Kedua pasal tersebut menimbulkan kendala bagi kreditur separatis dalam melaksanakan hak eksekusi, karena hak mereka dinyatakan tidak berlaku selama periode 90 hari dan pelaksanaan eksekusi hanya diizinkan minimal 2 bulan setelah dimulainya kondisi insolvensi. Hal ini sesuai dengan Pasal 178 ayat (1), yang menetapkan bahwa keadaan insolvensi terjadi ketika tidak ada penawaran penyelesaian dalam rapat pencocokan piutang, usulan perdamaian yang diajukan tidak dapat persetujuan, atau persetujuan perdamaian telah mengalami penolakan melalui suatu keputusan yang telah memperoleh keabsahan hukum yang tak dapat diganggu gugat. Terkait dengan posisi unggulan kreditur separatis dalam pembayaran piutang mereka dibandingkan dengan kreditur lainnya, penting bagi kreditur separatis untuk memahami kapan situasi ketidakmampuan pembayaran dimulai dan untuk mengoptimalkan periode 2 (dua) bulan ini sebaik mungkin. Hal ini memungkinkan mereka untuk memanfaatkan dan mengambil manfaat dari pelaksanaan eksekusi yang lebih cepat dan langsung.

Sebagai ilustrasi konkret, terdapat contoh kasus eksekusi jaminan kebendaan oleh bank sebagai kreditur separatis terhadap debitur pailit berdasarkan putusan pailit No. 16/Pailit/2011/PN. Niaga.Mdn yang diuraikan sebagai berikut:

PT. Serba Indah Aneka Pangan, perusahaan yang berfokus pada produksi makanan dan minuman instan, telah menerima pendanaan tambahan dari Bank Negara Indonesia (BNI). Pendanaan ini diatur melalui perjanjian kredit modal kerja (KMK) dan fasilitas kredit investasi (KI). Dengan adanya perjanjian kredit ini, terjalinlah ikatan hukum antara BNI sebagai pemberi pinjaman dan PT. Serba Indah Aneka Pangan sebagai penerima pinjaman. Dalam perjanjian tersebut tercantum persetujuan pendanaan modal kerja sebesar Rp15.550.000.000,00 dan perjanjian fasilitas kredit investasi senilai Rp17.550.000.000,00.

PT. Aneka Pangan menawarkan jaminan material kepada BNI berupa hak tanggungan dan fidusia:

  • 1.    Akta Jaminan Fidusia yang dibuat di hadapan Notaris H. Makmur Ritonga, SH, dan Halim, SH, menyatakan bahwa semua mesin, peralatan pabrik, bahan baku, bahan pembantu, dan bahan bakar milik debitur ialah milik debitur.

  • 2.    Menurut ketentuan Akta Borgtocht yang dibuat di hadapan Notaris H. Makmur Ritonga, setiap pengurus perusahaan debitur Tn. Rivai Wijaya menjadi Direktur Utama, Bapak Willy sebagai Direktur, dan Bapak Sutani Sutodjo sebagai Komisaris bersedia menjamin atau memberikan jaminan perorangan atau pribadi.

  • 3.    Lima bidang tanah yang terdaftar dengan kepemilikan Tuan Rivai Wijaya, yang masing-masing dibebani hak tanggungan dan menjadi jaminan debitur kepada kreditur, dijadikan jaminan barang tidak bergerak.

  • 4.    Aset yang lain.

PT. Serba Indah Aneka Pangan akhirnya menemukan dirinya dalam situasi yang dianggap lalai dalam menjalankan prestasinya, padahal Bank Negara Indonesia (BNI) memperpanjang waktu kredit dan mengubah jadwal kredit. Selain itu, diketahui bahwa PT. Serba Indah Aneka Pangan berhutang kepada PT PLN sejumlah Rp. 51.125.660 dan PT. Rolimex Kimia Nusamas berutang US$113.840,83. Alhasil, di Pengadilan Niaga Medan, salah satu Debitur, yaitu BNI mengajukan pailit. Putusan berikut ini diambil oleh majelis hakim setelah mengabulkan permohonan pailit sesuai proses:

  • 1.    Memberikan izin sepenuhnya kepada pemohon pailit.

  • 2.    mengumumkan PT. Aneka Makanan Serba Indah, Responden, Bangkrut.

  • 3.    penunjukan hakim pengawas kebangkrutan tergugat pailit.

  • 4.    Menyebutkan Bapak Jamaslin Purba, SH, dan Bapak Nien Rafles Siregar, SH, sebagai kurator dalam kebangkrutan ini. Kantor mereka di Firma Hukum James Purba & Partners, dan alamat surat mereka yakni Wisma Nugra Santana 12th Floor Suite 1205, Jln. Jenderal Sudirman Kav. 7-8, Jakarta Pusat 10220.

  • 5.    Memerintahkan tergugat yang telah dinyatakan pailit sebagai pihak yang membayar semua biaya perkara.

Berdasarkan kasus posisi singkat tersebut, ada beberapa hal yang dapat dianalisis, diantaranya:

  • a.    Bank Negara Indonesia (BNI) yang merupakan kreditur separatis telah menyampaikan permohonan pailit ke pengadilan niaga sesuai dalam regulasi yang tercantum di Pasal 2 (1) UU KPKPU;

  • b.    Pengabulan permohonan pailit juga telah berlaraskan Pasal 2 ayat (1) Kitab UU Hukum Kepailitan yang menyebutkan beberapa persyaratan agar dapat dianggap pailit, antara lain Debitur memiliki beberapa kreditur, dan setidaknya salah satu hutang tersebut mencapai tenggat waktu pembayaran dan memenuhi syarat untuk proses penagihan. Selain itu, permintaan untuk mengajukan kepailitan dapat dilakukan oleh debitur sendiri atau dalam beberapa kasus oleh salah satu dari beberapa kreditor. (Dalam kasus ini diajukan oleh salah satu krediturnya);

  • c.    Setelah dijatuhi putusan pailit, Bank Negara Indonesia (BNI) akan tetap melaksanakan proses eksekusi terhadap jaminan kebendaan debitur pailit, namun pelaksanaannya akan dilakukan sesuai dengan etentuan hukum kepailitan yang berlaku dengan memperhatikan pembatasan yang diatur dalam UU KPKPU Pasal 56 dan 59.”

  • IV.  Kesimpulan sebagai Penutup

    4.   Kesimpulan

Bank merupakan kreditur separatis yang memegang jaminan kebendaan dari debitur. Ketika terjadi situasi kepailitan, Pasal 55 (1) UU KPKPU memberikan

perlindungan kepada kreditor separatis dalam hal pelaksanaan eksekusi atas agunan mereka, yang memungkinkan mereka untuk melaksanakan hak eksekusi jaminan tersebut seakan-nya tidak ada kepailitan. Namun, terdapat ketidaksesuaian antara Pasal 56 dan 59 UU KPKPU, yang menentukan bahwa pelaksanaan eksekusi harus dihentikan selama 90 hari setelah pengumuman kepailitan diberikan, dan bahwa hak eksekusi atas jaminan kebendaan hanya dapat dilaksanakan dalam batas waktu

maksimum 2 bulan sejak dimulainya masa ketidakmampuan pembayaran. Hal ini menciptakan ketidak konsistenan dan ketidakpastian hukum dalam hal perlindungan dan posisi kreditor separatis dalam konteks kepailitan. Untuk menjaga kejelasan hukum terkait dengan pelaksanaan hak jaminan kebendaan oleh kreditur separatis, ada kebutuhan untuk menyelaraskan ketentuan-ketentuan tersebut melalui revisi pasal-pasal yang ada dan peraturan administratif yang sesuai.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Fiady, Munir. Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2022.

Ginting, Elyta Ras. Hukum Kepailitan Teori Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika, 2018.

Nugroho, Susanti Adi, Hukum Kepailitan di Indonesia. Jakarta: Prenadamedia, 2020.

Soemitro, R. Hanityo. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998.

Susanti, Adi Nugroho. Hukum Kepailitan di Indonesia. Jakarta: Perdana Media, 2018.

Tansah, Eljiana. Makalah “Kapita Selekta Hukum Kepailitan”. dikutip oleh Imran Nating. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.

Jurnal

Achmad, Fatiya, Permata N. Daulay. Nurwidiatmo. “Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Yang Dilakukan Kreditur Separatis Dalam Keadaan Insolvensi.” Jurnal Nuansa Kenotariatan 3, No. 1 (2017).

Adinata, I Made Teguh dan I Made Dedy Priyanto. “Perlindungan Hukum Kredtor Separatis Tehadap Hak Jaminan yang Diangunkan oleh Debitor Pailit.” Journal Ilmu Hukum Universitas Udayana 7, No. 10 (2019).

Agca, Siti Heiranisya Cita. "Harmonisasi Pasal 21 Undang-undang Hak Tanggungan dengan Pasal 56 dan Pasal 59 Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terkait Kreditor Separatis Pemegang Hak Tanggungan yang Melekat pada Benda Jaminan." Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum 1. No.8 (2013).

Dewi, Luh Putu Ari Tiarna. “Eksekusi Hak Tanggungan yang Dipailitkan” Jurnal Hukum Kenotariatan 5, No.1 (2020).

Hamonangan. “Analisis Penerapan Prinsip 5C dalam Penyaluran Pembiayaan pada Bank Muamalat KCU Padangsidempuan”. Jurnal Ilmiah MEA (Manajemen, Ekonomi, dan Akuntansi) 4, No. 2 (2020).

Intansari, Mitia. “Kedudukan Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Debitur Wanprestasi.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum Universitas Udayana 5, No 2 (2016).

Nur, Dimas. Perlindungan Hukum Bagi Bank Pemegang Hak Tanggungan Peringkat Kedua Dalam Eksekusi Obejek Hak Tanggungan.” Media Iuris 1, No.3 (2018).

Pakel, Yane, “Kedudukan Bank Sebagai Kreditor Separatis Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit.” Al-Amwal Journal of Islamic Economic Law 3, No. 1 (2018).

Praman, Putu Arya Aditya. “Pengaruh Undang-Undang Kepailitan dan Undang-Undang Hak Tanggungan Terhadap Kedudukan Kreditur Pemegang Hak

Tanggungan Apabila Debitur Pailit.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, Universitas Udayana 1, No 4 (2013).

Prastika, Kadek Septian Dharmawan. “Kedudukan Kreditur Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Milik Atas Tanah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum Universitas Udayana 5, No.1 (2018).

Roeroe, Sarah D.L. “Kewenangan Pihak Ketiga Sebagai Penjamin Dalam Perjanjian Kredit”. Lex Privatum 5, No.1 (2017).

Saija, Ronald. “Perlindungan Kreditur Atas Pailit yang Diajukan Debitur Dalam Proses Peninjauan Kembali Di Pengadilan Niaga.” SASI 23. No.2 (2018).

Slamet, Sri Redjeki. “Perlindungan Hukum Dan Kedudukan Kreditor Separatis Dalam Hal Terjadi Kepailitan Terhadap Debitor”. Jurnal Hukum Lex Jurnalica 13, No. 1 (2016).

Saputera, Januar Agung. "Kedudukan Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Debitur Pailit." IUS CONSTITUTUM 1. No. 2 (2016).

Sularto. “Perlindungan Hukum Kreditur Separatis dalam Kepailitan.” Mimbar Hukum 24, No. 2 (2012).

Suryadi, I Made Agni Prabawa. “Pengaturan Eksekusi Barang Jaminan Melalui Undang-Undang Hak Tanggungan.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum Universitas Udayana 1, No 12 (2013).

Tejaningsih, Titik. “Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Separatis Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit”, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas islam Indonesia, 2016.

Trianna. Komang, “Ketentuan Penangguhan Eksekusi Hak Tanggungan Oleh Kreditor Separatis Akibat Adanya Putusan Pailit.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum Universitas Udayana 1, No 2 (2013).

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Putusan Pengadilan

Putusan Pailit No. 16/Pailit/2011/PN. Niaga.Mdn

Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 06 Tahun 2023, hlm. 299-307