Vol. 45 No. 3, Desember 2023

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthapatrika

E ISSN 2579 9487

P-ISSN 0215 899X


Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pemberi Pinjaman Online

Ni Wayan Widya Pratiwi,1 Aji Lukman Ibrahim2

  • 2 Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta, E-mail: adjie [email protected]

    Info Artikel

    Masuk : 12 Januari 2023

    Diterima : 24 Agustus 2023

    Terbit : 30 Desember 2023

    Keywords :

    Criminal corporation, Strafbaar feit, Vicarious liability theory.


    Kata kunci:

    Kejahatan korporasi, Strafbaarfeit, Vicarious liability theory.

    Corresponding Author:

    Ni Wayan Widya Pratiwi, E-mail: [email protected]

    DOI :

    10.24843/KP.2022.v45.i03.p.05


Abstract

The value of fintech lending loans in Indonesia is one of the most significant contributors to increasing financial inclusion. However, like two sides of a sword, disruption by fintech lending also greatly impacts society. Thus, the problem of legal issues is raised around the corporate criminal liability model by online lenders and appropriate sanctions for online loan transactions in the future—perpetrators of corporate crime in online loans. The type of research used is normative juridical, with a case approach, conceptual approach, and statutory approach. The results of the study explain that a person who consciously (willens en wetness) creates legal consequences (voltooid delict/delict met matrieele omschrijving) and in his knowledge intentionally (opzet) commits an act which can be punished by him (strafbaar feit). As well as the provision of administrative sanctions in the form of criminal fines that are equivalent to returning the rights of victims in crimes that have an economic loss value and also the need for risk mitigation in suppressing the growth of online loan cases.

Abstrak

Nilai pinjaman fintech lending di Indonesia menjadi salah satu penyumbang terbesar dalam meningkatkan inklusi keuangan. Namun bagaikan dua sisi mata pedang disrupsi oleh fintech lending juga berdampak besar di masyarakat. Maka, permasalahan atas isu hukum yang diangkat seputar model pertanggung jawaban pidana korporasi oleh pemberi pinjaman online dan sanksi yang tepat untuk transaksi pinjaman online kemudian hari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan vicarious liability theory sebagai pertanggung jawaban pidana oleh korporasi serta penjatuhan sanksi yang tepat oleh pelaku tindak pidana korporasi dalam pinjaman online. Jenis penelitian yang digunakan ialah yuridis normatif, dengan pendekatan kasus, pendekatan konseptual dan pendekatan undang – undang. Hasil Penelitian menerangkan, seseorang yang atas kesadarannya (willens en wetness) menimbulkan akibat hukum (voltooid delict/delict met matrieele omschrijving) dan dalam pengetahuannya secara sengaja (opzet) melakukan melakukan suatu perbuatan yang oleh padanya dapat di pidana (strafbaar feit). Serta pemberian sanksi administratif berupa pidana denda bersifat ekuivalen demi pengembalian hak korban dalam kejahatan yang memiliki nilai kerugian ekonomi dan juga

dibutuhkannya mitigasi risiko dalam menekan pertumbuhan kasus pinjaman online.

  • 1.    Pendahuluan

Nilai pinjaman fintech lending di Indonesia menjadi salah satu penyumbang terbesar dalam meningkatkan inklusi keuangan dengan dukungan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdasarkan POJK No.1/POJK.03/2021.1 Selanjutnya dalam kurun waktu 2021 baik nilai pinjaman maupun nilai penyaluran sebesar 295,8 Triliun dan akan diperkirakan naik 50% pada tahun 2022.2 Namun bagaikan dua mata sisi pedang dalam dunia keuangan, terdapat 19.711 total pengaduan konsumen dari tahun 2019 hingga 2021 yang diterima OJK serta sebanyak 9.270 atau 47,03% merupakan pelanggaran berat, mulai dari pencairan dana tanpa persetujuan pemohon hingga penagihan dalam bentuk ancaman berupa penyebaran data pribadi, kata-kata kasar serta pelecehan sekual.3

Berkenaan dengan pelanggaran berat dalam hal pengaduan masyarakat terhadap kegiatan peer to peer lending (P2PL) sebagai wadah untuk memenuhi perjanjian kredit di Indonesia perlu ditelaah lebih dalam. Salah satu kegiatan pada P2P illegal yang telah inkracht van gewijsde tercantum dalam putusan No.525/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Utr atas nama LZ sebagai direktur PT. Vega Data dengan akta pendirian PT tertanggal 8 Mei 2019. Perkara yang melibatkan PT. Vega Data dalam kasus pinjaman online illegal (Pinjol) melibatkan 2 korban yaitu; pertama saksi Bayu Prasetya dengan pengajuan pinjaman sejumlah Rp.1.000.000,- namun yang diterima hanya sejumlah Rp.650.000.000.- dengan masa cicilan 7 hari dan bunga sebesar 0.5% perhari apabila terlambat dalam pembayaran cicilan, dan kedua saksi Mahdi Ibrahim dengan pengajuan pinjaman sejumlah Rp.1.500.000.- dengan masa cicilan 14 hari. Maka atas penawaran dari pada PT. Vega Data selama proses transaksi melalui aplikasi Kascas dan Toko Tunai telah menyebabkan banyak masyarakat dirugikan serta belum terdaftarnya kedua aplikasi tersebut dalam Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Oleh karena itu dengan diputuskannya Li Zhouyang sebagai terpidana selaku direktur PT. Vega Data menjadi salah satu penerapan vicarious liability theory sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana dalam putusan majelis.

Hal tersebut berbanding terbalik dengan Putusan Hakim Nomor 2077/Pid. Sus/2021/PN Lbp yang hanya menjatuhkan pidana terhadap pihak debt collector. Serta

beberapa kasus penangkapan debt collector pinjaman online illegal pada tingkat Polisi Daerah (Polda), yang mana salah satunya di Polda Metro Jaya oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) melakukan penangkapan tertanggal 18 Oktober 2021 terhadap 4 pegawai PT ANT Information Consulting diantaranya: supervisor debt collector dan telemarkerting serta bagian umum dan collecting. Adapun kantor polda lainnya yakni berada di wilayah hukum Jawa Tengah oleh Ditreskrimsus Polda Jateng yang sebelumnya menetapkan 4 orang tersangka terhadap PT AKS di Jogja diantaranya; Direktur, HRD dan 2 pegawai sebagai debt collector tertanggal 13 Oktober 2021. Namun setelah dilakukan pemeriksaan oleh tim V Penyidik Ditreskirmsus tertanggal 18 Oktober 2021 mentepkan 8 orang tersangka diantaranya; Senior Manager, Asisten Manager, 2 orang HRD, IT Support dan team leader debt collector serta leader desk collector, tanpa melibatkan sang direktur.4

Terdapat beberapa penelitian terdahulu yakni pertama, Ida Bgaus dalam penelitiannya yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Pengguna Jasa Fintech Peer To Peer Lending Di Indonesia (Studi Kasus PT VCard Technology Indonesia)”, bersumber dari Universitas Mataram Repository. Dalam pokoknya menjelaskan Perlindungan hukum dan penyelesaian sengketa terhadap nasabah pengguna jasa fintech P2PL di Indonesia (Studi Kasus PT VCard Technology di Indonesia). Dengan perlindungan hukum secara Represif berupa pemberian sanksi seperti melakukan penyidikan dan penjatuhkan sanksi administrasi (pencabutan ijin usaha) dan Gugatan Perdata atas dasar perbuatan melawan hukum sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Apabila dihubungkan dengan penelitian penulis, maka topik pembahasan memiliki kesamaan yaitu membahas nasabah pengguna jasa fintech P2PL di indonesia mengunakan studi kasus PT VCard technology di indonesia. Akan tetapi untuk mempertahankan unsur kebaruan dalam suatu penelitian, penulis lebih menegaskan pada asas vicarious liability sebagai bentuk pertanggungjawaban korporasi. Kedua, Istiqamah dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Pinjaman Online Oleh Fintech Dalam Kajian Hukum Perdata”, bersumber dari Jurnal Jurisprudentie Vol.6 No.2 (2019). Dalam pokoknya menjelaskan perbuatan hukum yang timbul antara debitur dengan kreditur dalam proses pinjaman secara online harus berdasarkan perjanjian dan dalam pelaksanaannya berpedoman pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77 /POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Teknologi Informasi. Serta resiko pada pinjaman online ialah bunga tinggi, dengan pmembayaran terhadap biaya layanan, berkisar 3% sampai dengan 5%, dalam jangka waktu pelunasan yang pendek maksimal sebanyak 12 bulan hingga bocornya data pada handphone saat mengajukan pinjaman online. Terdapat kesamaan pembahasan dari penelitian yang dilakukan, yaitu pokok perkara a quo dalam hal tindak pidananya. Namun dalam penelitian ini penulis lebih mengedepankan pengenaan pertanggungjawaban pidana korporasi dari aspek hukum pidana.

Ketiga, I Made Wirya Darma dalam penelitiannya yang berjudul “Legal Protection Of Parties In Online Credit Agreement (Peer To Peer Lending) A Case Study Of PT Vcard Technology Indonesia”, bersumber dari Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum Vol 6, No.3 (2019). Dalam pokoknya menjelaskan Peninjauan terhadap perjanjian yang mengacu

pada UU ITE dan POJK 77/2016 dan perlindungan hukum para pihak terhadap kegiatan P2PL. Menggunakan pemanfaatan teknologi informasi serta transaksi elektronik, wajib didasari atas asas 3 kepastian hukum, itikad baik, manfaat, dan kebebasan untuk memilih teknologi sebagaimana dalam Pasal 3 UU 19/2016, serta Perlindungan hukum terhadap penggunapun menjadi sia – sia saja ketika tidak adanya didukung oleh berbagai pihak utama mulai dari pihak penyelenggara, pihak pengguna, serta pihak pemerintah. Terdapat kesamaan pembahasan dari penelitian yang dilakukan, yaitu penggunaan POJK sebagai dasar perjanjian atas timbulnya peristiwa hukum. Namun penelitian penulis lebih meneliti secara spesifik terhadap peristiwa hukum yang menjadi pokok perkara a quo dalam Putusan Nomor 525/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Utr dari aspek pertanggungjawaban pidana.

Vicarious liability theory merupakan salah satu theory pembenaran dari pada beban pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi atau dalam hal ini theory tersebut memiliki prinsip untuk menjatuhkan ataupun memberikan beban pertanggungjawaban kepada direktur (maupun atasan) terhadap kesalahan yang dilakukan oleh seorang karyawan. Pada umumnya, prinsip ini sering terjadi pada beberapa kasus yang berkaitan dengan hukum konstruksi atau pemborongan. Di Amerika sendiri asas ini lebih dikenal dengan sebutan “Doctrine of Respondeat Superior” yang digunakan untuk penjatuhan pidana pada korporasi.5 Pokok bahasan dalam ajaran beban pertanggungjawaban pidana terhadap vicarious liability ialah pidana yang dilakukan oleh seseorang akan dibebankan juga kepada orang lain. Misal A melakukan tindak pidana dan pertanggungjawabannya dikenakan juga kepada B selaku pengelola ataupun pegawai dari pada korporasi. Vicarious biasa digunakan dalam penerapan hukum perdata terkait perbuatan yang melawan hukum (the law of torts) didasari pada doctrine of respondeat superior.6 Di mana menurut Maxim dalam asas respondeat superior ada hubungan antara principal dengan agent ataupun master dengan servant berbunyi qui facit per alium facit per se yang berarti seseorang berbuat sesuatu melalui orang lain disebut perbuatannya sendiri.7 Oleh karena itulah, vicarious disebut sebagai respondeat superior.8Telah dikemukaan bahwa ajaran dari pada vicarious ini apabila diterapkan dapat menjadi dasar penjatuhan pidana yang dimungkinkan terhadap korporasi sebagai pertanggungjawaban pidana atas perbuatan karyawanya. Dengan demikian menerapkan vicarious menjadi pembenaran untuk mens rea personel pengendali (directing mind) dan actus reus dari pada suatu tindak pidana pegawai sebagai mens rea dan actus reus dari korporasi. Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan kajian permasalahan dalam proposal ini, dengan memberi judul “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pemberi Pinjaman Online.”

  • 2.    Metode Penelitian

Metode penelitian adalah prosedur untuk mencari informasi factual pada penulisan demi mengumpulkan serta mengambil intisari dari penelitian terdahulu dan juga menganalisis beberapa overview para ahli yang tertulis.9 Artikel dalam judul “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pemberi Pinjaman Online” menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan cara meneliti bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier guna memahami hukum positif yang berkenaan dengan penelitian ini dan menghubungkannya dengan penegakan hukum yanga da serta prakteknya sebagai bentuk dari pertanggungjawabaan pidana.10 Adapun pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasusmerupakan penelitian yang menggunakan putusan pengadilan sebagai bahan pertimbangan dalam penelitan dan pendekatan konseptualdengan mengedepankan konsep – konsep hukum dalam penelitiannya serta pendekatan undang – undang melalui penelaahan regulasi yang dikaji dengan isu hukum yang ada. Serta Pendekatan ini dilakukan dengan mengumpulkan beberapa kasus dan studi kasus serta mengkaji vicarious liability untuk ditelah lebih dalam. Sumber data yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang – undangan, bahan hukum sekunder berupa dari studi kepustakaan berupa jurnal hukum dan skripsi yang mendukung penelitian ini. Dan juga bahan hukum tersier berupa bahan bukum yang akan menunjang bahan hukum primer dan sekunder, seperti ensiklopedia, kamus dan bahan lainnya. Data dikumpulkan dengan cara studi kepustakaan (libray research), dimana data yang ada dikumpulkan melalui bahan hukum tertulis baik dari peraturan perundang – undangan sampai dengan buku – buku yang sesuai dengan tema penelitian yang dilakukan, kemudian diklasifikasi dan disusun berdasarkan jenisnya untuk mempermudah menganalisis.11 Teknik analisis data secara kualitatif dan analisis data disajikan secara deskriptif terkait dengan permasalahan yang disajikan, yang itu berarti penelitian ini tidak bersifat numerik, kemudian dikemukakan secara kualitatif yang tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman serta mengembangkan teori.12

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Penerapan Prinsip atas Vicarious Liability Theory Sebagai Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Yang Memberikan Pinjaman Online

Dalam tindak pidana kita mengenal istilah strafbaarfeit yang mana “feit” dalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau disebut een gedeelte van de werkelijikheid, sedangkan arti “strafbaar” itu sendiri ialah dapat dihukum, sehingga strafbaar feit adalah sebagian dari suatu kenyataan itu yang dapat dihukum.13 Maka teori

terpenting dalam pembangunan strafbaar feit disini ialah kembali berpedoman kepada hukum positif kita di mana tak seorangpun dapat dihukum kecuali apabila tindakannya itu melanggar hukum yang telah dilakukan secara schuld, yaitu dengan kesengajaan ataupun tidak sengaja diikuti dengan suatu wederrechtelijikheid. Atau yang kita kenal dengan teori “geen straf zonder schuld” yakni tidak ada suatu hukuman dapat dijatuhkan terhadap seseorang tanpa adanya kesengajaan ataupun ketidaksengajaan.14 Dengan ini jelas bahwasannya, schuld dan wederrechtelijikheid merupakan unsur yang selalu melekat pada setiap strafbaar feit.15

Adapun syarat – syarat tertentu agar seseorang dapat dituntut menurut hukum pidana disebut bijikomende voorwaarden van vervolgbaarheid. Yang di mana syarat – syarat ini dinyatakan secara tegas dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana. Serta hal lain yang perlu digaris bawahi ialah suatu keadaan penyerta atau biasa disebut begeleidende omstanding atau vergezellende omstandingheden berarti keadaan yang menyertai suatu tindakan atau keadaan – keadaan penyerta. Biasanya keadaan seperti ini disebut sebagai accidentalia atau essentialia van het delict merupakan essentialia dari suatu deik hanya mempunyai arti bagi hakim sebagai bahan pertimbangan untuk penentuan terhadap ringan atau beratnya hukuman yang akan dijatuhkan.16 Dalam hal ini erat hubungannya essentialia dari suatu delik dengan opzet dan culpa. Menurut hukum pidana suatu tindakan dapat merupakan een doen atau een niet sebagai arti “dapat melakukan sesuatu” ataupun “tidak melakukan sesuatu”, ini dalam doktrin sering disebut sebagai eem nalaten berarti “hal mengalpakan sesuatu yang diwajibkan”.17 Selanjutnya penjabaran mengenai unsur – unsur tindak pidana terbagi menjadi 2 unsur diantaranya :

  • 1.    Unsur subjektif merupakan unsur yang melekat pada diri pelaku, berhubungan dengan diri pelaku atau dapat dikatakan segala sesuatu yang berada didalam hatinya.

  • a)    Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

  • b)    Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

  • c)    Macam - macam maksud atau oogmerk ialah kehendak dalam melakukan tindak pidana seperti kejahatan penipuan, pencurian, pemalsuan, pemerasan dan lain – lain.

  • d)    Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti kejahatan pembunuhan Pasal 340 KUHP;

  • e) Perasaan takut atau vress seperti terdapat dalam rumusan tindak pidana Pasal

308 KUHP;

  • 2.    Unsur objektif merupakan unsur yang berhubungan dengan keadaan, suatu keadaan yang mengharuskan pelaku untuk melakukan tindak pidana.

  • a.    Sifat melanggar hukum atau wederreschtelijkheid;

  • b.    Kualitas dari pelaku, misalnya keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu PT dalam Pasal 398 KUHP ataupun keadaan sebagais eorang pegawai negeri menjadi suatu kejahatan dalam jabatan Pasal 415 KUHP. Hal ini berlaku “kausalitas” adalah hubungan antara tindak pidana dengan penyebab kenyataan tersebut sebagai akibat.

Maka dengan ini penjabaran strafbaarfeit merupakan hal mendasar sebelum masuk kedalam pembahasan mengenai perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi terhadap beberapa contoh kasus sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana.

  • 3.1.1    Perbuatan Pidana

Dalam KUHP pengertian schuld tidak dapat dipisahkan dengan culpa (ketidaksengajaan) maupun dolus, opzet (kesengajaan). Maka untuk mengulik rumusan delik dalam perkara a quo, akan menjabarkan mengenai peran opzet untuk menunjukan adanya dolus (kesengajaan) atau menjelaskan maksud dari pada perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku. Sejatinya opzet ialah suatu kehendak untuk melakukan perbuatan ataupun tidak melakukan perbuatan yang dilarang dalam undang – undang.18 Memasuki pokok pembahasan peristiwa hukum dengan menguraikan rumusan delik dalam suatu opzet terhadap Putusan No.525/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Utr, terbagi atas beberapa bagian pembahasan diantaranya:

  • 1.    Sifat dari Suatu Perbuatan

LZ selaku Direktur PT.Vega Data atas kesadarannya (willens en wetness) menimbulkan akibat hukum (voltooid delict/delict met matrieele omschrijving) dan dalam pengetahuannya melakukan tindak pidana secara sengaja (opzet) dengan maksud memperdagangkan barang dan/atau jasa tidak sesuai janji keterangan, label, promosi atau iklan, etiket penjualan barang dan/atau jasa tersebut, serta melakukan suatu perbuatan yang oleh padanya dapat di pidana (strafbaar feit).

Maka berdasarkan kedudukannya sebagai direktur atas kesadaran dan pengetahuannya melakukan tindak pidana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban menurut pandangan Van Bemmelen terdapat tiga hal, yakni; adanya kemungkinan untuk menentukan tingkah laku serta kemauannya, memahami pemikiran nyata tujuan atas perbuatannya, menyadari bahwa perbuatan tersebut tidak layak berada di masyarakat.19 Selanjutnya, dalam kacamata kriminologi diperkuat oleh Freud seorang Psikoanalisa memiliki penjelasan atas adanya unsur “kesenangan” pada kejahatan yang dipengaruhi oleh faktor ego dan juga superego dalam diri manusia yang lemah dan mendesak untuk mendapatkan kepuasan hingga menyimpang dan pada akhirnya melakukan kejahatan. Terkahir, dalam teori sosial sendiri melalui pendekatan secara Bioekologis yang dilakukan oleh Brofenbenner dengan mengidentifikasi pola interaksi faktor personal dan juga faktor lingkungan untuk mendapatkan “perilaku kejahatan” tersebut. Memasuki pokok bahasan atas perbuatan – perbuatan pidana sebagai bentuk kesalahan dalam unsur kesengajaan yang dilakukan oleh LZ diantaranya yaitu; Melakukan penipuan terhadap debitur salah satunya ialah saksi Bayu Prasetya dalam

kesaksiannya mengatakan bahwa ia mengajukan pinjaman sebesar Rp.1.000.000,-namun yang diterima hanya sejumlah Rp.650.000.000.- dengan masa cicilan 7 hari, Melakukan penipuan dengan dalih pemotongan cicilan pertama dan biaya administrasi terhadap perjanjian pinjaman. Yang mana dalam hal ini tidak ada ketetapan dari pada OJK maupun AFPI terkait dua hal tersebut dengan mengurangi hak/pun jumlah yang seharusnya diterima debitur sehingga membuat debitur tunduk dalam peraturan baru ataupun tambahan tersebut secara sepihak, Melakukan pelanggaran terhadap beberapa Pasal 26, Pasal 29 huruf d, Pasal 39 dan Pasal 47 POJK Nomor 77/PJOK.01/2016. Serta SOJK Nomor S-72/NB.213/2019 dalam pengaksesan data di mana penyelenggara P2PL hanya boleh mengakses data pribadi berupa lokasi, kamera dan mikropon. Hal tersebut di dasari pada klausa tambahan dalam peraturan baru ataupun tambahan tersebut secara sepihak berisikan “pihak KASCAS berhak untuk mengambil data calon konsumen yaitu seperti : memberikan izin untuk mengambil data telpon, memberi izin untuk mengambil data kontak telephone dan memberikan izin untuk mengambil gambar/foto yang ada di perangkat Handphone. Bahkan hingga kontak orang terdekat” dan Sebagai plegen dalam dakwaan keempat, dimana usaha yang dijalankan tidak memiliki perzinan Menteri pada bidang perdagangan.

  • 2.    Pemenuhan Unsur Dengan Maksud

Dalam rangka mendalami apakah setiap perbuatan pidana yang dilakukan (delict) oleh para terdakwa telah terpenuhi. Maka pada bahasan ini akan mengupas lebih dalam perihal pemenuhan unsur pidana, actus reus dan mens rea hingga penjatuhan pidana terhadap para terdakwa. Dengan ini mendasari berdasarkan Putusan No.525/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Utr jelas bahwa LZ dalam kedudukannya sebagai direktur dan pengetahuannya kesadarannya (willens en wetness) menimbulkan akibat hukum (voltooid delict/delict met matrieele omschrijving) dan dalam pengetahuannya melakukan tindak pidana secara sengaja (opzet) dengan maksud memperdagangkan barang dan/atau jasa tidak sesuai janji keterangan, label, promosi atau iklan, etiket penjualan barang dan/atau jasa tersebut, serta melakukan suatu perbuatan yang oleh padanya dapat di pidana (strafbaar feit). Maka atas penjatuhan pidana terhadap LZ selaku terdakwa merupakan penerapan terhadap vicarious liability theory. Serta diperkuat dengan pandangan Moelyatno terhadap unsur – unsur pidana yakni; unsur subjektif (hal yang terkandung didalam pikiran ataupun hatinya atau melekat pada diri pelaku), dan unsur objektif (hal yang berubungan dengan keadaan si pelaku), di mana kedua hal inipun telah terpenuhi oleh LZ. Maka pembenaran dalam penjatuhan pidana lainnya terdapat dalam teori pemidanaan yang merupakan penghukuman berupa penjatuhan pidana dengan alasan pembenar dalam hukumannya (justification) terhadap seseorang yang bersalah melakukan suatu delik tertentu berdasarkan incraht van gewijsde.

  • 3.1.2    Kejahatan Korporasi

Secara terminologi korporasi berkaitan erat dengan bidang hukum perdata yang merupakan badan hukum (rechtspersoon). Terdapat beberapa pengertian korporasi diantaranya; dalam bahasa Inggris disebut corporation, dalam bahasa Belanda disebut corporatie, dan dalam bahasa Jerman disebut korporatio. Yang mana secara etimologis

berasal dari bahasa Latin disebut corporation.20 Maka kejahatan korporasi berdasarkan Prof. Bismar Nasution adalah suatu kejahatan dari bagian white collar crime yang dimana kejahatan tersebut dilakukan oleh korporasi itu sendiri atau bahkan pegawainya dengan melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan peratuan perundang – undangan.21

Sebagaimana dalam setiap pembahasan sebelumnya terkait dengan Putusan Nomor 525/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Utr dan Putusan Nomor 2077/Pid.Sus/2021/PN Lbp, keduanya merupakan kejahatan korporasi. Pada pengertiannya, PT merupakan badan hukum dalam suatu persekutuan modal berdasarkan perjanjian dan modal dasar, terbagi atas beberapa saham, yang penetapannya diatur dengan undang – undang. Dan telah di revisi dari UU PT oleh UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) Pasal 109 dengan point tambahan badan hukum perorangan yang telah memenuhi kriteria badan usaha mikro dan kecil, yang pengaturannya terregulasi dalam peraturan perundangundangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil.

Pembahasan mengenai kejahatan korporasi yang massif terjadi di setiap belahan dunia pada sendi kehidupan, dan telah beradaptasi layaknya sel kanker dalam tubuh manusia, ini terklasifikasi atas 3 bagian; crimes for corporation (kejahatan yang dilakukan demi kepentingan korporasi dan tidak berlaku sebaliknya), crimes against corporation (karyawan atau dalam hal ini pekerja yang melakukan kejahatan “fraud”, di mana korporasi sebagai pihak korban), criminal corporation (di mana korporasi ini didirikan memang untuk melakukan kejahatan).22

Adapun tahapan perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana yakni, Tahap pertama, Natuurlijik person pembatasan delik korporasi pada perorangan di mana pada tahap ini menaruh beban terhadap pengurus (zorgplicht) yang dalam tahap ini pula berlaku asas “societas delinquere nonpotest” berarti badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. Tahap kedua, korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana namun pertanggungjawabannya melalui pengurus yang mana dalam tahap ini pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung masih belum diakui. Tahap ketiga, di mana sejak Perang Dunia II menjadi awal bagi kemungkinan untuk menuntut pertanggungjawaban kepada korporasi menjadi “societas delinquere potest” sebagai subjek tindak pidana secara langsung.23 Maka dengan itu pula, lahirlah beberapa teori pertanggungjawaban tindak pidana korporasi diantaranya; ajaran pertanggungjawaban mutlak (doctrine of strict liability), ajaran pertanggungjawaban vikarius (doctrine of vicarious liability), ajaran delegasi (doctrine of delegation), ajaran identifikasi (doctrine of identification), ajaran agregasi (doctrine of aggregation).24

Berdasarkan ruang lingkupnya kejahatan terhadap korporasi, menurut IS. Susanto, meliputi; kejahatan terhadap konsumen, penyalahgunaan kepercayaan masyarakat, adanya iklan yang menyesatkan, serta pengaruh obat yang memberikan efek samping. Menarik kesimpulan dari pada benang merah yang ada, maka kejahatan korporasi itu dilakukan dengan skala besar, dan dalam lingkup kegiatan ekonomi. Namun dewasa ini, kejahatan korporasi mulai bertransformasi dengan teknologi, salah satunya fintech lending dalam perkembangan teknologi di bidang keuangan.25

Hadirnya beragam layanan di bidang keuangan dengan pemanfaatan teknologi disebut sebagai Financial Technology (Fintech). Fintech telah mendapatkan momentum baik secara pasar global maupun di Indonesia yang akan diperkirakan pada tahun 2025 menjadi salah satu dari pada pasar eknomi digitial terbesar se-Asia Tenggara.26 Fintech sendiri tidaklah terpisahkan dari hasil penetrasi smartphone dan internet membuat konektivitas menjadi lebih mudah, baik peer to peer (P to P), dan business to peer (B to P), serta government to peer (G to P). Namun disisi lain, hadirnya fintech juga berpotensi menimbulkan rasa kekhawatiran terhadap kepercayaan masyarakat dalam sistem keuangan dan juga stabilitas perekonomian. Maka, dibutuhkan peran kuat OJK dalam memperhatikan beberapa faktor krusial tidak hanya aspek keamanan tetapi juga perlindungan konsumen, inklusivitas, pelayanan hingga mitigasi risiko (terutama aspek risko teknologi informasi dan juga cybercrime).27

Salah satu tindak pidana yang sering terjadi dalam kasus P2PL ialah delik penghinaan atau pencemaran nama baik. Yang mana dalam perkara a quo pada Putusan Nomor 2077/Pid.Sus/2021/PN Lbp yang mana membuat debt collector melakukan penagihan tidak sesuai SOP dengan melakukan pelanggaran ataupun penyimpangan terhadap korban (debitur). Berupa “wkwk…kontol, kusebar data kau, udah pasrah kau kan? KAU CARI MAU CARI 640 HARI INI SAMPAI JAM 3 SORE ATAU KU UNDANG KONTAK” serta pihak debt collectorpun membuat poster yang diedit dari foto ktp korban dengan wajah sedang memegang shabu serta foto polisi dengan tulisan “DICARI BURONAN”. Hal tersebut merupakan bentuk penyerangan nama baik dan kehormatan seseorang dengan menuduh melakukan perbuatan tertentu (door telastlegging van een bepaald feit) di mana “feit” perbuatan, “een bepaald feit” perbuatan tertentu, dan “telastlegging” atau (tenlas’telegging) menuduhkan. Secara terang “kenlijik” untuk diketahui umum yang tujuan atau kehendaknya kuat melekat pada sikap batin dengan unsur kesalahan (subjektif) sebagai upaya menekan ataupun memberi penegasan (stressing).

Dengan ini menyatukan benang merah yang ada, berkenaan dengan pokok bahasan penerapan vicarious liability theory (VLT) mulai dari pembahasan sub bab 1-4 yakni, kedudukan strafbaar feit sebagai fondasi pemidanaan terhadap korporasi dalam pengelupasan unsur – unsur pidana yang ada dengan penegasan bahwa korporasi mulai dari direksi ataupun pengurus hingga korporasi itu sendiri dapat dikenakan sanksi pidana Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 97 ayat (3) UU PT kerugian yang dialami

perseroan merupakan tanggungjawab penuh direksi dan sebagaimana kita ketahui dalam perkara a quo LZ selaku direktur dan juga pemilik PT (direksi) dimintai pertanggungjawaban pidananya. Selanjutnya, lahirnya perbuatan pidana oleh pelaku merupakan suatu hal yang memang kehendaknya (willens en wetness). Oleh karena, hanya dengan keadaan yang menyertai suatu tindakan dari pada pelaku saja, sudah dapat dikategorikan sebagai bentuk kesadaran atas pemenuhan opzet sebagaimana yang terletak pada salah satu perkara tindak pidana korporasi terhadap Putusan Nomor 525/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr, dimana LZ selaku direktur menghendaki dan mengetahui setiap ataupun suatu tindakan yang terjadi dibawah kepemimpinannya. Maka atas dasar penjatuhan pidana ataupun bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap LZ sebagai bentuk penetapan atas asas VLT (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another), yang ruang lingkupnya “pekerjaan atau jabatan” atau delik yang menghubungkan antara buruh dengan majikan. Apabila diterapkan pada korporasi, penerapan teori ini memungkinkan korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh kekuasaannya, para pegawainnya maupun mandatarisnya. Dengan menerapkan ajaran VLT dibenarkan untuk menganggap mens rea dan actus reus personel pengendali (directing mind) korporasi atau pegawai yang diberikan wewenang oleh personel pengendali untuk melakukan suatu perbuatan yang ternyata tindak pidana (crime) sebagai mens rea dan actus reus dari korporasi. Lebih lanjut, tindak pidana korporasi merupakan dasar pembenaran bagi penjatuhan pidana terhadap korporasi dari mulai hanya menjatuhkan pidana terhadap pengurus dengan dasar naturlijik person, hingga societas deliquenre postest yaitu pertanggungjawaban kepada korporasi sebagai tindak pidana secara langsung. Kembali lagi pada perkara a quo, tindak pidana korporasi yang terjadi merupakan jenis kejahatan criminal for corporation (dimana korporasi didirikan memang untuk mealukan kejahatan), yang atas dasar itu pula pertanggungjawaban pidana yang ideal ialah mereapkan VLT dengan mempertimbangkan pidana tambahan pemberian sanksi administrasi sebagaimana Pasal 53 POJK Nomor: 1/POJK.07/2013 dan pasal 47 POJK Nomor: Nomor 77 /Pojk.01/2016 mengatur adanya sanksi administrasi mulai dari peringatan tertulis, denda (pembayaran dengan jumlah tertentu), pembatasan usaha hingga pencabutan izin kegiatan usaha. Yang dasar pemberian sanksi pidana tambahannya didasari pada kejahatan korporasi dalam P2PL merupakan tindak pidana ekonomi. Dimana sanksi administratif berupa pidana denda memiliki nilai ekonomis secara proposionalitas yang seimbang antara pelanggaran dengan pembayaran denda yang harus diterima.

Langkah – langkah Hukum yang dapat ditempuh oleh Para Korban Transaksi Pinjaman Online, dalam rangka pemberian perlindungan hukum sebagai bentuk tanggung jawab Negara selaku penyelenggara pemerintahan, dan demi pemenuhan atas hak – hak yang dimiliki oleh para korban maka terdapat beberapa langkah hukum yang dapat ditempuh, yakni:

  • a.    Non Litigasi

Langkah hukum awal yang dapat ditempuh adalah upaya non litigasi melalui, penyelesaian sengketa di luar pengadilan secara umum diatur UU No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menjadi acuan dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dengan negosiasi antara kedua pihak yang

berperkara atau mediasi dengan dihadirkannya pihak ketiga, karena tidak dapat dipungkiri dalam kebanyakan kasus pinjaman online ialah “kredit macet” seperti halnya pada Putusan Nomor 2077/Pid.Sus/2021/PN Lbp yang mana membuat debt collector melakukan penagihan tidak sesuai SOP dengan melakukan pelanggaran ataupun penyimpangan terhadap debitur. Adapun tujuan negosiasi atau mediasi dalam perkara a quo yakni restrukturisasi atas pinjaman P2PL sebagaimana dalam POJK Nomor 30 /Pojk.05/2021 Tentang Perubahan Kedua Atas POJK Nomor 14/Pojk.05/2020 Tentang Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 Bagi Lembaga Jasa Keuangan Nonbank. Restrukturisasi ini juga merupakan bagian penanganan risiko terhadap debitur yang gagal membayar sebagaimana diatur dalam POJK 77 /2016. Setelah dilakukannya upaya negosiasi atau mediasi sebagai langkah awal non litigasi, selanjutnya dapat melakukan pelaporan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan AFPI, atas perkara a quo terhadap setiap bentuk penyimpangan yang diterima debitur sebagaimana hal ini diatur dalam POJK Nomor 35 /Pojk.05/2018 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan.

  • b.    Litigasi

Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 24 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara pihak debitur dapat melakukan pelaporan kepada pihak Kepolisian Daerah setempat sebagai pihak pelapor. Dalam hal ini mengingat tuntutan atas laporan yang dialami pelapor merupakan delik absolut oleh karenanya hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan. Yang mana merangkum beberapa tindakan pelanggaran oleh pemberi pinjaman (kreditur) dalam kasus pinjaman online yakni;

  • 1)    Pengancaman

Semisal terdapat ancaman baik melalui pesan teks yang dikirim oleh pelaku terhadap korban (Berlin Marpaung), tertanggal 10 Juni 2021, berbunyi “wkwk…kontol, kusebar data kau, udah pasrah kau kan? KAU CARI MAU CARI 640 HARI INI SAMPAI JAM 3 SORE ATAU KU UNDANG KONTAK” serta pihak debt collector pun membuat poster yang diedit dari foto KTP korban dengan wajah sedang memegang shabu serta foto polisi dengan tulisan “DICARI BURONAN”, maka atas pelanggaran hukum tersebut terlapor dapat dikenakan Pasal 29 UU ITE nomor 11 tahun 2008 terhadap ancaman dengan tujuan menakut – nakuti dengan informasi dan/atau dokumen elektronik, maka atas pelanggaran tersebut sesuai ketentuan Pasal 45 B dikenakan pidana penjara selama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00. Terlapor dalam hal ini juga melanggar ketentuan Pasal 335 ayat (1) angka 1 KUHP jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 dan Pasal 368 ayat (1) KUHP. Dalam beberapa kali putusan (yurisprudensi) Hoge Raad “ancaman dengan kekerasan” (bedreiging met geweld) haruslah memenuhi syarat, yaitu: harus diucapkan dalam keadaan yang sedemikian rupa, sehingga menimbulkan kesan pada orang yang diancam, dan maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan tersebut. Dengan ini, melihat motif pelaku berdasarkan analisa hukum menerangkan bahwa pelaku secara sadar telah melakukan delik ancaman sebagaimana yang telah diuraikan di atas.

  • 2)    Pencemaran Nama Baik

Mendasari pesan berantai dengan gambar, poster yang diedit dari foto KTP korban dengan wajah sedang memegang shabu serta foto polisi dengan tulisan “DICARI BURONAN”. Maka atas delik penghinaan yang dilakukan oleh terlapor terhadap pelapor dapat dikenakan Pasal 26,29 huruf d, dan 39 perihal kerahasiaan dan keamanan data POJK Nomor 77/PJOK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 29 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menegaskan hak atas Perlindungan diri dan keluarga. Maka berdasarkan uraian tersebut terlapor melakukan pelanggaran sesuai ketentuan Pasal 310 ayat (1) sebagai (delicts bestanddelen : sengaja, menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, dengan menuduhkan suatu hal, yang maksudnya supaya diketahui umum) jo. Ayat (2) sebagai ancaman pidana KUHP dan Pasal 369 ayat (1) KUHP yang menjamin perlindungan terhadap koban (pelapor) secara kriminologis menurut van Bemmelen-van Hattum delik ini lebih berat daripada delik pemerasan (Pasal 368 KUHP) dengan disertai delicts bestanddelen ancaman akan membuka rahasia korban jika tidak diberikan sesuatu dan seterusnya.

  • 3)    Penyalahgunaan Data Pribadi

Salah satu pesan berantai yang mengarah pada penyalahgunaan data pribadi yakni “kusebar data kau, yaudah kusebar ya?” serta foto yang diedit menjadi sebuah poster, dengan menarik konklusi bahwasannya terlapor telah melakukan peretasan data pada gawai pelapor sehingga mengetahui terdapat foto dan video pribadi milik pelapor dan suaminya lalu dijadikan suatu kelemahan sebagai dasar pemerasan yang digunakan oleh terlapor. Untuk itu terlapor dapat dikenakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE nomor 11 tahun 2008. Serta ketentuan Pasal 26 ayat (1) jo Ayat (3) UU ITE bahwasannya setiap informasi yang berkaitan dengan pribadi orang lain harus atas izin orang yang bersangkutan dan apabila disalahgunakan penyelenggara berkewajiban untuk menghapusnya dan Pasal 45 ayat (3) mengenai ketentuan pidana yang harus diterima apabila melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (3) dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00. Lebih lanjut mengenai regulasi utama Fintech Lending ialah POJK Nomor 77/PJOK.01/2016 eterdapat beberapa pelanggaran terhadap beberapa Pasal 26, Pasal 29 huruf d, Pasal 39 dan Pasal 47. Serta SOJK Nomor S-72/NB.213/2019 perihal perintah pembatasan akses data pribadi bagi penerima pinjaman pada smartphone yang menyatakan bahwa penyelenggara P2PL hanya boleh mengakses data pribadi berupa lokasi, kamera dan mikrofon. Maka atas melemahnya fungsi pengawasan OJK sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 6 huruf c UU Nomor 21 Tahun 2011 Tentang OJK, pelapor berhak untuk melaporkan peristiwa hukum yang dialaminya kepada pihak Kepolisian Daerah setempat. Dan juga hal ini merupakan pelanggaran atas Pasal 16 ayat (2) huruf e dan pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Pelindungan Data Pribadi sebagai bentuk pengaksesan yang tidak sah secara senggaja atas data yang bukan miliknya maka akan dijatuhkan pidana padanya sesuai Pasal 67 ayat (3) dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000 (lima miliar rupiah).

  • 4)    Terganggunya Kondisi Mental Pelapor

Berdasarkan hal yang dialami oleh pelapor merupakan suatu bentuk kekerasan berbasis gender secara daring (KBGS) yang pada utamanya melihat motif dari pada sudut

pandang terlapor terhadap pelapor sebagai perempuan atau kaum yang rentan. Kami menyimpulkan motif pelaku tersebut atas beberapa aspek : 1. Adanya ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution), 2. Adanya tindakan pencemaran nama baik (online defamation),dan 3. Adanya peretasan (hacking). Maka atas setiap delik yang ada tersebut merupakan suatu kejahatan “mala in prohibita” oleh karenanya Kepolisian Daerah setempat berhak menindaklanjuti pelaporan yang diajukan oleh pelapor berdasarkan Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana dan SIARAN PERS NO.SP-44/DKNS/OJK/11/2014 taentang Kerja Sama Penanganan Tindak Pidana Di Sektor Jasa Keuangan yang menjadi jembatan bagi pihak kepolisian untuk menangani kasus pidana yang berada di wilayah OJK.

  • 3.2 Sanksi Yang Tepat Terhadap Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Dalam Transaksi Pinjaman Online

Dalam rangka mewujudkan penegakan hukum pidana yang baik terutama dalam ranah hukum pidana korporasi terhadap transaksi pinjaman online di Indonesia atas penjatuhan sanksi yang tepat. Maka dalam pemabahasan ini mengkaji beberapa faktor dengan cara membandingkan serta mengoptimalisasi sistem yang ada untuk menekan risiko dikemudian hari.

  • 3.2.1    Analisa    Perbandingan    Antara    Putusan    Hakim    Nomor

525/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr dengan Putusan Hakim Nomor 2077/Pid. Sus/2021/PN

Pengertian korporasi sebagai coporate crime sering dihubungkan dengan white collar crime, hal ini mengingat salah seorang ataupun pelaku dari pada tindak pidana korporasi merupakan pegawai dari pada korporasi itu sendiri, di mana tidak sedikit yang melakukan tindak pidana tersebut berasal dari kalangan eksekutif, atau seseorang yang memiliki jabatan penting didalam korporasi.28

Merujuk kembali dalam perkara tindak pidana korporasi dengan unsur white collar crime, oleh karena kedua terdakwa dalam kedua putusan memiliki jabatan struktural di mana LZ selaku direktur PT. Vega Data sedangkan Christoper selaku Manager Debt Collector. Maka berdasarkan analisis penulis pada kedua di mana dalam Putusan Hakim Nomor 525/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr majelis lebih menggunakan Pasal 62 ayat (1) Jo Pasal 8 ayat (1) huruf f UU Perlindungan konsumen Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yang itu berarti mengedepankan unsur kesalahan atas pelanggaran dari pada pihak pelaku usaha dalam Pasal 62 ayat (1) serta memperdagangkan barang dan/atau jasa tidak sesuai label atau etiket yang tertera dan jika di bandingkan dengan Putusan Hakim Nomor 2077/Pid. Sus/2021/PN.Lbp di mana Majelis memilih dakwaan alternatif kedua yakni, Pasal 45B jo. Pasal 29 UU ITE jo. Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP hanya berfokus pada unsur kesalahan dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan dokumen/informasi elektronik sebagai ancaman dalam Pasal 45B serta tujuannya untuk menakut – nakuti dalam Pasal 29. Maka berdasarkan perumusan setiap Pasal dalam Putusan Majelis dapat disimpulkan:

  • 3.2.2    Analisa Perbandingan Efektifitas Pengenaan Sanksi Administratif dengan Pidana Penjara

Di beberapa negara perkembangan terhadap pola pemidanaan dengan LAPAS sebagai keadilan restoratif mulai berubah. Perubahan ini disebabkan adanya akibat oleh pidana penjara cenderung lebih banyak efek negatif dari pada tingkat keberhasilannya.29 Terdapat beberapa fakta atas rangkuman hal negatif dengan adanya sistem pemindanaan di yang dialami oleh narapidana, yakni; dari sisi sosiologi seorang terpidana akan terpisah dari kewajiban terhadap nafkah keluarganya, sistem pemidanaan di LAPAS yang pilih kasih hingga meinmbulkan adagium “LAPAS ialah Sekolah menempa Ilmu Kejahatan (SIK)”, dan secara psikologis seorang narapidana akan merasa terisoloasi berakibat stress hingga terjadi penurunan mental, terakhir setelah keluar penjara akan ada “labeling” terhadap mantan narapidana tersebut untuk mendapat pekerjaan dan pada akhirnya kembali melakukan kejahatan atau disebut (residivis). Spesifiknya pemberian sanksi pidana penjara menjadi kriminogen (criminogenic).30

Pada mulanya, pemberian sanksi pidana denda berawal dari hubungan keperdataan, di mana jumlah ganti rugi didasari pada besarnya jumlah kerugian. pemberian sanksi pidana penjara tidak membuat pelaku memiliki efek jera.31 Hal tersebut berbanding terbalik jika dibandingkan dengan pidana denda yang memberikan sanksi sejumlah uang kepada terdakwa untuk dibayarkan. Suhariyono, berpandangan bahwa penerapan pidana denda diperuntukan untuk kejahatan yang diancam hukuman 7 tahun penjara atau dalam hal ini tindak pidana ringan.32

Melihat hal ini eksistensi pemberian sanksi pidana denda pada sistem pidana maupun pemidanaan, memiliki nilai yang strategis demi mendukung pembangunan hukum pidana di Indonesia.33 Selanjutnya Cressey dan Shuterland mengemukakan beberapa keuntungan dan rasa keadilan dari pemberian pidana denda; penjatuhan denda pelaksanaanya jauh lebih mudah dan dapat direvisi apabila kesalahan, jenis hukuman yang memberikan keuntungan pada Pemerintah, tidak membuat nama baik seseorang tercela, hukuman yang dijatuhkanpun akan menjadi pendapatan terhadap daerah/kota. Dengan ini upaya formulasi yang ingin dicapai ialah pengembalian keadaan menjadi seimbang akbiat tindakan pelaku demi mengembalikan keadaan para korban, serta termasuk pula didalamnya kerugian akibat proyeksi mens rea.34 Di mana beban proyeksi

mens rea terhadap sanksi pokok (penjara) akan di formulasikan dengan nilai pidana denda, yang akan menjadi sanksi alternatif terhadap pidana pokok (penjara). Maka dari itu terdapat beberapa alasan yang dinilai sebagai urgensi atas formulasi kesetaraan pidana penjara dengan pidana denda, diantaranya:

  • 1.    Menggunakan UU Perlindungan Konsumen lebih mampu untuk menjerat direksi dari pada menggunakan UU ITE. Hal tersebut dikarenakan pelanggaran yang dilakukan oleh pemberi pinjaman tidak hanya sekedar acaman secara daring saja, tetapi terdapat perhitungan kerugian yang diterima oleh peminjam.

  • 2.    Pasal 55 KUHP sebagai penyertaan cukup untuk menjerat semua pihak yang terlibat maka dari itu lebih efektif jika menggunakan UU Perlindungan Konsumen di Juncto dengan Pasal 55 KUHP sebagai unsur penyertaan untuk menjerat debt collector.

  • 3.    Pengimplementasian vicarious sebagai bentuk pertanggungjawaban direksi dalam hal ini LZ sebagai direktur ada di dalam Putusan No.525/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Utr.

  • 3.2.3    Penerapan Regulatory Sandbox dalam rangka Penguatan Inovasi Finansial Moderen di Indonesia Sebagai Mitigasi Risiko

Teknologi finansial dalam skema P2PL memiliki banyak risiko dalam corporate finance, salah satu yang terbesar adalah kredit macet (gagal bayar), sedangkan sisanya mirip dengan perbankan. Yang oleh karena itu dibutuhkan mitigasi risiko untuk meminimalisir faktor buruk dari skema P2PL. Tentu adanya mitigasi risko sangatlah dibutuhkan sesuai Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/SEOJK.02/2017 tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi pada Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Maka dari itu, mitigasi risiko adalah segala upaya untuk mencegah ataupun mengurangi timbulnya risiko yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan P2PL.35 Adapun macam – macam mitigasi risiko dalam P2PL ialah; Upaya Pembebanan dalam Tanggung Renteng adalah suatu tanggung jawab penuh oleh salah seorang mitra terhadap penerima dana baik perorangan maupun bersama – sama, dan khusus dalam kondisi ini terdapat mitra lain yang terbebas dari piutang, Pengasuransian Pihak Mitra ialah keadaan di mana peminjam meninggal dunia, shingga tidak dapat melunasi piutang yang ada dan pendana hanya akan menerima bagian pokok pinjaman tanpa adanya bagi hasil melalui pertanggungan oleh asuransi jiwa kredit tertentu, Pemberian Skor Kredit adalah transparansi atas penyeleksian calon peminjam untuk mencegah risiko gagal bayar atau kredit macet.36 Dan menentukan jumlah pinjaman yang sesuai dengan kemampuan calon peminjam serta Penjaminan Asuransi Kredit ialah jenis pelayanan asuransi dari pemberi dana langsung untuk mencegah risiko gagal bayar atau kredit macet.37

Setiap pelaku usaha (fintech) yang sebagian besar perusahaan start up dengan skala kecil juga dapat kesempatan yang sama untuk berkembang hingga mampu dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.38 Selain itu bagi Bank Indonesia – Financial Technology Office (BI-FTO), ialah menjadi tempat adanya setiap ide yang inovatif baik antara pelaku usaha maupun kolaborasi antar pelaku usaha dengan pihak regulator. Maka seiring berkembangnya teknologi tidak menampik akan ada potensi – potensi buruk sebagai bentuk disrupsi digital yang oleh karenanya dibutuhkan suatu model mitigasi risiko dan payung hukumnya terkodifikasi melalui ketetapan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 21 /SEOJK.02/2019 tentang

Regulatory Sandbox. Fungsi dari pada Regulatory Sandbox disini ialah sebagai suatu bentuk audit (legal due diligence) terhadap setiap perusahaan terutama dalam pokok bahasan ini yang berkaitan dengan inovasi finansial moderen di Indonesia sebelum melakukan legalisasi terhadap perusahaan tersebut. Bahkan penerapan regulatory sandbox dapat membantu pemerintah guna meminimalisir adanya dampak kekosongan hukum pada ekonomi digital serta memberikan suatu kebijakan atas kepastian guna mencegah terjadinya kebocoran terhadap keamanan siber.39

  • 4.    Kesimpulan

Tindak pidana korporasi yang melibatkan P2PL merupakan gabungan tindak pidana ekonomi dan cyber. Maka, dasar penjatuhan beban “nestapa” dalam bentuk pertanggung jawaban pidana kepada korporasi terhadap pemberi pinjaman online melalui vicarious liability theory. Namun disamping itu, sejatinya unsur utama dari pada penjatuhan pidana itu ketika, seseorang yang atas kesadarannya (willens en wetness) menimbulkan akibat hukum (voltooid delict/delict met matrieele omschrijving) dan dalam pengetahuannya secara sengaja (opzet) melakukan suatu perbuatan yang oleh padanya dapat di pidana (strafbaar feit). Dalam perkara a quo pemberian sanksi administratif berupa pidana denda bersifat ekuivalen demi pengembalian hak korban dalam kejahatan yang memiliki nilai kerugian ekonomi, hal ini dikarenakan efek negatif yang ditimbulkan dari pidana penjara tidak memberikan solusi yang adaptif bahkan cenderung membuat narapidana menjadi residivis. Dan juga dibutuhkannya, pelaksanaan mitigasi risiko yang baik serta terorganisir dalam menekan pertumbuhan kasus pinjaman online.

Daftar Pustaka

Buku

Achim, M. V. 2020. Economic and financial crime. Springer International Publishing.

Bakhri, S. 2009. Pidana Denda dan Korupsi – Hasil Riset Disertasi. Yogyakarta: Total Media.

Clinard, M., Quinney, R., & Wildeman, J. 2014. Criminal behavior systems: A typology. Routledge.

Lamintang. 2019. Dasar – Dasar Hukum Pidana Di Indonesia. Jakarta Timur: Sinar Grafika.

Nurislaminingsih. 2022. Pustakawan referensi sebagai knowledge worker. Anuva: Jurnal Kajian Budaya, Perpustakaan, dan Informasi. 4(2)

  • S.    T, Muhammad Syahrum. 2022. Pengantar Metodologi Penelitian Hukum: Kajian Penelitian Normatif, Empiris, Penulisan Proposal, Laporan Skripsi dan Tesis. CV. Dotplus Publisher.

Sudaryo, Yoyo. 2022. Digital Marketing dan Fintech di Indonesia. Yogyakarta: Andi.

Syamsul, Muhammad Ainul. 2018. Penjatuhan Pidana & Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Kencana.

Tombs, S., & Whyte, D. 2015. The corporate criminal: Why corporations must be abolished. Routledge.

Jurnal

Cao, L. 2021. Data science and AI in FinTech: An overview. International Journal of Data Science and Analytics, 12(2), 82.

  • D,    Abdullah. 2022. Rekonstruksi Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup yang Berbasis Nilai Keadilan (Doctoral dissertation, Universitas Islam Sultan Agung (Indonesia))

Hariadi. 2016. Peraturan Perundang – Undangan yang Kriminogen (Criminogenic Legislation). Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 13 No. 14.

Indrawan, R. 2019. Pemidanaan Sebagai Ultimum Remidium dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Hak-Hak Konsumen pada Suatu Transaksi Elektronik. Esensi Hukum, 1(1),40.

Kalianget, Reymond. 2015. Eksistensi Pidana Denda dalam Konteks Kitab Undang – Undang Hukum Pidana. Lex Crimen, No.7, Vol. IV, 20.

Kholis, N. 2018. Asas Non Diskriminasi Dalam Contempt of Court. Legality: Jurnal Ilmiah Hukum, 26(2), 22

Mahalle, A. 2021. Regulatory challenges and mitigation for account services offered by FinTech. In 2021 IEEE 24th International Conference on Computer Supported Cooperative Work in Design (CSCWD) (pp. 280-287). IEEE.

Munawar. 2022. Financial technology (fintech) dalam inklusi keuangan umkm kota Banjar di masa pandemi covid-19. INOVASI: 18 (1), 39.

N, Kholis. 2018. Asas Non Diskriminasi Dalam Contempt of Court. Legality: Jurnal Ilmiah Hukum, 26(2).

Nugraha, A. 2020. Konsep Community Based Corrections Pada Sistem Pemasyarakatan Dalam Menghadapi Dampak Pemenjaraan. Jurnal Sains Sosio Humaniora, 141.

Nurislaminingsih. 2022. Pustakawan referensi sebagai knowledge worker. Anuva: Jurnal Kajian Budaya, Perpustakaan, dan Informasi. 4(2), 142.

Rezky, M., & Ibrahim, A. L. 2022. Fake Accounts on Social Media as a Criminal Act of Electronic Information Manipulation in Indonesia. Yuridika, 37(3), 615.

Ryu, H. S. 2020. Sustainable development of Fintech: Focused on uncertainty and perceived quality issues. Sustainability, 12.

S, Tombs. 2015. The corporate criminal: Why corporations must be abolished. Routledge.

Webinar

Mardjono Reksodiputro. (1982). Tinjauan Terhadap Perkembangan Delik-delik Khusus dalam Masyarakat yang Mengalami Modernisasi, Kertas Kerja Pada Seminar Perkembangan Delik-delik khusus dalam Masyarakat yang Mengalami Modernisasi. di FH UNAIR. Bandung: Binacipta.

Peraturan Perundang - Undangan

Kitab Undang – Undang Hukum Pidana. UU No. 1 Tahun 1946.

Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.

Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821

Undang - Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886

Undang - Undang Nomor 11 tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512

Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Pelindungan Data Pribadi Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6820

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841

Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 Tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 185

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/PJOK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 324

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018 Tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6238

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6788

Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana K. Surat Otoritas Jasa Keuangan Nomor S-72/NB.213/2019 tanggal 12 Februari 2019 perihal Perintah Pembatasan Akses Data Pribadi pada Smarthphone Pengguna Fintech Lending

SIARAN PERS NO.SP/44/DKNS/OJK/11/2014 Tentang Kerja Sama Penanganan Tindak Pidana Di Sektor Jasa Keuangan

Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 21 /SEOJK.02/2019 Tentang Regulatory Sandbox

Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/SEOJK.02/2017 tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi pada Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

Putusan Nomor 525/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Utr

Putusan Nomor 2077/Pid.Sus/2021/PN Lbp

Jurnal Kertha Patrika, Vol. 45, No. 3 Desember 2023, h. 334-353