MENILIK PRESISI PEMBERLAKUAN HUKUM

PIDANA PADA KASUS BULLYING OLEH ANAK
DIBAWAH UMUR 12 TAHUN

Anak Agung Deha Devina Devi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Diah Ratna Sari Hariyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI: KW.2023.v12.i06.p1

ABSTRAK

Penulisan ini bertujuan untuk melakukan pengkajian terhadap pengaturan pemberlakuan sanksi pidana pada anak dibawah umur 12 tahun yang menjadi pelaku bullying atau perundungan, serta memberikan wawasan lebih luas terkait pemberlakuan sistem pemidanaan terhadap anak yang dijadikan sebagai solusi dalam memberikan efek jera terhadap pelaku bullying yang masih menyenyam pendidikan di sekolah dasar hingga SMP yang hingga kini masih marak terjadi di lingkungan sekolah di Indonesia. Penulisan menggunakan metode hukum normatif. Hasil studi menunjukkan dalam UU No.11 Tahun 2012 masih terdapat kekaburan norma dalam penanganan pelaku bullying oleh anak dibawah umur 12 tahun serta pengaturan terkait bagaimana penerapan program pendidikan, pembinaan, pembimbingan hingga pemidanaannya. Selanjutnya dalam UU No.11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak mengatur secara jelas bagaimana pemberian sanksi pidana pada anak dibawah umur 12 tahun yang melakukan bullying setara dengan kejahatan oleh orang dewasa hingga menimbulkan korban jiwa. Terlebih lagi hanya mengatur bagaimana penanganan pemberlakuan keadilan restorative dan diversi yang diterapkan kepada anak dibawah umur 12 tahun dan hal tersebut menunjukkan bahwa pemberlakuan sanksi pidana yang diterapkan tidak mencerminkan adanya kepastian hukum.

Kata Kunci: Sanksi Pidana, Perundungan, Anak, Pertanggungjawaban Pidana.

ABSTRACT

The aims of this study to conduct an assessment of the regulation of the enforcement of criminal sanctions on children under the age of 12 who are perpetrators of bullying, as well as to provide broader insights regarding the enforcement of the criminalization system against children which is used as a solution in providing a deterrent effect on bullying perpetrators who are still studying in elementary schools to junior high schools which are still rampant in the school environment in Indonesia. The writing uses normative legal methods. The results of the study show that in Law No.11/2012 there are still vague norms in handling bullying perpetrators by children under the age of 12 as well as arrangements related to how to implement education programs, coaching, mentoring and punishment. Furthermore, Law No.11/2012 on the Juvenile Criminal Justice System does not clearly regulate how to impose criminal sanctions on children under the age of 12 who commit bullying equivalent to crimes by adults to cause fatalities. Moreover, it only regulates how the handling of the implementation of restorative justice and diversion applied to children under the age of 12 years and this shows that the criminal sanctions for children under the age of 12 years are not clearly regulated.

Key Words: Criminal Sanctions, Bullying, Children, Criminal Liability.

  • I.   Pendahuluan

    1.1  Latar Belakang Masalah

Anak-anak baru akan memasuki masa transisi ketika berumur sekitar 9-12 tahun yang tentunya memiliki dampak besar bagi perubahan prilaku yang dimiliki anak. Hal tersebut berdampak pada peningkatan kasus kenakalan anak yang terjadi di lingkungan

sekolah. Kenakalan pada anak yang terjadipun beraneka ragam, salah satunya “bullying”. Bullying diartikan dalam Bahasa Indonesia sebagai suatu tindakan yang bersifat mengintimidasi, ataupun mengusik orang lain.1 Bullying atau perundungan merupakan suatu perbuatan yang diartikan tidak baik yang diperbuat oleh seseorang atau sekumpulan orang terhadap orang lain. Perbuatan kurang mengenakan ini seringkali berupa memberikan rasa sakit kepada terhadap orang lain baik secara verbal berupa mengolok-olok penampilan, kemampuan belajar, hingga kemampuan beradaptasi seseorang maupun berupa menyakiti secara fisik seperti halnya melakukan pemukulan, mendorong hingga membunuh.2

Bullying saat ini tidak hanya sebatas mengolok-ngolok teman sepantarannya namun sampai melibatkan kekerasan secara fisik didalamnya. Perundungan `merupakan suatu bentuk penindasan yang dilakukan untuk menunjukkan wilayah kekuasaannya, baik yang dilakukan secara fisik, verbal, hingga melalui media sosial.3 Perundungan fisik seringkali ditandai dengan korban yang mengalami luka-luka hingga trauma mental. Bullying yang terjadi di gempuran teknologi ini juga tidak hanya fisik melainkan verbal secara langsung maupun lewat media sosial. Hal tersebut seringkali ditunjukkan dengan mengeluarkan ujaran kebencian, mengancam, merendahkan hingga pelecehan seksual. Bullying dapat terjadi karena banyak faktor mulai dari pengaruh lingkungan sekolah, keluarga, hingga pergaulan.4 Dewasa ini, bullying yang terjadi diantara anak di lingkungan sekolah tidak sesederhana berupa kenakalan yang ditujukan untuk bersenang-senang tanpa ada intensi untuk menyakiti namun sudah sampai melibatkan kekerasan untuk memperlihatkan kekuasaan pada kaum yang dianggap lebih lemah hingga menyebabkan korban jiwa. Oleh karena itu bullying tidak lagi dapat dikategorikan hanya sebatas tindak kenakalan anak melainkan kejahatan. Menurut Martin R. Hasskel dan Lewis Yablonski yang mengungkapkan terkait karakter seseorang hingga disebut melakukan tindak kejahatan ialah ketika perilaku yang ditunjukkan termasuk kedalam tindak kealpaan atau bentuk kesengajaan, melanggar hukum pidana yang dikenai hukuman.

Anak-anak yang menjadi korban perundungan akan mendapat resiko lebih mengalami masalah kesehatan baik secara mental maupun fisik. Kasus bullying atau perundungan di lingkungan anak sekolah di Indonesia yang semakin bertambah jumlahnya dan sanksi yang dijatuhkan seringkali hanyalah permintaan maaf, dipulangkan kerumah orang tua dengan embel-embel pengawasan dan berakhir damai, walaupun bullying yang terjadi dapat dinilai parah hingga mengakibatkan korban jiwa. Perundungan yang termasuk kejahatan di Indonesia kini tidak selalu orang dewasa saja sebagai pelakunya melainkan dapat dilakukan oleh anak-anak dibawah umur 12 tahun sekalipun. Oleh karena itu menurut pandangan penulis, anak dibawah umur yang melakukan perundungan hingga menimbulkan trauma berat dan meregang nyawa baik dilingkungan sekolah maupun diluar haruslah dikategorikan sebagai kejahatan bukan hanya kenakalan semata dan dikenai hukuman penjara yang setimpal dengan perbuatannya layaknya pada orang dewasa. Penilitian ini dilakukan dengan memusatkan pengkajian penulisan peraturan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diikuti dengan alasan dari pemberlakuan pemidanaan terhadap anak pelaku bullying dibawah umur 12 tahun.

Pada bagian state of art dalam jurnal ini dipetik dari sejumlah penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya yang digunakan sebagai panduan dalam penulisan, fokus acuan dan perbandingan dalam melakukan penelitian ini. Terkait state of art temuan penelitian pertama dari Ayu Widya Rachma pada tahun 2022 dengan judul “Upaya Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah”. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwasanya bullying menjadi salah satu yang termasuk kedalam kategori tindak kekerasan yang terjadi di sekolah dan didalamnya diberikan solusi dan rekomendasi untuk menangani masalah tersebut, seperti menata kembali lingkungan sekolah yang baik, memberi dukungan untuk kegiatan positif siswa, menyediakan akses pengaduan, dan membuat aturan dan sanksi sekolah yang jelas terhadap tindakan bullying. Penelitian kedua dari Komala Arora dan Shikha Verma pada tahun 2023 dengan judul “The Impact Of Anti Bullying Intervention Strategies On Student’s Development Between The Age Group 11 To 13 Years”. Hasil dari penelitian jurnal ini menunjukan bahwasanya penerapan strategi intervensi dan pelatihan bagi siswa yang menjadi pelaku atau korban bullying menyebabkan penurunan jumlah episode bullying dan peningkatan tingkat penyesuaian diri, harga diri, dan manajemen kemarahan baik bagi korban maupun pelaku bullying. Penelitian ketiga dari Taibah Haidar pada tahun 2021 dengan judul “A Study on a Bullying Among Life Skills Development Center (LDC)’S School Student In Herat, Afghanistan”. Hasil dari penelitian jurnal ini menunjukan bahwa terdapat siswa yang sering mendapat perlakuan bullying, sementara yang lain kadang-kadang di-bully, dan diketahui terkait bentuk-bentuk intimidasi dari perlakuan bullying oleh siswa serta penelitian tersebut menemukan bahwa bullying memiliki efek psikologis negatif pada siswa, seperti merasa takut, kesepian, dan malu, serta menyimpulkan bahwa bullying berdampak signifikan pada kesehatan mental dan prestasi akademik baik bagi korban maupun pelaku.

Dapat dilihat bahwasanya penelitian yang dilakukan oleh penulis memiliki fokus baru terkait dengan tindakan bullying yang dilakukan oleh anak yang berusia dibawah umur 12 tahun di lingkungan sekolah di Indonesia sehingga penulis mengangkat topik bahasan penelitian yang berjudul “Menilik Presisi Pemberlakuan Hukum Pidana Pada Kasus Bullying oleh Anak Dibawah Umur 12 Tahun”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pengaturan pemberlakuan hukum pidana terhadap kasus bullying bagi anak dibawah umur 12 tahun?

  • 2.    Bagaimanakah pemberlakuan sanksi pidana diterapkan pada anak dibawah umur 12 tahun pada kasus bullying yang terjadi di lingkungan sekolah di Indonesia?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini ditujukan untuk mengetahui dan menganalisis lebih lanjut terkait pemberlakuan sanksi pidana terkait anak dibawah `umur 12 tahun sebagai pelaku bullying yang menimbulkan korban jiwa di lingkungan sekolah menurut UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selain itu, penulisan ini juga untuk mengetahui bagaimana pemberlakuan hukum pidana pada kasus bullying oleh anak dibawah umur 12 tahun dan bagaimana pengimplementasian

dari peraturan yang ada terhadap kasus-kasus bullying oleh anak dibawah umur 12 tahun di Indonesia yang menimbulkan korban jiwa.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian hukum normatif merupakan metode penelitian yang digunakan dalam penulisan jurnal ini oleh penulis. Dalam penelitian ini menggunakan hukum normatif sebagai metode penelitian yang ditujukan untuk menganalisis norma dalam suatu peraturan perundang-undangan, baik dari sisi apakah dalam norma tersebut tidak terdapat multitafsir, dan tidak ada yang mengatur terkait perbuatan yang dilakukan tersebut. Dalam penulisan jurnal ini menggunakan pendekatan dengan perundang-undangan yang objek kajiannya yaitu UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sumber-sumber literatur yang digunakan sebagai acuan penulisan yaitu buku-buku dan jurnal-jurnal ilmiah. Teknik penelusuran bahan hukum yang digunakan dalam penulisan jurnal ini yaitu metoda kepustakaan dengan dilakukannya suatu pengolahan dan analisis bahan hukum yang kemudian akan dibuat serta yang ditujukan untuk memberikan gambaran terhadap subjek ataupun objek penelitian yang dilakukan.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Pemberlakuan Hukum Pidana terhadap Kasus Bullying Bagi Pelaku Dibawah Umur 12 Tahun

Anak sebagai insan penerus bangsa diberikan perlindungan hukum yang khusus dengan mengedepankan kesehatan mental serta memikirkan dampak kedepannya bagi anak. Dalam Pasal 1 angka 1 UU perlindungan anak menyebutkan bahwasanya anak yang belum mencapai usia 18 tahun tidak dapat dikategorikan sebagai dewasa melainkan sebagai anak yang masih didalam kandungan”. Pasal tersebut sejalan dengan isi Pasal 1 Angka 3 UU Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyebutkan bahwasanya anak yang dapat disebut telah melakukan konflik hukum adalah yang telah berumur 12 tahun dan belum berumur 18 tahun yang diperkirakan telah melakukan tindakan kealpaan yang tidak sesuai dengan hukum. Selanjutnya anak yang dapat disebut sebagai korban dalam Pasal 1 Angka 4 UU SPPA ialah anak yang belum berumur 18 tahun yang terkena dampak kealpaan baik secara fisik, mental maupun kerugian dalam bentuk material. Dari hal tersebut terlihat kerancuan terkait penjelasan yang diberikan bahwasanya anak yang dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana ialah anak yang sudah berumur 12 dan belum berumur 18, sedangkan untuk anak yang dapat dikategorikan sebagai korban dapat berusia dibawah 18 tahun serta tidak diberikan kejelasan umur pastinya. Hal ini menandakan ketidakjelasan pengertian yang diberikan terhadap anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum saat masih berumur dibawah 12 tahun tidak dapat dikatogorikan sebagai anak yang berkonflik. Selanjutnya, dalam Pasal 45 KUHP yang intinya menyatakan bahwasanya anak yang belum menyentuh umur 16 tahun, belum dapat dikategorikan sebagai dewasa, sehingga apabila anak tersebut terlibat dalam suatu tindakan melanggar hukum maka akan dikembalikan kepada orang tua, wali atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman. Kemudian, dalam perkembangannya berdasarkan pada butir 2 Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 1/PII-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat diartikulasikan bahwasanya terkait batasan umur anak yang dapat dipertanggungjawabkan secara

hukum ketika terlibat dalam tindak pidana adalah 12 tahun dengan berdasar pada pertimbangan dari aspek kecerdasan emosional, mental dan intelektual yang dimiliki dinilai stabil. Perbedaan perlakuan tersebut ditujukan untuk melindungi masa depan anak. Dari aturan-aturan tersebut diatas, terlihat bahwasanya umur menjadi patokan atau batasan ketika seseorang anak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya yang melanggar hukum, sedangkan pertimbangan seperti sosiologis humanis hingga ringan berat perbuatan yang dilihat dari sisi kriminologis masih kurang dipersoalkan.5

Di era modern ini, penyimpangan tingkah laku yang dilakukan oleh anak semakin beragam hingga dapat dikategorikan melanggar hukum. Beberapa faktor penyebabnya seperti perkembangan teknologi, kemajuan gaya hidup, lingkungan keluarga, sekolah hingga masyarakat.6 Pengaturan penerapan sanksi yang diterapkan kepada anak dirumuskan dalam bentuk pemberian pidana dan tindakan. Namun, dalam uraian tersebut menunjukkan bahwasanya pengaturan sanksi dalam pidana anak masih berdasar kepada filosofi pemidanaan yang diketahui bersifat pembalasan (retributif). Atas dasar tersebut dapat dilihat dari beberapa faktor pendekatan yang dilakukan diantaranya karakteristik dari prilaku kenakalan oleh anak, karakteristik anak pelaku kenakalan, prilaku kenakalan yang dilakukan, unsur “pedagogi” menjadi unsur yang mendasari dalam pemberian pemidanaan anak. Maka dari itu pemberian sanksi pidana terhadap anak memiliki banyak pertimbangan yang harus dilakukan salah satunya berat ringannya tindakan yang dilakukan. Pemidanaan terdahap anak dalam UU SPPA dijadikan sebagai upaya terkahir (ultimum remedium) yang dilakukan dengan tujuan untuk menyadarkan pelaku atas perbuatan yang diperbuat, membantu membuatnya kembali menjadi bagian dari masyarakat yang baik dengan memahami hukum, nilai-nilai moral, sosial serta keagamaan sehingga tidak akan mengulai perbuatannya dikemudian hari.

Perundungan (bullying) sendiri sebenarnya diatur juga dalam Pasal 9 ayat (1a) yang menjelaskan bahwasanya setiap anak wajib diberikan perlindungan dari suatu kealpaan saat berada di satuan pendidikan baik itu berupa kejahatan seksual, kekerasan oleh pendidik ataupun sesama siswa hingga pihak lain. Pasal tersebut ditujukan untuk anak yang masih dalam pendidikan wajib seperti SD, SMP, SMA yang menjadi objek tindak kekerasan baik fisik, psikis, kejahatan sexual. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwasanya dapat disebabkan oleh perundungan yang juga dilakukan oleh teman sebayanya. Penahanan yang diatur dalam Pasal 32 UU SPPA pada ayat (2) disebutkan bahwasanya penahanan hanya dapat diterapkan pada anak-anak yang telah menginjak usia 14 tahun atau lebih dengan ancaman yang akan diberikan yaitu 7 tahun penjara atau lebih. Selanjutnya, penerapannya disebutkan pada Pasal 79 bahwasanya pemidanaan terhadap anak diberikan hanyalah ½ dari maksimum penjara yang diterapkan pada orang dewasa. Dari hal tersebut menunjukkan bahwa pemenjaraan anak atas perbuatannya memiliki persentase kecil untuk diberlakukan suatu pemenjaraan dan seringkali diberlakukan diversi. Perbuatan pidana yang dilakukan anak dibawah umur 12 tahun seringkali diberlakukan solusi berupa penerapan keadilan restorative dan diversi. Solusi tersebut dijalankan dengan beberapa kegiatan seperti pengawasan, pembinaan dan pembimbingan untuk korban serta pelaku, melakukan pelayanan masyarakat, maupun dikembalikan kepada orang tua.

Perbuatan bullying oleh anak yang sudah setara dengan perbuatan melanggar hukum oleh orang dewasa dapat dikaitkan dengan Pasal 354 ayat (1) dan (2) KUHP yang memuat terkait kealpaan berupa penganiayaan berat yang dapat dikenai pidana penjara paling lama 8 tahun. Peraturan tersebut hanya diberlakukan untuk orang dewasa yang dianggap cakap dan berumur diatas 18 tahun. Apabila kita kaitkan dengan kasus pembulian yang terjadi di Indonesia saat ini yang mana pelakunya adalah anak-anak, walaupun perbuatannya dapat dikatakan masuk tindak pidana hingga meregang nyawa, namun seringkali hanya diberlakukan diversi dan dipulangkan secara damai kepada keluarganya. Sebagaimana dalam Pasal 80 ayat (1) UUPA terkait ancaman pidana anak yang merujuk pada tindak perundungan dapat diberlakukan ancaman pidana penjara dengan waktu yang diterapkan paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000,00. Namun berdasarkan ketentuan Pasal 47 KUHP maka anak yang diancam hukuman pidana penjara, maksimum pidana pokok terhadap tuntutannya dikurangi sepertiga. Sebagaimana penerapan pertanggungjawaban pidana yang ada di Indonesia terhadap pelaku perundungan oleh anak sekolah yang notabenenya dibawah umur 12 tahun menurut pendapat penulis hal ini kurang setimpal dengan perbuatan yang dilakukan dan tidak memberikan efek jera yang efektif dikemudian hari serta tidak ada jaminan secara tegas bahwa tindakan yang dilakukannya tidak diulangi lagi nantinya, karenanya pemidanaan terhadap anak pelaku bullying diperlukan dan tidak hanya dilihat melalui sisi umurnya saja melainkan perbuatan yang dilakukan dilihat dari sisi kriminologisnya agar memberikan pembelajaran bahwa perbuatan yang dilakukannya itu tidaklah dibenarkan baik oleh hukum maupun agama.

  • 3.2    Pemberlakuan Sanksi Pidana yang Diterapkan Pada Anak Dibawah Umur 12 Tahun Pada Kasus Bullying yang Terjadi Di Lingkungan Sekolah Di Indonesia

Bullying atau perundungan memiliki banyak sekali bentuk mulai dari bullying secara fisik, verbal, sosial hingga cyberbullying (melalui media sosial). Korban bullying adalah siswa yang seringkali mendapat tindakan kekerasan baik secara fisik maupun mental sedangkan pelaku bullying adalah siswa yang melakukan tindakan kekerasan secara agresif kepada korbannya.7 Bullying secara fisik sering kali ditunjukkan dengan adanya tindakan tidak berdasar seperti kesengajaan melakukan pemukulan, menendang, ataupun mendorong. Bullying secara verbal ditunjukkan adanya perlakuan seperti memanggil nama dengan sebutan kasar, menggunakan bahasa yang tidak senonoh saat berbicara dengan korbannya, manipulatif dalam berteman hingga menyebarkan rumor tidak berdasar hanyak untuk menjatuhkan mental dari korbannya.8 Pelaku bullying sendiri dapat kembali dikategorikan kedalam dua bentuk yaitu secara horizontal dan vertikal. Perbuatan bullying secara horizontal dilakukan oleh seseorang dengan umur dan level sosial yang sama sedangkan secara vertical dilakukan oleh orang yang lebih tua.9 Bullying memiliki dampak yang berkepanjangan karena dapat menyerang mental seseorang hingga mengalami trauma. Ego, kekesalan,

kesenangan dan pengaruh orang lain termasuk kedalam variable-variable tindakan bullying.10 Oleh sebab itu, bullying di era modern ini merupakan salah satu tindakan yang harus diberi perhatian lebih agar anak yang masih dalam masa transisi tidak terganggu mentalnya.

Dampak bullying terutama bagi anak dibawah umur 12 tahun yang mana masih dalam proses penyempurnaan tumbuh kembang dari masa anak-anak menuju remaja sangatlah berada dalam situasi yang rentan akan terpengaruh oleh lingkungan secara positif maupun negative. Bullying sering kali menimbulkan dampak negatif kepada korbannya seperti gangguan mental, berkurangnya kepercayaan diri, mengisolasi diri, meningkatkan gangguan kecemasan, tidak ingin hadir kesekolah akibat rasa takut, keinginan menyakiti diri, hingga bunuh diri.11 Namun, perundungan yang terjadi tidak hanya akan berdampak kepada korban tetapi pelaku juga. Pelaku bullying juga dapat terkena dampak atas perbuatannya seperti pelaku dapat mengalami masalah psikologis yang berkepanjangan, pelaku dapat menjadi seorang yang tidak merasa bahagia, dan tidak bisa mengendalikan emosi hingga mengganggu kehidupan sosialnya.12 Diketahui dari meta analisis terbaru bahwasanya perundungan yang dilakukan oleh teman sebaya dapat menimbulkan rasa kurang percaya terhadap diri sendiri dan kurangnya kepercayaan diri yang tinggi tersebut akhirnya dapat meningkatkan adanya kekerasan dalam teman sebaya seperti halnya bullying.

Di Indonesia bullying menjadi salah satu faktor yang meningkatkan kasus self-harm pada remaja secara signifikan karena menurunnya rasa kepercayaan diri, depresi hingga keinginan bunuh diri yang sebagian besar akibat bullying oleh teman sebaya.13 Hal tersebut diketahui bahwasanya bullying yang dilakukan teman sebaya dapat berdampak secara psikologi terhadap kehidupannya saat dewasa karena trauma bullying yang dialami saat remaja. Hal ini seperti berkurangnya fungsi sosial dalam berinteraksi di masyarakat, memiliki gangguan kecemasan saat berinteraksi dihadapan publik, dan apabila masuk ke tahap yang lebih serius bisa menyebabkan trauma mental yang berujung pada gangguan mental serius contohnya gangguan makan (seperti anorexia), depresi ringan hingga berat, personality disorder, sampai meningkatkan keinginan bunuh diri di usia muda. Diketahui bahwasanya trauma yang dialami saat anak berusia dibawah 12 tahun akan berdampak besar dikehidupan dewasanya nanti yang mana akan menyisakan bekas trauma yang menyebabkan peningkatan tekanan psikologis di usia dewasa. Adanya peningkatan tekanan psikologis ini akan berdampak negative ketika anak tersebut memasuki dunia kerja. Anak tersebut akan sulit beradaptasi dengan lingkungan baru, memiliki mental yang lemah, dan akan kesulitan dalam menjalankan pekerjaannya karena masih diselimuti trauma masa kecil.

Di Indonesia saat ini sedang maraknya terjadi kasus perundungan atau lebih dikenal dengan bullying yang dilakukan oleh anak dibawah umur 12 tahun, berikut beberapa diantara kasusnya:

Pertaman, Kasus ini terjadi di Sekolah Dasar Kabupaten Tasikmalaya. Korban adalah siswa kelas 5 SD dengan inisial F berumur 11 tahun. Pelaku perundungan diduga

terdapat 3 orang yang merupakan teman sebayanya.14 Diketahui bahwa korban memang sering mendapatkan tindak pembulian oleh teman-teman sebayanya tersebut hingga puncaknya saat korban dipaksa untuk menyetubuhi kucing dan divideokan oleh seorang teman.15 Terlebih lagi sebelum hal tidak senonoh tersebut terjadi korban sempat dipukuli terlebih dahulu. Video tersebut kemudian viral di sosial media dan menyebabkan depresi berat pada korban hingga korban tidak mau bersekolah, makan dan minum, sampai ia jatuh sakit. Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya menyatakan bahwa korban meninggal dunia akibat suspect typhoid dan ensefalopat atau yang lebih dikenal dengan peradangan otak yang disebabkan karena komplikasi tifus dan gangguan kejiwaan. Penyidikan dilakukan terhadap kasus tersebut oleh Polres Tasikmalaya dan PPA Polda jabar melibatkan pihak dari KPAID Tasikmalaya dan Bapas. Selanjutnya, dari bagian Kabid Humas Polda Jabar yaitu bapak Kobews Pol Ibrahim Tompo memberikan pernyataan bahwa terkait dengan mekanisme dalam penanganan kasus tersebut akan dilakukan sesuai dengan Sistem Peradilan Anak UU No.11 Tahun 2012 dan kasus tersebut diakhiri dengan tidak dilakukannya penahanan. Jadi hanya diberlakukan mekanisme berupa diversi mengingat pelaku masih dibawah umur dan diversi dianggap sebagai penyelesaian yang tepat untuk kasus tersebut. 16

Kedua, kasus bullying ini terjadi di Sekolah Dasar di Banyuwangi. Korban adalah siswa SD berusia 11 tahun berinisial MR berasal dari Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur dan diduga pelaku adalah teman-teman sebayanya. Korban meninggal dunia dengan cara gantung diri pada Senin 27/2/2023 akibat depresi berat yang dialaminya. Depresi yang dialami korban diketahui dikarenakan korban mendapat perundungan oleh teman sebayanya akibat tidak memiliki ayah atau anak yatim. Korban yang seringkali mendapat perundungan karena tidak memiliki ayah dan setiap pulang sekolah selalu murung dan menangis.17 Kemudian korban memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri dirumahnya hingga meninggal dunia. Diketahui pula bahwa korban kerap mendapatkan perlakuan bully oleh temannya dan tidak memiliki teman disekolah karena korban dihindari karena MR merupakan anak yatim.18 Ketiga, kasus perundungan terjadi di Sekolah Dasar Kabupaten Sukabumi. Korban merupakan siswa kelas 2 SD berusia 9 tahun dengan inisial MHD dari Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.19 Pelaku adalah teman sebaya

dan kakak kelas korban yang diduga sebanyak 4 orang dari kelas 2 hingga 5 SD. Korban diketahui dikeroyok oleh kakak kelas dan teman sebayanya selama 2 hari berturut-turut hingga mendapatkan perawatan selama 3 hari di rumah sakit dan meninggal pada Sabtu, 20/5/2023. Diketahui bahwa korban meninggal karena pecah pembulu darah, retak tulang dada dan punggung.

Dapat dilihat dari ketiga contoh kasus tersebut bahwasanya tindakan perundungan atau bullying oleh anak dibawah umur 12 tahun seringkali tidak mendapatkan hukuman pidana yang setimpal dengan perbuatannya karena berlindung dibalik usia yang belum dapat diberikan tindakan pidana yang tegas. Kasus-kasus bullying oleh anak dibawah umur 12 tahun di Indonesia sering kali berakhir dengan diterapkannya restorative justice atau diversi yang mana kebanyakan dari kasus tersebut hanya berakhir dengan skorsing atau dikembalikan kepada orang tua. Padahal apabila kita lihat secara umum tanpa bertolak ukur pada umur seperti kasus diatas dapat diancamkan dengan pasal-pasal berikut diantaranya adalah Pasal 351 KUHP (tindak penganiayaan), Pasal 170 KUHP (pengeroyokan), Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP (perundungan yang dilakukan di tempat umum), Pasal 289 KUHP (pelecehan seksual), dan Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Namun, karena para pelaku adalah anak-anak dibawah umur 12 tahun jadi pasal-pasal tersebut tidak dapat mengaturnya sehingga diterapkanlah UU No.35 Tahun 2014 tentang tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Dalam Pasal 1 angka 1 UU SPPA pada intinya menyatakan bahwa SPPA merupakan keseluruhan proses penyelesaian yang ditempuh dalam menyelesaikan suatu perkara oleh anak yang termasuk dalam melakukan pelanggaran terhadap hukum, dimulai dari tahapan penyelidikan hingga pembimbingan setelah selesai menjalani pidana. Dari hal itu dapat diketahui bahwasanya ketika seorang anak dibawah umur melakukan perbuatan melanggar hukum maka akan diadili secara terpisah dengan undang-undang khusus yang ditujukan untuk anak dan juga ditempatkan bukan dipenjara orang dewasa melainkan LPKA sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) UU permasyarakatan yaitu “Anak Pidana ditempatkan di LAPAS Anak’’.

Dapat diambil kesimpulan dari ketiga kasus perundungan yang dilakukan oleh anak dibawah umur 12 tahun diatas bahwasanya jalur penyelesaian yang ditempuh sangatlah terlihat tidak adil dan tidak sepadan dengan apa yang dialami oleh korban hingga harus meregang nyawa. Pertama, perbuatan yang dilakukan para pelaku bukan hanya perundungan biasa yang dapat selesai dengan kata maaf melainkan sudah masuk kedalam bentuk tindakan yang perlu perhatian serius layaknya dilakukan oleh orang dewasa. Kedua, konsekuensi yang diterima pelaku tidak sebanding dengan perbuatan yang telah ia lakukan. Terlebih lagi isi dari Pasal 9b UU No.11/2012 yang menyebutkan bahwa ketika umur anak sebagai pelaku semakin muda maka semakin tinggi pula prioritas diversi yang diberikan sebagai penyelesaian solusinya. Hal tersebut sangatlah jelas terlihat tidak seimbang dengan apa yang dialami korban dan hanya karena faktor umur dapat dikembalikan kepada orang tua begitu saja sebagai solusi yang tepat. Padahal dalam Pasal 20 UU No.11/2012 mengungkapkan bahwa anak yang menjadi pelaku tindak pidana yang masih berumur dibawah 18 tahun tetaplah diberikan hak dan kewajiban keperdataannya selayaknya pada orang dewasa. Namun, mengapa bagi pelaku dibawah umur 12 tahun belum dapat dianggap sebagai pelaku perbuatan pidana dan diberikan perlakuan yang lebih ringan walaupun perbuatannya sudah dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana layaknya orang dewasa dan tidak lagi dapat dianggap sebagai suatu kenakalan yang diperbuat oleh anak-anak pada umumnya.

Sebagaimana dalam kasus yang disebutkan diatas secara sadar dan paham betul bahwa pelaku telah melakukan perbuatan tidak senonoh hingga mengakibatkan efek samping yang luar biasa pada korban yang berujung menghilangkan nyawanya sendiri. Ketiga, terdapat kekaburan norma terlihat dalam aturan umum nomor 4 dan 5 yang mana menyebutkan bahwasanya yang dapat disebut sebagai korban yaitu anak yang masih berada dibawah umur 18 tahun, namun saat anak tersebut dapat dijadikan pelaku pidana mengapa harus yang sudah berumur 12 tahun terlebih dahulu padahal perbuatan yang dilakukan sama beratnya?

Kepastian hukum dalam pemberian sanksi pidana pada pelaku bullying dibawah umur 12 tahun haruslah lebih ditegaskan dan tidak selalu harus berlindung dibalik usia dan UU SPPA. Melainkan harus dilakukan pemberian sanksi yang lebih tegas seperti penahanan karena memulangkan para pelaku dengan jaminan memberikan pengawasan penuh tidak sepenuhnya dapat memberikan efek jera dan ganjaran yang sepadan atas tindakan yang sudah dilakukan oleh para pelaku. Pemberian sanksi pidana terhadap anak dibawah umur 12 tahun tidak hanya dijalankan dengan memberi fokus pada usia untuk dijadikan patokan dalam pemberian pertanggungjawaban hukum atas perbuatan yang dilakukan. Tetapi lebih melihat pada sisi lain seperti sosiologis humanis dan kriminologisnya. Layaknya kasus bullying di Indonesia oleh anak dibawah umur 12 tahun haruslah lebih memperhatikan sisi sosiologi humanis dan kriminologis atas perbuatannya tidak bisa hanya diberikan diversi, restorative justice dan dikembalikan kepada orang tua, melainkan harus melihat sisi hasil dari perbuatan yang telah diperbuat anak kepada korban hingga harus meregang nyawa seperti kasus-kasus diatas. Perlakuan hukum terhadap anak pelaku bullying dibawah umur 12 tahun dengan perbuatan yang sudah tidak dapat dikatakan sebagai kenakalan biasa haruslah mendapatkan perhatian lebih karena anak merupakan masa depan suatu bangsa. Terlebih lagi penyelesaian masalah yang digunakan di Indonesia dalam menghadapi kasus bullying oleh anak dibawah umur 12 tahun hingga menyebabkan hilangnya nyawa seseorang sangatlah tidak mencerminkan kepastian hukum terhadap pelaku serta tidak mengedepankan pemidanaan sebagai ultimum remidium.

  • IV.    Kesimpulan sebagai Penutup

  • 4. Kesimpulan

Perundungan atau bullying yang seringkali terjadi dalam lingkungan sekolah di Indonesia dari tahun ke tahun selalu menunjukkan adanya peningkatan bahkan bertambah parah. Penyebab dari terjadinya bullying juga sangatlah beragam bahkan seringkali dilakukan dengan sadar hanya untuk memperlihatkan kekuasaan si pelaku. Anak yang dapat dikatakan sudah melakukan tindakan yang melanggar hukum ialah anak yang sudah menginjak umur 12 tahun dan dapat dikategorikan sebagai korban tindak pidana. Pada kasus pertama yang terjadi di Kabupaten Tasikmalaya dengan korban siswa kelas 5 SD meninggal dunia karena depresi akibat menerima tindakan bullying oleh teman sebayanya. Korban dipaksa untuk melakukan persetubuhan dengan kucing. Kasus kedua terjadi di Kabupaten Banyuwangi dengan korban berusia 11 tahun yang meninggal dunia karena depresi berat setelah dibuli oleh teman sebayanya hanya karena seorang anak yatim. Kasus ketiga terjadi di kabupaten Sukabumi dengan korban kelas 2 SD yang menerima tindakan bullying berupa pengeroyokan oleh kakak kelasnya hingga harus dirawat dan berakhir meregang nyawa. Dapat dilihat dari ketiga kasus diatas terdapat kesamaan yaitu tidak diberikannya sanksi yang setimpal terhadap pelaku meskipun tindakan yang dilakukan sudah seperti layaknya tindakan oleh orang

dewasa hingga hilangnya nyawa seseorang. Terlihat beberapa kekaburan norma yang terjadi, pertama dalam pasal 9b uu no.11/2012 yang menebutkan bahwa semakin muda umur pelaku semakin tinggi prioritas diversi untuk dilakukan. Kedua, dalam pasal 20 uu no. 11/2012 mengungkapkan bahwa bagi pelaku dibawah umur 18 tahun tetap diberikan hak dan kewajiban keperdataannya, namun mengapa pada ketiga kasus diatas tidak diterapkan. Ketiga, dalam aturan umum no. 4 dan 5 yang disebut sebagai korban dapat berumur dibawah 18 tahun tetapi ketika diterapkan kepelaku tidak demikian. Maka dari itu, dapat dilihat dari kasus-kasus tersebut menunjukkan adanya kekaburan norma dalam penanganan kasus bullying oleh anak dibawah umur 12 tahun yang masih berpatokan pada umur tanpa melihat lebih lanjut aspek sosiologis humanis dan kriminologis atas perbuatan anak tersebut. Dengan sebagian besar pelaku berakhir dipulangkan kekeluarga masing-masing dengan diterapkannya diversi maupun restorative justice yang walaupun tindakan yang dilakukan sudah tidak dapat dikatakan sebagai kenakalan biasa pada anak melainkan sudah termasuk suatu kejahatan layaknya orang dewasa. Selanjutnya, perbuatan para pelaku tersebut dilakukannya dalam keadaan mereka sadar bahwa yang dilakukannya adalah salah, perbuatan pelaku termasuk perundungan, penyiksaan, pelecehan seksual hingga mempermalukan korban dimuka umum. Jadi pemidanaan dapat dilakukan agar mencerminkan adanya kepastian hukum dan pelaku mendapatkan efek jera yang setimpal dan tidak mengulangi perbuatannya dikemudian hari serta menjadi pembelajara bagi anak-anak lainnya agar tidak melakukan perbuatan yang sama dan juga takut akan sanksi yang akan diterimanya kemudian.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Supriyatno, dkk. STOP Perundungan/Bullying Yuk. (Direktorat Sekolah Dasar, 2021), 13. Fast, Jonathan. Beyond Bullying. (Oxford University Press, 2016), 26-27.

Jurnal Ilmiah

H. Hamdan, Alwi Jaya, dan Elvi Susanti Syam. “Batasan Perlindungan Hukum Bagi Anak yang Dapat Dipertanggungjawabkan sebagai Pelaku Kejahatan”. Al-Ishlah: Jurnal Ilmiah Hukum 24, No.1 (2021): 56.

Jacinto Martínez, Antonio J. Rodríguez-Hidalgo, Izabela Zych. “Bullying and Cyberbullying in Adolescents from Disavantahed Areas: Validation of Quesionnaires; Prevalences rates; and Relationship to Self-esteem, Emphaty and Social Skills”. International Journal of Environment Research and Public Health (2020): 2.

Komal Arora dan Shikha Verma. “The Impact of Anti Bullying Intervention Strategies on Student’s Development Between The Age Group 11 to 13 Years”. International Journal of Creative Research Thoughts (ICTR) 11, Issue 3 (2023): h836-h837.

Manasvini Challa, Kavish Sainani. “Impact Of Childhood Bullying in an Adult’s Life”. International Journal Of Creative Research Though 9 (2021): b828.

Putra, Aldi. “Penegakan Hukum Pelaku Pelonco Bullying Terhadap Mahasiswa Baru (Prespektif Sosiologi Hukum)”. Jurnal Pascasarjana Hukum UNS 8, No.2 (2020): 73

Rachma, Ayu Widya. “Upaya Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah”. Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 10, No. 2 (2022): 248-250.

Susan Kezia Valerrie Siahaya Harly Stanly Muaja Cevonie M. Ngantung. “Penegakan Hukum terhadap Pelaku Penindasan atau Bullying di Sekolah”. Lex Crime 10 No. 3 (2021): 241-242.

Taibah Haidary. “A Student on a Bullying among Life Skills Development Center (LDC)’s School Students in Herat, Afganistan”. International Journal of Creative Research Though 9 (2021): b828.

Wardah, Ani. “Keterbukaan Diri dan Regulasi Emosi Peserta didik SMP Korban Bullying”. Indonesia Journal of Learning Education and Counseling 2, No.2 (2020): 187.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Website

CNNIndonesia.com. “Siswa SD Banyuwangi Bunuh Diri, Diduga Sering Diolok karena

Anak Yatim”, URL:  https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230302144237 -20-

919906/siswa-sd-banyuwangi-bunuh-diri-diduga-sering-diolok-karena-anak-yatim, diakses tanggal 02 Maret 2023.

Detik News. “Siswa SD Banyuwangi Gantung Diri, Polisi: Keluarga Bilang Korban Sering Diolok”,    URL:    https://news.detik.com/berita/d-6596932/siswa-sd-banyuwangi-

gantung-diri-polisi-keluarga-bilang-korban-sering-diolok, diakses tanggal 02 Maret 2023.

Liputan6.com. “5 Fakta Terkait Kasus Perundungan Anak di Tasimalaya”, URL: https://www.liputan6.com/news/read/5023591/5-fakta-terkait-kasus-perundu ngan-anak-di-tasikmalaya, diakses tanggal 25 Juli 2022.

Merdeka.com. “Kasus Perundungan di Tasikmalaya, Polisi Tetapkan Tiga Anak Jadi Tersangka”, URL: https://www.merdeka.com/peristiwa/kasus-perundungan-di-tasikmalaya-polisi-tetapkan-tiga-anak-jadi-tersangka.html, diakses tanggal 26 Juli 2022.

Sindonews.com. “Polisi Tetapkan 3 Tersangka Kasus Bullying Bocah SD di Tasikmalaya”, URL: https://daerah.sindonews.com/read/837309/701/polisi-tetapkan-3-tersangka-kasus-bullying-bocah-sd-di-tasikmalaya-1658819269, diakses tanggal 26 Juli 2022.

TribunJabar.id. “Bocah di Sukabumi Sebut Nama Terduga Pelaku Bullying di Detik- detik Kematiannya,    Keluarga    Terpukul”.    URL:    https://jabar.tribunnews.com

/2023/05/21/bocah-di-sukabumi-sebut-nama-terduga-pelaku-bullying-di-detik-detik-kematiannya-keluarga-terpukul diakses tanggal 21 Mei 2023.

Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 06 Tahun 2023, hlm. 287-298