KEKOSONGAN HUKUM DALAM PENETAPAN JANGKA WAKTU MEDIASI PENAL DALAM UNDANG-UNDANG KEJAKSAAN NOMOR 11 TAHUN 2021
on
KEKOSONGAN HUKUM DALAM PENETAPAN
JANGKA WAKTU MEDIASI PENAL DALAM UNDANG-UNDANG KEJAKSAAN NOMOR 11 TAHUN 2021
Rikky Silanno, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
A.A. Ngurah Oka Yudistira Darmadi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI: KW.2023.v12.i03.p1
ABSTRAK
Tujuan dari penulisan ini adalah mempelajari lebih jauh tentang mediasi penal dalam menyelesaikan perkara pidana di Indonesia yang diatur di undang-undang kejaksaan. yang dimana dalam undang-undang yang mengatur mengenai mediasi penal ini tidak memuat bagimana jangka waktu penerapan mediasi penal tersebut. Dalam penulisan ini penulis menggunakan Metodologi penelitian hukum normatif, negara indonesia merupakan negara yang berlandaskan atas hukum yang berlaku dinegara ini tentunya jika terdapat sedikit saja kekosongan hukum didalamnya maka peraturan tersebut dipertanyakan keabsahannya, Sebagai hasil dari penelitian ini dapat dibuktikan bahwa memang benar jangka waktu penerapan mediasi penal belum diatur didalam Undang-Undang Kejaksaan, dimana didalam UU Nomor 11 Tahun 2021 hanya satu pasal yang mengatur mengenai mediasi penal tersebut yaitu Pasal 31c huruf (d) dan itupun pengaturannya hanya berfokus sebagai hasil dari perkara yang dimediasi penalkan dimana tidak terdapat satu pasal,ayat tambahan serta pada bagian penjelasan dalam Undang-Undang ini yang menjelaskan mengenai jangka waktu penerapan mediasi penal tersebut, oleh karena hal itu meninggalkan kekosongan hukum didalamya.
Kata Kunci : Restorative Justice, Mediasi Penal, Kepastian Hukum, Jangka Waktu
ABSTRACT
The purpose of this writing is to learn more about penal mediation in resolving criminal cases in Indonesia, which are regulated by the prosecutor's law. where the law governing penal mediation does not contain the time period for implementing penal mediation. In this writing, the author uses normative legal research methodology. Indonesia is a country that is based on the laws that apply in this country; of course, if there is even the slightest legal vacuum in it, then the validity of these regulations is questionable. As a result of this research, it can be proven that the time period for implementing mediation is indeed correct. penalties have not been regulated in the Prosecutor's Law, where in Law Number 11 of 2021 only one article regulates penal mediation, namely Article 31c letter (d), and even then the regulation only focuses on the results of cases being mediated by penal, where there is not one article, additional paragraphs, as well as the explanatory section in this Law, which explains the time period for implementing penal mediation, because this leaves a legal vacuum in it.
Keywords: Restorative Justice, Penal Mediation, Legal Certainty, Term.
Negara Indonesia merupakan suatu negara yang menyandang masyarakat sangat beragam dan istimewa. Keterbelakangan membuat banyak tindak pidana/kriminalitas, apabila tidak adanya keadilan dan penegakan hukum yang mengatur konflik dalam masyarakat tersebut. Hukum pidana hadir sebagai bentuk penegakan hukum yang mengontrol/penengah konflik dalam masyarakat tersebut. Percakapan dan diskusi yang dibangun untuk mendukung tujuan pelaksanaan modifikasi Sistem Peradilan Pidana.1 terus muncul sesuai dengan dinamika dan pola kehidupan komunal. Berkelanjutan dengan banyaknya pandangan yang digunakan untuk mendukung pendapat yang dikemukakan, beberapa konsep juga muncul. Tentu saja, awal muncul individu dari masing-masing pembawa pandangan juga berdampak pada keragaman ini. Namun, sebagaimana berkembang saat ini, konsep dan wacana yang muncul menunjukkan bahwa mereka tidak secara signifikan mengubah "karakteristik tradisional”,2 pidana dalam prinsip hukum di sejumlah negara pada umumnya, terutama disebabkan oleh sifat-sifat yang melekat pada hukum publik itulah yang telah ditetapkan dan dibukukan sebagaimana bagian dari hukum publik(algemene belagen). Namun, karena wujud dan sifatnya, sejauh mana kemampuan beradaptasi di mana hukum pidana dirumuskan dan diterapkan pada akhirnya mengarah pada pembagian yang 'kaku', artinya keterlibatan individu minimal (jika ada), dengan penegakan hukum hanya bertumpu pada negara sebagai penengah utama dan penyedia persepsi keadilan.3 Polarisasi ini dapat dipahami sebagai pengertian hukum yang menjelma sehubungan dengan pengertian untuk mencapai keadilan yang ideal. Gagasan mendasar tentang keadilan diciptakan dari Plato, yang terutama menjelaskan sistem hukum yang benar serta moral, terutama, upaya harus dilakukan untuk memusatkan perhatian pada kebaikan bersama sebagai perhatian utama.4 Kepedulian menyeluruh yang tersirat dari pengertian ini adalah keterlibatan setiap individu dalam gagasan dan upaya memperoleh keadilan melalui penggambarannya dalam aparatur pemerintahan, sehingga tercapai bentuk keadilan yang ideal. Hasil dari pengertian tersebut menyatakan bahwa pemerintah menetapkan standar keadilan, pemerintah yang membuat dan melaksanakan mekanisme untuk mengejar keadilan, sehingga sebagai imbalannya pemerintahlahyang menentukan serta memberikan keadilan.
Sebagai itu pula dalam ranah hukum publik, tindak pidana dilihat sebagai perbuatan yang merugikan hak orang lain, sehingga menjadi dasar bagi permintaan balas dendam korban terhadap pihak yang bersalah sebagai pihak yang dirugikan. Maksud aspek dan keadaan tertentu, dimana kewajiban ini bahkan dianggap sebagai keharusan masyarakat. Konsekuensinya, pemenuhan retribusi pada akhirnya menjadi faktor integral dari pertanggungjawaban. Asas tersebut berlaku di Indonesia sejak disahkannya Hukum acara tahun 1981. Apalagi, konsep dari mekanisme tersebut telah
tertanam dalam kerangka hukum sejak zaman penjajahan Belanda, bertahan hingga masa pasca kemerdekaan ketika Het Herziene Inlandsch Reglemen (HIR) digunakan, selanjutnya digantikan oleh Reglemen Indonesia (RIB) sebagai perwujudan peninggalan Belanda dalam bentuk Hukum Acara Pidana.5
Undang-undang hukum sekarang tidak memihak dalam karakter publiknya, tetapi memiliki kecenderungan untuk secara bertahap beralih ke ranah urusan pribadi. Dalam skenario ini, terbukti bahwa pencarian keadilan tidak dapat semata-mata bergantung pada pemerintah dan prosedur hukum formal serta protokol lisannya, tetapi harus dicari melalui interaksi dan kolaborasi masyarakat yang lebih kompetitif. Dalam hal ini, cocok untuk menyinggung gagasan keadilan yang adil dengan mengutamakan peningkatan metode negosiasi yang tidak memihak di antara individu seperti yang diungkapkan John Rawls yaitu: Konsep Dialog yang adil dan penggunaan fakta mengarah pada keadilan. Interaksi antara semua individu yang seimbang sebagai hasil dari keberadaan negara asal (di mana individu tidak terpengaruh oleh kerangka pemerintahan, menurut penulis), membuat negara pertama ini cocok untuk semua orang karena manusia memiliki moralitas, terutama sebagai makhluk rasional dengan tujuan. dan tujuan. pengertian keadilan. Perspektif awal ini dapat dilihat sebagai tempat yang baik untuk memulai, asalkan kesepakatan penting yang dibuat di dalamnya adil.6
Keadilan yang adil, seperti yang dimengerti hanya dapat dicapai melalui konsensus dua pihak yang terlibat. Tentu saja, ini membutuhkan proses yang dapat menyeimbangkan kepentingan yang bersaing dan menghasilkan kesepakatan yang diterima oleh kedua belah pihak. Gagasan ini paling baik dicontohkan oleh sistem mediasi, yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa di luar sistem peradilan konvensional. Pendekatan yang dikenal dengan “mediasi penal” ini sebelumnya hanya dikenal sebagai metode penyelesaian sengketa alternatif (ADR) dalam ranah hukum perdata. Mediasi penal sebagai alternatif untuk menyelesaikan kasus kriminalitas, diluar proses peradilan standar, sampai sekarang tidak dikenal baik dalam model "due process of law" dan "crime control" dari sistem peradilan.7 Hal mediasi inilah yang sudah sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Undang-Undang Kejaksaan dimana termuat dalam bagian Penjelasaan Umum atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dimana dijelaskan bahwa “Kewenangan Jaksa dalam melaksanakan diskresi Penuntutan Qroseantoial disqetionary atau opportuniteit beginselen) yang dilakukan dengan mempertimbangkan kearifan lokal dan nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat memiliki arti penting dalam rangka mengakomodasi perkembangan kebutuhan hukum dan rasa keadilan di masyarakat yang menuntut adanya perubahan paradigma penegakan hukum dari sematamata mewujudkan keadilan retributif (pembalasan) menjadi keadilan restoratif. Untuk itu, keberhasilan tugas Kejaksaan dalam melaksanakan Penuntutan tidak hanya diukur dari banyaknya perkara yang dilimpahkan ke pengadilan, termasuk juga penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal sebagai implementasi dari keadilan restoratif yang menyeimbangkan antara kepastian hukum yang adil dan kemanfaatan”. beberapa contoh kasus yang pernah diselesaikan perkaranya mengenai mediasi penal baru-baru ini adalah satu kasus pencurian handphone di kabupaten timur tenagh
utara yang berhasil diselesaikan melalui mediasi penal oleh kejaksaan negeri timur tengah utara,8 dan ada sekitar 1.343 perkara yang diselesaikan melalui keadilan restoratif dari 2.000an permohonan yang masuk, hal ini diungkapkan oleh Jaksa Agung muda tindak pidana umum.9Meskipun ada upaya penyelesaian perkara pidana secara ekstra yudisial, khususnya dalam kerangka praktik pelaksanaan hukum pidana di indonesia, semata-mata merupakan diskresi aparat penegak hukum. Misalnyaupaya mencapai rekonsiliasi, penyelesaian melalui penetapan adat, dan pendekatan serupa.
Sejalan dengan Barda Nawawi Arief, Mediasi penal dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah pidana. karena kaitannya dengan reformasi pemasyarakatan, pragmatisme, perlindungan korban, harmonisasi, dan prinsip-prinsip Keadilan Restoratif.10 Yang dimana pengaturannya sendiri telah diatur undang-undang Kejaksaan Republik Indonesia. Sesuai pemaparan diatas dapat diketahui bahwa mediasi penal adalah bentuk menyelesaikan masalah lain selain pengadilan yang dijadikan alternatif di indonesia, tetapi dari adanya hal positif yang dihasilkan mediasi penal tetapi masih meninggalkan kekosongan hukum didalam pengaturannya yaitu bagaimakah kepastian mengenai jangka waktu proses mediasi penal di dalam Peraturan-Peraturan yang berlaku. Kasus-kasus yang bisa di mediasi penalkan yaitu yang dimana kerugiannya dibawah 2,5 juta rupiah, tindak pidananya ringgan, adanya tindak pidana kelalaian. Tetapi dalam memediasi penalkan kasus-kasus ini terkadang tidak bisa dilakukan dikarenakan jangka waktu penetapan belum diatur baik itu dalam Peraturan Kapolri dan juga Undang-Undang Kejaksaan terbaru.
Penelitian ini penulis ajukan atas dasar orisinalitas penulisan karena belum adanya penelitian yang spesifik mengangkat tentang kepastian jangka waktu proses mediasi penal tersebut, dalam penelitian terdahulu bisa dilihat contohnya karangan Ni Putu Melinia Ary Briliantari, A.A Ngurah Oka Yudistira Dharmadi. Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pada Tindak Pidana Body Shaming,11 dimana di dalam penelitian ini lebih mengedepankan fungsi mediasi penal sebagai opsi selesainya perkara body shaming. Dan Ardana, Nyoman Nahak, Simon. Penyelesaian Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anak melalui Mediasi Penal,12 yang dimana juga membahas selesainya perkara melalui mediasi penal. oleh karena tidak adanya yang mengangkat mengenai penetepan kepastian jangka waktu ini di dalam udang-undang Kejaksaan yang notabenenya kejaksaan adalah pihak mediator dalam mediasi penal maka penulis merasa penting untuk membahas mengenai kepastian penetapan jangka waktu mediasi penal ini.
Dengan mengacu dalam hal-hal yang melatarbelakangi diatas membuat penulis menemukan bebrapa rumusan masalah yaitu:
-
1. Bagaimakah Pengaturan Mediasi Penal di dalam Penerapan Hukum Positif di Indonesia?
-
2. Bagaimanakah Kepastian jangka waktu Proses mediasi penal di dalam proses penyelesaian suatu perkara pidana?
Tujuan umum dari adanya Penelitian ini dimana penulis akan mengkaji mengenai kekosongan norma terkait jangka waktu penyelesaian perkara mengenai Mediasi Penal yang dimana belum diatur secara jelas dalam undang-undang Kejaksaan Republik Indonesia dan juga peratuan kapolri menegnai manajemen penyidikan tindak pidana.
Metodologi penelitian hukum normatif, suatu bentuk metode pengkajian hukum yang berdasarkan analisisnya pada suatu undang-undang yang sedang berlaku dan relevan dengan masalah hukum yang menjadi fokusnya, dipakai untuk melaksanakan penelitian ini.13 serta menelisik permasalahan utama yaitu kekosongan norma. Dan menggunakan tiga jenis pendekatan yang pakai yaitu : Strategi yang membahas peraturan perundang-undangan Indonesia dikenal dengan pendekatan undang-undang (Statue approach),14 yang dalam hal ini adalah undang-undang kejaksaan republik indonesia, pendekatan analisa (analitycal apporoach) dimana mengkaji secara mendalam suatu isu atau permasalahan yang diangkat,15 dan pendekatan konseptual, yaitu suatu pendekatan untuk menganalisis materi hukum agar dapat diketahui makna dari ungkapan-ungkapan hukum .16
III Hasil dan Pembahasan
-
3. Hasil dan Analisa
-
3.1 Pengaturan Mediasi Penal dalam Penerapan Hukum Positif di Indonesia
-
Mediasi termasuk suatu Alternatif di luar pengadilan sedari lama telah digunakan di dalam suatu peradilan perdata di indonesia.17 Di dalam hal ini, beragam contoh perdagangan, lingkungan, tenaga kerja, wilayah, akomodasi, dan lainnya
muncul sebagai ekspresi keinginan masyarakat untuk penyelesaian konflik yang cepat, mampu, dan berhasil.
Kata asli untuk mediasi diambil dari bahasa Inggris dan berarti "mediasi" atau "mediasi" dan mengacu pada tercapainya kesepakatan antara kedua pihak dan didampingi seorang modiator dengan tujuan untuk menengahi permasalahan yang terjadi antara pihak pengugat dan pihak tergugat tersebut.18
dengan istilah Mediasi Penal hal ini diliat Undang-undang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 30C huruf d yang merupakan bentuk ratifikasi United Nations Againts Transnational Organaized Crime (UNTOC) dan United Nations Convention Againt Corruption (UNCAC) yang dimana dari hasil ratifikasi inilah yang mempengaruhi kewenangan, tugas, dan fungsi kejaksaan. dimana dari hal peraturan-peraturan itulah isilah Mediasi Penal ini muncul. Selain ada beberapa jenis peraturan terkait yang menjadi cikal bakal munculnya Mediasi Penal yang sebenarnya sejenis dengan restorative justice yaitu pada undang-undang peradilan anak dan peraturan kapolri.
Mediasi bukanlah jenis metode penyelesaian sengketa yang baru di Indonesia. Indonesia memiliki solusi dasar untuk menyelesaikan semua jenis perselisihan publik dan pribadi: mekanisme permufakatan. Mekanisme ini merupakan esensi dari mediasi, dimana para pihak mencapai kompromi sehingga dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembaharuan KUHP dalam satu bentuk atau cara:
-
1) Penal mediation sebagai suatu bagian peradilan pidana, sebagai berikut:
-
a. Konsiliasi pidana dalam masa penyelidikan pidana, saat ini penyidik mempunyai pilihan akan melanjutkan atau dilanjutkan dalam sistem peradilan biasa;
-
b. Mediasi penal saat masa perbuatan hukum, setelah penyerahan kewenangan dari penyidik kepada kejaksaan. Kejaksaan tidak dapat langsung melanjutkan perkara kejahatan ke pengadilan tetapi justru mendorong kedua pihak untuk mencapai kesepakatan bersama di luar pengadilan;
-
c. Penal mediation Dalam hal pengusutan pendahuluan di dalam pengadilan, setelah kasus dipindahkan, hakim mengusulkan penyelesaian yang berbeda untuk kasus pidana melalui rehabilitasi kepada pelaku dan korban sebelum proses persidangan berlangsung. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan banding dari kejahatan yang dilakukan oleh individu yang terlibat. Jika mediasi ini mencapai mufakat, hasilnya dapat digunakan sebagai alasan untuk mengesampingkan penegakan hukuman bagi pelanggar.
-
d. Mediasi penal pada saat si pelanggar menjalani masa pidana penjara, pada saat itu dilakukan rekonsiliasi pidana sebagai pembenaran untuk meniadakan kekuasaan melaksanakan sebagian hukuman jika si pelanggar telah memenuhi sebagian hukuman.19
Mediasi Penal adalah inovasi pembaharuan hukum dicetuskan oleh pembuat undang-undang dengan metodologi Restorative Justice, dengan mempertimbangkan
tujuan untuk membina rekonsiliasi antara korban dan pelaku kejahatan didalam mediasi untuk menanggulangi perkara, merehabilitasi, serta memulihkan kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana. Pendekatan ini berpotensi menyatukan keluarga yaitu korban dan pelaku serta dengan meghadirkan perwakilan masyarakat supaya mencari penyelesaian yang optimal.20
Hal ini dapat menjadi jawaban penyelesaian perkara pidana menggunakan sistem permufakatan yang telah ada dalam budaya Indonesia, kemitraan untuk mencapai keadilan yang sama bagi semua. Tetapi dalam UU Kejaksaan terbaru 1 dan Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 yang sama-sama mengatur mengenai mediasi penal belum memiliki kesamaan pengaturan diamana dalam hal apa mediasi penal ini digunakan, dan sampai kapan proses mediasi penal ini akan berlanjut, oleh karena itu mari kita mengacu kepada dan melihat bagaimana perkembangan mediasi penal di negara lain
Kita sudah melihat pengaturan mediasi penal dalam persfektif hukum positif di indonesia sekarang mari coba kita bandingkan dengan konsep mediasi penal di negara-negara lain dimulai dengan Belgia, Tujuan diberlakukannya “Penal Mediation” Di Belgia, ada sistem yang menawarkan kesempatan untuk akuntabilitas moral dan reparasi bagi individu yang telah menjadi korban tindakan kriminal. Proses ini, yang dikenal sebagai mediasi penal, melibatkan partisipasi pelaku dan korban. Sebagai bagian dari tanggung jawabnya, pelaku dapat menjalani terapi, rehabilitasi, atau terlibat dalam pekerjaan sosial. Pada tahun 1994, Undang-Undang tentang Mediasi Pidana diperkenalkan, bersama dengan Pedoman Mediasi Pidana yang menyertainya. Ketentuan hukum tersebut memberikan keleluasaan yang lebih besar kepada Jaksa Penuntut Umum dalam mengutamakan kepentingan korban. Jika pelaku setuju untuk memberikan kompensasi kepada korban atas kerugiannya, kasus tersebut tidak dapat dilanjutkan. Jaksa Penuntut Umum pada awalnya memiliki pilihan untuk menghentikan penyidikan karena kompensasi hanya tersedia untuk tindakan kejahatan yang diancam dengan hukuman maksimal 5 tahun. Proses penyelesaian kasus kejahatan melalui ganti rugi antara pelaku dan korban ini disebut sebagai Täter-Opfer-Ausgleich (TOA).21
Di Jerman, mediasi kriminal digunakan untuk memberdayakan korban, meminimalisir andil negara, dan membangun masyarakat yang melibatkan warga negara dalam keadilan pajak. Kutipan dari "Penghargaan Fatahillah" karya Mark Ambright. Penelitiannya pada tahun 2001 menemukan bahwa Jerman memiliki program mediasi kejahatan paling maju. yang menunjukkan kesiapannya untuk menghindari melakukan pelanggaran yang sama. Pada awalnya, mediasi penal di Austria difokuskan secara eksklusif pada kasus kriminalitas yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa, namun seiring perkembangannya, mediasi penal menjadi berlaku juga untuk orang yang belum dewasa. hal ini menetapkan jenis tindak kriminalitas yang dapat dilakukan mediasi penal, yaitu kejahatannya yang dituntut dengan pidana penjara paling lama 10 tahun untuk orang dewasa dan 5 tahun untuk anak yang belum dewasa Namun, dalam keadaan luar biasa, itu juga dapat digunakan untuk kasus-kasus yang melibatkan kekerasan yang sangat parah. (Kekerasan yang sangat parah)
Namun demikian, mediasi penal tidak diperbolehkan dalam kasus-kasus di mana terjadi kematian.
Berdasarkan ketiga negara yang menjadi acuan yaitu German, Austria dan Belgia memiliki Pengaturan Mediasi Penal mereka yang jelas tidak terdapat jangka waktu penetapanya karena hal itu perlu adanya penjelasan lebih lanjut menganai konsep mediasi penal ini.
Mediasi tanpa kejelasan jangka waktu merupakan suatu hal yang tidak efektif dalam menyelesaikan sebuah perkara baik itu pidana dan perdata, alasan mediasi tidak berhasil adalah karena batas waktu yang ditentukan oleh kententuan yang berlaku,22 Jangka Waktu penetapan suatu perkara dalam Hukum Acara Pidana sangat dibutuhkan dimana dalam hal ini jangka waktu menjadi suatu konsen Penulis dimana karena Mediasi Penal ini tidak pernah diatur dalam UU Kejaksaan ataupun Peraturan Kapolri mengenai Mediasi Penal. Didalam Undang-Undang Kejaksaan hanya ada satu pasal yang mengatur mengani mediasi penal yaitu terdapat dalam Pasal 30C huruf (d) dimana mengatur bahwasanya : “Melakukan mediasi penal, melakukan sita eksekusi untuk pembayaran pidana denda dan pidana pengganti serta restitusi”, setelah pasal tersebut tidak ada lanjutan pasal/ayat bahkan sampai kepada bagian penjelasan Undang-Undang Kejaksaan ini yang mengatur menganai sampai kapan jangka waktu penyelesaian perkara dalam mediasi penal ini, tentu jika ingin dijadikan acuan maka kita bisa melihat dalam sistem hukum perdata kita dimana jangka waktu mediasinya jelas memiliki batas waktu sampai 30 hari, sedangkan dalam Undang-Undang Kejaksaan ini tidak memiliki jangka waktu tersebut sebagai acuan dan pedoman berlakunya dan berkahirnya mediasi penal secara pidana tersebut.
Konsep Mediasi Penal merupakan suatu konsep yang menarik untuk dibahas lebih lanjut, konsep mediasi penal ini jika kita telisik ke dalam ketentuan UU Kejaksaan sesuai dengan apa yang diatur didalam penelasan umum Undang-Undang Kejaksaan dijelaskan bahwa “Kewenangan Jaksa dalam melaksanakan diskresi Penuntutan Qroseantoial disqetionary atau opportuniteit beginselen) yang dilakukan dengan mempertimbangkan kearifan lokal dan nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat memiliki arti penting dalam rangka mengakomodasi perkembangan kebutuhan hukum dan rasa keadilan di masyarakat yang menuntut adanya perubahan paradigma penegakan hukum dari sematamata mewujudkan keadilan retributif (pembalasan) menjadi keadilan restoratif. Untuk itu, keberhasilan tugas Kejaksaan dalam melaksanakan Penuntutan tidak hanya diukur dari banyaknya perkara yang dilimpahkan ke pengadilan, termasuk juga penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal sebagai implementasi dari keadilan restoratif yang menyeimbangkan antara kepastian hukum yang adil dan kemanfaatan”. tentunya hal ini sangat baik jika dijalankan sesuai prosedur yang lengkap sampai kepada pengaturan jangka waktunya, karena jika kita melihat kepada pedoman
pelaksanannya dalam Peraturan peraturan kapolri tidak pula dijelaskan kapan jangka waktu penerapan mediasi penal itu bisamendapat suatu putusan apakah jangka waktunya bebas ataukah sampai perkara tersebut selesai? Tidak terdapat kejelasan baik dalam kedua peraturan ini.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengaturan mengenai mediasi penal belum jelas diatur dalam undang-undang kejaksaan, terutama dalam konsep penetapan jangka waktu dari mediasi penal itu sendiri, oleh karena itu penulis menyarankan, supaya dengan segera pembuat undang-undang kita melihat dan mekukan tinjauan yuridis agar kekosongan hukum ini tidak berlarut-larut kosong dalam hukum positif kita, selain itu penulis juga menyarankan agar proses mediasi Penal di berikan limitasi dalam pengenaan tindak pidana yang diharapkan dalam mediasi penal itu sendiri, dalam hal ini penulis menyarankan bahwa konsep mediasi penal ini bisa diterapkan dalam kasus tindak pidana korupsi, yang dimana hak dan kerugiannyalah yang dibmediasi penalkan agar hak dari tersangka juga berkurang dari segi tuntutanya, dan juga berlaku adil bagi pegembalian keuangan negara dan yang terkahir penulis juga menyarankan bahwa sekiranyya Kepastian Mengenai berapa lama mediasi Penal ini bisa dilakukan itu harus segera diatur agar peraturannya sudah ada tetapi penetapan jangka waktunya masih belum diatur. Dan penulis menyarankan sama seperti dalam perkara perdata yaitu mediasi dilakukan selama 30 hari dengan bisa dimungkinkan diperpanjang jika kedua Pihak sepakat malakukan perpanjangan waktu mediasi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Arief, Barda Nawawi. Kebijakan Legislatif dan Penanggulangan Kejahatan Pidana Penjara. Semarang: Universitas Diponegoro, 2000.
Hajar, M. Model – Model Pendekatan Dalam Pendekatan Hukum dan Fiqh. Yogyakarta: Kalimedia, 2017.
Prodjodikoro, Wirjono. indak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama, 2003.
W.Moore, Christoper. The Mediation Process: PrctialStrategies For Resolving Conflict. San Fransico: Jossey Bass, 2013.
Zulfa, Marc Levin dalam Eva Achjani. Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung: Lubuk Agung, 2011.
Jurnal
Anwar, Samsul, etal. Laki – Laki Atau Perempuan, Siapa Yang Lebih Cerdas Dalam Proses Belajar ? Sebuah Bukti Pendekatan Analisis Surviva. Jurnal Psikologi, 2019.
Benuf, Kornelius, MuhamadAzhar. "Metode Penelitan Hukum Sebagai Instrumen Mengurai Permasalahan HukumKontemporer." Gema Keadilan E-Jurnal Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, n.d.
Mudzakkir, Dalam I Made Agus Mahendra Iswara. ediasi PenalPenerapan Nilai-Nilai Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidak Adatbali. Jakarta: esis Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013.
Indonesia, Jurnal Legislasi. "Laki – Laki Atau Perempuan, Siapa Yang Lebih Cerdas Dalam Proses Belajar ? Sebuah Bukti Pendekatan Analisis Surviva. ." Jurnal Psikologi, n.d.
Iriani., Dewi. "Hukum Sebagai Alat Kontrol Sosial Dan SistemSupermasi Penegakan Hukum." jurnal Justicia Islamica, n.d.
H, Putra. "Peranan Mediasi Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Ringan." Ejournal UAJY, n.d
IrwanSafarruddin, Harahapdan. "Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Korban Kejahatan Seksual dalamPersfektif Hukum Progresif." Jurnal Media Hukum, n.d.
Kadek Oldy Rosy, Dewa Gede Sudika Mangku, Ni Putu Rai Yuliartini. "Peran Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Adat Setra Karang Rupit Di Pengadilan Negeri Singaraja Kelas 1B." Ganesha Law Review, n.d.
Sodiqin, Ali. "Ambiguitas Perlindungan Hukum Penyandang Disabilitas Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia." Jurnal Legislasi Indonesia, n.d.
Ardana, Nyoman Nahak, Simon. "Penyelesaian Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anak melalui Mediasi Penal." Jurnal Preferensi Hukum 2, no. 1 (n.d.).
Ni Putu Melinia Ary Briliantari, A.A Ngurah Oka Yudistira Darmadi. "Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pada Tindak Pidana Body Shaming." Kertha Wicara 8, no. 8 (n.d.).
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang nomor 11 Tahun 2021 Tentang perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Anak
Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 tentang penanganan tindak pidana berdasarkan Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS Keadilan restoratif (Restorative Justice) 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak
Pidana.
Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 03 Tahun 2023, hlm. 131-140
Discussion and feedback