PENGATURAN PEMBAYARAN UPAH BAGI TENAGA KERJAYANG DIRUMAHKAN

Gede Agi Prayoga, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Dewa Gede Pradnya Yustiawan, Fakultas Hukum Universitas Udayana,

e-mail: [email protected]

DOI: KW.2022.v12.i01.p4

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana sistem pengupahan bagi pekerja yang dirumahkan karena Covid-19 serta penyelesaian perselisihan hubungan industri berkaitan pengupahan pekerja apabila tak tercapainya suatu kesepakatan. Metode penelitian ini yakni metode penelitian normatif yang diteliti memakai literatur serta sumber data sekunder. Jika melihat pada UU ketenagakerjaan pasal 93 ayat 1 yang tidak mewajibkan mebayar upah bagi tenaga kerja yang tidak mengadakan pekerjaan yang dimana bertentangan dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.104 Tahun 2021 angka 2 yang menyatakan tetap mebayar upah dengan kesepakatan yang telah dilakukan antara pengusaha dan pekerja. Menurut asas “lex posterior derogat legi priori” dimana UU yang baru meniadakan keberlakuan UU lama. Jadi, UU yang berlaku bagi tenaga kerja di PHK yaitu Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.104 Tahun 2021.

Kata kunci: Tenaga Kerja, Dirumahkan, Pandemi Covid 19

ABSTRACT

Purpose this study is to understand how the wage system functions for workers who have been laid off as a result of the Covid-19 outbreak and, in the event that an agreement cannot be reached, to settle labormanagement conflicts over workers' wages. The normative research approach utilized in this publication is investigated using secondary data sources and literature. When compared to the Decree of the Minister of Manpower No. 104 of 2021 number 2, which states that paying wages is still subject to the agreement that has been reached between employers and employees, the Manpower Act's article 93 paragraph 1 does not require employers to pay wages for employees who do not perform work. According to the legal theory known as lex posterior derogat legi prima, new laws nullify the preceding ones' legal standing. Therefore, the Decree of the Minister of Manpower No. 104 of 2021 is the law that governs workers who have been laid off.

Key Words: Manpower, Layoff, Covid 19 Pandemic

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Ketenagakerjaan tidak hanya mencakup waktu yang dihabiskan untuk melakukan pekerjaan secara aktif, tetapi juga waktu sebelum dan sesudahnya. Ketenagakerjaan dari kata dasar “tenaga kerja” mendapat awalan “ke” serta akhiran “an” artinya hal-hal terkait tenaga kerja.1 Oleh karena itu, jumlah angkatan kerja di Indonesia secara konsisten lebih tinggi daripada jumlah pekerjaan yang tersedia karena tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi secara konsisten.

Akibatnya, terjadi disparitas antara kuantitas lowongan kerja dan kuantitas pelamar kerja. Salah satu tujuan yang harus dicapai pemerintah adalah menciptakan lapangan kerja baru guna memenuhi kebutuhan lapangan kerja yang terus meningkat guna menurunkan level pengangguran tinggi di perekonomian pusat dan daerah, khususnya pembangunan.

Definisi tenaga kerja mengacu UU No 13 Tahun 2003 pasal 2 ayat 2 tenaga kerja yakni tiap orang yang sedang ataupun menjalankan pekerjaan baik di atau diluar hubungan kerja untuk membuat barang ataupun jasa guna mencukupi keperluan masyarakat.2 Jumlah penduduk dalam rentang usia kerja (15–65) digunakan untuk menghitung jumlah orang yang bekerja. Apalagi saat ini perusahaan sudah banyak yang mem-PHK karyawannya. Banyak orang Indonesia tidak dapat menemukan pekerjaan karena kekurangan tenaga kerja yang parah di negara ini. Namun jika dibandingkan dengan tenaga kerja dari negara maju, Indonesia belum memiliki keunggulan kompetitif dalam hal kualitas tenaga kerja. Di sini, kemampuan menguasai teknologi baru menjadi pembeda utama. Pada kenyataannya, seiring kemajuan dunia, begitu pula kebutuhan akan tenaga kerja teknik yang berkualitas. Meskipun memiliki tenaga kerja yang besar yang membantu pertumbuhan bangsa, Indonesia terkadang berjuang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri akan tenaga terlatih sebagai akibat dari masalah ini.3

Manusia tidak bisa hidup tanpa pekerjaan; itu adalah kebutuhan dasar untuk bertahan hidup. Dalam setiap profesi, individu memiliki hak untuk memilih jam kerjanya sendiri. Manusia saat ini memiliki banyak kebutuhan. Satu-satunya cara bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah dengan bekerja. Dalam UUDN RI Tahun 1945 Pasal 27 ayat 2, “Tiap warga negara, tanpa kecuali, punya hak atas pekerjaan serta penghidupan layak untuk umat manusia, dengan jaminan itu, manusia tentu berhak atas pekerjaan layak untuk kesejahteraan dirinya dan keluarganya tanpa diskriminasi”. Secara alami, dalam hubungan kerja apa pun, kedua belah pihak memiliki hak dan tanggung jawab tertentu. Hak dan tanggung jawab seseorang adalah otoritas yang diberikan kepadanya oleh hukum.4

Baru-baru ini, penyebaran virus Covid-19 telah mengkhawatirkan kelompok sosial ekonomi di hampir seluruh dunia. Pada fenomena saat ini, penyebaran Covid-19 sangat berdampak ke tenaga kerja di Indonesia. Ada banyak perusahaan yang tidak dapat berjalan karena dampak dari Covid-19 ini sehingga banyak tenaga kerja yang tidak dapat melakukan pekerjaannya. Sejak pertama kali, penyakit menular karena Covid-19 telah menyebar dari Tiongkok ke lebih dari 190 negara lain. Penyakit ini telah diklasifikasikan sebagai pandemi oleh WHO (World Health Organitation). Penyakit SARS-CoV-2 atau COVID-19 hampir merenggut nyawa

banyak orang sementara menyebar dengan cepat ke lebih dari 200 negara.5 Sehubungan pandemi Covid-19, banyak karyawan yang memilih untuk beralih ke jadwal WFH (Work From Home) daripada harus berangkat ke kantor setiap hari. Di samping itu, tingkat PHK dan pengangguran tinggi; banyak karyawan telah diberhentikan baru-baru ini karena perusahaan mereka telah memutuskan untuk mendorong kerja jarak jauh sebagai tindakan pemotongan biaya. Namun aturan UU Ketenagakerjaan Pasal 86 ayat (1) huruf a tidak secara langsung mengatur pekerja yang dipulangkan karena wabah Covid-19. Dalam situasi ini, pekerja atau buruh berhak atas kompensasi yang adil, jaminan kesehatan dan keselamatan, serta perlindungan hukum selama menjalankan tanggung jawab pekerjaannya.6

Selalu ada kemungkinan terjadi kesalahan saat hubungan kerja dijalankan, dan itulah alasan mengapa harus diakhiri. Pandemi COVID-19 adalah salah satu contohnya. Dalam upaya menstabilkan keuangan usaha menghadapi efe COVID-19 pada perekonomian nasional yang pada gilirannya berdampak pada memburuknya kondisi keuangan perusahaan, pengusaha menggunakan cara-cara efektif pemutusan hubungan kerja dengan karyawannya. Namun, perusahaan dapat mengambil tindakan tambahan, seperti merumahkan karyawan. Tindakan merumahkan dapat diterapkan karena dua alasan: pertama, sebagai tindakan pencegahan terhadap pemutusan hubungan kerja, dan kedua, untuk meningkatkan efisiensi perusahaan. Pemilik perusahaan dapat memutuskan hubungan kerja karyawan jika situasi keuangan perusahaan mengizinkannya, tetapi dia wajib memberikan alasan pembenaran untuk pemutusan hubungan kerja tersebut.

Hak untuk dibayar tetap menjadi salah satu hak normatif pekerja yang dirumahkan. Oleh karena itu, bahkan ketika mereka yang merumahkan pekerjanya, pengusaha tetap harus membayar upah mereka. Sayangnya, banyak karyawan tidak diberi kompensasi selama mereka dirumahkan. Padahal ketentuan untuk melindungi pekerja yang bekerja dari rumah sudah ada di Kepmenaker No 104 Tahun 2021 mengenai “Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja Pada Masa Pandemi COVID-19”, yang mana pekerja tetap punya hak atas upah penuh selama mereka di rumah, tetapi pekerja tidak menyadari hak dan kewajibannya. Pemberi kerja diwajibkan untuk membayar upah karyawan berdasarkan peraturan ini jika karyawan setuju untuk melakukan pekerjaan mereka sebagaimana ditentukan. Namun, pemberi kerja tidak dapat mempekerjakan mereka karena kesalahan pemberi kerja sendiri atau faktor luar yang mungkin telah diantisipasi dan dipersiapkan secara wajar oleh perusahaan.

Dari tulisan ini penulis mendapat berbagai state of art dari penelitian jurnal contohnya yakni ada di jurnal Luthfi Novansa Putra berjudul “PENGATURAN HUKUM UPAH MINIMUM PEKERJA BEDASARKAN KESEPAKATAN ANTARA PENGUSAHA DENGAN PEKERJA”. Kajian ini lebih menitikberatkan pada penetapan upah minimum bagi pekerja menurut peraturan di bidang

ketenagakerjaan. Di penelitian ini, penulis menekankan ke pengaturan hukum berdasarkan upah minimum yang ditetapkan oleh dinas tenaga kerja, serta upaya hukum bagi pekerja jika pemberi kerja membayar gaji di bawah upah minimum. Di waktu sama, di penelitian ini muncul pertanyaan baru mengenai penerapan pengupahan bagi pekerja di-PHK karena pandemi Covid-19, serta ketentuan hukum mana yang berlaku pada pengupahan pekerja di-PHK saat Covid-19. Maka penulis mengakat judul “PENERAPAN UPAH BAGI TENAGA KERJA YANG DIRUMAHKAN”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Penulis mengajukan permasalahan berikut mengingat latar belakang sebelumnya:

  • 1.    Bagaimana penerapan upah bagi pekerja yang PHK karena efek pandemi Covid-19?

  • 2.    Bagaimanakah penyelesaian perselisihan hubungan industrial berkaitan pengupahan pekerja apabila tak tercapainya suatu kesepakatan?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Berkaitan UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 dan Kepmenaker No.104 Tahun 2021 berkaitan “Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja Pada Masa Pandemi COVID-19”, tulisan ini berupaya mengetahui bagaimana sistem pengupahan untuk pekerja yang terdampak pandemi Covid-19 telah diberlakukan. Penelitian ini punya tujuan memberi pamahaman mengenai penyelesaian perselisihan hubungan industrial berkaitan pengupahan pekerja jika tak tercapainya kesepakatan.

  • II.    Metode Penelitian

Jurnal ini menggunakan apa yang dikenal sebagai metode penelitian hukum normatif, yang meliputi studi tentang prinsip-prinsip hukum, sistematika hukum, sejauh mana badan hukum yang berbeda sinkron satu sama lain, sejarah hukum, dan perbandingan hukum.7

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Penerapan upah akibat dampak pandemi Covid-19

Pekerjaan mengacu pada aktivitas sosial di mana individu atau kelompok melakukan tugas dengan tujuan mendapatkan beberapa keuntungan materi sebagai imbalan atas waktu dan usaha mereka. Beberapa orang bekerja tidak hanya untuk membayar tagihan, tetapi juga untuk memastikan bahwa mereka terus menikmati status sosial yang terus meningkat sebagai hasil dari usaha mereka.8

Perusahaan secara rutin merumahkan karyawan sebagai kebijakan, dengan harapan karyawan tersebut tidak akan masuk kerja hingga kemudian hari. Penghentian

sementara kegiatan atau produksi yang mengakibatkan perusahaan tidak membutuhkan tenaga kerja karyawannya dapat menjadi faktor pendorong bagi pengusaha untuk mengambil tindakan merumahkan pekerjanya, selain untuk menekan biaya perusahaan.9

UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 mendeskripsikan bahwasanya “pekerja yakni orang yang bisa membuat barang dan/atau jasa guna mencukupi kebutuhan dirinya dan masyarakat. Pekerja digunakan oleh suatu negara sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi”. Pengusaha dan pekerja berhak atas perlindungan sama di bawah hukum karena mereka berada dalam posisi yang sama secara yuridis. Pekerja yang mengambil bagian dalam membangun negaranya juga bersedia menanggung sebagian risiko dan tanggung jawab yang menyertai kemajuan itu. Buruh sering disebut sebagai “tulang punggung” suatu negara karena tanpa mereka, perekonomian akan runtuh.

Upah memainkan peran penting dalam dunia kerja. Upah didefinisikan sebagai pembayaran yang diterima karyawan semata-mata untuk menyelesaikan pekerjaan mereka.10 Kenyataannya, pekerja tetap menerima upah yang tunduk pada syarat-syarat khusus, yaitu hanya menerima upah dan tunjangan yang paling mendasar. Ketika seorang pendiri usaha tidak mampu mempertahankan perusahaan yang ia dirikan, hal yang paling memilukan adalah ketika ia memutuskan untuk mengakhiri hubungan kerja (PHK).11 Kesanggupan pengusaha untuk memberhentikan pekerja, yang dituangkan dalam surat perjanjian dengan pekerja dan memakai acuan pada UU Ketenagakerjaan Pasal 164 ayat (1), menjadi penyebab kerugian yang diderita perusahaan. Perubahan sistem pengupahan juga terkait dengan pandemi, sehingga pekerja dan pelaku usaha perlu mencapai kesepakatan tentang cara menanganinya. Pada kenyataannya, ada banyak ketidakharmonisan seputar kepatuhan terhadap persyaratan hukum. Tentu saja buruh juga terkena dampak akibat yang dihadapi oleh perusahaan, khususnya ketika perusahaan tidak memberikan upah minimum, seperti ketika mereka tidak membayar upah pekerja secara penuh atau ketika mereka menuntut pemotongan upah yang menjadi hak mereka.12

Perusahaan memotong gaji dari pekerja sesuai dengan kesepakatan perundingan bersama. Pemerintah menyatakan darurat kesehatan masyarakat karena pandemi Covid-19 yang berdampak pada pekerja, antara lain pengurangan jam kerja sehingga memunculkan konsep “bekerja di rumah tanpa dibayar”. Bahasa serupa bisa ditemukan di UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 Pasal 93(1), menyatakan pekerja yang diberhentikan ketika keadaan seperti itu dianggap menganggur dan karena itu tidak

berhak atas upah kecuali mereka tidak masuk kerja karena sakit yang disebabkan oleh virus COVID-19.

Menteri Ketenagakerjaan menerbitkan Keputusan No 104 Tahun 2021 mengenai Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja di Tengah COVID-19. Apabila pekerjaan buruh dihentikan sementara karena pandemi, maka pengusaha dapat melakukan tindakan sebagai berikut: Angka 2 huruf a menunjukkan bahwa pengusaha tetap membayar pekerja/buruh sesuai dengan upah yang biasa diterima, dan angka 2 huruf c menunjukkan bahwa pengusaha serta pekerja bisa menyepakati perubahan besaran serta cara pembayaran upah selama pembayaran tetap diadakan pada bulan itu jika pengusaha tak bisa membayar pekerja karena dampak Covid 19.

Menurut asas “lex posterior derogat legi priori”, hukum baru menggantikan hukum lama dan menjadikan hukum yang terakhir batal demi hukum.13 Oleh karena itu, Keputusan Menaker No.104 Tahun 2021, “Pedoman Hubungan Kerja Pada Pandemi COVID-19 2019” berlaku bagi pekerja yang dirumahkan karena pandemi.

  • 3.2.    Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Berkaitan Pengupahan Pekerja Apabila Tidak Tercapainya Suatu Kesepakatan.

Bentuk perlindungan tenaga kerja terkait perselisihan hubungan industrial menurut pasal 136 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan:14 Pasal 136 ayat (1) menyatakan Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib diadakan pengusaha serta karyawan musyawarah mufakat. Sedangkan ayat (2) menyatakan di penyelesaian musyawarah mufakat seperti dimaksudkan dalam ayat (1) tak tercapai, pekerja menyelesaikan perselisihan hubungan industrial lewat penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur UU.

Perselisihan hubungan industrial ditulis definisinya di “Pasal 1 angka (1) UU No 2 Tahun 2004 yakni perbedaan pendapat menyebabkan pertentangan pengusaha dengan pekerja disebabkan ada perselisihan terkait hak, kepentingan, PHK serta perselisihan serikat pekerja di perusahaan.” Berkaitan upah, perselisihan umumnya masuk kategori perselisihan hak ketika hak ada satu pihak baik pemberi kerja ataupun pekerja tak mencukupi prestasi hingga hak satu pihak diciderai, karena ada perbedaan pelaksanaan pada aturan perundangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan (Pasal 2 ayat (1) UU PHI.15

Persoalan pemotongan upah pekerja ialah sengketa hak yang merupakan bentuk sengketa pertama di pandangan Imam Subomo. Prosedur pemecahan perselisihan hubungan industrial bisa diadakan lewat pengadilan atau di luar pengadilan. Menurut Pasal 3 Ayat 1 UU Hubungan Perburuhan, “perselisihan dalam hubungan perburuhan

wajib diselesaikan lebih dulu lewat musyawarah dan mufakat”, dan kedua belah pihak yang bersengketa wajib berkonsultasi sebelum mengambil tindakan lain. Jika proses ini tak memerlukan hasil memuaskan, hingga dapat dilanjutkan melalui mediasi, konsiliasi atau arbitrasi dengan bantuan pihak ketiga di luar pengadilan. Langkah hukum penyelesaian sengketa hak dengan mengajukan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial merupakan jalan terakhir bagi buruh untuk memperjuangkan haknya. Dari penafsiran secara sistematis pada ketentuan relevan di UU PPHI, bisa dipahami dalam proses pengajuan gugatan ke Pengadilan Hubungan Ketenagakerjaan, harus diadakan terlebih dahulu konsultasi dan mediasi antara kedua belah pihak. Itu telah dijelaskan sebelumnya.16

Batas waktu perundingan antara kedua belah pihak melalui musyawarah adalah 30 hari kerja sejak tanggal perundingan, yang secara jelas diatur di Ayat (1) serta (2) Pasal 3 UU PPHI. Lalu di kasus di mana negosiasi antara kedua belah pihak gagal memecahkkan masalah hak pekerja serta perusahaan, perselisihan hak yang tercatat masuk ke proses mediasi. Jika upaya mediasi tak sukses menyelesaikan perselisihan, pekerja bisa mencari penyelesaian lewat pengadilan ke Pengadilan Hubungan Industrial untuk memperjuangkan haknya.17

  • IV.    Kesimpulan sebagai Penutup

4. Kesimpulan

Berdasarkan paparan tersebut diatas dapat dipahami bahwa UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 bertentangan Permenaker No 104 Tahun 2021 mengenai Penerapan Pedoman Hubungan Kerja Pada Masa COVID-19. Undang-undang lama diganti dengan UU yang baru, sehingga menurut prinsip UU yang belakangan menghapuskan UU yang lebih awal, maka UU yang lama menjadi tidak berlaku. Menurut Permenaker No 104 Tahun 2021 mengenai Penerapan Pedoman Hubungan Kerja Pada Masa COVID-19, perusahaan harus tetap membayar upah karyawan yang diberhentikan dan cuti. Selain itu, terkait langkah hukum yang tersedia bagi pekerja yang menghadapi situasi tersebut, mereka bisa berunding bersama serta mediasi yang jadi usaha penyelesaian sebelum membuat gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Z. “Metode penelitian hukum”. (Jakarta : Sinar Grafika. 2021)

Asyhadie, H. Zaeni dan Rahmawati Kusuma. HUKUM KETENAGAKERJAAN Dalam Teori dan Praktik di Indonesia. (JAKARTA TIMUR : PRENAMEDIA GROUP, 2019)

Udiana, I Made. IDUSTRIALISASI & TANGGUNG JAWAB PENGUSAHA TEHADAP TENAGA KERJA TERLIBAT HUKUM. (Denpasar : Udayana University Press, 2018)

Jurnal

Ellert, E. E. (2019). Perlindungan Hukum Terhadap Karyawan Yang Dirumahkan Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (Putusan: Nomor 491 K/Pid. Sus-Phi/2017). Ilmu Hukum Prima (IHP), 2(1), 166-180.

Octaviani, I. D. A. M., & Suardana, I. W. (2019). Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Pekerja/Buruh Terkait Keterlambatan Pembayaran Upah Lembur. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 7(11), 1-14.

Eunika, Bella dan Rudy, Dewa Gde.“ PELAKSANAAN PERLINDUNGAN TERHADAP PEKERJA DALAM SITUASI PANDEMI COVID-19 DI DENPASAR”. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 8 (2021). 1341-1352.

Putra, A. C. E. (2021). Perlindungan Hukum Bagi Pekerja yang Dirumahkan Akibat Pandemi Covid-19. Jurist-Diction, 4(3), 833-862.

Anshori, Nurani Siti. “Makna Kerja (Meaning of Work) Suatu Studi Etnografi Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadinigrat Daerah Istimewa Yogyakarta.” Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi 2, No. 3 (2013): 157-162, 158.

Reka, M. (2021). PEMENUHAN HAK PEKERJA TETAP YANG DIRUMAHKAN OLEH PERUSAHAAN TERDAMPAK PANDEMI COVID-19 (Studi di Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya) (Doctoral dissertation, UPN Jawa Timur).

Gani, Evy Savitri. “Sistem Perlindungan Upah di Indonesia.” Jurnal Cahkim 11, No. 1 (2015): 127-143, 129.

Mustakim dan Syafrida. “Pandmei Covid-19 Sebagai Alasan Force Majeure Dalam Melakukan Pemutusan Hubungan Kerja di Indonesia.” Jurnal Sosial & Budaya Syar-i 7, No. 3 (2020):695-706, 701.

Irfani, N. (2020). ASAS LEX SUPERIOR, LEX SPECIALIS, DAN LEX PESTERIOR: PEMAKNAAN, PROBLEMATIKA, DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENALARAN DAN ARGUMENTASI HUKUM. Jurnal Legislasi Indonesia, 17(3), 305325.

Surianto, G. N., & Rudy, D. G. KEPASTIAN HUKUM KEBIJAKAN PENGUPAHAN KARYAWAN INDUSTRI PERHOTELAN BERDASARAN KETENTUAN UPAH MINIMUM DI MASA PANDEMI COVID-19. Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 8 Tahun 2022.

Diva, I Gusti Agung Bagus Yudara Tara., & Putu Ade Harriestha Martana. ASPEK HUKUM PEMOTONGAN UPAH PEKERJA OLEH PERUSAHAAN YANG MERUGI AKIBAT TERDAMPAK COVID-19. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 10 No. 3 Tahun 2022.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 104 Tahun 2021 Tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja Selama Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)

Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 01 Tahun 2022, hlm. 34-42