IMPLIKASI BUDAYA PATRIARKI TERHADAP

PEREMPUAN SEBAGAI TUKANG SUUN DI PASAR
BADUNG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ADAT

Ni Putu Ayu Meylan Ardini, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: putu.meylan03@gmail.com

I Gusti Ngurah Dharma Laksana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dharma_laksana@unud.ac.id

DOI: KW.2022.v12.i01.p3

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mengkaji terkait dampak dari adanya budaya patriarki dalam perspektif hukum adat yang menyebabkan ketidakadilan, kedudukan, serta peran ganda yang dimiliki oleh perempuan Bali. Peran ganda difokuskan kepada perempuan berprofesi sebagai tukang suun di pasar Badung. Hal itu karena umumnya perempuan berpendidikan rendah sehingga pekerjaannya masih kelas bawah. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini yaitu metode penelitian empiris yang mana menggunakan data primer dan data sekunder dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara. Hasil wawancara menunjukkan bahwa, dari segi regulasi sudah terdapat aturan kesetaraan gender baik dari hukum adat, hukum nasional, dan hukum Internasional. Perempuan yang bekerja sebagai tukang suun di pasar Badung yang memiliki peran ganda tentu tidak mengesampingkan salah satu tugasnya. Perempuan yang bekerja di sektor publik telah memilih sendiri jalan mereka untuk dapat membantu suami mencari nafkah. UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah jelas dituangkan terkait kedudukan dan hak antara perempuan dan laki-laki, tetapi umumnya dampak dari budaya patriarki hukum adat masih dirasakan oleh perempuan. Namun, budaya sistem keturunan patrilineal dalam perspektif hukum adat Bali tidak perlu diadakan perubahan walaupun hakikatnya hukum adat bersifat dinamis mengikuti kebutuhan masyarakat adat. Perilaku masyarakat adat dalam hal paradigmanya terkait sistem patriarki yang perlu diperbaiki.

Kata Kunci: Peran Ganda Perempuan, Budaya Patriarki, Hukum Adat

ABSTRACT

The purpose of this research is to understand and examine the impact of patriarchal culture in the perspective of customary law that causes injustice in position and dual roles that balinese women have. This dual role will be focused on women who work as "tukang suun" at badung market. This is because generally women have low education so that their jobs are still in the lower class. The research method used in this paper is an empirical research method which uses primary and secondary data and also collects data through interviews. Based on the results of the interviews, it shows that if viewed from a regulatory perspective, there are existing gender equality rules from customary law, national law, and international law. Women who work as "tukang suun" at badung market, who have multiple roles certainly don't neglect one of their duties. Women who work in the public sector have chosen their own way to be able to help their husbands earn money. Law number 1 of 1974 concerning Marriage has clearly stated the position and rights between women and men, but generally the impact of the patriarchal culture of customary law is still felt by women. However, the culture of the patrilineal system in the perspective of balinese customary law doesn't need to be changed even though customary law is changing dynamically according to their needs. The behavior of indigenous peoples in terms of their paradigm is related to the patriarchal system that still needs to be corrected.

Key Words: Dual Roles Women, Patriarchal Culture, Customary Law

I Pendahuluan

  • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Penduduk Indonesia masing-masing mempunyai kedudukan setara berkesesuaian menurut Pasal 27 UUD NRI 1945, dalam hal kedudukan manusia sebagai ciptaan tuhan, seorang perempuan telah memiliki haknya sejak lahir seperti halnya dengan laki-laki. Negara Indonesia pada dasarnya juga merupakan negara demokrasi yang mengakui persamaan baik antara kedudukan perempuan ataupun kedudukan laki-laki. Hak Asasi Manusia telah menyatu pada hakikat manusia yang wajib untuk dijunjung tinggi oleh semua unsur demi perlindungan harkat martabat manusia sesuai dengan bunyi pengaturan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.1 Kesetaraan dalam hal ini adalah sikap untuk mengakui kedudukan yang sama dan persamaan derajat bagi manusia dalam menjalankan segala lini kehidupan masyarakat adat. Dalam pengaturan hukum internasional, menghapuskan seluruh bentuk diskriminasi kepada kaum perempuan (Konvensi Wanita) atau (CEDAW) sudah diratifikasi Negara Indonesia kedalam pengaturan UU No. 7 Tahun 1984.2 Namun, apalah artinya segala bentuk aturan baik dari hukum adat, hukum nasional hingga hukum internasional tanpa ditaati oleh manusia sesuai prinsip hukum progresif dari Satjipto Rahardjo.3

Melekatnya HAM pada manusia dalam kehidupan sebagai masyarakat adat yang berbeda-beda juga telah diatur dalam pengaturan Pasal 6 Undang-Undang terkait HAM. Dalam kehidupan bermasyarakat adat dalam Negara Indonesia dipahami dan dianut sistem kekerabatan dengan aturan penggolongan masyarakat yang sekerabat. Sistem kekerabatan dalam masyarakat unilateral yang terdiri dari: patrilineal dan matrilineal.4 Dalam kehidupan masyarakat adat di Bali menjalankan sistem kekerabatan patrilineal yang dimana merupakan sistem budaya garis keturunan turun temurun yang lebih menekankan kekuasaan kepada peran kaum laki-laki. Peran laki-laki sebagai kontrol dalam kehidupan masyarakat adat memiliki kontrol utama yang berpengaruh dibandingkan perempuan. Segala unsur kehidupan baik dari unsur sosial, ekonomi, budaya maupun politik meletakkan perempuan di dalam posisi inferior dalam struktur hierarki. Posisi lebih mengutamakan kaum laki-laki menimbulkan banyak konflik dalam kehidupan bermasyarakat adat. Salah satunya adalah pembatasan peran perempuan yang ditentukan oleh budaya patriarki ini menyebabkan munculnya dampak perlakuan diskriminasi bagi perempuan. Hal itu memicu hambatan struktrural atau hierarki yang mengakibatkan setiap individu masyarakat adat tidak memiliki akses hak yang setara.

Aturan terkait pembagian kedudukan, hak, peran, serta kewajiban baik antara suami maupun istri telah diatur menurut ketentuan Undang-Undang tentang Perkawinan dalam Pasal 31 ayat (1) yang menyatakan kedudukan serta hak baik

antara istri ataupun suami yaitu sama dalam kehidupan rumah tangga.5 Meskipun sudah jelas dalam UU Perkawinan disebutkan, tetapi umumnya dampak dari budaya patriarki hukum adat masih dirasakan oleh perempuan. Budaya patriarki yang melekat di dalam hukum adat Bali menyebabkan kaum perempuan harus menerima kodratnya berada dibawah kaum laki-laki.6 Kondisi perempuan dianggap serba salah sebagai manusia yang lemah dan menggunakan intuisi atau perasaan serta tidak cocok bekerja di sektor publik yang “keras”, tetapi apabila perempuan mampu bekerja di sektor publik yang keras dianggap menyalahi kondrat.7 Aturan dan budaya patriarki menunjukkan bahwa seorang perempuan dapat memiliki peran ganda yang mampu menyeimbangkan dengan tugasnya dalam rumah tangga. Bahkan apabila diakumulasikan perempuan dapat memiliki 3 peran sekaligus yaitu ditambah peran reproduksi.8 Hal itu akan memberatkan seorang istri, sudah seharusnya terdapat pembagian pekerjaan rumah tangga juga dengan seorang suami yang pada dasarnya pekerjaan tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja. Peran ganda yang dimiliki oleh istri dalam tulisan ini difokuskan kepada istri yang berprofesi sebagai tukang suun atau tukang angkat membantu seorang pembeli mengangkat barang di Pasar Badung. Hal tersebut disebabkan karena keterlibatan perempuan di dalam sektor publik umumnya masih tergolong pekerja kelas bawah. Penyebabnya dikarenakan umumnya latar belakang pendidikan mereka yang masih rendah.

Hukum adat Bali tidak dapat terlepas dari adanya sumber moral dan spirit yang dianut oleh umat Hindu. Dalam sistem hukum adat Bali dituangkan suatu norma yang diserap dari adanya kitab suci umat Hindu sebagai suatu pedoman, moral, dan spirit hukum adat. Dalam kitab suci umat Hindu juga telah diatur terkait kedudukan yang setara antara peran perempuan dan peran laki-laki tanpa membeda-bedakan. Hal tersebut terutang di dalam kitab suci Manawa Dharmasastra BAB IX pada bagian Sloka 96 bahwa Manu Smerti menggambarkan status anak perempuan ataupun laki-laki dipandang tidak berbeda baik dalam duniawi maupun rohani sebab orang tua anak tersebut menganggap anak-anaknya dilahirkan berasal dari tubuh yang sama. Dari sloka tersebut telah tersirat makna bahwa perempuan diibaratkan seperti pertiwi dan laki-laki diibaratkan seperti bibit, lalu antara keduanya mempunyai kedudukan serta memiliki peran yang sama untuk menjaga kehidupan. Namun keadilan antara perempuan serta laki-laki dalam hukum adat Bali masih terlihat bias dapat dilihat dari sistem keturunan di Bali, apabila seorang perempuan telah kawin keluar maka ia tidak dapat meneruskan mewarisi karena memiliki saudara laki-laki yang memiliki peran menjadi ahli waris sistem inilah yang disebut dengan sistem patriarki dalam hukum adat.

Sehubungan dengan budaya patriarki yang berdampak pada perempuan telah ada dibahaskan dalam studi terdahulu yaitu: (1) studi tahun 2022 oleh Mochamad Nadif Nasruloh dan Taufiq Hidayat dengan judul “Budaya Patriarki dalam Rumah Tangga (Pemahaman Teks Al-Quran dan Kesetaraan Gender)” yang mengangkat bahasan

terkait budaya patriarki dalam Al-Quran yang terdapat juga dalam kehidupan umat muslim menyebabkan adanya sisi superior otoriter peran suami terhadap istri dalam kehidupan rumah tangga.9 Selain itu, (2) studi tahun 2017 oleh Ade Irma Sakina dan Dessy Hasanah Siti berjudul “Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia” dengan mengangkat suatu topik terkait masih terbelenggunya budaya patriarki Indonesia memandang perempuan sebagai suatu objek dibawah struktural laki-laki menyebabkan konstruksi sosial yang tidak berkeadilan.10 Berbeda halnya dengan yang tulisan penelitian ini terkait keadilan antara perempuan serta laki-laki dalam hukum adat Bali masih terlihat bias dapat dilihat dari sistem keturunan di Bali, apabila seorang perempuan telah kawin keluar maka ia harus mengikuti suami dalam segala keputusannya inilah yang disebut dengan sistem patriarki dalam hukum adat. Implikasinya akan terjadi pada peran perempuan menjadi ganda selain mengurusi urusan rumah tangga juga bekerja membantu suami menjadi tulang punggung dalam keluarga. Penelitian ini tentu memiliki orisinalitas dengan ide gagasan baru tetapi tetap relevan dengan penelitian yang sudah dilakukan terdahulu. Perlunya penelusuran lebih lanjut oleh peneliti di dalam penelitian artikel ini bagaimana posisi peran perempuan dalam hukum adat apakah terjadi ketidakadilan gender dalam kehidupan bermasyarakat adat Bali.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Penjelasan permasalahan terkait hukum dalam latar belakang perlu dikonkritkan pada bentuk rumusan masalah agar dapat digunakan sebagai rujukan untuk menuliskan pembahasan. Adapun rumuskan permasalahan sebagai berikut yaitu:

  • 1.    Bagaimana peran, status, dan kedudukan perempuan dikaitkan dengan budaya patriarki di Bali yang ditinjau dari hukum adat?

  • 2.    Bagaimana implikasi peran ganda akibat budaya patriarki yang dirasakan oleh perempuan Bali berprofesi sebagai tukang suun di Pasar Badung?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui dan mengkaji terkait kedudukan status perempuan dan implikasi dari adanya budaya patriarki dalam perspektif hukum adat yang menyebabkan ketidakadilan kedudukan serta peran ganda yang dimiliki oleh perempuan adat Bali yaitu dalam sektor domestik maupun dalam sektor publik. Tulisan lebih difokuskan pada dampak yang dirasakan dari budaya patriarki terhadap perempuan Bali yang sudah menikah dan berprofesi sebagai tukang suun di Pasar Badung. Harapan penulis nantinya artikel ini dapat dijadikan referensi dalam bidang hukum adat mengenai kedudukan perempuan dalam budaya patriarki (budaya yang mengutamakan garis keturunan kedudukan utama dan superior ditujukan kepada kaum laki-laki) dan dapat menambah pengetahuan dan sebagai literatur dalam hukum keluarga menurut adat Bali yang terkhusus terkait dengan status perempuan sebagai istri sekaligus memiliki peran sebagai tulang punggung turut bekerja membantu suami.

  • II.    Metode Penelitian

Artikel ini menerapkan jenis penelitian hukum empiris, yakni metode melihat pengaturan hukum secara nyata dengan kata lain dapat dikatakan meneliti serta

melihat bagaimana cara kerjanya pengaturan hukum dalam masyarakat, dengan menerapkan pendekatan kualitatif. Selanjutnya data diperoleh dari pengalaman nyata penulis dari seseorang ataupun peristiwa-peristiwa tertentu melalui observasi secara sistematis dalam realitas sosial dengan menerapkan pendekatan yuridis sosiologis merupakan pendekatan dengan cara mengkaji masalah yang berpedoman pada hukum adat Bali yang secara garis besar didasari dengan spirit moral ajaran agama Hindu seperti kitab suci manawa dharmasastra yang menganut status perempuan dan laki-laki setara dan ketentuan hukum berupa Undang-Undang yang mengatur tentang Perkawinan.

Penelitian dalam artikel ini berdasarkan atas data yang berbentuk data primer serta sekunder. Data primer tersebut bersumber pada peran ganda kaum perempuan di sektor publik yang bekerja di Pasar Badung sebagai tukang suun dengan wawancara di lapangan baik hasil wawancara dari informan maupun responden. Sedangkan, data sekunder yakni bersumber pada hasil penelitian kepustakaan dan studi dokumen. Kemudian dilakukan analisis secara deskriptif kualitatif setelah semua data terkumpul, dihubungkan dengan seluruh peraturan perundang-undangan dan kumpulan teori yang didapatkan dari studi dokumen atau kepustakaan, sehingga didapatkan jawaban dari setiap masalah yang dipaparkan pada penelitian artikel ini.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1.    Peran, Status, dan Kedudukan Perempuan Dikaitkan Dengan Budaya Patriarki di Bali Yang Ditinjau Dari Hukum Adat

Kehidupan bermasyarakat di Bali umumnya dilandasi oleh budaya, adat, tradisi umat agama Hindu. Agama Hindu sangat mempercayai bahwa keberadaan kedudukan perempuan selalu mempengaruhi setiap lini kehidupan. Dapat dilihat dari adanya sakti dari para dewa Tri Murti. Tri murti tersebut merupakan tiga manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi yang terdiri atas Dewa Brahma, Wisnu, serta Siwa. Dalam menjalankan perannya Dewa Brahma berpasangan terhadap saktinya yaitu Dewi Saraswati, Dewa Wisnu berpasangan terhadap saktinya yaitu Dewi Sri, dan Dewa Siwa berpasangan terhadap saktinya yaitu Dewi Durga. Umat Hindu melihat bahwa laki-laki serta perempuan memang harus bersatu dalam kesetaraan untuk bekerjasama dalam menyelesaikan segala tugasnya. Dalam hukum adat juga hal ini dituangkan khususnya di dalam hukum terkait kekeluargaan dalam desa adat di Bali. Kehidupan bermasyarakat Bali menerapkan sistem keturunan dari “purusa” yang mana lebih diidentikan terhadap kaum laki-laki tetapi sesungguhnya kaum perempuan juga dapat menjadi ahli waris atau disebut dengan Sentana Rajeg.11 Berhubungan dengan studi oleh Mochamad Nadif Nasruloh dan Taufiq Hidayat dengan judul “Budaya Patriarki dalam Rumah Tangga (Pemahaman Teks Al-Quran dan Kesetaraan Gender)” yang mengangkat bahasan terkait budaya patriarki dalam Al-Quran yang terdapat juga dalam kehidupan umat muslim menyebabkan adanya sisi superior otoriter peran suami terhadap istri dalam kehidupan rumah tangga. Terlihat sudah ada letak pembeda kedudukan pada hukum kekeluargaan tidak hanya terjadi berdasarkan hukum adat di Bali tetapi juga terjadi pada umat muslim di Indonesia. Lebih diperburuk lagi nasib perempuan apabila bercerai ia tidak akan di kembalikan ke keluarga asalnya dan tidak dapat mengasuh anak-anaknya dalam tanggung jawab ekonomi karena hak asuh berada di pihak keluarga suami.

Menurut pendapat Gheaus sebagai berikut: baik keberadaan kaum laki-laki ataupun keberadaan perempuan keduanya dapat diperlakukan secara adil, dengan kata lain korban ketidakadilan gender adalah seseorang yang mengalami ketidakadilan akibat jenis kelamin.12 Pada tahun 1960an dapat diketahui bahwa terjadi adanya ketidakadilan gender bagi kaum perempuan. Adanya tindakan pemaksaan untuk melakukan poligami, kawin dalam usia muda sekaligus kawin paksa, sampai adanya kondisi seorang perempuan harus menikah dengan yang setara kastanya, dan apabila melanggar diancam akan dibuang dari keluarga orang tuanya. Bahkan hingga saat ini stigma mengenai pernikahan dini masih terjadi. Data pernikahan dini Negara Indonesia pada tahun 2015 menduduki posisi nomor 2 di wilayah Asia Tenggara, hal tersebut bersumber pada data penelitian kajian gender Universitas Indonesia.13 Namun, hal tersebut sudah mulai terkikis dengan keberadaan dan penerapan Undang-Undang tentang Perkawinan.14 Terkait poligami sudah diatur menurut Pasal 3 ayat (2) UU tentang Perkawinan yaitu suami hanya dapat menikah lagi apabila terdapat kesepakatan untuk disepakati oleh para pihak yang bersangkutan. Terkait isu perkawinan paksa telah diatur menurut Pasal 6 ayat (1) UU tentang Perkawinan yaitu kedua belah pihak harus menyetujui untuk menikah. Selain itu, terkait perkawinan dibawah umur juga telah diatur menurut Pasal 7 ayat (1) menetapkan usia minimal laki-laki menikah adalah berusia 19 tahun sedangkan pengaturan terhadap perempuan adalah berusia 16 tahun agar pernikahan dapat dikatakan sah tetapi apabila adanya penyimpangan maka diatur dalam Pasal (2) yaitu kedua bedah pihak orang tua dapat menunjuk pengadilan dengan maksud memohon dispensasi. Oleh karena itu, Undang-Undang Perkawinan membawa banyak perubahan bagi hak dan kedudukan seorang perempuan di dalam kehidupan masyarakat adat. Namun, hal yang berubah hanya perilaku dari masyarakat tidak disertai dengan perubahan sistem hukum adat kekeluargaan Bali yaitu sistem patrilineal yang tetap berlaku.

Kedudukan perempuan adat Bali dalam keluarga melalui data penelitian yang dilakukan oleh Putra Astiti menunjukkan bahwa: sumbangan yang diberikan kaum laki-laki dalam hal terkait ekonomi dalam rumah tangga lebih besar daripada perempuan dengan rasio 53,5% : 46,5%, kemudian sumbangan kaum laki-laki dalam hal pengambilan suatu keputusan dalam kehidupan berumah tangga juga lebih besar dengan rasio 56% : 44%, terkait sumbangan curah tenaga dalam hal bekerja bagi keluarga golongan ekonomi kelas tinggi kaum laki-laki masih memiliki sumbangan yang lebih besar dengan rasio perbandingan 51% : 49%. Akan tetapi, berbeda halnya pada sumbangan tenaga bagi keluarga dengan golongan ekonomi menengah kebawah kaum perempuanlah yang memiliki sumbangan lebih tinggi dengan rasio perbandingan sebagai berikut 65%: 35%. 15

Data hasil dari penelitian tersebut, terlihat bahwa peranan kaum perempuan dan laki-laki dalam implementasi di masyarakat hampir sama dan pengambilan keputusan dalam keluarga pun seimbang. Ketidakadilan gender yang terjadi di dalam masyarakat hukum adat Bali sesungguhnya terjadi dalam hal persepsi dan perilaku masyarakat yang perlu diluruskan. Sesungguhnya dimulai dari hukum keluarga,

orang tua dapat mulai menunjukkan rasa adil terhadap anak-anak baik kepada anak perempuan ataupun laki-laki. Seperti hal pewarisan, orang tua dapat memberikan harta/bekal/hibah kepada anak-anaknya (harta tatandan). Menurut pendapat Talcott Parson, perilaku manusialah yang paling tidak sulit untuk berubah-ubah sesuai terhadap perkembangan agar tidak ada lagi ketidakadilan gender bagi kaum perempuan. Langkah yang dapat diambil seperti melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat adat terkait hukum adat di desa adat yang memerlukan kesetaraan perilaku antara laki-laki dan perempuan, kemudian perlunya pemahaman terhadap aturan-aturan seperti UU Perkawinan dan UU HAM.

Hakikatnya hukum adat tidaklah bersifat statis, ia tumbuh dinamis seiring berjalannya waktu dengan melakukan beragam macam adaptasi. Secara kultural, masyarakat Negara Indonesia memang sudah kental menjalankan budaya patriarki.16 Namun, pengaturan kekeluargaan dengan sistem patrilineal dalam hukum adat di Bali tidak harus dilakukan perubahan dan tetap dilestarikan karena setelah ditelusuri yang salah disini adalah tingkah laku dan perilaku masyarakat yang memiliki persepsi salah terhadap sistem keturunan. Budaya sistem keturunan patriarki memiliki banyak nilai moral positif dalam keberlangsungan hukum adat di Bali. Nilai positif tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

  • a)    Kedudukan dan status anak menjadi lebih jelas karena sudah ditentukan berdasarkan status keturunan purusa;

  • b)    Tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup anak terutama dalam bidang atau segi ekonomi ditanggung oleh pihak suami atau keluarga suami;

  • c)    Adanya tradisi keyakinan darmaning sentana yaitu keyakinan bahwa nilai seorang anak sangat tinggi yang memiliki kewajiban suci sebagai keturunan atau reinkarnasi dari leluhur pihak keluarga purusa sehingga dalam keadaan apapun anak tersebut harus diterima oleh pihak purusa.

  • 3.2.    Implikasi Peran Ganda Akibat Budaya Patriarki Yang Dirasakan Oleh Perempuan Bali Berprofesi Sebagai Tukang Suun di Pasar Badung

Gerakan rekonstruksi gender atau dengan kata lain gerakan yang menuntut adanya kesetaraan gender sudah seharusnya dilakukan oleh kaum perempuan dengan didukung oleh situasi kehidupan sosial masyarakat adat disekitarnya. Sudah banyak kaum perempuan berhasil meningkatkan kualitas hidupnya agar tidak terbelengu dibawah laki-laki. Kualitas hidup perempuan dapat terlihat mulai dari tingkat pendidikan yang diampunya. Hal tersebut telah mampu mengikis budaya tradisional kuno yang menganggap bahwa perempuan hanya sebagai pengurus rumah tangga dan bekerja di dapur saja (domestik). Perkembangan zaman menuntun perempuan memiliki pekerjaan yang memiliki penghasilan dapat memicu konflik peran karena perempuan yang telah berkeluarga memiliki peran ganda.17 Peran ganda yang dimaksud ditanggung oleh perempuan Bali, peran di dunia domestik sebagai ibu rumah tangga dan peran di sektor publik sebagai wanita karir. Terjadinya lonjakan fenomena perempuan berkarir menyebabkan perempuan memiliki peran ganda di kehidupan keluarga pada masyarakat adat dapat datang dari keinginan perempuan

tersebut sendiri atau dilakukan karena kondisi dan situasi memaksa.18 Apabila berkarir merupakan keinginan dari perempuan tersebut sendiri, meskipun telah memiliki keluarga maka ia tentu sudah mengetahui dan menerima bahwa ia akan menanggung dua peran sekaligus. Akan tetapi, apabila seorang perempuan memutuskan berkarir di ranah publik karena terpaksa maka akan menyebabkan bertambahnya tanggungan yang dialami dengam menanggung peran ganda.

Penduduk Indonesia berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional sebanyak 34,65% yang bekerja adalah perempuan, hal itu berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2020. Pada tahun sebelumnya jumlahnya adalah 36,20%, sehingga dapat dikatakan jumlah tersebut meningkat 1,55% di tahun 2021.19 Data tersebut semakin menguatkan fakta bahwa perempuan, termasuk perempuan Bali banyak yang berkiprah di dunia kerja tetapi harus memiliki peran ganda sebagai ibu rumah tangga serta kewajibannya sebagai istri. Peran ganda yang dilakukan oleh perempuan Bali juga terutang di dalam kitab Manu Smerti sebagai landasan agama Hindu sekaligus landasan hukum adat di Bali. Adapun isi dari kitab tersebut dinyatakan bahwa peran perempuan sebagai berikut:

  • a)    Perempuan sebagai seseorang yang melanjutkan keturunan keluarga dan bangsa atau dengan kata lain sebagai benang penyambung peredaran;

  • b)    Perempuan sebagai seorang pendidik yang membentuk karakter dasar moral seorang anak di dalam keluarga;

  • c)    Perempuan sebagai pelaksana crada agama (keyakinan atau kepercayaan agama) dalam rumah tangga maupun kehidupan bermasyarakat;

  • d)    Perempuan adalah sumber kebahagiaan dan kesejahteraan.

Sepanjang peran yang dilakoni oleh perempuan dilakukan dengan tidak mengesampingkan peran yang lainnya maka tidak akan terjadi konflik peran. Namun, konflik peran juga dapat terjadi apabila seseorang perempuan karena keadaan memaksa yang menyebabkan mereka bekerja di sektor publik. Hasil wawancara Sabtu, 25 Maret 2023 Pk. 14.44 WITA dengan Tukang Suun di Pasar Badung yaitu Ibu Komang Arik usia 50 tahun diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 1: Hasil Wawancara dengan Ibu Komang Arik (Tukang Suun) di Pasar Badung, 25 Maret 2023

No

Uraian

Opsi

Keterangan

Ya

Tidak

1.

Memiliki motivasi tinggi tanpa paksaan menjadi tukang suun untuk mencari nafkah

Keterangan ibu Arik mengatakan bahwa beliau melakukan pekerjaan menjadi tukang suun dengan gigih tanpa paksaan karena membantu suami mencari nafkah, setidaknya agar dapat membantu mencukupi biaya anak sekolah dan kuliah sampai

18 Kholifah, Fajar Nur & Masruroh, Rara Siti. “Peran Ganda Perempuan Dalam Budaya Patriarki di Indonesia Menggunakan Analisis Said Ramadhan Al-Buthi”. Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam 5, No.2 (2022): 177-178. DOI: https://doi.org/10.59027/alisyraq.v5i2.170

19 Badan Pusat Statistik. 2022. “Persentase Tenaga Kerja Formal Menurut Jenis Kelamin (Persen).” URL:    https://www.bps.go.id/indicator/6/1170/1/persentase-tenaga-kerja-

formal-menurut-jenis-kelamin.html, diakses tanggal 3 April 2023.

menggapai cita-citanya.

2.

Penghasilan    lebih

besar daripada suami

Ibu Komang Arik enggan menyatakan perbedaan nominal pendapatan/ penghasilan sebagai tukang suun dengan suaminya.

3.

Suami tetap membantu pekerjaan rumah seperti memasak, menyapu, dll.

Suami kadang-kadang membantu mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyuci, tetapi apabila Ibu Komang masih dapat mengerjakan maka akan ia kerjakan sendiri di pagi hari sebelum bekerja sebagai tukang suun. Namun, keterangan ibu Komang banyak juga teman-teman seprofesinya mengeluh karena capek dan tidak adilnya pembagian peran bekerja dan tugas rumah tangga di rumah.

4.

Tujuan Bekerja di sektor publik menjadi tukang suun untuk keluarga bukan pribadi

Tujuan Ibu Komang Arik bekerja menjadi tukang suun untuk membayar biaya sekolah anak pertamanya (perempuan) yang sedang kuliah dan anak keduanya (laki-laki) yang duduk dibangku SMA. Bekerja sebagai tukang suun bertujuan untuk menolong kewajiban suami dalam hal memenuhi keperluan makan sehari-hari.

5.

Jam kerja sesuai dengan aturan

Keterangan Ibu Komang Arik bekerja sebagai tukang suun selama 9 jam dimulai pukul 14.00 – 23.00 WITA dan suami sebagai tukang las bekerja selama 7 jam, dimulai pukul 10.00 – 17.00 WITA. Dalam Pasal 5 UU No.13/2003 ditentukan tidak adanya ketidaksamaan diantara kaum laki-laki serta perempuan di dunia bekerja. Disini terlihat perempuan lebih lama bekerja sebagai tulang punggung keluarga dengan mendapatkan upah yang sama.

Menurut Ibu Komang Arik (50 tahun) menyatakan, tidak ada yang memaksa saya menjadi tukang suun, karna saya juga hanya tamatan SD, saya hanya ingin membantu keuangan suami untuk membiayai sekolah dan kuliah anak-anak supaya menjadi orang sukses. Saya sudah bekerja selama kurang lebih 7 tahun menjadi tukang suun di pasar Badung, tidaknya mencukupi untuk makan sehari-hari”. Dari data hasil wawancara dapat terlihat bahwa perempuan yang berprofesi menjadi tukang suun di sektor publik karena ingin membantu suami mencari nafkah tambahan untuk membiayai sekolah anak, walaupun memang terkadang tidak adil terkait pembagian tugas di rumah dengan suami dan tidak adilnya jam kerja. Selain itu, narasumber juga memberitahu terkait dampak atau implikasi yang dialami selama menjalankan peran ganda sebagai perempuan yaitu menjalankan peran di sektor publik dan domestik.

Adapun implikasinya adalah sebagai berikut: harus bekerja sampai malam hari karena masih ada yang membutuhkan tukang suun di pasar pada malam hari dan terkadang sulitnya melakukan tugas rumah tangga ditengah aktivitas bekerja di sektor publik (tukang suun). Keterlibatan kaum perempuan yang sudah menikah meningkat ketika keperluan ekonomi semakin banyak di dalam keluarga, keperluan tersebut seperti keperluan sehari-hari, keperluan upacara adat (rerainan), juga keperluan kehidupan sosial.20

IV Kesimpulan sebagai Penutup

  • 4. Kesimpulan

Penegakan kesetaraan gender sudah tertuang jelas dari segi regulasi baik dari hukum adat, hukum nasional, serta hukum Internasional. Dalam hukum adat Bali kental akan budaya patriarki sebagai sistem yang mengatur keturunan dalam suatu keluarga agar menjadi jelas dan struktur yaitu berdasar keturunan Purusa. Ketidakadilan terkait gender pada budaya patriarki terlihat dari adanya peran laki-laki sebagai kontrol utama dibandingkan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat adat di Bali. Dalam kehidupan bermasyarakat adat Bali sudah terdapat pembagian peran berdasarkan gender dengan mengacu pada Pasal 31 ayat (1) UU tentang Perkawinan menetapkan baik hak ataupun kedudukan antara istri dan suami adalah sama dalam kehidupan rumah tangga. Namun, dalam penerapannya terkait peran perempuan di era modern ini sudah banyak bekerja pada sektor publik selain peranannya dalam sektor domestik. Peran ganda yang dimiliki oleh istri dalam tulisan ini difokuskan kepada istri yang berprofesi sebagai tukang suun atau tukang angkat membantu seorang pembeli mengangkat barang di Pasar Badung. Hal tersebut disebabkan karena keterlibatan perempuan di dalam sektor publik umumnya masih tergolong pekerja kelas bawah. Penyebabnya dikarenakan umumnya latar belakang pendidikan mereka yang masih rendah. Adapun implikasinya adalah sebagai berikut: harus bekerja sampai malam hari karena masih ada yang membutuhkan tukang suun di pasar pada malam hari dan terkadang sulitnya melakukan tugas rumah tangga ditengah aktivitas bekerja di sektor publik (tukang suun). Keterlibatan kaum perempuan yang sudah menikah meningkat ketika keperluan ekonomi semakin banyak di dalam keluarga, keperluan tersebut seperti keperluan sehari-hari, keperluan upacara adat (rerainan), juga keperluan kehidupan sosial. Hukum adat memang bersifat dinamis seiring berjalannya waktu dan mengikuti kebutuhan masyarakat adat, tetapi saat ini masih tidak perlu adanya perubahan pada budaya sistem keturunan patrilineal dalam perspektif hukum adat Bali. Perilaku masyarakat adat dalam hal paradigma atau pandangan terkait sistem patriarki yang perlu diperbaiki.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Patulungan, Lusia. Kordi M. Ghufran. Ramli Muhammad T. Perempuan, Masyarakat Patriarki & Kesetaraan Gender. (Cetakan Ke-1, Makassar: Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia, BaKTI, 2019).

Jurnal

Arfiansyah, Arfiansyah. “Melihat Adat Sebagai Mekanisme Perlindungan Terhadap Perempuan dan Anak”. Substantia: Jurnal Ilmi-Ilmu Ushuluddin 20, No.2 (2018). DOI: http://dx.doi.org/10.22373/substantia.v20i2.5156

Darmayoga, I Komang Agus. “Perempuan dan Budaya Patriarki Dalam Tradisi, Keagamaan di Bali (Studi Kasus Posisi Superordinat dan Subordinat Laki-Laki dan Perempuan)”. Danapati: Jurnal Komunikasi 1, No.2 (2021).

Israpil, Israpil. “Budaya Patriarki Dan Kekerasan Terhadap Perempuan (Sejarah dan Perkembangannya)”. Pusaka Jurnal Khazanah Keagamaan 5, No.2 (2017). DOI: https://doi.org/10.31969/pusaka.v5i2.176

Kholifah, Fajar Nur & Masruroh, Rara Siti. “Peran Ganda Perempuan Dalam Budaya Patriarki di Indonesia Menggunakan Analisis Said Ramadhan Al-Buthi”. Jurnal Bimbingan,    Penyuluhan, dan Konseling Islam 5,    No.2    (2022).

DOI: https://doi.org/10.59027/alisyraq.v5i2.170

Nasruloh, Mochamad Nadif & Hidayat, Taufiq. “Budaya Patriarki Dalam Rumah Tangga”. Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 13. No.1 (2022). DOI: http://dx.doi.org/10.21043/yudisia.v13i1.14325

Purawati, Ni Ketut. “Peran Ganda Dan Status Sosial Perempuan Bali”. Social Studies: Jurnal Pendidikan dan Ilmu-Ilmu Sosial 3, No.2 (2015).

Purawati, Ni Ketut. “Kiprah Perempuan Di Sektor Informal (Studi Kasus Perempuan Tukang Suun Di Pasar Blahbatuh, Gianyar)”. Nirwasita: Jurnal Pendidikan Sejarah dan Ilmu Sosial 1, No.2 (2021). DOI: https://doi.org/10.59672/nirwasita.v1i2.1081.

Sembiring, Elsaninta & Christina, Vanny. “Kedudukan Hukum Perkawinan Adat di Dalam Sistem Hukum Perkawinan Nasional Menurut UU No. 1 Tahun 1974”. Journal of Law, Society, and Islamic Civilization 2, No.2 (2014). DOI: 10.20961/JOLSIC.V2I2.50254

Sakina, Ade Irma & Siti, Dessy Hasanah. “Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia”. Social Work Jurnal 7, No.1 (2017). DOI: 10.24198/sosiohumaniora.v21i1.19335

You, Yanuarius & Rumansara, Enos H. “Relasi Gender Patriarki dan Dampaknya Terhadap Perempuan Hubula Suku Dani, Kabupaten JayawijayA, Papua. Jurnal Ilmu-Ilmu    Sosial dan Humaniora 21,    No.1    (2019).        DOI:

10.24198/sosiohumaniora.v21i1.19335

Zuhraini, Zuhraini. “Perempuan dan Hukum Dalam Masyarakat Hukum Adat Lampung Sebatin”. Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam 10, No.2 (2017). https://doi.org/10.24042/ijpmi.v10i2.2361

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.

Penelitian

Astiti, Tjok Istri Putra. 1989. Perubahan ekonomi rumah tangga dan status sosial wanita dalam masyarakat bali yang patrilinial. Pusat Studi wanita Unud.

Website

Badan Pusat Statistik. 2022. “Persentase Tenaga Kerja Formal Menurut Jenis Kelamin (Persen).” URL: https://www.bps.go.id/indicator/6/1170/1/persentase-tenaga-kerja-formal-menurut-jenis-kelamin.html, diakses tanggal 3 April 2023.

Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 01 Tahun 2022, hlm. 23-33