Vol. 45 No. 3, Desember 2023

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthapatrika

E ISSN 2579 9487

P-ISSN 0215 899X


Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam Sistem Hukum di Indonesia

Abigail Prasetyo,1 Sri Harini Dwiyatmi2, Alfret3, Devina Athalia Putri4, Fadilla Putri Alsabilla5

  • 1 Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, E-mail: [email protected]

  • 2    Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, E-mail: [email protected]

  • 3    Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, E-mail: [email protected]

  • 4    Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, E-mail: [email protected]

  • 5    Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, E-mail: [email protected]

    Info Artikel

    Masuk : 26 November 2023

    Diterima : 19 Desember 2023

    Terbit : 30 Desember 2023

    Keywords :

    Illegitimate Child, Legal Standing, Legal Relationship and Legal Protection.


    Kata kunci:

    Anak Luar Kawin, Kedudukan Hukum, Hubungan Hukum dan Perlindungan Hukum.

    Corresponding Author:

    Abigail Prasetyo, E-mail: [email protected]

    DOI :

    10.24843/KP.2023.v45.i03.p06


Abstract

This article is aiming to share the legal concept regarding the definitions, regulations and legal relationships and its impact to the illegitimate child. Therefore, the sources of this article will be from the civil law, customary law, Islamic law, and the regulation regarding marriage law in Indonesia. As a normative study, this article is using the conceptual approach and statute approach regarding the topic of illegitimate child. In conclusion to the research, the illegitimate child doesn’t have any legal relationship to their biological father. Moreover, there are no chance for illegitimate child to be a legal child based on customary law and Islamic law. In the end, the legal protection for illegitimate child hasn’t given a legal certainty for the illegitimate child standing completely. Especially when it comes to illegitimate child to have legal relationship to their biological father. To make this happened, the child shall be proven by technology, a DNA test. Therefore, court shall have the ability to force this test, in order to give safety value and legal certainty, especially for the illegitimate child to have legal relationship to their biological father.

Abstrak

Tulisan ini hendak memberikan konsep terkait sebutan, pengaturan, dan hubungan hukum yang berimplikasi pada kedudukan hukum dari anak luar kawin. Adapun sumber hukum yang menjadi rujukan dalam artikel ini mengarah pada hukum perdata, hukum Islam, ketentuan dalam hukum perkawinan dan hukum adat. Tulisan ini merupakan kajian normatif, dengan pendekatan konseptual dan perundang-undangan yang sesuai dengan topik anak luar kawin. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa anak luar kawin tidak memiliki hubungan hukum dengan ayah biologisnya. Selain itu, pada hukum adat dan hukum Islam tidak dimungkinkan adanya peluang bagi anak luar kawin menjadi anak sah. Sehingga, dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum bagi anak luar kawin saat ini masih belum maksimal terlebih bagi anak luar kawin untuk

mendapatkan hubungan hukum dengan ayah biologisnya, karena masih masih dilakukan pembuktian melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga untuk meminalisir kendala itu seyogianya pengadilan memiliki kuasa untuk memaksa dilakukannya tes DNA dalam rangka untuk memberikan rasa aman dan kepastian hukum khususnya bagi anak luar kawin agar memiliki hubungan hukum dengan ayah biologisnya.

  • 1.    Pendahuluan

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010, yang telah mengubah rumusan pada Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat menjadi UU Perkawinan), dimana sebelumnya ketentuan tersebut hanya menyebutkan bahwa: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Namun pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi:

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Melihat pada ketentuan tersebut, maka anak luar kawin pada hakikatnya hanya memliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya. Sedangkan hubungan dengan ayah dan keluarga ayahnya hanya terbukti bahwa anak tersebut adalah anaknya melalui ilmu pengetahuan dan/atau teknologi. Sehingga, berkaca pada kasus yang dialami oleh Iqbal Ramadhan, yang merupakan anak dari Moerdiono, perjuangan yang dilakukan untuk mendapatkan hubungan hukum dengan ayah biologisnya gagal. Dikarenakan ayah biologisnya tidak bersedia untuk melakukan tes DNA, terlebih saat ayah biologisnya meninggal lebih dulu dan tidak mengakui dirinya sebagai anak biologis. Sehingga kondisi inilah yang mendorong Penulis untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana seharusnya pengaturan tentang anak luar kawin dalam sistem hukum Indonesia ini diatur.

Adapun pembahasan mengenai anak luar kawin digolongkan ke dalam hukum keluarga, yang mana di dalam KUH Perdata diatur di dalam Buku Kesatu tentang Orang. Pembahasan mengenai keluarga, yakni hubungan orang tua dan anaknya, diatur pada Pasal 42-52 UU Perkawinan, yang memuat kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua dan kewajiban anak serta perwalian. Selain itu, ketentuan terkait anak luar kawin juga diatur di dalam kaidah hukum Islam. Sehingga agar agar terciptanya hubungan anak luar kawin dengan ayah biologisnya terwujud menarik untuk dibahas, terlebih ketentuan yang bersumber dari keempat sumber hukum tersebut.

Pada penelitian sebelumnya, Penulis telah melihat perlindungan hukum terhadap hak anak dari perkawinan siri. Penulis menyimpulkan bahwa anak hasil sekalipun anak tersebut terlahir di dalam perkawinan siri, keuddukan yang dimilikinya adalah sama luar kawin. Beranjak dari hasil penelitian tersebut, maka Penulis mendalami lebih lanjut mengenai kedudukan anak luar kawin dari berbagai sumber hukum yang berlaku di Indonesia: KUH Perdata, Hukum Islam, UU Perkawinan dan Hukum Adat. Selain

merujuk pada keempat pengaturan tersebut, Penulis juga melihat pada ketentuan perlindungan anak yang tertuang di dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disingkat menjadi UU Perlindungan Anak). Oleh karena sumber hukum anak luar kawin memiliki konsep hukum yang berbeda-beda.

Hal tersebut dapat menjadi perlindungan, namun juga menjadi suatu tantangan, karena UU Perlindungan Anak pada hakikatnya hanya menyebutkan untuk melindungi anak, yaitu anak secara umum, tidak membedakan apakah anak sah atau anak luar kawin. Maka, artikel ini hendak membahas mengenai anak luar kawin dalam empat sumber hukum, yaitu: KUH Perdata, Hukum Islam, UU Perkawinan dan Hukum Adat pada beberapa masyarakat adat di Indonesia. Lalu seperti apakah perlindungan anak bagi anak luar kawin yang diberikan. Selanjutkan akan dilakukan perbandingan persamaan dan perbedaan berdasarkan konsep anak luar kawin yang didasarkan dari empat sumber hukum tersebut.

  • 2.    Metode Penelitian

Tulisan ini dibuat berdasarkan penelitian hukum normatif, dimana penelitian hukum normative memiliki kecenderungan dalam mencitrakan hukum sebagai disiplin preskriptif di mana hanya melihat hukum dari sudut pandang norma-normanya saja.1 Berdasarakan jenis penelitian tersebut, maka pendekatan yang digunakan oleh Penulis adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Dengan menggunakan bahan hukum primer berupa KUH Perdata, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Perlindungan Anak, Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disingkat KHI) dan aturan perundang-undangan lainnya yang terkait. Sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan antara lain buku-buku dan jurnal terkait dengan pembahasan anak luar kawin.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Pengaturan dan Kedudukan Anak Luar Kawin

Untuk memulai diskusi mengenai anak luar kawin, perlu dipahami bahwa yang mengatur mengenai kedudukan dari anak luar kawin saat ini tidak bersifat tunggal. Artinya, kedudukan anak luar kawin pada sistem hukum Indonesia saat ini masih beragam. Bagaimana anak luar kawin diperlakukan dan hak-hak yang dimilikinya sebagai ‘anak’ pun berbeda. Perlakuan dan kedudukan yang dimiliki dari anak luar kawin tersebut ditentukan berdasarkan sumber hukum mana yang akan menjadi rujukan.

Secara konsep pengertian anak luar kawin dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit, anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, yang keduanya tidak terikat perkawinan dengan oran lain dan tidak ada larangan untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan dalam arti luas dibedakan menjadin anak zina

(yaitu dimana salah satu orang tuanya terikat perkawinan dengan orang lain) dan anak sumbang (yaitu dimana kedua orang tuanya dilarang melangusngkan perkawinan menurut undang-undang)2. Dalam pembahasan lebih lanjut, Penulis menggunakan 4 (empat) sumber hukum, yaitu: hukum perdata yang bersumber pada KUH Perdata, UU Perkawinan, hukum kebiasaan pada masing-masing daerah yang bersumber dari hukum adat, dan hukum Islam.

  • 3.1.1.    Anak Luar Kawin berdasarkan KUH Perdata

KUH Perdata, sebagai sumber rujukan utama dalam hukum perdata, memberikan istilah bagi anak luar kawin dengan sebutan natturlijke kind atau alami3 yang diatur di dalam Pasal 272-289 KUH Perdata. Pada ketentuan tersebut memberikan pemahaman bahwa anak luar kawin adalah anak yang terlahir di luar perkawinan yang sah. Anak tersebut dilahirkan dari seorang ibu, tetapi tidak dibenihkan dalam perkawinan yang sah. Sehingga dapat disebut sebagai anak alami. Adapun yang dimaksud sebagai anak alami menurut Sri Harini adalah: “Anak alami adalah anak yang lahir dari orang tua yagn tidak ada halangan untuk melakukan perkawinan”4. Sedangkan jenis lain dari anak luar kawin terdapat anak sumbang, yaitu anak yang lahir dari orang tua yang memiliki halangan untuk melakukan perkawinan. Selain itu ada juga anak zina, yang mana merupakan anak yang dibenihkan dalam perkawinan yang tidak sah, karena salah satu orang tuanya terikat perkawinan dengan pihak lain5.

Sebagai konsekuensi karena tidak dilahirkan dalam perkawinan yang sah, maka anak luar kawin ini tidak memiliki hubungan hukum dengan ayah dan ibu yang melahirkannya. Dalam hal ini, seorang anak harus memiliki hubungan keperdataan barulah ia memiliki kedudukan hukum. Seorang anak luar kawin tidak memiliki kedudukan hukum anak sah ataupun anak yang diakui karena tidak memiliki hubungan keperdataan dengan ayah yang biologisnya ataupun dengan ibu yang melahirkannya. Untuk memiliki hubungan keperdataan tersebut, seorang anak harus diakui oleh ibu yang melahirkannya dan/atau diakui oleh ayah biologisnya, yakni ayah yang menjadikan anak luar kawin itu ada.

Mengenai pengakuan, diatur dalam Pasal 280 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa pengakuan hanya dapat dilakukan terhadap anak luar kawin selain karena zina. Pengakuan tersebut dilakukan oleh orang tua yang melahirkannya dengan mencantumkan nama orang tua dalam akta lahir atau pada saat pelaksanaan perkawinan. Bilamana hal ini belum dapat dilakukan, alternatif lain dapa menggunakan akta otentik, atau akta yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil dan didaftarkan. Apabila terjadi kelalaian dalam pencatatan pengakuan ini, maka tidak dapat dijadikan alasan untuk menyangkal telah adanya pengakuan. Segala pengakuan tersebut harus disetujui oleh ibu yang melahirkan anak luar kawin.

Selain pengakuan yang diberikan kepada anak luar kawin, seorang anak luar kawin juga dapat disahkan menjadi anak sah, namun untuk melakukannya anak tersebut harus mendapatkan pengakuan terlebih dulu. Mengenai pengesahan anak luar kawin ini diatur pada Pasal 272-279 KUH Perdata dengan cara sebagai berikut:

  • 1.    Anak luar kawin jika dilahirkan secara alami, dapat disahkan setelah orang tuanya melangsungkan perkawinan. Namun, bila sebelumnya telah dilakukan pengakuan secara sah, maka pengakuan tersebut dituangkan dalam akta perkawinan orang tuanya.

  • 2.    Jika orang tuanya lalai untuk mengakui anak luar kawin tersebut, maka pengesahan dapat diperbaiki dengan surat pengesahan dari Presiden.

  • 3.    Jika salah satu orang tuanya meninggal sebelum perkawinan dilaksanakan, maka pengesahan dapat dilakukan dengan surat pengesahan dari Presiden.

  • 4.    Jika anak tersebut dilahirkan ibu dari golongan Indonesia atau jika ibunya meninggal dunia atau terdapat keberatan terhadap perkawinan orang tuanya, maka pengesahan dapat dilakukan dengan pengesahan dari Presiden.

  • 5.    Bagi anak yang telah meninggal dunia dan meninggalkan keturunan dapat disahkan juga menurut hukum, dalam rangka untuk menguntungkan keturunan itu.

Pengesahan yang dilakukan tersebut menimbulkan akibat bahwa seolah anak luar kawin dilahirkan dalam perkawinan yah sah. Adapun pengesah tersebut hanya berlaku mulai dari diberikannya surat pengesahan Presiden, serta pengesahan itu tidak boleh berakibat merugikan anak-anak sah sebelumnya dalam hal pewarisan.

  • 3.1.2.    Anak Luar Kawin berdasarkan Hukum Islam

Merujuk pada ketentuan hukum Islam, istilah anak luar kawin bersumber dari tiga macam suber hukum dalam Islam, yaitu Al-Quran, Hadist, ijtihad. Dalam Al-Quran dan Hadist tidak memberikan penyebutan anak luar kawin. Hal ini karena kedudukannya dipahami bahwa anak yang lahir dalam keadaan fitrah meskipun anak tersebut lahir dari hasil zina. Untuk istilah anak luar kawin sendiri pada hukum Islam menggunakan anak luar nikah.

Terdapat beberapa mazhab yang dapat dirujuk bila membahas mengenai anak luar nikah dalam ketentuan hukum Islam. Menurut mazhab Imam Syafi’i, yang banyak dianut masyarakat Indonesia, yang dimaksud dengan anak luar nikah ialah anak yang lahir kurang dari enam bulan setelah adanya persetubuhan dengan suami yang sah. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, anak luar nikah adalah anak yang lahir enam bulan setelah terjadinya akad nikah dinyatakan dalam status makhluqat (darah daging) dari bapak biologisnya, yang statusnya sama dengan anak yang lahir dari perkawinan yah sah. Adapun macam-macam anak luar kawin menuru hukum Islam adalah sebagai berikut:

  • 1.    Anak Zina adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menghamilinya.6 Dengan kata lain, anak zina merupakan anak hasil hubungan yang diharamkan dan anak zina hanya memiliki hak mewaris dari ibu dan keluarga ibunya saja.

  • 2.    Anak Li’an adalah dimana seorang muslim yang menemukan istrinya sedang berbuat zina dengan laki-laki lain, sedangkan ia tidak punya empat saksi yang bersaksi atas apa yang dilihatnya.7 Sehingga anak yang dilahirkan tersebut tidak diakui oleh suaminya dan tidak bisa mengikuti nasab suami atau ayahnya. Anak ini hanya mengikuti nasab ibu yang melahirkannya.

  • 3.    Anak Syubhat adalah anak yang lahir dari hubungan badan laki-laki dan perempuan atas dasar kekeliruan, dimana laki-laki tersebut sebetulnya meyakini bahwa perempuan disetubuhi adalah halal, namun ternyata perempuan tersebut haram untuk disetubuhi oleh laki-laki tersebut.8 Oleh karenanya anak ini tidak memiliki nasab dengan laki-laki yang menyetubuhi ibunya kecuali laki-laki tersebut mengakuinya.

Merujuk pada Suran An-Najm 38, dikatakan bahwa anak luar nikah merupakan anak suci yang terlepas dari dosa zina yang dilakukan orang tuanya. Sedangkan hubungan keperdataan atas anak luar nikah ini memiliki kemiripan dari Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan dengan Pasal 100 KHI, yang menyatakan bahwa anak nikah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Sehingga anak luar nikah tersebut hanya bisa mewaris dari keluarga ibu dan ibunya saja. Ketentuan dalam KHI, mengatur bahwa anak yang berasal dari persetubuhan di luar nikah yang berasal dari pria yang bukan suami sahnya menurut Islam dan undang-undang tidak terhitung untuk mendapatkan warisan. Selain itu, anak tersebut hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya, tidak dengan ayahnya. Anak luar nikah ini juga tidak berhak atas nafkah dan pemeliharaan dari ayahnya.

Berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 10 Maret 2012 ditegaskan kembali bahwa, anak dari hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris dan nafkah dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Oleh karea itu, baik anak luar nikah berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan tidak diakuim tidak memiliki hubungan kekeluargaan dengan ayahnya, pun demikian dengan nasab, waris dan nafkah

Anak luar nikah memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya hanya jika ayah tersebut mengakuinya dengan bukt-bukti yang kuat. Anak tersebut juga memiliki hubungan nasab dengan ibu yang melahirkannya. Pendapat ini adalah pendapat sebagian ulama dari madzhab Hanafi dan sebagian ulama salaf seperti Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin, dan Ibnu Rahawaih9.

Walaupun anak luar nikah tidak memiliki nasab dengan ayah biologisnya, bukan berarti sang ayah dapat melalaikan tugasnya untuk menafkahi anak tersebut. Masih ada sisi kemanusiaan yang dapat diberikan bapak kepada anak, meski secara hukum syar’i hal itu tidak memiliki nasab. Jadi, secara moral kemanusiaan bapak memiliki kewajiban mencukup kebutuhan anak, karena agama tidak membenarkan penelantaran anak.

  • 3.1.3.    Anak Luar Kawin berdasarkan UU Perkawinan

Dalam ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan ini hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dari ketentuan UU Perkawinan tersebutlah muncul istilah ‘anak luar kawin’. Kedudukan anak luar kawin ini menjadi masalah, terutama dalam hubungannya dengna pihak bapaknya, sedangkan terhadap pihak ibunya secara umum dapat dikatakan tidak terlalu susah untuk mengetahui siapa ibu dari anak yang dilahirkan tersebut10.

Secara yuridis, kedudukan anak berdasarkan UU Perkawinan dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:

  • 1.    Anak sah, adalah anak yang dilahirkan dala di dalam atau sebagai akibat adanya perkawinan yang sah.11

  • 2.    Anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.12

Adapun hubungan hukum anak luar kawin dengan orang tuanya pada hakikatnya lahir karena Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan dengan ibu dan keluarga ibunya. Hal demikian menjadi pedoman pengaturan dalam pelaksanaan hak anak yang menjadi kewajiban dari ibunya sebagai orang tua. Hal inilah yang memiliki konsekuensi, bahwa secara hukum anak tersebut telah berada dalam asuhan dan pengawasan ibunya. Sehingga, kewajiban untuk memlihara, mendidik serta memperoleh waris dari ibu dan keluarg ibunya saja.

Pasal 43 ayat (2) UU Perkawinan seperti memberikan nafas segar bagi anak luar kawin karena disebutkan bahwa kedudukan anak luar kawin akan diatur lebih lanjut dalam suatu peraturan pemerintah. Memang benar Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan namun Permen tersebut tidak mengatur tentang kedudukan anak luar kawin, sehingga sampai sekarang persoalan tentang kedudukan anak luar kawin pengaturannya masih terkatung-katung karena Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan hanya menyebutkan tentang hubungan keperdataannya saja sedangkan terhadap hak-haknya yang harus dilindungi sebagai seorang manusia tidak mendapat pengaturan yang jelas dan terperinci.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 mengubah secara konsep kedudukan anak luar kawin. Putusan tersebut mendobrak kebekuan hukum positif yang selama ini tidak memberikan akses pemenuhan hak keperdataan kepada anak luar kawin kepada ayah biologisnya. Putusan tersebut mengubah rumusan Pasal 43 ayat (1) menjadi:

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Secara konsep dengan putusan Mahkamah yang demikian berkonsekuensi hubungan anak luar kawin tidak lagi hanya dengan ibu yang melahirkannya serta keluarga ibunya melainkan memiliki hubungan hukum dengan ayah biologisnya dengan persyaratan sebagaimana dalam putusan Mahkamah formulasi baru Pasal 43 ayat (1). Juga berkonsekuensi lebih jauh, anak luar kawin menjadi ahli waris dari ayah biologisnya, yang memungkinkan anak luar kawin mewaris dari ayah biologisnya.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disingkat UU Adminduk) memberi sebutan anak luar kawin sebagai anak diluar ikatan perkawinan. Anak luar kawin memiliki kemungkinan untuk menjadi anak sah dan memiliki hubungan dengan ayah biologis. Dapat dilihat ketentuan pada Pasal 50-51 UU Adminduk, yang mana pengakuan tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut13:

  • 1.    Orang tua dari anak luar kawin harus melakukan perkawinan dan telah mendapatkan akta perkawinan.

  • 2.    Pengesahan anak luar kawin tersebut hanya dapat dilakukan bagi anak luar kawin yang orang tuanya sudah melakukan perkawinan menurut hukum agama.

  • 3.    Dalam kurun waktu 30 (tiga puluh) hari setelah perkawinan menurut hukum agamanya, orang tua anak luar kawin membuat laporan kepada Instansi Pelaksana, yakni catatan sipil, agar Kutipan Akta Kelahiran anak luar kawin yang disahkan tersebut dapat diterbitkan.

  • 4.    Pejabat Pencatatan Sipil membuat catatan pinggir pada Register Akta Kelahiran.

Selain pengesahan anak luar kawin, juga dimungkinkan dilakukan pengakuan dengan mengacu pada ketentuan Pasal 49 UU Adminduk. Adapun pengakuan hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan menurut hukum agama, kemudian pejabat Pencatatan Sipil melakukan pencatatan register akta pengakuan anak dan menerbitkan kutipan akta pengakuan anak tersebut.

Merujuk pada ketentuan tersebut, maka dapat dilihat bahwa pada hakikatnya agar anak luar kawin mendapatkan pengakuan atau disahkan menjadi anak sah sebenernya dapat dilakukan. Akan tetapi orang tua anak luar kawin tersebut harus melangsungkan perkawinan menurut hukum agama terlebih dulu. Hal ini yang kemudian akan menimbulkan permasalahan, karena belum tentu orang tua anak luar kawin tersebut dapat melangsungkan perkawinan. Pada beberapa kasus, orang tua anak luar kawin tersebut berhalangan untuk melangsungkan perkawinan, salah satunya karena salah satunya terikat perkawinan.

  • 3.1.4.    Anak Luar Kawin berdasarkan Hukum Adat

Hukum adat memiliki arti sebagai: “Aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orangorang pribumi dan orang-orang Timur Asing, yang positif yang di satu pihak mempunyai sanksi oleh karena itu ‘hukum’ dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan oleh karena itu ‘adat’”14. Sampai di sini, dapat dipahami bahwa hakikatnya hukum adat adalah aturan perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dengan ciri atau karakteristik utamanya adalah: tidak terkodifikasi. Mengingat bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk pada hampir semua segi kehidupannya. Pada hakikatnya, anak adalah generasi penerus yang memiliki peran penting dalam keluarga. Hukum adat memiliki pemahaman yang berbeda untuk anak luar kawin, dikarenakan sifat majemuk masyarakat Indonesia tadi. Sehingga berbeda dengan sumber hukum lainnya, yang secara umum menggunakan istilah ‘anak luar kawin’ atau ‘anak luar nikah’. Dalam sistem hukum adat, istilah yang digunakan bisa berbeda-beda pada tiap daerahnya. Adapun beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut anak luar kawin dalam sistem hukum adat antara lain: “anak haram”, “anak jadah”, “anak kampang”, “anak sumbang”, “anak kowar”, “anak astra” dan lainya15.

Dalam pemahaman masyarakat secara umum, maupun pandangan khusus dari masyarakat adat, anak luar kawin seringkali diasosiasikan dengan banyak istilah negatif dari masing-masing daerahnya16. Tiap-tiap masyarakat adat memiliki kebiasaan di daerahnya masing-masing. Terlebih, bila menyangkut kedudukan hukum, status, hubunga yang dimiliki oleh anak luar kawin dengan orang tuanya, dan hubungannya dengan keluarga dari orang tuanya sampai dengan pewarisan. Maka dari itu, perlu disadari bahwa tiap-tiap daerah memiliki ketentuan pengaturan berdasarkan adat kebiasaannya masing-masing (opinion yuris nesesitatis).

Hubungan hukum antara anak luar kawin dengan orang tua yang melahirkannya menjadi fokus yang akan dibahas pada bagian ini. Hukum nasional maupun hukum adat memiliki prinsip bahwa pada hakikatnya hubungan hukum anak luar kawin hanya dimiliki oleh ibu yang melahirkannya dan tidak memiliki hubungan hukum dengan ayah biologisnya. Hal ini cukup banyak dijumpai pada hukum adat di Indonesia juga. Penulis melihat beberapa rujukan dari masyarakat adat yang ada di Indonesia, antara lain sebagai berikut.

Pada masayarakat Bali menganut sistem kekerabatan patrilineal atau garis keturunan mengikuti garis ayah. Secara praktis, anak luar kawin tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya. Ia hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu yang melahirkannya dan keluarga ibunya saja. Dalam tatanan masyarakat Bali membedakan anak luar kawin menjadi dua macam, yaitu anak bebinjat dan anak astra. Anak bebinjat, adalah anak yang tidak diketahui siapa ayahnya. Kelakuan ayah dan ibunya ini dilarang baik oleh norma agama dan norma hukum. Sedangkan anak astra adalah anak luar kawin

yang diketahui ayah biologisnya, yakngi dari golonga tri wangsa (golongan brahmana, ksatria atau weysia) dan terkadang anak ini diakui oleh ayah biologisnya17. Bagi anak astra, meskipun sudah diakui bahkan tinggal bersama ayahnya, tetapi anak tersebut tetap tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya. Dalam hukum adat Bali memberikan kemungkinan bagi anak luar kawin menjadi anak sah, yaitu dengan dilakukannya pengangkatan. Artinya, ada perbuatan hukum yang dilakukan dimana anak luar kawin harus diangkat sebagai anak agar mempunyai status dan kedudukan yang jelas18. Tanpa adanya pengangkatan, maka anak luar kawin tersebut tidak memiliki status dan kedudukan yang jelas menurut hukum adat Bali.

Dalam tatanan masyarakat Lampung, status anak luar kawin pada prinsipnya tidak memiliki kekerabatan bapaknya dan status anak tersebut menjadi anak masyarakat adat19. Oleh karenanya anak luar kawin tersebut hanya memiliki hubungan dengan masyarakat adatnya. Ia tidak dapat menerima hak apapun dari ayah biologisnya karena bukan anak sah yang diakui sebagaimana dalam tatanan masyarakat adat Lampung. Selain itu, keluarga dari ayah biologis anak luar kawin ini akan dikenakan sanksi berupa denda adat danmeminta maaf atas kesalahan yang dilakukan oleh ayah biologis si anak luar kawin tersebut kepada majelis prowatin (tua-tua adat)20. Sehingga dapat dipahami bahwa dalam hukum adat masyarakat Lampung mengenal adanya sanksi bagi mereka yang melakukan tindakan menghamili seorang perempuan di luar perkawinan yang sah.

Berbeda dalam ketentuan yang ada pada masyarakat Minahasa, dimana kedudukan anak luar kawin memiliki kedudukan yang sama dengna anak sah. Adapun untuk memperkuat pengakuan anak luar kawin dalam masyarakat Minahasa dilakukan dengan cara ayah biologis anak luar kawin memberikan lilikur, yakni semacam hadiah adat biasanya berupa tanah. Lilikur tersebut diberikan kepada ibu dari anak luar kawin yang tidak dinikahinya karena hidupnya saling terpisah. Akibat hukum dari pemberian lilikur inilah memberikan kemungkinan bagi anak luar kawin tadi berpotensi untuk mendapatkan bagian harta dari ayah biologisnya juga, juga hak untuk menjadi pewaris21.

Di dalam masyarkat adat Maluku dan Ambon, sebagian besar masyarakatnya beragama Kristen, dan memiliki adat kebiasaan bahwa anak luar kawin dapat disahkan menjadi anak sah bilamana perkawinan orang tuanya sudah sah22. Adat kebiasaan ini tidak terlepas dari Ordonansi Perkawinan orang-orang Kristen Jawa, Minahasa dan Amboina staatblad 1933 No. 74 yang memungkinkan kedudukan anak luar kawin menjadi anak

sah meskipun sistem kekerabatan di masyarakat Ambon adalah patrilineal. Umumnya, dalam sistem kekerabatan patrilineal menutup kemungkinan untuk anak luar kawin diakui oleh ayah biologisnya, sehingga ia hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Hal ini biasanya terlihat melalui marga atau fam ibu yang melekat pada identitas anak luar kawin tersebut23.

Dalam sistem hukum adat Jawa yang menggunakan kekerabatan parental, artinya menganut garis ayah dan ibunya, sehingga sistem ini memberikan kedudukan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan. Walaupun kekerabatannya parental, namun keududkan anak luar kawin dalam adat Jawa pada hakikatnya masih diakui sebagai anak dari ibunya saja, tanpa memiliki hubungan dengan ayah biologisnya. Dalam adat Jawa juga dikenal istilah nikah tambelan, yaitu kawin darurat untuk melepaskan si perempuan dan keluarga perempuan dari rasa malu karena si perempuan sudah lebih dulu hamil sebelum adanya perkawinan24. Adapun akibat hukum dari nikah tambelan tersebut adalah si anak jadi memiliki hubungan dengan ayah yang mengawini ibunya. Perlu dipahami bahwa belum tentu ayah yang mengawini ibunya adalah ayah biologis si anak, karena tujuannya adalah untuk membuat anak luar kawin tersebut memiliki status sebagai anak sah. Namun, ada juga yang mencela keras ibu dan anak luar kawin tersebut, bahkan sampai membuangnya dari masyarakat adat25.

Dengan adanya pengakuan maupun pengesahan terhadap anak luar kawin, maka kedudukan hukum anak luar kawin pada prinsipnya menjadi jelas. Dalam arti, hak yang dimilikinya dari alimentasi ibu dan keluarga ibunya serta ayah biologisnya, bahka memiliki hak waris udari ayah biologisnya. Di dalam hukum Islam, anak luar kawin yang diakui tadi memiliki hak agar ayah biologisnya menjadi wali nikahnya.

  • 3.2.    Perbandingan Persamaan dan Perbedaan Konsep Anak Luar Kawin

Berdasarkan hasil pemaparan mengenai anak luar kawin yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya, Penulis melakukan perbandingan menggunakan tabel untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan konsep anak luar kawin dari masing-masing sumber hukum yang dirujuk dalam tulisan ini, antara lain sebagai berikut:

Konsep anak luar kawin26

KUH Perdata

UU Perkawinan

Hukum Islam

Hukum Adat

Sumber rujukan

KUH Perdata

UU Perkawinan dan UU Adminduk

Al’Quran, Hadist dan KHI

Beberapa hukum adat setempat

Sebutan atau istilah

Anak diluar kawin

Anak di luar perkawinan

Walad Al-zina Anak Thabi’i

Anak kowar-anak astral-anak haram-anak jadah

Pengertian

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan.

Jenis

Anak alami

Anak sumbang

Anak zina

Anak di luar perkawinan

Anak Zina

Anak Li’an

Anak Syubhat

Bergantung pada ketentuan hukum adat masing-masing daerah.

Dasar Hukum

- Pasal 272-279

- Pasal 280-289

- Pasal 863

  • -    Pasal 43 UU Perkawinan

  • -    Pasal 43 UU Perkawinan setelah Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010

  • -    Pasal 49 dan Pasal 50 UU Adminduk.

  • -    Al-Qur’an dan Hadist tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai anak luar kawin

  • -    Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam

Kepercayaan dan falsafah nilai masing-masing dari tiap daerahnya.

Hubungan hukum dengan ibu

Harus melalui pengakuan dengan penetapan pengadilan

Otomatis memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya

Otomatis memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya

Otomatis memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya

Hubungan hukum dengan ayah biologis

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada peluang tetapi ada sedikit peluang menurut madzab Hanafi’i dan apa putusan pengakuan daari Pengadilan Agama

Tidak ada, kecuali dilakukan pengesahan.

Pengakuan

Oleh ibu atau ayah

Oleh ayah dengan lebih dulu perkawinaan berdasar hkum agama27

Secara prinsip Tidak ada peluang tetapi masih dimungkinkan28

Secara prinsip tidak ada peluang, di adat Minahasa, Jawa dan Bali memungkinkan dengan persyaratan.

Pengesahan

Untuk anak alami dan anak sumbang

Dengan perkawinan ayah dan ibunya didahului dengan pengakuan

Tidak ada peluang

Pada beberapa masyarakat adat dimungkinkan untuk dilakukan pengesahan terhadap anak luar kawin, antara lain pada masyarakat adat Bali dan masyarakat yang belatar belakang agama Kristen yaitu Minahasa, Maluku, Ambon.

Kedudukan Hukum

Sebagai anak sah atau anak luar kawin yang diakui

Sebagai anak sah atau anak luar kawin yang diakui

Tetap sebagai anak luar kawin/anak zina yang tidak memiliki hubungan hukum dengan ayah biologis

Tetap sebagai anak luar kawin yang tidak memiliki hubungan hukum dengan ayah biologis. Kecuali, anak luar kawin tersebut diakui

dan/atau disahkan, maka ia dapat memiliki kedudukan layaknya anak sah, seperti pada masyarakat adat Bali, Minahasa, Ambon dan Maluku.

Konskuensi Hubungan hukum dengan ibu

Ada kewajiban alimentasi-ada hak waris dengan pengakuan lebih dulu

Ada kewajiban alimentasi-ada hak waris

Ada kewajiban alimentasi-nasab-wali nikah-warisan dari ibu dan keluarga ibu saja

Ada kewajiban alimentasi-hub.keperdataan -warisan dari ibu dan keluarga ibu saja, kecuali sudah mendapatkan pengakuan atau pengesahan pada masyarakat adat tertentu.

Konsekuensi Hubungan hukum dengan ayah biologis

Sudah jika ada pengakuan dan pengesahan

Sudah jika ada pengakuan dan pengesahan

Lebih banyak pendapat tidak ada meski ada putusan pengadilan agama untuk pengakuan anak29

Jika anak luar kawin telah disahkan maka memiliki hubungan hukum dengan ayah biologisnya dan menerima hak-hak keperdataan.

Berdasarkan tabel di atas dapat dipahami bahwa ketentuan tentang anak luar kawin paling berbeda adalah dari hukum adat. Pada prinsipnya, definisi yang diberikan berkenaan anak luar kawin hampir sama meskipun terdapat perbedaan redaksi. Dalam sistem hukum adat pun tidak mengenal perbedaan jenis anak luar kawin. Sedangkan di dalam hukum perdata dan hukum Islam mengenali beberapa jenis anak luar kawin. Pada sumber hukum perdata dikenal prinsip bahwa tidak dikenal hubungan hukum dengan ibu yang melahirkannya. Selain itu pada keempat sumber hukum di atas dapat dilihat bahwa pada prinsipnya, tidak dikenal juga hubungan hukum antara anak luar kawin dengan ayahnya.

Sehingga, pengakuan dari ibu menjadi prinsip akan timbulnya hubungan hukum dengan ibu yang melahirkannya hanya terdapat di dalam hukum perdata. Sedangkan pengakuan oleh ayah biologis dalam hukum Islam dan adat dapat dilakukan hanya bagi aliran atau masyarakat adat tertentu saja, yakni dalam hukum Islam ialah menurut mazhab Hanafi’i dan pada masyarakat adat Minahasa, Maluku dan Ambon menurut hukum adat. Pada prinsipnya, pengakuan oleh ibu yang melahirkan dikenal oleh hampir semua sumber hukum. Pengakuan dalam hukum perkawinan pasca putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 secara konsep dapat memiliki hubungan hukum dengan ayah biologisnya tetapi, masih memerlukan pembuktian—bahkan dalam praktiknya banyak yang terkendala sehingga tujuan putusan MK tersebut tidak terwujud. Sebagai bukti bahwa telah ada pengakuan, dapat dilihat pada akta anak luar kawin. Pengakuan dalam hukum perkawinan ini didahului setelah adanya perkawinan menurut hukum agama lebih dahulu.

Pengesahan anak tidak dimungkinkan menurut hukum Islam. Pengesahan dalam hukum perdata hanya dapat dilakukan untuk anak alami dan anak sumbang dengan persyaratan tertentu. Sedangkan dalam hukum adat, hanya dimungkinkan bagi masyarakat adat Bali, Minahasa, Maluku dan Ambon. Adapun persyaratan pengesahan dalam hukum perdata, dilakukan dengan perkawinan dari kedua orang tuanya, sedangkan untuk anak sumbang perkawinan orang tuanya harus mendapatkan dispensasi terlebih dahulu dari Presiden setelah mendengar putusan Mahkamah Agung. Pada masyarakat adat yang berlatar belakang agama Kristen pun memiliki persyaratan sendiri.

Sebagai konsekuensi karena adanya anak luar kawin menjadi anak sah, maka berimplikasi juga pada hubungan hukum dari anak luar kawin tersebut dengan orang tua yang mengesahkannya. Adapun implikasi hukum dari pengesahan tersebut antara lain: kewajiban alimentasi, perwalian, hak mewaris dan dalam hukum Islam dapat menjadi wali nikah bagi anaknya.

  • 3.3.    Perlindungan Hukum Bagi Anak Luar Kawin

Berangkat dari konsep perlindungan, bahwa pada hakikatnya perlindungan bagi masyarakat memiliki banyak bentuk. Salah satu dari bentuknya secara hukum adalah perlindungan hukum. Sebagaimana benturan kepentingan yang ada di dalam masyarakat harus dapat diminimalisir daengan instrument hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disingkat menjadi UUD NRI 1945), memiliki perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga, setiap produk hukum yang dihasilkan oleh lembaga legislatif harus mampu memberikan perlindungan hukum kepada seluruh masyarakat.

Perlindungan adalah pemberian jaminan atas keamanan, ketentraman, kesejahteraan dan kedamaian dari pelindung atas segala bahaya yang mengancam pihak yang dilindungi. Perlindungan hukum adalah hal perbuatan melindungi menurut hukum. Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum adalah suatu kondisi subyektif yang menyatakan hadirnya keharusan pada diri sejumlah subyek untuk segera memperoleh sejumlah sumberdaya guna kelangsungan eksistensi subyek hukum yang dijamin dan dilindungi oleh hukum, agar kekuatannya secara terorganisasi dalam proses pengambilan keputusan politik maupun ekonomi, khususnya pada distribusi sumber daya, baik pada peringkat individu maupun struktural. Maka perlindungan hukum adalah perbuatan melindungi hak individu atau sejumlah individu yang kurang atau tidak mampu atau tidak berdaya secara fisik dan mental, secara sosial, ekonomi dan politik, baik secara preventif maupun represif, berdasarkan hukum yang berlaku dalam upaya mewujudkan keadilan30.

Bila melihat pada asas pewarisan dalam KUH Perdata maka disana terdapat satu asas yang menyatakan syarat agar anak luar kawin dapat mewaris adalah anak luar kawin tersebut haruslah diakui secara sah. Sehingga, anak luar kawin baru akan mendapat

haknya, khususnya atas pembagian harta warisan milik orangtuanya bila ayah biologisnya mengakui secara yuridis anak luar kawin tersebut.31

Dalam konteks ini kelangsungan eksistensi subyek hukum yang dijamin dan dilindungi oleh hukum, yang dimakudkan adalah anak luar kawin. Wujud perlindungan hukum kepada anak luar kawin dapat dilihat dari sistem hukum yang diciptakan agar anak luar kawin memiliki hubungan hukum dengan orang tuanya sehingga kedudukan hukumnya menjadi jelas, hak-haknya jelas juga. Kejelasan kedudukan hukum ini harus menampakkan eksistensi anak luar kawin sebagai anak yang sejahtera baik lahir maupun batin.

Batu uji ada tidaknya perlindungan hukum digunakan konsep hukum yang digunakan oleh sumber hukum yang dirujukdalam penelitian ini, yaitu istilah atau sebutan yang digunakan, adanya hubungan hukum dengan orang tua yang melahirkan yang berakibat pada kedudukan hukm anakluar kawin. Dari sumber hukum yang dirujuk dalam penelitian ini secara umum atau dasar menampakkan adanya perlindungan hukum melalui sistem atau mekanisme pengakuan dan pengesahan anak luar kawin sehingga hak anak luar kawin dapat terwujud.

Istilah atau sebutan yang digunaka pada sumber hukum yang menjadi rujukan dalam artikel ini secara prinsip memiliki kesamaan, bahwa anak luar kawin adalah anak yang lahir di luar perkawinan. Hanya dalam hukum adat menggunakan istilah yang nampaknya mengandung sigma yang kurang bagus atau mendidik bagi sorang anak yang tidak berdosa. sebutan sebagai anak haram, anak jadah. Dalam kulur jawa mengandung arti yang kurang baik. Sumber rujukan dalam hukum islam menyebutkan bahwa anak yang lahir meski dari zina adalah fitri. Karna itu dalam Al-Quran dan Hadist tidak mengenal sebutan itu.

Dalam hukum perdata mekanisme pengakuan oleh ibu yang melahirkan seakan menampakkan cela dari sistem atau mekanisme perlindungan hukum di bidang hukum ini. Karena secara fakta ibu telah melahirkan anak tersebut kenapa mesti harus ada mekanisme pengakuan oleh ibu yang jelas melahirkan? Hemat penulis alasan konteks situasi dan kondisi yang melahirkan kaidah tersebut dalam hukum perdata tidak bisa sebagai pembenar konsep dan kaidah ini ada. Meski Indonesia tidak menggunakan hukum perdata ini.

Sedangkan pada UU Perkawinan di Indonesia, melihat pada rumusan lama pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menutup adanya hubungan hukum/keperdataan dengan ayah biologis, dengan demikian perlindungan hukum itu tidak ada. Dengan rumusan baru setelah put MK No. 46/PUU-VIII/2010 secara konsep/kaidah muncul hal baru, menampakan ada perlindungan hukum karena anak luar kawin kini memiliki hubungan hukum tidak saja dengan ibu yang melahirkan tetapi juga dengan ayah biologisnya dengan tetap harus ada bukti sebagai ayah biologis. Perlindungan hukum dalam hukum perkawinan (beserta peraturan-peraturan terkait) secara prinsip ada, melalui mekanisme adanya hubungan hukum dengan ibu yang melahirkannya, adanya mekanisme pengakuan oleh ayah biologisn serta adanya pengesahan oleh ibu dan ayah yang melahirkannya.

Secara umum perlindungan hukum terhadap anak luar kawin dimaknai adanya hubungan hukum dengan ayah biologis. Terhadap hal ini ada dua kategori. Kategori pertama adalah bila kondisi hubungan ayah biologis dengan ibu yang melahirkan tidak akan mengalami kendala sama-sama menyadari, sehingga tidak ada kesulitan ayah biologis bertanggungjawab maka pengakuan dari ayah biologis bisa terwujud. Kategori kedua bila hubungan ibu yang melahirkan dengan ayah biologis bermasalah maka pengakuan anak tidak akan terwujud seperti pada contoh peristiwa pengaju judicial review di atas. Di titik ini memang pengubahan putusan MK menjadi penting secara konsep bahwa dengan lahirnya anak luar kawin ada hubungan hukum dengan ayah biologisnya dengan tetap harus ada pembuktian bahwa seseorang sebagai ayah biologisnya.

Syarat pembuktian ini tidak keliru namun dalam pandangan Penulis hal ini setengah hati dan cara pembuktian ini sudah ditolak dalam praktek, tanda bahwa hubungan ibu yang melahirkan dengan ayah biologis bermasalah. Dalam kondisi seperti ini pengakuan anak luar kawin tidak terwujud. Sehingga perubahan rumusan pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan pasca putusan MK tersebut menjadi mandul. kendala-kendala masih demikian padat termasuk dalam UU Adminduk disebutkan bahwa untuk pengakuan anak luar kawin harus ada perkawinan secara agama dari yang akan mengakui (ayah biologis). Ini barikade kesekian kalinya. Dalam pandangan Penulis, pengakuan anak tidak perlu adanya perkawinan menurut hukum agama seperti yang di atur oleh Pasal 49 ayat (2) UU Adminduk ini, karena begitu banyak anak luar kawin lahir dalam kategori kedua di atas, hubungan ibu yang melahirkan dengan ayah biologisnya bermasalah atau terkendala. Meski demikian, seharusnya hal ini tidak boleh menghalangi pengakuan dari ayah biologis terhadap anak luar kawin tersebut.

Sekilas Pasal 43 ayat (2) UU Perkawinan memberikan nafas segar bagi anak luar kawin karena pasal tersebut disebutkan bahwa kedudukan anak luar kawin tersebut akan diatur lebih lanjut dalam suatu peraturan pemerintah. Memang benar Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan namun Permen tersebut tidak mengatur tentang kedudukan anak luar kawin, sehingga persoalan tentang kedudukan anak luar kawin pengaturannya masih terkatung-katung karena Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan hanya menyebutkan tentang hubungan keperdataannya saja sedangkan terhadap hak-haknya yang harus dilindungi sebagai seorang manusia tidak mendapat pengaturan yang jelas dan terperinci. Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 merupakan salah satu produk judicial review. Putusan ini sempat menjadi bahan perbincangan dan diskusi menarik di kalangan akademisi, praktisi dan masyarakat luas karena putusan tersebut mendobrak kebekuan hukum positif yang selama ini tidak memberikan akses pemenuhan hak keperdataan kepada anak luar kawin. Meski ini ditataran konsep saja. Batu uji telah berjalan perubahan rumusan pasal tersebut mengalami kendala dari pihak ayah biologis karena tidak bersedia untuk tes DNA. Jadi syarat pembuktian adanya hubungan daarah dengan ayah biologis tidak bisa terwujud jika ayah biologis / keluarga ayah biologis tidak bersedia untuk tes DNA.

Inilah yang dimaksud putusan MK tersebut baru di tataran konsep ditataran pelaksanaan mengalami kendala, tidak optimal tidak ada upaya pemaksa untuk tes DNA. Perdebatan di kalangan cendikiawan muslim32 baik dari kalangan praktisi (hakim) maupun akademisi, mengenai status dan hak keperdataan anak luar kawin masih menjadi faktor yang menjadikan putusan ini tidak berlaku secara prima. Hal ini disebabkan putusan ini dinilai berbenturan dengan norma hukum Islam yang secara tegas berupaya menjaga murninya nasab (hifz an-nasl) dan juga adanya pendapat yang menyatakan bahwa pengesahan anak luar kawin bukanlah kewenangan pengadilan agama. Perlindungan anak tidak melulu menjadi alibi dalam mengabaikan tujuan perlindungan terhadap nasab agar tidak ada destruksi terhadap koridor munakahat Islam.

Jadi dalam praktiknya, implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak berlaku secara optimal. Terhadap hal tersebut diperlukan adanya kategorisasi terhadap status dan hak keperdataan anak agar tidak ada benturan antara hukum Islam dan hak asasi manusia. Kategorisasi ini dapat berbentuk penjabaran jenis hak keperdataan melalui regulasi formal meliputi: nasab, jaminan waris, jaminan perwalian, dan jaminan kesejahteraan. Selain itu, penjabaran dapat dilakukan pada kategorisasi anak meliputi: anak sah dan anak dengan ayah biologis. Hal ini dilakukan agar laki-laki yang menghamili seorang perempuan tidak serta merta terbebas dari kewajiban terhadap anak akibat perbuatannya dan pemenuhan hak sipil anak terkait dengan pembuatan akta kelahiran dapat diakomodir oleh administrasi negara.

Sementara di sumber hukum adat sebagai sumber hukum yang masih banyak berlaku di Indonesia di lingkungan-lingungan adatnya, paling tidak memiliki peluang adanya pengakuan oleh ayah biologis apalagi pengesahan anak luar kawin, karena bergantung pada keyakinan kelompok masyarakatnya. Di lingkungan adat Bali dimungkinkan ada pengakuan anak luar kawin dengan membayar denda. Menurut penulis minimalnya prinsip perlindungan atas anak luar kawin di hukum adat masih bisa diatasi dengan menggunakan hukum formal dengan cara pengajuan ke pengadilan untuk pengakuan ataupun pengesahan anak. Hal ini memerlukan keberanian dari para pihak untuk keluar dari tatanan hukum adatnya yang tidak mudah.

Maka, akan menjadi suatu hal yang menggembirakan bila UU Perlindungan Anak atau hukum tentang perlindungan anak sama sekali tidak menyebut tentang anak luar kawin. Hal ini bisa dipahami bahwa hukum perlindungan anak tidak membedakan anak sah ataupun anak luar kawin. Penyikapan ini benar karena anak adalah anak tetap harus dipenuhi hak-haknya sebagai anak dari kedua orng tua yang menjadikannya hadir ke dunia.

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan hasil pemaparan yang telah diuraikan dalam artikel ini, maka dapat dilihat bahwa istilah atau penyebutan, dasar pengaturan, dan hubungan hukum sebagai dasar kedudukan hukum bagi anak luar kawin berbeda-beda. Ketentuan hukum perdata

hubungan hukum dengan ibu dengan melahirkan masih memerlukan tindakan pengakuan dari ibu yang melahirkannya. Sedangkan hubungan hukum anak luar kawin dengan ayah biologisnya pada semua sumber hukum prinsipnya tidak memiliki hubungan hukum atau hubungan keperdataan dengan anak luar kawinnya. Agar anak luar kawin memiliki hubungan hukum dengan ayah biologisnya, diperlukan tindakan hukum melalui pengakuan. Pada semua sumber-sumber hukum yang Penulis gunakan sebagai rujukan di atas memberikan peluang untuk dilakukan pengakuan maupun pengesahan. Meski demikian, perlindungan hukum yang diberikan masih belum maksimal. Perlindungan hukum menjadi kabur karena ketentuan dalam UU Adminduk yang mensyaratkan agar ayah dan ibunya harus melangsungkan perkawinan secara agama terlebih dulu untuk melakukan pengakuan maupun pengesahan.

Selain itu hambatan lain juga datang dari karena putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 yang memberikan syarat agar anak luar kawin memperoleh hubungan hukum dengan ayah biologisnya diperlukan pembuktian, yakni harus dapat dibuktikan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hemat penulis, pengadilan sebagai lembaga penegakan hukum sudah seharusnya memiliki kekuatan untuk memaksa, dalam hal ini untuk dilakukannya pembuktian sebagai syarat tersebut. Sehingga hambatan agar anak luar kawin memperoleh haknya untuk memiliki hubungan hukum dengan ayah biologisnya, karena bagaimanapun juga anak pada hakikatnya adalah anak bagi ayah biologisnya. Baik mereka yang dilahirkan di dalam perkawinan maupun di luar perkawinan, sehingga sudah seyogianya memiliki hubungan hukum dengan ayah biologisnya.

Daftar Pustaka

Buku

Harini, S. (2023). Pengantar Hukum Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.

Prakoso, A. (2016). Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

Jurnal

Amruzi, F. A. (2017). Hak dan Status Anak Syubhat dalam Perkawinan, Syariah: Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran, 17 (1), 1-15. http://dx.doi.org/10.18592/sy.v17i1.1539.

Aryanto, A. D. (2015). Perlindungan Hukum Anak Luar Nikah di Indonesia, Bilancia, 9 (2). 122-134. https://doi.org/10.24239/blc.v10i1.283.

Gifriana, E. (2018). Li’an Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif, Syakhisia: Jurnal       Hukum       Perdata       Islam,       19       (2),       245-276.

https://doi.org/10.37035/syakhsia.v19i2.3311.

Hamiyuddin. (2018). Kedudukan Anak di Luar Nikah di Indonesia. Jurnal Musawa, 10 (1), 159-190. https://doi.org/10.24239/msw.v10i1.391

Kuspraningrum, E. (2006). Kedudukan dan Perlindungan Anak Luar Kawin. Risalah Hukum,             2             (1),             25-32.             https://e-

journal.fh.unmul.ac.id/index.php/risalah/article/view/124.

Mangiri, C. M. (2016). Keudukan Anak Luar Kawin Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Kanonik. Lex Crimen, V (7),  27-34.

https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/13495/130 78.

Mawardi. (2020). Konsep Perwalian Pernikahan Anak Zina Dalam Tatanan Hukum Islam     dan     Undang-Undang,     Qiyas,     5     (2),     134-139,

http://dx.doi.org/10.29300/qys.v5i2.3808.

Nurhayati, B. R. (2017). Status Anak Luar Kawin Dalam Hukum Adat Indonesia. Jurnal Komunikasi Hukum, 3 (2), 92-100. https://doi.org/10.23887/jkh.v3i2.11827

Poespasari, E. D. (2014). Kedudukan Anak Luar Kawin dalam Pewarisan Ditinjau dari Sistem Hukum Kekerabatan Adat. Perspektif, 19   (3),   212-222.

https://media.neliti.com/media/publications/157788-ID-kedudukan-anak-luar-kawin-dalam-pewarisa.pdf

Putra, L. P. S. (2015). Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Hukum Adat dan Yurisprudensi Mahkamah Agung, Jurnal Repertorium, 3,  133-142.

https://media.neliti.com/media/publications/213053-none.pdf.

Rahajaan, J. dan Niapele, S. (2021). Dinamika Hukum Perlindungan Anak Luar Nikah di Indonesia. Public Policy: Jurnal Aplikasi Kebijakan Publik dan Bisnis, 2 (2), 258-277. https://doi.org/10.51135/PublicPolicy.v2.i2.p258-277

Sonata, D. L. (2014). Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris: karakteristik Khas dari Metode Meneliti Hukum, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, 8 (1), 16-35. https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v8no1.283.

Sukerti, N. N., Purwanti, N. P., dan Laksana, I. G. N. D. (2022). Hak Anak Luar Kawin Terhadap Harta Ayahnya Pada Masyarakat Patrilineal di Bali (Studi di Kota Denpasar). Jurnal Magister Hukum   Udayana,   11   (4),   934-952.

https://doi:10.24843/JMHU.2022.v11.i04.p16

Wiranty, T. K. N., Nasution, E. R., dan Pratiwi, I. (2020). Kedudukan Anak Yang Lahir di Luar Pernikahan di Tinjau dari Kompilasi Hukum Islam. De Legalata Jurnal Ilmu Hukum, 5 (2), 208-215. https://doi.org/10.30596/dll.v5i2.3576

Online/World Wide Webs

Mognusa, P. C. L. (2022). Analisis Terhadap Pengesahan Anak Di Luar Kawin Sebagai Anak Sah (Studi Penetapan No: 738/Pdt.P/2019/PN.Ptk). Disadur dari https://fh.unram.ac.id/wp-content/uploads/2022/01/Paulina-Christina-Livianua-Moginusa-D1A017247...pdf diakses 6 Agustus 2023.

Islami, A. I. (2021). Dialektika Status dan Hak Keperdataan Anak Luar Kawin. Disadur dari https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/dialektika-status-dan-hak-keperdataan-anak-luar-kawin diakses 10 Agustus 2023.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undangan Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Tahun 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Jurnal Kertha Patrika, Vol. 45, No. 3 Desember 2023, h. 354-373