Keterlibatan Mediator Non Hakim Dalam Menangkal Perceraian Di Pengadilan Agama Banyuwangi
on
Vol. 45 No. 3, Desember 2023
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthapatrika
E-ISSN 2579 9487
P-ISSN 0215 899X
Keterlibatan Mediator Non Hakim Dalam Menangkal Perceraian Di Pengadilan Agama Banyuwangi
M. Irwan Zamroni Ali1
1Pascasarjana, UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk : 24 Januari 2023
Diterima : 12 Desember 2023
Terbit : 30 Desember 2023
Keywords :
Divorce, Banyuwangi Religious Court, Mediation.
Kata kunci:
Perceraian, Pengadilan Agama Banyuwangi, Mediasi.
Corresponding Author:
M. Irwan Zamroni Ali, E-mail: [email protected]
DOI :
10.24843/KP.2023.v45.i03.p04
Abstract
The aim of this study examines the extent of mediation role carried out by non-judge mediators in suppressing the divorce rate that occurs at the Banyuwangi Religious Court. This research is empirical legal research that uses qualitative research methods with a case approach. The research location was conducted at the Banyuwangi Religious Court on Jl. Jaksa Agung Suprapto No. 52, Penganjuran, Banyuwangi District, Banyuwangi Regency. The data were obtained by using observation, interview, and documentation techniques. The validity of the data was carried out using a source triangulation technique, where the researcher guided several lecturers and related parties such as non-judge mediators and the chairman of the Banyuwangi Religious Court. The results of this study found that the divorce rate in Banyuwangi Regency was very high which was influenced by economic factors, the occurrence of continuous disputes or quarrels, and the death of one of the parties. In addition, the role of non-judge mediators in mediating to reduce the number of divorce cases is less influential. This is evidenced by the results of the percentage of successful mediation in 2019 which is still very low. On the other hand, the parties who wish to file for divorce have previously coordinated so that one of the parties is not present in the trial process so that the divorce process will be faster.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengulas sejauh mana keterlibatan mediasi yang dilakukan oleh mediator non hakim pada kasus perceraian di Pengadilan Agama Banyuwangi. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan kasus (case approach). Lokasi penelitian dilakukan di Pengadilan Agama Banyuwangi di Jl. Jaksa Agung Suprapto No.52, Penganjuran, Kecamatan. Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi. Data diperoleh dengan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Keabsahan data dilakukan dengan teknik triangulasi sumber, di mana peneliti melakukan bimbingan dengan beberapa dosen dan pihak yang bersangkutan seperti mediator non hakim dan ketua Pengadilan Agama Banyuwangi. Hasil penelitian ini menemukan bahwa angka perceraian di Kabupaten Banyuwangi sangatlah tinggi yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi, terjadinya perselisihan atau pertengkaran secara terus menerus dan meninggalnya
salah satu pihak. Selain itu, peran mediator non hakim dalam melakukan mediasi untuk menekan angka kasus perceraian kurang berpengaruh. Hal ini dibuktikan dengan hasil persentase keberhasilan mediasi pada tahun 2019 yang masih sangat rendah. Di sisi lain, para pihak yang ingin mengajukan perceraian sebelumnya telah melakukan koordinasi agar salah satu pihak untuk tidak hadir dalam proses persidangan, agar proses perceraian lebih cepat.
Manusia merupakan makhluk sosial, artinya manusia memerlukan manusia yang lain untuk menjalani kehidupannya, inilah yang disebut dengan interaksi sosial.1 Dari proses interaksi sosial tersebut, munculkan suatu masalah atau konflik. Konflik yang ditimbulkan sangat beranekaragam mulai konflik antar golongan atau bahkan konflik yang cakupannya kecil seperti konflik rumah tangga.2 Pada dasarnya, konflik dapat digolongkan menjadi dua di antaranya; pertama, konflik publik (hukum pidana), di mana konflik yang berkaitan langsung dengan kepentingan umum. Kedua, konflik privat yang meliputi wilayah hukum privat, seperti perceraian, waris, hukum perjanjian dan sebagainya.3 Oleh karena itu, konflik privat (hukum perdata) hanya berkaitan dengan kepentingan perseorangan (privat), bukan dengan kepentingan umum (publik).4
Berkaitan dengan konflik yang terjadi di rumah tangga, umumnya masuk pada golongan konflik perdata, meski tidak menutup kemungkinan terjadi tindakan pidana dalam suatu rumah tangga. Konflik rumah tangga perlu untuk segera diatasi agar tidak semakin membesar hingga dapat berujung perceraian.5 Untuk menyelesaikan konflik rumah tangga, dalam perkembangannya dapat diselesaikan di lingkungan peradilan/litigasi, atau di luar pengadilan/non litigasi.6
Misalnya konflik perceraian dalam rumah tangga. Pada kasus ini, mulanya para pihak perlu terlebih dahulu melakukan upaya runding untuk menemukan solusi atau yang dikenal dengan mediasi. Dalam kasus perceraian di pengadilan, sebelum dilakukan putusan perceraian oleh pengadilan, hakim terlebih dahulu akan melakukan upaya perdamaian agar tidak terjadi perceraian, dengan melakukan mediasi antar kedua belah pihak, salah satunya dengan menjelaskan akibat yang ditimbulkan dari suatu perceraian.7
Selain dikenal pada bagian litigasi, istilah mediasi juga terdapat pada non litigasi. Pada dasarnya praktik mediasi sendiri telah diakui dalam tata hukum di Indonesia. Seperti yang terdapat pada UU No. 13 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, tepatnya pada Pasal 1 ayat (10) disebutkan, bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan bisa dilakukan berdasarkan atas persetujuan dari kedua belah pihak melalui mekanisme mediasi, negosiasi, konsultasi, penilaian ahli dan konsiliasi.
Dalam kasus perkara perceraian di pengadilan, para hakim pada tiap persidangan terlebih dahulu melakukan upaya mediasi dengan memberikan nasihat-nasihat kecil yang disebut dengan perdamaian cuma-cuma. Hal ini dilakukan guna meminimalisir angka terjadinya perceraian. Untuk itu, mediasi tidak hanya dilakukan di pengadilan pada tingkat pertama saja, melainkan juga di tingkat banding, bahkan juga tingkat kasasi, selama belum dikeluarkan putusan hakim, maka mediasi dapat terus diupayakan.8
Upaya mediasi pada kasus perdata di Pengadilan Agama pada dasarnya merupakan amanat dari Perma No. 1 Tahun 2016 Pasal 4 ayat (1) bahwasanya segala sengketa perdata yang masuk ke lembaga pengadilan perlu untuk paling melakukan langkah mediasi. Oleh karena itu, putusan dapat menjadi batal demi hukum, jika putusan tersebut tidak mengupayakan tindakan mediasi terlebih dahulu. Maka dari itu, proses mediasi wajib dilakukan dalam proses peradilan.9
Perlu diketahui bahwasanya bagi umat Islam yang ingin melakukan perceraian, dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama, sedangkan untuk non-Islam mengajukan ke Pengadilan Negeri.10 Khusus bagi umat Muslim, berlaku dualisme
hukum, yaitu hukum Islam (fikih) dan hukum positif (peraturan perundang-udangan), seperti UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No. 9 tahun 1975 tentang Pedoman Pelaksanaan UU Perkawinan di Indonesia, dan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang KHI di Indonesia. Menurut hukum Islam, suami dapat menceraikan istrinya secara sah hanya dengan mengucapkan sighat talak di hadapan istrinya, sedangkan menurut perundang-undangan, talak harus dilakukan di hadapan pengadilan.11
Melalui mediasi, para pihak dapat menyelesaikan persoalannya secara lebih cepat, efektif dan tepat. Para pihak juga memiliki keleluasaan untuk mencari jalan keluar yang menurut kedua belah pihak, lebih memuaskan dan adil. Tidak hanya itu, adanya mediasi juga dapat mengoptimalkan kinerja lembaga yudikatif (peradilan) dalam menyelesaikan sengketa.12 Mediasi juga dapat diartikan sebagai upaya penyelesaian masalah dengan mencari solusi atau jalan keluar yang disetujui oleh para pihak yang bersengketa atau berkonflik dengan bantuan seorang mediator, baik mediator hakim atau juga mediator non hakim.13
Istilah mediasi kerap kali oleh orang awam disamakan dengan meditasi yang artinya bersemedi. Tentunya keduanya mempunyai makna yang berbeda. karena mediasi adalah penyelesaian sengketa sosial dan legal, sedangkan meditasi adalah suatu pekerjaan yang bertujuan untuk mencari ketenangan batin yang bersifat spiritual.14 Mediator merupakan pihak yang posisinya berada di tengah-tengah, artinya tidak memihak siapapun dalam upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi.15 Mediator menggelar pertemuan dengan para pihak yang bersengketa untuk bersama-sama membahas jalan keluar atau solusi yang sama-sama menguntungkan dan berkeadilan serta diterima oleh para pihak. Dengan itu, mediator dituntut untuk memiliki keahlian khusus dalam menciptakan kompromi antar kedua belah pihak agar menemukan solusi terbaik.16
Jika dilihat pada rumusan Perma No. 1 Tahun 2016, Pasal 1 ayat (2) memberikan pengertian tentang mediator. Dalam Perma tersebut, mediator adalah hakim bersertifikat sebagai mediator yang menjadi pihak netral dalam proses menyelesaikan
perkara tanpa memutus atau memaksa sebuah penyelesaian. Maka, jika dikaji dalam isi rumusan pada pasal di atas, pihak luar selain hakim dapat juga menjadi seorang mediator selama mempunyai sertifikat sebagai mediator yang diperoleh melalui pelatihan sertifikasi mediator Mahkamah Agung (MA). Sertifikat tersebut juga dapat diperoleh melalui pelatihan mediator yang dilakukan oleh lembaga yang mendapat izin dari MA. Lokus penelitian ini berada di wilayah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Indonesia. Secara geografis, angka perceraian Provinsi Jawa Timur mencapai urutan paling tinggi dari pada Provinsi Jawa Tengah dan Barat, khususnya pada tahun 2019. Tingginya angka perceraian tersebut, tentu diakibatkan oleh banyak faktor, seperti faktor ekonomi. Faktor ekonomi sendiri menjadi faktor utama terjadinya perceraian di beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur. Salah satunya di Kabupaten Banyuwangi yang menjadi area penelitian saat ini. Dari pra penelitian yang dilakukan oleh penulis, ditemukan bahwa di tahun 2019, Kabupaten Banyuwangi mencatat sekitar 7000 kasus perceraian, sehingga jika dilihat dari nilai rata-rata maka ditemukan kurang lebih ada 600 janda perbulannya akibat perceraian tersebut.
Tingginya angka perceraian khususnya di Kabupaten Banyuwangi tidak sertamerta disebabkan oleh hal ekonomi semata, tetapi ada cukup banyak faktor yang juga tidak kalah berpengaruh. Sebut saja misalnya faktor Kekerasan Dalam Rumah Tanggah (KDRT), nikah siri di luar pengetahuan istri, poligami dan bahkan poliandri juga menjadi penyebab terjadinya perceraian dalam rumah tangga. Pada fenomena perceraian yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2019 tersebut, tentu sebelumnya telah diupayakan untuk melakukan mediasi terlebih dahulu, guna mencegah terjadinya perceraian. Namun demikian, setelah peneliti melihat daftar laporan mediasi di Pengadilan Agama Banyuwangi tahun 2019. Dari 658 perkara cerai yang terdiri dari 291 cerai talak dan 367 cerai gugat, hanya ada 6 perkara yang berhasil dimediasi.
Berangkat dari latar belakang di atas, maka penelitian ini setidaknya memiliki dua rumusan masalah yang akan diulas pada artikel ini. Pertama, Bagaimana problem perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Banyuwangi? Kedua, Bagaimana dampak mediator non hakim di Pengadilan Agama Banyuwangi pada kasus perceraian.
Penelitian yang menganalisis tentang perceraian terbilang cukup banyak, namun penelitian yang mengulas tentang peran mediator dalam menekan angka perceraian, terlebih oleh mediator non hakim masih sangat sedikit, ditambah lokasi penelitian yang dilakukan di Pengadilan Agama Banyuwangi, yaitu daerah dengan angka perceraian no 4 tertinggi di Jawa Timur. Berikut penelitian terdahulu yang menjadi pembeda dengan penelitian ini, antara lain:
-
1. Peran Mediator Dalam Perkara Perceraian (Studi Solusi Konflik Rumah Tangga Di Pengadilan Agama Jember), ditulis oleh Beni Ashari.17 Dalam artikel tersebut,
hanya menjelaskan tentang makna mediasi menurut mediator dan upaya apa yang dilakukan dalam menghambat perceraian, termasuk faktor yang mendukung dan menghambatnya. Berbeda dengan penulis yang fokus pada peran mediator non hakimnya.
-
2. Artikel berjudul Model Mediasi Dalam Meningkatkan Keberhasilan Penyelesaian Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama, ditulis oleh Hartawati, A., Beddu, S., & Susanti, E.18 Penelitian ini hanya fokus untuk menganalisis model mediasi yang memiliki tingkat keberhasilan paling tinggi dalam menyelesaikan perkara perceraian.
Fenomena ini bagi penulis kemudian menjadi hal yang cukup menarik, unik dan relevan untuk dilakukan sebuah penelitian dan analisis yang mendalam tentang bagaimana praktik mediasi yang dilakukan oleh Pengadilan Agama khususnya bagi para mediator non hakim pada kasus perceraian. Tidak hanya itu, penelitian ini juga akan mengkaji tentang dampak dari mediator non hakim dalam kasus perceraian di Kabupaten Banyuwangi.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris, yaitu penelitian hukum yang menyelidiki dan menganalisis perilaku hukum seseorang atau masyarakat dalam kaitannya dengan hukum dan menggunakan sumber data primer.19 Pendekatan penelitian yang dipakai adalah pendekatan (case approach), yaitu metode yang digunakan dengan meninjau kasus-kasus yang terkait dengan masalah yang dihadapi, yang telah menjadi keputusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap.20 Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama (PA) Banyuwangi. Adapun yang menjadi subjek penelitian ini, meliputi Ketua PA, Panitera, 2 (dua) Mediator non Hakim. Pengadilan Agama Banyuwangi menjadi tempat penelitian karena tingginya angka perceraian di Kabupaten Banyuwangi, ditambah juga rendahnya keberhasilan praktik mediasi di Pengadilan Agama Banyuwangi. Adapun data dikumpulkan dengan teknik observasi dengan mengikuti proses mediasi di ruang mediasi di Pengadilan Agama Banyuwangi. Termasuk juga dengan melakukan wawancara dan dokumentasi.
Berdirinya Pengadilan Agama Banyuwangi kurang lebih sudah ada sejak 1442 Masehi. Kantor pertamanya berada di sebelah utara Masjid Agung Baiturrahman, dekatnya Kantor Kenaiban. Hingga sekarang, Pengadilan Agama Banyuwangi berada di Jl. Jaksa Agung Suprapto No. 52. Setidaknya terdapat 24 kecamatan yang menjadi wilayah yuridiksinya, dengan total jumlah penduduk berdasarkan hasil sensus Tahun 2020 yaitu 1.708.114 jiwa. Besarnya jumlah penduduk di Kabupaten Banyuwangi menjadi sumber kekuatan tersendiri bagi kota yang dijuluki dengan Kota Gandrung ini. Sayangnya, jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) yang begitu tinggi ini, masih dihantui dengan tingginya angka perceraian. Hal ini sebagaimana laporan Pengadilan Agama Jember terkait jumlah perkara cerai tahun 2018, 2019 dan 2020.
Tabel. 1
Jumlah Perkara Masuk Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Banyuwangi 2018202021
No |
Tahun |
Bulan |
Cerai Talak |
Cerai Gugat |
Jumlah |
1. |
2018 |
Januari-Desember |
2.054 |
4.175 |
6.229 |
2. |
2019 |
Januari-Desember |
2.085 |
4.505 |
6.590 |
3. |
2020 |
Januari-Agustus |
1.021 |
2.366 |
3.387 |
Dari data di atas setidaknya telah memberikan gambaran, bahwasanya angka perceraian di Pengadilan Agama Banyuwangi sangatlah tinggi. Hampir setiap tahunya angka perceraian berada di atas angka 5.000 kasus. Selain itu, fakta menunjukkan angka cerai gugat lebih tinggi dari pada angka cerai talak. Artinya, lebih banyak pihak istri yang menggugat cerai suaminya, daripada seorang suami yang mentalak istrinya.
Dalam agama, perceraian selalu menjadi pilihan akhir dari adanya konflik yang terjadi di rumah tangga. Namun, sekarang tidaklah demikian, perceraian dengan sangat mudahnya dan dilakukan karena hal-hal yang sepele, meski tidak semua kasus seperti itu. Tetapi jika melihat kembali tingginya angka perceraian di atas, ditambah tingginya kasus cerai gugat, telah cukup menunjukkan betapa minimnya kuantitas dan kualitas kepuasan istri terhadap suaminya.
Cerai merupakan suatu peristiwa yang dapat terjadi bagi mereka yang telah menjalin hubungan dalam sebuah rumah tangga. Tindakan cerai, baik cerai talak ataupun cerai gugat, disebut sah jika berdasarkan hasil keputusan hakim dalam majelis persidangan.22 Sedangkan pada literatur fiqih, perceraian dikenal dengan sebutan ‘talak’ yang artinya membatalkan perjanjian atau ‘furqah’ yang memiliki makna bercerai. Dua istilah ini biasa dipakai oleh para ahli fiqih untuk menjelaskan terkait bercerainya suami istri. Untuk lebih luasnya, dalam hukum Islam, talak memiliki beberapa makna di antaranya; hilangnya ikatan pernikahan atau berkurangnya ikatan pernikahan karena adanya perkataan tertentu; lepasnya hubungan rumah tangga dan ikatan pernikahan; melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan kata talak atau kata yang seimbang dengannya.23
Dari sekian banyak perkara cerai yang diajukan ke Pengadilan Agama Banyuwangi, rupanya tidak semua perkara yang berhasil dilakukan upaya mediasi. Gagalnya upaya mediasi, tentu disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhinya. Hal ini tentu sangat mempengaruhi terhadap jumlah praktik mediasi yang berhasil dilakukan. Dengan itu, untuk memudahkan pemahaman para pembaca, peneliti melampirkan data perceraian dari berbagai macam perkara yang berhasil dilakukan mediasi, termasuk juga yang gagal khususnya pada tahun 2019.
Tabel. 2
Praktik Mediasi Perkara Perceraian Pengadilan Agama Banyuwangi Tahun 201924
No |
Perkara |
Jumlah Mediasi |
Tidak Berhasil |
Sebagian |
Berhasil |
1 |
Cerai Gugat |
367 |
359 |
6 |
2 |
2 |
Cerai Talak |
291 |
222 |
65 |
4 |
3 |
Waris |
20 |
18 |
- |
2 |
5 |
Verzet |
14 |
11 |
2 |
1 |
6 |
Harta Bersama |
9 |
8 |
- |
1 |
7 |
Poligami |
8 |
8 |
- |
- |
8 |
Lain-lain |
8 |
4 |
1 |
3 |
Total |
717 |
630 |
74 |
13 |
Data di atas ini, telah menunjukkan sejauh mana angka mediasi yang berhasil, berhasil sebagian, dan tidak berhasil. Angka tidak berhasil menggambarkan angka yang relatif tinggi daripada bagian yang lain. Demikian ini tentu menjadi problem tersendiri bagi
para mediator dalam melakukan upaya mediasi. Perdamaian melalui mediasi sangat sulit dilakukan jika para pihak yang berperkara sangat kukuh terhadap pendiriannya. Tingginya kasus perceraian di Banyuwangi, tentu menjadi perhatian serius bagi pemerintah di Kabupaten Banyuwangi, terlebih Pengadilan Agama (PA) Banyuwangi yang menjadi tempat mencari keadilan bagi para pihak yang ingin melakukan perceraian.
Pilihan bercerai bagi pasangan suami istri, adalah alternatif terakhir yang menjadi opsi dalam menyelesaikan masalah rumah tangga yang tidak dapat lagi diselesaikan secara baik. Karena itu, peristiwa cerai bukan tujuan dari pernikahan, melainkan suatu bencana yang menimpa pasangan rumah tangga.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian, khususnya di Kabupaten Banyuwangi.
-
a. Faktor Ekonomi
Dari data yang keluarkan oleh Pengadilan Agama Banyuwangi, khususnya pada tahun 2018, 2019 dan 2020, data menunjukkan bahwa faktor utama terjadinya perceraian adalah faktor ekonomi. Hal ini dapat dilihat pada tahun 2018 terdapat 1.825 kasus, tahun 2019 ada 2.498 kasus dan tahun 2020 ada 2.433 kasus perceraian yang diakibatkan oleh faktor ekonomi. Data tersebut menunjukkan betapa besar pengaruh ekonomi dalam keutuhan suatu rumah tangga. Hal ini karena ekonomi juga menjadi tolak ukur bisa tidaknya suatu keluarga menjalankan fungsi sosial di masyarakat.25
Keadaan ekonomi memberikan gambaran kehidupan seseorang dalam bertahan hidup dengan kondisi ekonomi yang dimilikinya. Sebuah pasangan suami istri dapat memenuhi kebutuhan hidupnya jika memiliki sumber penghasilan yang cukup. Baik dalam kehidupan tradisional atau modern, seorang suami tetap menjadi penopang hidup keluarganya, sehingga seorang suami wajib bekerja guna menghidupi anak dan istrinya di rumah.26
Fakta serupa disampaikan oleh Humas Pengadilan Agama Banyuwangi, Wiyanto pada tanggal 4 Februari 2020, bahwasanya faktor ekonomi menjadi faktor utama penyebab runtuhnya suatu rumah tangga. Menurutnya, faktor ekonomi yang dimaksud dalam penyebab terjadinya kasus perceraian, adalah terkait nafkah uang untuk belanja sehari-harinya.
“Ekonomi itu bukan minta barang mewah, melainkan pemenuhan kebutuhan sehari-hari,” ujar Wiyanto.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Pengadilan Agama Banyuwangi, Akhmad Bisri Mustakim saat diwawancarai oleh penulis pada 14 September 2020. Menurutnya, faktor ekonomi menjadi faktor utama dari penyebab terjadinya suatu perceraian, seperti kurangnya nafkah dari suami akibat dari pengangguran atau juga karena kurangnya rasa cukup dari istrinya itu sendiri. Untuk lebih jelasnya, berikut pernyataannya:
“Memang bisa dikatakan tahun 2019 yang lalu saya baru saja masuk atau menjabat menjadi ketua di sini (Pengadilan Agama Banyuwangi), menurut data perkara perceraian yang diakibatkan ekonomi memang sedang marak dan meningkat dibandingkan dengan 2 (dua) tahun sebelumnya (2017-2018). Kebanyakan faktor suami kurang memberi nafkah akibat pengangguran, dan kurang cukup saja menurut istrinya.”
Keadaan ekonomi masyarakat Banyuwangi dengan penghasilan di bawah rata-rata masih terbilang cukup tinggi. Hal demikian terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga mereka hanya bekerja sebagai seorang petani, buruh pabrik dan pedagang. Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan kurangnya kemampuan memahami atas dampak yang diterima akibat terjadinya perceraian.
-
b. Terjadinya pertengkaran secara terus menerus.
Perselisihan atau pertengkaran secara terus menerus menempati urutan ke-2 yang menjadi faktor utama pada kasus terjadinya fenomena cerai di Kabupaten Banyuwangi. Di tahun 2018 terdapat 1.686 kasus, di tahun 2019 semakin meningkat dengan 1.939 kasus, hingga kemudian di tahun 2020 ada 1.066 perkara cerai yang terjadi lantaran bertengkar yang tak kunjung berakhir.
Pertengkaran yang terjadi disebabkan oleh berbagai macam hal. Misalnya kesalahpahaman atau berbeda pendapat. Bisa juga kebutuhan ekonomi yang tidak tercukupi sehingga terjadi perselingkuhan atau poligami, sehingga menimbulkan perselisihan yang tiada habisnya.
-
c. Meninggalkan salah satu pihak.
Adapun yang dimaksud meninggalkan salah satu pihak yaitu misalnya pihak suami atau istri bekerja hingga ke luar Indonesia dengan rentan waktu relatif lama, akibatnya muncul kesalahpahaman, seperti pihak suami/istri yang merantau ke luar negeri, diduga telah selingkuh dan semacamnya, sehingga memunculkan pertengkaran antara suami dan istri. Demikian penjelasan ini dari Akhmad Bisri Mustakim Ketua Pengadilan Agama Banyuwangi ketika diwawancarai oleh penulis pada 14 September 2020.
“Pihak suami atau istri merantau hingga ke luar negeri untuk menafkahi atau memenuhi kebutuhan rumah tangganya, namun rentan waktu yang lama,
ditambah kurangnya kepercayaan antara suami dan istri yang tengah melakukan hubungan jarak jauh, timbul dugaan yang tidak enak, sehingga menimbulkan perselisihan yang berujung perceraian,” ujar Akhmad Bisri Mustakim
Meski demikian, majelis hakim tetap melakukan upaya sebaik mungkin agar tidak terjadi perceraian, misalnya dengan memberikan nasihat-nasihat kepada para pihak.
Untuk memperkuat hasil penelitian, penulis juga mewawancarai Panitera Pengadilan Agama Banyuwangi, Subandi pada 21 September 2020. Menurutnya, mulanya tingginya kasus perceraian khususnya pada tahun 2017-2018 disebabkan oleh salah satu pihak, baik pihak istri atau suami yang meninggalkan salah satu pihak. Hal demikian terjadi karena salah satu pihak tengah menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri dalam jangka waktu yang sangat lama tanpa memberikan kabar ke keluarganya. Menurutnya, faktor ekonomi menjadi tinggi pada tahun 2019, mulai dari beberapa kasus seperti pihak suami yang pengangguran dan malas bekerja, sehingga nafkah keluarga tidak terpenuhi atau sudah bekerja tetapi gaji atau hasil yang diperoleh tidak mencukupi keluarganya. Untuk lebih jelasnya, peneliti lampirkan tabel tentang faktor penyebab kasus perceraian di Banyuwangi.
Tabel. 3
Faktor Penyebab Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Banyuwangi27
No |
Tahun |
Meninggalkan salah satu pihak |
Perselisihan & pertengkaran terus menerus |
Ekonomi |
1 |
2018 |
2.009 |
1.686 |
1.825 |
2 |
2019 |
1.557 |
1.939 |
2.498 |
3 |
2020 |
715 |
1.066 |
2.433 |
Data ini menunjukkan betapa besarnya angka perceraian dan bervariasinya penyebab perceraian. Semua kasus perceraian di atas, barang tentu telah diupayakan mediasi terlebih dahulu, sebagaimana telah menjadi kewajiban dalam alur proses penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Agama pada khususnya. Di Pengadilan Agama Banyuwangi, tidak semua kasus perceraian dapat diupayakan semaksimal mungkin untuk diselesaikan dengan proses mediasi, pengajuan cerai yang disebabkan faktor perselisihan dan salah paham, merupakan faktor yang cenderung berhasil dimediasi. Tetapi jika kasus cerai yang masuk disebabkan oleh faktor ekonomi, perselingkuhan dan meninggalkan salah satu pihak, kemungkinan untuk berhasil dimediasi sangatlah kecil. Selain itu, perlunya kehadiran kedua belah pihak pada saat mediasi juga menjadi penentu besar kecil peluang suksesnya mediasi.
-
27 Laporan Pengadilan Agama Banyuwangi tentang Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian Tahun 2018, 2019, 2020
Dalam agama Islam istilah mediasi dikenal dengan istilah Ishlah atau Sulhu yang artinya perbaikan.28 Secara istilah adalah kesepakatan untuk mengakhiri sengketa secara damai. Karena jika terlarut berkepanjangan akan menyebabkan kehancuran, sehingga ishlah mencegah hal yang menyebabkan kehancuran dan menghilangkan hal yang membangkitkan fitnah. Pengadilan Agama Banyuwangi sebagai tempat mencari keadilan bagi masyarakat Banyuwangi. Untuk melayani para pihak yang akan melakukan mediasi, menyediakan sejumlah mediator non hakim, antara lain; Fathurrohman, Miftahul Janah, S.H.I. Mohammad Hoirul Anam, S.H.I.,M.H., Juhairina Izzatul Lailiyah, S.H.I dan beberapa mediator non hakim lainnya.
Koordinator mediator non hakim Pengadilan Agama Banyuwangi, Hoirul Anam menjelaskan tentang mediasi sebagai berikut:
“Mediasi merupakan upaya untuk mendamaikan atau proses musyawarah yang dilakukan oleh orang ketiga atau biasa disebut mediator yang berperan sebagai pihak netral terhadap para pihak yang berperkara yaitu pemohon dan termohon”.
Ungkapan tersebut diperkuat dan sesuai dengan Perma No 1 Tahun 2016 sebagaimana berikut:
Pasal 1 Ayat (1)
“Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh Mediator.”
Pasal 1 Ayat (2)
“Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki sertifikat mediator sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.”
Istilah netral bukan hanya identik dari terlepasnya kepentingan para mediator dalam melakukan mediasi dengan para pihak, melainkan juga memberikan pelayanan yang adil dan sama rata antar kedua belah pihak, misalnya dengan menunjukkan sikap tidak memihak saat proses mediasi berlangsung. Sehingga para pihak merasa bahwa mereka telah dilayani secara adil. Dalam Perma tersebut, mediasi dijelaskan bahwa seorang mediator harus memiliki sertifikat mediator yang didapatkan dari hasil pelatihan mediator yang dilakukan oleh instansi yang dipercayai oleh Mahkamah Agung. Sertifikat mediator menjadi bukti bahwa orang tersebut mempunyai kemampuan dalam memimpin forum mediasi. Seperti yang diungkapkan oleh Hoirul Anam:
“Syarat mutlak menjadi seorang mediator yaitu harus bersertifikat resmi yang terakreditasi dari Mahkamah Agung, untuk mendapatkan sertifikat mediator tersebut, kami terlebih dahulu mengikuti pelatihan yang di dalamnya terdapat ilmu-ilmu untuk lebih mengembangkan potensi diri atau soft skill. Karena pada dasarnya, semua orang memiliki keahlian untuk musyawarah, tetapi tidak semua orang memiliki keahlian musyawarah dengan baik dan tidak semua orang juga yang memiliki sertifikat/legalitas sebagai seorang mediator”.
Mediasi dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam, yakni mediasi di dalam pengadilan dan mediasi di luar pengadilan. Mediasi di dalam pengadilan memiliki landasan hukum yang sangat kuat, yaitu dengan adanya Perma No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Dari Perma tersebut, mediasi menjadi bagian dari proses beracara di pengadilan. Selain dalam Perma No. 1 Tahun 2016, dasar hukum mediasi juga terdapat dalam HIR Pasal 130 dan RBg Pasal 154. Dari ketiga dasar hukum tersebut, ditegaskan bahwasanya seluruh perkara perdata di pengadilan, mulai dari perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) termasuk juga pihak ketiga (derden verzet), wajib terlebih dahulu melakukan mediasi sebagai cara untuk memperkuat upaya damai antara pihak yang bersengketa.
Ketentuan di atas ini juga dibenarkan oleh Juhairina selaku Mediator Non Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi:
“Mediasi berdasarkan prosedurnya dibagi menjadi 2 jenis, yaitu mediasi yang dilakukan di luar pengadilan dan mediasi yang dilakukan di pengadilan. Sejauh ini majelis hakim mewajibkan para pihak terlebih dahulu untuk melakukan mediasi di pengadilan karena memang telah diatur dalam PERMA No 1 Tahun 2016. Terlebih untuk memudahkan para pihak supaya tidak memakan waktu yang lebih lama hanya untuk melakukan mediasi. Kelebihan mediasi di pengadilan adalah Mediator Non Hakim yang sudah bersertifikat resmi sudah tersedia jadi para pihak tinggal mengikuti prosedur dan arahan pengadilan saja.”
Tingkat keberhasilan suatu mediasi juga ditentukan oleh peran mediator. Mediator sebagai pihak yang netral harus mampu menjadi jembatan penghubung antar pihak, mulai dari memimpin dan mengendalikan pertemuan, bahkan menjaga proses berlangsungnya mediasi dengan menghasilkan kesepakatan yang diperoleh tanpa adanya paksaan atau tuntutan. Tidak hanya itu, mediator juga harus mampu mendorong para pihak untuk terjalin komunikasi yang baik antar pihak, termasuk juga menyelesaikan proses mediasi jika tidak produktif kembali.29
Praktik mediasi juga dapat dilakukan oleh Mediator Non Hakim. Meski bukan dari seorang hakim, Mediator Non Hakim juga mempunyai kapasitas dalam melakukan
upaya mediasi di lapangan. Tidak heran jika keberadaannya juga menjadi penting dalam rangka menekan terjadinya kasus perceraian seperti di Kabupaten Banyuwangi. Hal ini sebagaimana disampaikan Ketua Pengadilan Agama Banyuwangi, Akhmad Bisri Mustakim pada 14 September 2020 berikut ini.
”Menurut saya peran Mediator Non Hakim di Pengadilan Agama Banyuwangi sudah maksimal dalam mendamaikan para pihak, baik dalam proses administrasi data mediasi maupun pelaksanaannya. Mereka dengan menggunakan segala upaya, kreativitas, dan juga didasari oleh ilmu pengetahuan yang mumpuni untuk memberi penjelasan-penjelasan yang kaitannya dengan mediasi berikut tujuan, manfaat serta pentingnya mediasi”.
Pelayanan mediasi khususnya di Pengadilan Agama Banyuwangi juga dilakukan oleh Mediator Non Hakim. Kurang lebih terdapat 3-4 perkara yang dimediasi dengan 4 Mediator Non Hakim. Setiap harinya ada 2 Mediator Non Hakim yang bertugas secara bergantian sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Menurut peneliti, antara jumlah perkara yang dimediasi setiap harinya dengan jumlah mediator yang ada di Pengadilan Agama Banyuwangi masih terbilang wajar. 2 mediator yang bertugas dalam satu waktu tersebut saling membagi tugas, salah satu mediator bertugas menjalankan mediasi dan satu Mediator lainnya memegang kendali berkas-berkas administrasi mediasi.
Dalam praktiknya, mediator non hakim di Pengadilan Agama Banyuwangi dalam menjalankan proses mediasi, mediator non hakim terlebih dahulu mempersiapkan segenap persyaratan administrasi, seperti identitas para pihak, jenis perkara, termasuk juga biaya yang harus dikeluarkan selama proses mediasi. Pada tahap selanjutnya, mediator dapat langsung menjalankan proses mediasi dengan para pihak yang berperkara. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Hoirul Anam yang juga Mediator non Hakim di Pengadilan Agama Banyuwangi pada 21 September 2020.
“Adapun mekanismenya sendiri, pertama adalah perkenalan antar pihak dengan mediator, kedua, yaitu menggali informasi tentang perihal yang menjadi objek sengketa, ketiga, mediator melakukan negosiasi dan solusi yang dapat menjadi jalan keluar bagi para pihak yang bersengketa, terakhir, yakni kesimpulan”.
Dalam prosesnya, tahapan mediasi yang dilakukan di pengadilan bahwasanya pada sidang yang telah ditentukan, hakim meminta untuk melakukan mediasi, pada hari itu atau dua hari setelahnya, para pihak atau kuasa hukum wajib berunding untuk menentukan mediator pilihannya untuk disampaikan ke Ketua Majelis. Jika tidak disepakati para pihak, Ketua Majelis menunjuk mediator pilihan dalam suatu penetapan.30
Kendatipun Mediator Non Hakim bukan berasal dari seorang hakim, Mediator Non Hakim juga mempunyai tugas yang sama dengan mediator pada umumnya. Yaitu menjadi penengah di antara pihak yang bersengketa. Demikian sebagaimana disampaikan oleh Mediator Non Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi, Juhairina pada 14 September 2020.
“Kami selaku Mediator Non Hakim akan selalu berupaya memberikan pelayanan yang terbaik serta maksimal kepada masyarakat, dan kami selalu siap melayani perkara untuk dimediasi agar para pihak dapat dengan mudah mendapatkan titik temu dalam setiap masalah yang mereka alami. Bukan karena kami hanya diwajibkan untuk memenuhi PERMA saja, tetapi kami melakukan hal tersebut karena memang sudah ikhlas dari dalam hati ingin membantu dan meluruskan masalah yang sulit untuk menemukan jalan keluar dengan menggunakan ilmu yang kami miliki sebaik-baiknya”. Setiap Mediator Non Hakim yang bertugas di Pengadilan Agama Banyuwangi dalam menjalankan tugasnya, dilakukan secara maksimal. Hal ini karena mediator juga memiliki peran penting untuk bagaimana mengupayakan agar kasus perceraian tidak terjadi. Secara umum, proses mediasi di Pengadilan Agama Banyuwangi dapat dikatakan sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku dalam menjalankan proses mediasi. Hal ini juga disampaikan oleh Fathurrohman selaku mediator non hakim di Pengadilan Agama Banyuwangi.
“Seorang Mediator dituntut untuk jeli dan mampu menyelami hingga ke akar setiap perkara yang ditanganinya, karena tidak semua para pihak yang dimediasi tersebut mampu berkomunikasi dengan baik dan menyampaikan dengan detail semua aspek permasalahannya. Ada yang menyampaikan dengan penuh emosi menggebu-gebu, ada juga yang bertele-tele dan bahkan tidak jelas sekalipun selalu ada. Itulah mengapa kinerja Mediator diharuskan untuk jeli, peka, dan profesional karena di sanalah titik temu dan tolak ukur bagi setiap Mediator dalam melaksanakan fungsinya sebagai seorang mediator”.
Meski pada ujungnya berakhir dengan perceraian, Mediator Non Hakim wajib memenuhi segala hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak, seperti pada kasus cerai talak, di mana pihak suami memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah dan kewajiban lainnya. Artinya, mediator mengupayakan agar hak dan kewajiban para pihak dapat terpenuhi tanpa adanya keberatan antar pihak (win-win solution).
Kinerja seorang mediator tentu mempunyai peran penting untuk menekan angka perceraian, namun keinginan yang sangat kuat dari para pihak untuk benar-benar ingin melakukan perceraian, juga tidak dapat dihindari lagi. Hal ini mengingat ketika peneliti melakukan observasi di Pengadilan Agama Banyuwangi, para pihak bukan ingin mencari keadilan atas persoalan rumah tangganya, melainkan ingin melakukan perpisahan dengan pasangannya dengan berbagai macam alasan.
Dengan itu, seorang mediator yang telah melakukan tugas dan kewajibannya yaitu melakukan usaha untuk mendamaikan, memberikan nasihat, masukan dan solusi yang
terbaik kepada para pihak, pada akhirnya keputusan tetap kembali sepenuhnya kepada para pihak.31
Dalam kasus perceraian, upaya untuk mendamaikan para pihak sangatlah imperatif, untuk itu Majelis Hakim wajib memberikan kesempatan kepada para pihak untuk melakukan upaya damai di luar persidangan.32 Kendati demikian, perkara perdamaian yang menyangkut perasaan sangat sulit dimediasi, hal ini dikarenakan keinginan para pihak yang begitu kuat untuk berpisah dan sudah tidak dapat hidup secara rukun. Sehingga perkara perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama Banyuwangi yang dapat dimediasi sangatlah sedikit.
Dengan itu, dibutuhkan pembenahan baik berupa inspirasi atau metode yang berbeda agar tujuan dari mediasi khususnya untuk mendamaikan para pihak yang ingin bercerai, dapat terwujud.33
Tidak hanya itu, para pihak yang benar-benar ingin melakukan perceraian dari awal sudah mengatur sedemikian rupa agar proses perceraian dapat terlaksana lebih cepat, salah satunya melakukan kesepakatan agar salah satu pihak tidak hadir dalam proses perceraian di Pengadilan Agama.
Tindakan semacam ini sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 4 ayat 1 PERMA No 1 Tahun 2016 bahwa sengketa yang dalam proses pemeriksaannya tidak dihadiri oleh pihak penggugat atau tergugat yang telah dipanggil secara patut, maka masuk kepada sengketa yang dikecualikan dari kewajiban untuk melakukan proses mediasi terlebih dahulu.
Ketidakhadiran salah satu pihak dalam proses mediasi menjadi halangan tersendiri dalam proses mediasi. Dari sini Hakim lantas memberikan putusan verstek. Putusan verstek merupakan putusan yang dijatuhkan ketika pihak tergugat tidak hadir atau juga tidak mewakilkan kuasa hukumnya untuk dapat hadir di forum persidangan, meski telah dipanggil secara patut sebagaimana dalam Pasal 125 Ayat (1) HIR:
Jika Tergugat, meskipun dipanggil dengan sah, tidak datang pada hari yang ditentukan, dan tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya, maka tuntutan itu diterima dengan keputusan tanpa kehadiran (verstek), kecuali kalau nyata bagi pengadilan negeri bahwa tuntutan itu melawan hak atau tiada beralasan.
Meskipun demikian, secara umum di Tahun 2019, pihak yang berhasil melakukan mediasi dari 717 perkara yang bermacam-macam, hanya 13 perkara yang berhasil melakukan mediasi. Sedangkan pada kasus cerai, yang terdiri dari cerai gugat 367 perkara dan cerai talak 291 perkara, yang berhasil dimediasi hanya 6 perkara saja.
Jika seorang mediator mampu mendamaikan suami istri yang ingin bercerai, maka sesungguhnya ia tidak hanya menyelamatkan hubungan perkawinan, melainkan juga masa depan anak-anak untuk mendapatkan pembinaan secara normal. Mental anak akan terjaga, termasuk juga harta benda turut terselamatkan sebagai penopang kehidupan keluarganya.34 Oleh karenanya, mendamaikan kasus perceraian, sangat terpuji dan lebih utama dari pada mendamaikan kasus lainnya.35
Pengadilan Agama Banyuwangi memiliki kasus perceraian yang sangat tinggi. Umumnya perceraian terjadi karena faktor ekonomi, perselisihan/kesalahpahaman dan meninggalkan salah satu pihak. Mediasi menjadi strategi untuk menekan terjadinya perceraian, hanya saja tidak semua mediasi berhasil dilakukan. Perceraian yang disebabkan oleh faktor ekonomi dan meninggalkan salah satu pihak yang rentan gagal dimediasi. Selain itu, Pengadilan Agama Banyuwangi telah menyediakan mediator noon hakim untuk memperkuat upaya perdamaian bagi para pihak yang bersengketa. Hanya saja, kehadirannya belum mampu memberikan dampak yang signifikan, hal tersebut dapat dilihat dari rendahnya tingkat keberhasilan mediasi yang ada di Pengadilan Agama Banyuwangi.
Daftar Pustaka
Buku
Abdullah, B. & Saebani, B. A. (2013). Perkawinan dan Perceraian Keluarga Muslim. Bandung: CV Pustaka Setia.
Ali, M. I. Z. (2020). Peran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Dalam Menangkal Radikalisme Agama (Studi Pemikiran Tokoh Di Jawa Timur). Jember: Fakultas Syariah IAIN Jember.
Handayani, F. (2016). Bantuan Hukum Di Indonesia. Yogyakarta: Kalimedia.
Hartawati, A. (2019). Penyelesaian Perkara Melalui Mediasi: Sebuah Resolusi Konflik Keluarga. Manggu.
Muhaimin. (2020). Metode Penelitian Hukum. Mataram University Press: Mataram.
Muhtarom, A. (2014). Mencari Tolak Ukur Efektifitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian.
Munawwir. A. W. (1997). Kamus Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Surabaya: Pustaka Progresif.
Nugroho, S. A. (2019). Manfaat Mediasi Sebagai alternatif Penyelesaian Sengketa. Prenada Media Group.
Salim, H. S. & Nurbani, E. S. (2013). Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta.
Shoim, M. (2022). Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia. Semarang: CV. Rafi Sarana Perkasa.
Jurnal
Ahyani, H., Makturidi, M. G., & Muharir, M. (2021). Administrasi Perkara Perdata Secara E-Court di Indonesia. Batulis Civil Law Review, 2(1), 56–65.
https://doi.org/10.47268/ballrev.v2i1.521
Ainiyah, Q., Muslih, I. (2020). Dilema Hukum Keluarga Di Indonesia (Studi Analisis Kasus Perceraian Di Indonesia). Jurnal Istiqro: Jurnal Hukum Islam, Ekonomi dan Bisnis, 6(1), 73-81. https://doi.org/10.30739/istiqro.v6i1.560, p. 75
Ali, M. I. Z. (2023). Tuntutan Maslahah dan Problem Otentisitas Agama Dalam Pembaharuan Hukum Keluarga Islam. Al-Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan, 17(1), 23. https://doi.org/10.35931/aq.v17i1.1679
Ashari, B. (2021). Peran Mediator Dalam Perkara Perceraian (Studi Solusi Konflik Rumah Tangga Di Pengadilan Agama Jember). Mabahits : Jurnal Hukum Keluarga 1(2), 74-88, p. 82
Dahwadin., dkk. (2020). Hakikat Perceraian Berdasarkan Ketentuan Hukum Islam Di Indonesia. Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, 11(1), 87-104.
http://dx.doi.org/10.21043/yudisia.v11i1.3622
Haeratun, H., & Fatahullah, F. (2022). Efektivitas Mediasi Sebagai Alternatif
Penyelesaian Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama. Batulis Civil Law Review, 3(1), 29-59. DOI: https://doi.org/10.47268/ballrev.v3i1.930.
Hartawati, A., Beddu, S., & Susanti, E. (2022). Model Mediasi Dalam Meningkatkan Keberhasilan Penyelesaian Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama. Indonesian Journal of Criminal Law, 4(1), 59-73.
https://journal.ilininstitute.com/index.php/IJoCL/article/view/1551
Labetubun, M. A. H., & Fataruba, S. (2020). Implikasi Hukum Putusan Pengadilan terhadap Pembatalan Perkawinan. Batulis Civil Law Review, 1(1), 54–59.
https://doi.org/10.47268/ballrev.v1i1.430
Lailany, R. & Sudirman, M. (2019). Efektivitas Mediasi Dalam Kasus Perceraian Di Pengadilan Agama Makassar. Supremasi: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Hukum, & Pengajarannya, xiv(2), 96-111.
https://doi.org/10.26858/supremasi.v14i2.13142
Latupono, B. (2020b). Pertanggungjawaban Hukum Ayah Terhadap Anak Setelah Terjadinya Perceraian. SASI, 26(2), 242–250.
https://doi.org/10.47268/sasi.v26i2.281
Mulyana, D. (2019). Kekuatan Hukum Hasil Mediasi Di Dalam Pengadilan Dan Di Luar Pengadilan Menurut Hukum Positif. Jurnal Wawasan Yuridika, 3(2), 177– 198. https://doi.org/10.25072/jwy.v3i2.224
Mustarin, B. (2020). Kedudukan Mediasi Sebagai Alternative Dispute Resolution
Terhadap Pencegahan Perkara Cerai. Iqtishaduna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Ekonomi Syari’ah, 2(3), 26–36. https://doi.org/10.24252/iqtishaduna.v2i3.20029
Puspitaningrum, S. (2018). Mediasi Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Perdata Di Pengadilan. Jurnal Spektrum Hukum, 15(2), 275-299.
Rahmah, D. M. (2019). Optimalisasi penyelesaian sengketa melalui mediasi di pengadilan, Jurnal Bina Mulia Hukum, 4(1), https://doi.org/10.23920/jbmh.v4n1.1
Riyanto, H. M. (2018). Eksistensi Mediasi Terhadap Perkara Perceraian Di Wilayah PTA
Makassar. Jurisprudentie, 5(1), 124-153.
https://doi.org/10.24252/jurisprudentie.v5i2.5435
Saifullah, M. (2015). Efektivitas Mediasi Dalam Penyelesaian Perkara Perceraian Di
Pengadilan Agama Jawa Tengah. Al-Ahkam, 25(2), 181–204.
https://doi.org/10.21580/ahkam.2015.25.2.601
Salamah, Y. Y. (2013). Urgensi Mediasi Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama.
Ahkam, 8(1), 81-88. https://doi.org/10.15408/ajis.v13i1.953
Sopamena, R.F. (2021). Mediasi Sebagai Penyelesaian Sengketa Cerai. Batulis Civil Law Review, 2(2), 102 - 108. https://doi.org/10.47268/ballrev.v2i2.622
Sumanto, D. & Syamsinah. (2015). Mediasi dan Hakam Dalam Hukum Acara Peradilan Agama. Al-Mizan, 1(1), 152-162. https://doi.org/10.30603/am.v11i1.994
Tahir, N. I., Said, Z., & Saidah, S. (2022). The Perspective of the People on the Settlement of Criminal Cases Through Penal Meditation at Parepare City. DELICTUM: Jurnal Hukum Pidana Islam, 1(1), 19-30. https://doi.org/10.35905/delictum.v1i2.3190
Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi Di
Pengadilan
Lain-Lain
Laporan Pengadilan Agama Banyuwangi tentang Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian Tahun 2018, 2019, 2020
Laporan Pengadilan Agama Banyuwangi tentang Mediasi Periode Tahun 2019
Laporan Perkara Tingkat Pertama Yang Diputus Pada Pengadilan Agama Banyuwangi Tahun 2018, 2019, 2020
Jurnal Kertha Patrika, Vol. 45, No. 3 Desember 2023, h. 315-333
Discussion and feedback