PENUNDAAN PEMILIHAN UMUM MELALUI

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT NO.757/PDT.G/2022/PN.JKT.PST DALAM PERSPEKTIF KETATANEGARAAN INDONESIA

Agung Yoga Pratama Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Komang Pradnyana Sudibya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI: KW.2023.v12.i03.p3

ABSTRAK

Tujuan ditulisnya penelitian ini untuk memperdalam pemahaman tentang keabsahan penundaan pemilihan umum dan dampak penundaan Pemilu dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst. Penelitian ini dianalisis dengan mengimplementasikan metode deskriptif dalam bentuk penelitian normatif yang mengadopsi pendekatan historis dan pendekatan undang-undang. Hasil penelitian ini menerangkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menunda rangkaian pemilihan umum adalah tidak ditemukan keabsahannya saat ditinjau dari konstitusionalitasnya terhadap UUD NRI 1945, kompetensi atas penyelesaian perselisihan proses Pemilu, kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan dalam proses Pemilu menurut undang-undang, dan alasan menunda Pemilu menurut undang-undang, dan lembaga yang berwenang untuk menunda Pemilu. UU Pemilu sebagai payung hukum penyelenggaraan Pemilu di Indonesia secara khusus mengatur bahwa menunda pelaksanaan pemilihan umum hanya dilaksanakan dalam lanjutan atau susulan. Hanya lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU), atau Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), dan Presiden yang dapat memutuskan untuk meunda Pemilu karena alasan mendesak yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penundaan Pemilu menyusul Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu telah mempengaruhi stabilitas konstitusi Indonesia, sehingga rawan korupsi, oligarki, dan melanggar hak konstitusional warga negaranya.

Kata Kunci: Penundaan Pemilihan Umum, Demokrasi, Putusan PN Jakarta Pusat, Dampak Penundaan Pemilihan Umum.

ABSTRACT

The objective of this study is to gain a better understanding of the legitimacy of the postponed of elections and the impact of the postponed of elections using Central Jakarta District Court Decision No. 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst. This study was analyzed by implementing descriptive style in the form of normative research adopting historical approach and statutory approach. The outcome of this study indicate that the Jakarta Central District Court Decision to postpone the step of elections is not justified, judging from the constitutionality of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, its jurisdiction and powers to settle electoral matters, the authority bodies with the power to void elections issues found in the electoral process under the law, and the reasons for restricting elections under the law. As a legal umbrella for conducting elections in Indonesia, the Act of Elections expressly stipulates that elections can only be postponed as a continuation or follow-up. Only the General Election Commission (KPU) or the Local General Election Commission (KPUD) and the President can decide to postpone elections on grounds of urgency that threaten the nation and the life of the state. The postponement of the elections following the Jakarta Central District Court Decision undermines Indonesia's constitutional stability, leaving it vulnerable to corruption, oligarchy, and undermining the constitutional rights of its citizens.

Key Words: Election Postponement, Democracy, Jakarta Pusat District Court Decision, The Impact of Election Postponement

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1 . Latar Belakang

Negara Indonesia mengimplementasikan kedaulatan rakyat dengan tunduk pada supremasi konstitusi sebagai sebuah negara demokrasi (Basuki Kurniawan, 2020: 10-17). Perwujudan demokrasi di Indonesia ditunjukkan dengan dilaksanakannya pemilihan umum (dalam penelitian ini disingkat dengan istilah Pemilu). Melalui penyelenggaraan Pemilu, warga negara secara kerakyatan dapat menyalurkan kedaulatan, hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya dengan memilih pemimpin dan wakil rakyat yang hendak menjalankan pemerintahan untuk mengelola, melayani, serta mengawasi jalannya pemerintahan. Pemilu dilakukan secara berkala untuk menjaga dan mempertahankan stabilitas penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Pelaksanaan Pemilu yang berkala juga berfungsi sebagai kontrol untuk membatasi kekuasaan dengan jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, adanya penundaan Pemilu akan menjadi masalah kontroversial yang menyangkut penyaluran kedaulatan rakyat dan proses pembatasan kekuasaan.

Wacana-wacana penundaan Pemilu sudah banyak beredar di seluruh wilayah Indonesia. Awalnya penundaan Pemilu hanyalah sebuah perdebatan kontroverial belaka, sampai pada akhirnya tanggal 2 Maret 2023, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui sebuah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst dengan Penggugat Agus Priyono dan Dominggus Oktavianus Tobu Kiik (perwakilan Partai PRIMA) melawan Tergugat Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam amar putusan pengadilannya salah satunya yaitu: “Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari.” Dengan adanya putusan itu, pada akhirnya akan menimbulkan akibat hukum berupa penundaan terhadap pelaksanaan Pemilu 2024 hingga Juli 2025.

Dikutip dari CNN Indonesia, persoalan ini berawal ketika KPU mengeluarkan penetapan hasil dari verifikasi atau rekapitulasi hasil verifikasi berkas-berkas partai politik untuk menjadi peserta dalam Pemilu yang dinilai merugikan Partai PRIMA Dari hasil rekapitulasi tersebut Partai PRIMA dikategorikan dalam status Tidak Memenuhi Standar (TMS). Status TMS adalah status yang menyatakan bahwa partai politik tidak memenuhi syarat sehingga tidak bisa mengikuti verifikasi faktual. Menurut pendapat dari Partai PRIMA, jenis dokumen yang sebelumnya dinyatakan TMS ternyata hanya terdapat sebagian kecil permasalahan di dalamnya. Atas hal tersebut, Partai PRIMA menyatakan KPU tidak teliti dalam melaksanakan proses verifikasi. Akibat dari KPU yang tidak cermat dalam memverifikasi berkas, Partai PRIMA mengiyakan telah rugi secara “immateriil” yang memengaruhi anggota partainya di Indonesia. Daripadanya, Partai PRIMA mengajukan gugatan ke pengadilan tingkat pertama di Jakarta Pusat yang akhirnya diputuskan bahwa KPU dijatuhi hukum untuk tidak melanjutkan tahap Pemilu 2024 yang tertinggal alias menunda pagelaran Pemilu.1

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta tersebut banyak ditanggapi oleh para pelaku politik. Bahkan PN Jakarta Pusat sendiri saat ini tengah disoroti dan mendapatkan

banyak kritik dari akademisi, pakar politik dan hukum, serta warga negara. Pasalnya putusan yang diucapkan oleh Majelis Hakim menimbulkan kontroversial. Sejumlah politisi menilai ada kekeliruan dalam putusan PN Jakarta tersebut. Pakar politik dan hukum serentak menyatakan bahwa putusan ini mudah dipatahkan karena penundaan Pemilu melalui Putusan PN Jakarta dinilai bermasalah secara hukum tata negara yang berlaku di Indonesia.

Ketua Fraksi Partai Nasdem melalui berita MPR RI menilai bahwa putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam gugatan perdata yang dilakukan oleh partai politik peserta Pemilu yaitu menghentikan dan mengulang lagi dari awal proses Pemilu adalah hal yang tidak masuk akal. Putusan ini tidak masuk akal dikarenakan putusannya sudah melebar keluar dari konteks keperdataan sehingga sudah menyentuh konteks ketatanegaraan yang berakibat pada penundaan Pemilu. Tiada yang lain cara yang bisa dilakukan dalam upaya membatalkan putusan hakim adalah dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi.

Permasalahan lainnya adalah dalam sebuah survei terhadap wacana penundaan Pemilu 2024 yang dilakukan oleh Litbang Kompas, hasil survei menunjukkan 82% responden memiliki pandangan bahwa penyelenggaraan Pemilu tidak perlu ditunda. Penundaan Pemilu 2024 akan menimbulkan kekhawatiran dan menggoyahkan keyakinan masyarakat terhadap penyelenggaraan demokrasi lima tahunan di Indonesia. Artinya banyak masyarakat yang merasakan kekhawatiran jika terjadi penundaan Pemilu dengan fokus pada masalah stabilitas negara kedepannya.2

Penundaan Pemilu ini berpotensi menimbulkan dampak dan permasalahan lain yang bisa menyebabkan instabilitas politik yang signifikan. Penundaan Pemilu ini juga akan selalu dihadap-hadapkan dengan jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) berdasarkan konstitusi di Indonesia. Selain itu, adanya penundaan Pemilu ini dapat dikatakan sebagai kemunduran negara Indonesia sebab negara kehilangan kualitas produk reformasi, yaitu demokrasi untuk menata negara untuk lebih modern.3

Pada penelitian ini, terdapat penelitian terdahulu yang berkaitan dengan judul penelitian dari penulis, yaitu sama-sama mengkaji mengenai penundaan Pemilu, namun dengan fokus kajian berbeda. Pada tahun 2022, Abdhy Walid Siagian, Habib Ferian Fajar, dan Rozin Falih Alify mengkaji mengenai “Konstitusionalitas Penundaan Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2024”. Adapun fokus dalam kajian ini adalah permasalahan-permasalahan yang terjadi ketika dilakukan penundaan terhadap pelaksanaan Pemilu yang dikaitkan dengan konstitusionalitasnya. Pada tahun 2023, Nurirvan Mulia Putra Ahmad, Utang Rosidin, Elan Jaelani mengkaji mengenai “Tinjauan Yuridis Upaya Penundaan Pemilu 2024 Dalam Perspektif Hukum Ketatanegaraan Indonesia”. Adapun fokus dalam kajian ini adalah mengenai penundaan Pemilu melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst yang mengaitkan permasalahan tersebut dengan peluang terjadinya penundaan pelaksanaan Pemilu dari sisi kedaulatan rakyat dan prosedur penundaan Pemilu yang dapat terjadi di Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut, penelitian yang dilakukan ini akan menjadi penting karena fenomena ini perlu dianalisis dari sudut pandang atau fokus kajian berupa keabsahan dan dampak Penundaan Pemilu melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sehingga topik permasalahan dalam penelitian ini adalah ialah “Penundaan Pemilihan Umum Melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst Dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia”

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana keabsahan penundaan pemilihan umum melalui  “Putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst”?

  • 2.    Bagaimana dampak penundaan pemilihan umum melalui “Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst” terhadap ketatanegaraan Indonesia?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan artikel ilmiah yang dianalisis dalam bentuk penelitian dimaksudkan demi mengetahui keabsahan penundaan Pemilu melalui “Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst.” Selain itu, juga demi mengetahui dampak penundaan pemilihan umum melalui “Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst” terhadap ketatanegaraan Indonesia.

  • II.    Metode Penelitian

Artikel penelitian yang ditulis adalah menggunakan penelitian hukum normatif (normatif law research) dengan menganalisis norma hukum sebagai kaidah atau ketentuan yang berlaku umum dalam masyarakat dan menjadi dasar dalam bertingkah laku.4 Obyek kajian artikel penelitian yang ditulis mengadopsi pendekatan historis dan pendekatan undang-undang. Artikel penelitian yang ditulis memanfaatkan bahan hukum dalam bentuk primer dan sekunder sebagai sumber untuk menganalisis pokok bahasan. Adapun metode pengumpulan bahan hukum yang diimplementasikan di artikel penelitian yang ditulis adalah metode kepustakaan yang mengambil literatur dalam bentuk buku dan jurnal atau artikel ilmiah yang bertalian terhadap isu yang diangkat. Artikel penelitian yang ditulis menggunakan teknik analisis dekriptif yang menjelaskan atau mendeskripsikan secara mendalam terhadap pokok bahasan.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Keabsahan Penundaan Pemilihan Umum Melalui “Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.” yang Mengamanatkan Untuk Tidak Melaksanakan Sisa Tahapan Pemilihan Umum

Penundaan Pemilu melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst (dalam pembahasan ini ditulis dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) menimbulkan pertanyaan mengenai keabsahannya. Keabsahan menurut KBBI adalah sifat yang sah atau kesahan. Keabsahan adalah suatu situasi atau fenomena yang memiliki sifat atau nilai yang sah. Untuk menjawab keabsahan dari adanya penundaan Pemilu ini, dapat ditinjau dari

konstitusionalitasnya terhadap UUD NRI 1945, kompetensi atas penyelesaian sengketa proses Pemilu sesuai peraturan perundang-undangan, alasan penundaan Pemilu sesuai peraturan perundang-undangan, dan lembaga yang berwenang melakukan penundaan Pemilu.

Pertama, keabsahan penundaan Pemilu melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ditinjau terhadap konstitusi. Konstitusi atau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (dalam penelitian ini disingkat dengan UUD NRI 1945) adalah sebuah hukum teratas dalam strata peraturan perundang-undangan di Indonesia. Konstitusi adalah sebuah kaidah atau sebuah norma dasar yang mengatur pokok-pokok dalam menjalankan negara,5 di mana dalam fenomena atau isu ini mengacu proses penyelenggaraan Pemilu.

Dalam ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 menetapkan bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.” Selanjutnya rumusan dari Pasal 7 UUD NRI 1945 menetapkan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Dari kedua rumusan pasal tersebut, secara tegas dan jelas diatur mengenai jangka waktu pelaksanaan Pemilu untuk kekuasaan eksekutif dan legislatif dibatasi setiap 5 (lima) tahun sekali. Secara harafiah, ketentuan pasal tersebut memberikan justifikasi kepada Presiden dan Wakil Presiden atau kontrol eksekutif dan DPR, DPD, dan DPRD atau kontrol legislatif untuk menyelenggarakan negara yang sahih selama 5 tahun. Penundaan Pemilu ini bisa saja mengganggu tugas yang harus dilakukan oleh pemerintah terutama berhubungan dengan limit masa menjabat pemerintah. Selain itu, penundaan Pemilu ini dengan mengulang lagi semua tahapan dari awal tidak sejalan dengan Pasal 22E ayat (6) UUD NRI 1945 yang menetapkan “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Berkaitan dengan kasus ini, seharusnya semua sengketa atau pelanggaran dalam Pemilu dilakukan secara khusus selaras dengan payung hukum yang secara khusus merumuskan muatan materi yang bertalian dengan Pemilu sesuai amanat konstitusi. Dengan demikian, penundaan Pemilu melalui putusan pengadilan tingkat satu di Jakarta Pusat tersebut jelas mengabaikan rumusan UUD NRI 1945.

Kedua, keabsahan penundaan Pemilu melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ditinjau berdasarkan kompetensi badan peradilan atau badan yang menyelesaikan sengketa proses Pemilu sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam hukum acara atau hukum formil, dikenal istilah kompetensi absolut. Kompetensi absolut adalah otoritas dari badan peradilan untuk menyelenggarakan proses mengadili suatu perkara menurut materi, pokok, ataupun obyek.6 Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (dalam penelitian ini disebut dengan UU Pemilu) diatur ketentuan “Sengketa proses Pemilu meliputi sengketa yang terjadi antar-Peserta Pemilu dan sengketa Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.” Dalam rumusan pasal tersebut dapat dipahami secara mendasar bahwa sengketa proses Pemilu adalah perselisihan yang lahir dan melibatkan pihak sebagai berikut: (a) antar peserta Pemilu, antara badan

penyelenggara dengan peserta Pemilu sebagai reaksi diterbitkannya keputusan KPU dan KPUD Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Badan yang memiliki kewenangan untuk menangani perselisihan proses Pemilu ditugaskan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan/atau Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal itu didasarkan oleh Pasal 467 ayat (1) UU Pemilu dirumuskan ketentuan “Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/ Kota menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.” Selanjutnya dalam Pasal 470 ayat (1) UU Pemilu dirumuskan ketentuan “Sengketa proses Pemilu melalui pengadilan tata usaha negara meliputi sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik calon Peserta Pemilu, atau bakal Pasangan Calon dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.” Dari kedua ketentuan yang sebelumnya disebutkan, dapat dipahami bahwa proses penerimaan pemeriksaan dan penetapan putusan perkara proses Pemilu diselenggarakan di bawah kekuasaan Bawaslu dan PTUN. Materi sengketa yang ditangani dalam penanganan sengketa proses Pemilu di PTUN sesuai fenomena yang terjadi sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 470 ayat (2) huruf a UU Pemilu dengan rumusan “KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173.” Artinya salah satu materi sengketa proses yang ditangani PTUN adalah antara KPU yang mengeluarkan penetapan Parpol yang lolos verifikasi menjadi peserta Pemilu dengan Parpol yang menyalonkan diri menjadi peserta Pemilu.7 Berkaitan dengan materi muatan itu, sengketa proses Pemilu yang sebelumnya telah ditangani oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat didasarkan atas adanya Keputusan KPU yang menetapkan Partai Politik yang lolos menjadi peserta Pemilu. Keputusan tidak memenuhi syarat menjadi peserta Pemilu mengakibatkan Partai PRIMA tidak lolos menjadi peserta Pemilu dari hasil verifikasi. Atas dasar materi atau pokok sengketa seperti yang diajukan oleh Partai PRIMA pada fenomena yang dikaji, maka seharusnya kewenangan mengadili sengketa proses Pemilu tersebut berada di bawah kekuasaan PTUN setelah dilakukan upaya administratif di Bawaslu. Seharusnya upaya Partai PRIMA untuk menyelesaikan masalah ini selesai sampai tingkat PTUN. Dengan demikian, penundaan Pemilu yang ditangani oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bertentangan dengan kompetensi absolut atas sengketa Pemilu.

Ketiga, keabsahan penundaan Pemilu melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst ditinjau dari alasan penetapan menunda Pemilu sesuai peraturan perundang-undangan. Ditinjau dari Pasal 431 sampai dengan Pasal 433 UU Pemilu, tidak ada satupun pengaturan atau ketentuan mengenai penundaan Pemilu secara nasional. Konteks penundaan Pemilu dikenal hanya dalam 2 (dua) bentuk yang terdiri atas bentuk lanjutan dan bentuk susulan. Ini dapat dipahami bahwa penundaan Pemilu secara nasional tidak boleh dilakukan menurut UU Pemilu.

Pasal 431 ayat (1) UU Pemilu dirumuskan ketentuan “Dalam hal di sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan

keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu lanjutan.” Selanjutnya dalam Pasal 432 ayat (1) UU Pemilu dirumuskan ketentuan “Dalam hal di sebagian atau seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, dan/atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu susulan.” Dengan menganalisis kedua rumusan pasal tersebut diketahui bahwa pemilu lanjutan merupakan penundaan Pemilu pada sebagian tahapan Pemilu, konsekuensinya lanjutan dari proses itu dimulai dari tahap Pemilu yang tertahan. Sedangkan Pemilu susulan merupakan penundaan Pemilu pada seluruh tahapan Pemilu, sehingga Pemilu susulan digelar dari semua tahapan Pemilu. Kedua bentuk penundaan Pemilu tersebut hanya dapat dilakukan saat ada alasan darurat yang mengancam keselamatan bangsa dan negara. Alasan darurat atau force majeure yang mengancam keselamatan bangsa dan negara diklasifikasikan dalam bentuk, seperti: (1) kerusuhan dapat berupa huru-hara. (2) gangguan keamanan yang menyebabkan wilayah Indonesia keamanannya terganggu. (3) bencana alam yang memengaruhi proses kehidupan manusia. (4) gangguan lain yang diidentifikasikan oleh lembaga berwenang.

Pada realita atau keadaan saat ini, tidak ditemukan adanya alasan darurat atau force majeure yang mengancam keselamatan bangsa dan negara. Bentuk alasan darurat atau force majeure yang berpotensi mengancam keselamatan bangsa dan bernegara tidak dapat diidentifikasikan dalam keadaan saat ini. Serta dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak dijelaskan mengenai adanya alasan darurat yang harus dan mutlak ada sebagai pertimbangan para hakim untuk memutuskan penundaan Pemilu. Dengan demikian, penundaan Pemilu melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak beralasan secara hukum.

Keempat, keabsahan penundaan Pemilu melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ditinjau dari lembaga pemegang kewenangan melakukan penundaan Pemilu. Pasal 433 ayat (1) UU Pemilu merumuskan ketentuan “Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan dilaksanakan setelah ada penetapan penundaan pelaksanaan Pemilu.” Artinya, KPU harus melakukan penetapan untuk menunda Pemilu agar Pemilu lanjutan dan susulan sebagai bentuk penundaan Pemilu dapat dilaksanakan. Penetapan tersebut dilakukan oleh KPU dan KPU Daerah untuk provinsi dan kabupaten/kota. Penundaan oleh KPU yang berkedudukan Kabupaten/Kota dilaksanakan atas pengajuan dari Panitia Pemilih Kecamatan (PPK) untuk penundaan dalam di satu wilayah kelurahan/desa atau sejumlah wilayah kelurahan/desa serta satu kecamatan atau sejumlah kecamatan. Penundaan oleh KPU yang berkedudukan di daerah provinsi dilaksanakan atas pengajuan KPU Kabupaten/Kota untuk menunda Pemilu di satu wilayah kabupaten/kota atau sejumlah wilayah kabupaten/kota. Sedangkan penundaan oleh KPU dilaksanakan atas pengajuan KPU Provinsi untuk menunda Pemilu di satu wilayah provinsi atau sejumlah wilayah provinsi. Selanjutnya Presiden atas usul KPU juga memiliki kewenangan untuk menetapkan penundaan Pemilu. Penetapan penundaan Pemilu oleh Presiden tersebut dilakukan apabila Pemilu lanjutan atau susulan tidak memungkinkan terlaksana di 40% total provinsi dan 50% dari total Pemilih terdaftar di Indonesia tidak memungkinkan untuk memakai hak pilih mereka.

Dari ketentuan yang ada dalam UU Pemilu, lembaga-lembaga yang berhak menetapkan penundaan atas penyelenggaraan Pemilu adalah KPU, KPUD, dan Presiden. Penundaan Pemilu yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

tidak selaras dengan pembagian kewenangan yang telah dirumuskan dalam UU Pemilu. Dengan demikian penundaan Pemilu melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah tidak tepat.

  • 3.2.    Dampak Penundaan Pemilihan Umum Dengan “Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.” terhadap Ketatanegaraan Indonesia

UUD NRI 1945 tidak memberikan ketentuan yang memungkinkan adanya tindakan untuk menunda Pemilu ataupun memperpanjang waktu menjabat bagi Presiden dan Wakil Presiden. UUD NRI 1945 mengamanatkan bahwa Pemilu dilaksanakan secara berkala tiap 5 (lima) tahun dan masa jabatan dari Presiden dan Wakil Presiden adalah dalam jangka waktu 5 tahun serta memungkinkan untuk dipilih 1 (satu) kali lagi pada posisi yang sama. Dengan kekosongan norma mengenai penundaan Pemilu dalam UUD NRI 1945, tindakan untuk menunda Pemilu ataupun memperpanjang waktu menjabat bagi Presiden dan Wakil Presiden akan memberikan dampak yang sangat fatal terhadap konstitusi Indonesia. Penundaan Pemilu ini akan memaksa negara untuk melakukan amandemen terhadap UUD NRI 1945.8 Amandemen terhadap UUD NRI 1945 secara normatif akan membuka kesempatan atau opportunity untuk menambahkan pengaturan mengenai penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, kesempatan juga akan terbuka untuk mengubah dan/atau menambahkan pengaturan-pengaturan atas dasar kepentingan pribadi atau kelompok yang berpotensi mengacaukan konstitusi Indonesia.

Menurut Busyro Muqqodas, penundaan Pemilu yang tidak sesuai dengan amanat konstitusi juga dapat menyebabkan krisis intiusi dan akal budi penguasa atau pemegang birokrasi di negara ini.9 Penundaan Pemilu ini merupakan perwujudan dari pengkhiatan konstitusi (secara khusus mengenai pembatasan kekuasaan) yang akan menumbuhkan perilaku korupsi. Perubahan konstitusi akibat penundaan Pemilu ini pada akhirnya akan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan alias abuse of power dari pembentuk peraturan perundang-undangan jika hanya mengandalkan kekuasaan formal MPR saja tanpa partisipasi masyarakat.10 Penyalahgunaan kekuasaan ini berpotensi merugikan stabilitas negara karena menimbulkan kekuasaan yang korupsi. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Lord Acton,11 power tends to corrupt. Saat timbul kekuasaan yang berlebihan, pemerintahan yang absolut pasti cenderung korupsi.12

Pergantian kekuasaan yang dilangsungkan dengan rutin berdasarkan ukuran waktu yang telah ditetapkan konstitusi seharusnya jangan sampai terganggu atau

terhalangi, salah satunya dengan penundaan Pemilu ini. Pemilu sebagai alat untuk mengontrol jalannya pemerintahan eksekutif dan yudikatif harus dipahami sebagai sebuah landasan bagi demokrasi yang dimiliki oleh Indonesia.13 Jika landasannya terhalangi, maka perkembangan demokrasi Indonesia mengarah pada kemunduran. Kemunduran yang dimaksud dalam penundaan Pemilu ini adalah menghilangnya nilai-nilai reformasi sebagai nilai-nilai luhur yang diperjuangkan oleh bangsa Indonesia sebelumnya.14 Salah satu tuntutan reformasi yang pernah terjadi di Indonesia adalah mengenai jaminan terhadap hak asasi manusia dan demokrasi. Tuntutan reformasi membawa suasana baru pada Sidang Istimewa 1998 yang pada sala satu rapat dihasilkan Ketetapan MPR RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara. Ketetapan MPR itu memang pada saat ini disebut sebagai einmalig atau bersifat final atau sudah selesai, namun secara historis Ketetapan MPR ini menjabarkan perihal pokok permasalahan kondisi hukum di Indonesia sebelum reformasi. Ketetapan MPR ini pada pokoknya memberikan informasi bahwa rezin Orde Baru sepanjang 30 (tiga puluh), kepastian hukum mengenai limitasi kekuasaan presiden belum memuaskan yang memberikan opportunity lahirnya operasi-operasi korupsi, kolusi, dan nepotisme.15 Selanjutnya di masa sidang di tahun itu, dikeluarkan juga Ketetapan MPR No. XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Limitasi waktu kekuasaan Presiden merupakan perwujudan tuntutan yang diperjuangkan oleh aktivis-aktivis reformasi demi menjamin terlaksananya demokrasi yang baik di Indonesia.16 Semangat reformasi untuk mengatur kepastian hukum mengenai limitasi waktu menjabat Presiden dan juga limitasi waktu menjabat Wakil Presiden sebagai bentuk adanya reformasi menjadi sia-sia dan berpotensi menimbulkan oligarki.17

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai bahwa Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memuat penundaan Pemilu telah melanggar hak konstitusional warga negara.18 Berbagai instrumen hukum menjamin terlaksananya hak pilih warga negara. Pada dasarnya, setiap orang khususnya warga negara Indonesia memiliki hak untuk diakui, dijamin, dilindungi, mendapatkan hukum yang pasti, serta dikenakan perbuatan yang sama dimuka hukum. Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945 merumuskan ketentuan “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam

pemerintahan”. Sejalan dengan hal itu, Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia merumuskan ketentuan “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Hak pilih juga telah secara terang dinyatakan sebagai hak konstitusional melalui sebuah yurisprudensi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 yang memutuskan “bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara”.19 Artinya setiap orang yang bertindak melimitasi, bertindak diluar kaidah, bertindak meniadakan, dan bertindak menghapus adanya hak konstitusional untuk dipilih dan memilih merupakan pelanggaran HAM.20 Jaminan terhadap hak konstitusional yang dimaksud sebelumnya direalisasikan melalui proses Pemilu setiap lima tahun sekali. Penghargaan terhadap hak konstitusional untuk dipilih dan memilih dalam Pemilu sangat penting dalam rangka menciptakan cita-cita demokrasi. Dengan demikian, apabila penundaan Pemilu tetap dilaksanakan akan berpotensi menyebabkan pelanggaran hak konstitusional untuk memilih dan dipilih.

  • IV.    Kesimpulan sebagai Penutup

  • 4. Penutup

Dari pembahasan yang sudah dituliskan, maka dapat dipahami intisari-intisari sebagai berikut: Pertama, Penundaan Pemilu melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bertentangan dengan amanat UUD NRI 1945, tidak mengikuti kompetensi atas penaganan sengketa proses Pemilu yang hanya dapat dilakukan oleh PTUN dan/atau Bawaslu, tak beralasan darurat atau force majeure penundaan Pemilu yang diatur dalam UU Pemilu, dan lembaga yang melakukan penundaan Pemilu yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan untuk menunda Pemilu sebab yang berwenang adalah KPU, KPUD, dan Presiden. Kedua, Penundaan Pemilu melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan dampak yang sangat vital pada sistem ketatanegaraan Indonesia. Penundaan Pemilu ini mengharuskan adanya amandemen UUD NRI 1945 yang akan membuka opportunity masuknya kepentingan-kepentingan pribadi atau sekelompok orang, menghilangkan nilai pemilu sebagai pembatas kekuasaan sehingga berpotensi menimbulkan abuse of power, berpotensi menghilangkan nilai-nilai reformasi yang selama ini telah diperjuangkan, dan berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Bagi lembaga peradilan diharapkan kedepannya agar memeriksa kembali sebelum menangani perkara yang berkaitan dengan sengketa proses Pemilu dengan memperhatikan kompetensi yang dimiliki serta mengacu pada UU Pemilu. Serta bagi penyelenggaraan Pemilu diharapkan kedepannya dalam melaksanakan tahapan-tahapan Pemilu harus

lebih teliti dan didasarkan pada ketentuan hukum yang masih aktif. Dengan demikian proses Pemilu sebagai sarana pelaksanaan demokrasi di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan amanat UUD NRI 1945, tidak menggangu stabilitas negara, dan tetap menjamin hak konstitusional warga negara.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Martana, N. A. Buku Ajar Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata (Denpasar, Udayana Press, 2016).

MD, Mohammad Mahfud., et.al. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku VI Kekuasaan Kehakiman (Jakarta Pusat, Setjen dan Kepaniteraan MK, 2010), 27-28.

Muhaimin. Metode Penelitian Hukum (Mataran, Mataram University Press, 2020).

Jurnal

Atok, A. R. All. “Penguatan Kependudukan Dan Pembatasan Kekuasaan Presiden Dalam Perubahan UUD1945.” Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 24, No. 1 (2016).

Fitriana, R. T., Budyatmojo, W. “Analisis Dampak Penundaan Pemilu 2024.” Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional 1, No. 2. (2022): 218.

Harimurti, Y. W. “Penundaan Pemilihan Umum Dalam Perspektif Demokrasi.” Rechtidee 17, No. 1 (2022): 1-26

Jumaeli, E. “Kewenangan Penyelesaian Sengketa Proses Administrasi Pemilu Menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 dan Peningkatan Kualitas Pemilu.” Jurnal Pemilu dan Demokrasi 1, No. 1 (2021): 1-12.

Latansa, Q. D. “Konstitusionalitas Batasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia.” Jurist-Diction 2, No. 2 (2019): 595-616.

Marwenny, E., Syafwar, R., dan Sommaliangustina, D. “Penundaan Pelaksanaan

Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden Dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden/Wakil Presiden Menjadi 3 (Tiga) Periode Dalam Perspektif Teori Konstitusi Dan UUD 1945 Amandemen.” Ensiklopedia of Journal 5, No. 2. (2023): 22-25.

Rachman, I. N. “Politik Hukum Pengaturan Right to Vote and Right to be Candidate dalam Undang-Undang Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi.” Jurnal Konstitusi 8, No. 2 (2013): 312-331.

Sanusi, H. M. A. “Relasi Antara Korupsi dan Kekuasaan.” Jurnal Konstitusi 6, No. 2 (2009): 83-104.

Siagian, A. W., Fajar, H. F., dan Alify, R. F. “Konstitusionalitas Penundaan Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2024.” Jurnal Legislatif 5, No. 2. (2022): 104.

Simamora, J. “Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-X/2012.” Jurnal Yudisial 6, No. 2 (2013): 123-142.

Sumual, A. K., Lontaan, M. G., dan Supit, Y. “Pelaksanaan Pemilu di Indonesia Berdasrkan Perspektif Undang Undang Dasar 1945.” Jurnal of Law and Nation 2, No. 2 (2023): 103-112.

Yudhistira, E. “Pembatasan Masa Jabatan Presiden Sebagai Upaya Menghindari Terjadinya Abuse of Power.” Al-Ishlah Jurnal Ilmiah Hukum 23, No. 2 (2020): 132154.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6109).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886).

Internet

Safir Makki, 2023, “Kronologi PN Jakarta Pusat Putuskan Tunda Tahapan Pemilu”, CNN’s                         Indonesia,                         URL:

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230304070437-32-920732/kronologi-pn-jakarta-pusat-putuskan-tunda-tahapan-pemilu/2 diakses tanggal 30 Maret 2023.

Ardhito Ramadhan, “Survei Litbang "Kompas": 82,8 Persen Publik Anggap Pemilu 2024       Tak       Perlu       Ditunda”,       Kompas,       URL:

https://nasional.kompas.com/read/2023/03/27/10314971/survei-litbang-kompas-828-persen-publik-anggap-pemilu-2024-tak-perlu-ditunda     diakses

tanggal 30 Maret 2023.

M Rosseno Aji, “Komnas HAM: Putusan Penundaan Pemilu Langgar Hak Konstitusi Masyarakat”.                      Tempo.co,                      URL:

https://nasional.tempo.co/read/1699997/komnas-ham-putusan-penundaan-pemilu-langgar-hak-konstitusi-masyarakat diakses pada 30 Maret 2023.

Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 03 Tahun 2023, hlm. 150-161