Problematika Penerapan Keadilan Restoratif di Wilayah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (3T): Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Kabupaten Maluku Tengah
on

Problematika Penerapan Keadilan Restoratif di Wilayah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (3T): Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Kabupaten Maluku Tengah
Josua Navirio Pardede,1 Septian Dwi Riadi2
-
1 Magister Ilmu Hukum Universitas Gajah Mada, E-mail: josuanavirio1996@mail.ugm.ac.id
-
2 Cabang Kejaksaan Negeri Maluku Tengah di Wahai, E-mail: Septiandwiriadi@gmail.com
Info Artikel
Masuk : 29 Juni 2022 Diterima : 07 April 2023
Terbit : 30 April 2023
Keywords :
Restorative Justice, 3T Region, Attorney.
Kata kunci:
Keadilan restoratif, Wilayah 3T, Kejaksaan.
Corresponding Author:
Josua Navirio Pardede, josuanavirio1996@gmail.com
DOI :
10.24843/KP.2023.v45.i01.p04
Abstract
The existence of Disadvantaged, Frontier, and Outermost regions (3T Regions) is one of the important variables to examine its impact on the successful implementation of restorative justice in society. To find out more about the relationship between the two, this study aims to look at the influence exerted by elements in the 3T area on the implementation of the restorative justice mechanism by the Attorney General's Office, especially in the Central Maluku Regency area. Using the normative-empirical legal research method, this study found that there were various problems faced by the Attorney General's Office in implementing restorative justice efforts in Central Maluku Regency which were caused by a number of factors such as communication, transportation, electricity (energy), education and also the internal policies of The Attorney General's Office has had an impact on decreasing the quality and quantity of case handling using a restorative approach.
Abstrak
Keberadaan wilayah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (Wilayah 3T) menjadi salah satu variabel yang penting untuk ditelaah dampaknya terhadap keberhasilan penerapan keadilan restoratif di tengah masyarakat. Untuk mengetahui lebih lanjut hubungan keduanya, penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh yang diberikan oleh elemen-elemen yang terdapat di wilayah 3T terhadap pelaksanaan mekanisme keadilan restoratif oleh Kejaksaan, khususnya di wilayah Kabupaten Maluku Tengah. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif-empiris, penelitian ini menemukan bahwa terdapat berbagai permasalahan yang dihadapi oleh Kejaksaan dalam menerapkan upaya keadilan restoratif di Kabupaten Maluku Tengah yang disebabkan oleh sejumlah faktor seperti komunikasi, transportasi, listrik (energi), pendidikan dan juga kebijakan internal dari Kejaksaan yang berdampak pada menurunnya kualitas dan kuantitas penanganan perkara yang menggunakan pendekatan restorative.
-
1. Pendahuluan
Melihat pada ruang kajian pendekatan kontemporer terkait kejahatan, pelaku dan korban, keadilan restoratif menjadi salah satu konsep populer yang kerap hadir ditengah-tengah diskursus yang ada saat ini. Kondisi tersebut terjadi tidak terbatas pada ranah konseptual, namun juga pada area praktis, kebutuhan akan pendekatan keadilan restoratif sebagai metode utama penanganan kejahatan dapat terlihat dari dikeluarkannya sejumlah kebijakan pendukung selama beberapa tahun belakangan ini. Seperti SE Kapolri No. SE/8/VII/2018 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana, Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, hingga yang paling terbaru yakni Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum MA RI No. 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif pada 22 Desember 2020.
Meskipun belum menormatifkan dan mengintergrasikan pendekatan restoratif secara utuh ke dalam sistem peradilan pidana secara general, serta masih bersifat kebijakan institusional semata, namun keberadaan berbagai kebijakan tersebut telah menunjukkan suatu urgensi terhadap pedoman penegakan hukum yang berperspektif keadilan restoratif.1 Gagasan akan keadilan restoratif sendiri bukanlah hal yang baru, melainkan sudah melekat secara inheren sebagai komponen narasi pembangunan hukum di Indonesia semenjak dimulainya era reformasi.2 Ruang lingkup penerapannya pun beragam dimulai dari kejahatan-kejahatan konvensional hingga kasus-kasus yang menempatkan kelompok rentan seperti perempuan dan anak sebagai korban. Pada dasarnya, keadilan restoratif dapat dilihat sebagai evolusi maupun perkembangan dari konsep keadilan retributif, namun perbedaan utama antara keadilan retributif dan restoratif terletak pada pendekatan terhadap korban kejahatan dan output yang hendak dituju. Keadilan retributif bertujuan untuk memberikan penderitaan yang pantas bagi pelaku kejahatan, sementara keadilan restoratif lebih menekankan pada perbaikan hak, pemulihan fisik dan batin serta tindakan-tindakan yang dialami oleh korban.3 Keadilan restoratif menyediakan berbagai bentuk alat bantu yang dapat dipakai oleh penegak hukum maupun masyarakat untuk mewujudkan rasa keadilan yang menyeluruh atau holistik bagi korban.4
Berbagai mekanisme keadilan restoratif tersebut yakni mediasi, kompensasi, restitusi, conferencing dan lain-lainnya, menjadikan kebutuhan dan kondisi korban sebagai tujuan yang hendak dicapai. Meski demikian mekanisme dan konsep keadilan restoratif itu sendiri bukan tanpa celah dan kritik. Seperti yang disampaikan Ptacek, bahwasannya keadilan restoratif yang diterapkan terhadap kasus-kasus kejahatan dimana korbannya merupakan kelompok rentan seperti perempuan, cenderung akan menghasilkan keadilan yang tidak didasarkan pada kebutuhan korban. Hal tersebut dikarenakan mekanisme keadilan restoratif membuka kemungkinan terjadinya relasi kuasa dan tidak menyediakan ruangaman bagi korban untuk menyuarakan keinginannya sehingga yang dihasilkan bukan keadilan substantif bagi korban.5
Kritik tersebut dapat dipahami jika melihat pada kondisi yang digambarkan oleh Umbreit & Peterson, dimana keadilan restoratif sendiri bukanlah bergerak di ruang hampa sebagai satu-satunya variabel yang determinan dalam memberikan keadilan bagi korban, melainkan dipengaruhi oleh berbagai variabel-variabel lainnya, seperti budaya, ekonomi, identitias, sistem sosial dan berbagai variabel lainnya.6 Keberadaan varibel-variabel tersebut memberikan gambaran akan luasnya spektrum penegakan hukum yang berpedoman pada konsep keadilan restoratif dan terkait dengan kondisi di Indonesia. Salah satu variabel yang membutuhkan analisis lebih mendalam guna melihat interelasinya yakni kondisi wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
Wilayah 3T merujuk pada daerah yang masih tertinggal dalam keadaan sosial-kultural, perekonomian, infrastruktur dan keseluruhan lingkungan hidupnya (melihat dari sisi sumber daya manusia, keadaan alam hingga sarana pendukung kehidupan lainnya) dibandingkan dengan daerah lainnya.7 Kelompok 3T dibentuk untuk memudahkan pembentukan kebijakan dan program prioritas, seperti Kebijakan dan Strategi Pembangunan Daerah Tertinggal. Tujuan dari kebijakan dan strategi ini adalah untuk menangani masalah yang dihadapi oleh daerah-daerah tersebut dengan memberikan pemihakan, akselerasi atau percepatan dan pembangunan sumber daya maupun masyarakat secara umum dengan tetap melihat pada kondisi dan kebutuhan setiap daerah tersebut. 8
Tercatat pada periode 2020-2024 sebanyak 62 kabupaten diklasifikasikan sebagai wilayah 3T dari total 415 Kabupaten di seluruh Indonesia, yang artinya sebanyak hampir 15% Kabupaten masih membutuhkan perhatian khusus baik terkait
pembangunan infrastruktur maupun sumber daya manusia (SDM).9 Meskipun menunjukkan penurunan dibandingkan dengan periode sebelumnya yakni dari 122 wilayah 3T pada periode 2014-2018, jumlah daerah 3T masih mewakili 1/6 dari wilayah NKRI dengan berbagai permasalahan yang terdapat didalamnya, termasuk terkait dengan pembangunan dibidang yuridis, sehingga menjadikan isu ini kontekstual dengan kebutuhan masyarakat maupun pembentuk kebijakan.
Kemudian, dipilihnya Kabupaten Maluku Tengah sebagai wilayah studi kasus dalam penelitian ini juga bukan tanpa alasan. Indonesia Timur menjadi daerah yang memiliki sejumlah rekam kasus permasalahan dalam penerapan mekanisme keadilan restoratif terhadap kasus-kasus kejahatan, mulai dari gagalnya penerapan keadilan restoratif akibat tidak terakomodasinya kepentingan para pihak,10 ketidakefektifan hasil akhir,11 hingga hak korban yang justru tergantikan oleh kepentingan pihak lainnya.12 Selain itu, kondisi infrastruktur maupun fasilitas penunjang di wilayah 3T yang terbatas menjadi salah satu permasalahan yang mendorong perlu dikaji lebih lanjut aspek determinannya terhadap proses keadilan restoratif yang dilakukan, mengingat keadilan restoratif merupakan mekanisme yang dijalankan diluar jalur peradilan formil sehinggaelemen-elemen non-yuridis akan menjadi salah satu faktor yang berpengaruh.
Kemudian data-data ilmiah terkait yang dapat memberikan gambaran, pola serta hambatan yang ditemui ketika melaksanakan RJ masih sangat minim, sehingga dengan menjadikan Kabupaten Maluku Tengah yang terletak di Indonesia Timur sebagai objek kajian dalam penelitian ini akan berkontribusi terhadap pengayaan wawasan, baik di ranah akademis maupun praktis. Selain data, keuntungan lain yang didapatkan melalui penelitian ini yakni dengan diketahuinya permasalahan yang dihadapi beserta hal-hal yang menyebabkan terhambatnya implementasi keadilan restoratif di wilayah 3T, sehinggapembentukan kebijakan yang tepat dalam meningkatkan efektivitas keadilan restoratif dapat dilakukan. Selain itu, dari perspektif praktis, hasil dari penelitian ini juga dapat menunjang kualitas penegak hukum sebagai salah satu elemen vital dalam menerapkan keadilan restoratif, dengan lebih mengetahui hambatan yang akan
ditemui beserta solusinya. Bagi korban, tentu peningkatan kualitas dan pengetahuan tersebut dapat menunjang korban untuk lebih berperan aktif dalam memulihkan hak-haknya yang terciderai akibat kejahatan tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, maka terdapat dua permasalahan pokok yang dikaji secara lebih mendalam pada tulisan ini, yakni, Pertama, faktor-faktor penyebab timbulnya permasalahan terkait penerapan keadilan restoratif di Kabupaten Maluku Tengah. Kedua, solusi atau upaya resolusi yang efektif dalam menangani variabel-variabel yang menghambat atau menjadi permasalahan penerapan keadilan restoratif di wilayah 3T tersebut. Sebelumnya telah terdapat sejumlah penelitian yang berkaitan dengan tulisan ini, seperti “Implementasi Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Studi di Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat)” oleh Iwan Kurniawan, dkk, dimana hasil penelitian tersebut yakni dari 165 perkara yang memenuhi persyaratan untuk dapat dilakukan pendekatan restoratif, namun, hanya 18 perkara atau sekitar 8% yang dituntut menggunakan keadilan restoratif dan sisanya menggunakan proses penuntutan biasa. Hal ini menunjukkan adanya hambatan-hambatan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar yang ditemui oleh Kejaksaan dalam menjalankan proses keadilan restoratif.13 Kemudian penelitian serupa lainnya adalah “Implementasi Prinsip Restorative Justice dalam Penghentian Penuntutan Perkara Korupsi Oleh Kejaksaan Republik Indonesia” oleh Maman Budiman menjelaskan bahwa masih terdapat sejumlah hambatan dalam menggunakan pendekatan keadilan restoratif terhadap tindak pidana korupsi, kemudian penelitian ini juga beranggapan diperlukannya suatu reformulasi dasar penghentian penuntutan melalui pendekatan restoratif pada perkara tindak pidana korupsi.14 Selain itu, terdapat penelitian lainnya dengan judul “Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif” oleh Antonius De Andrade Fahik, dkk., dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa peran apparat penegak hukum secara khusus peran lembaga Kejaksaan dalam menyelesaikan perkara pidana dimana pendekatan restoratif digunakan dalam menangani perkara tersebut sudah harus dilakukan secara massif dan komperhensif guna memenuhi tuntuan keadilan yang berorientasi pada keadilan di masyarakat.15 Berdasarkan penelitian maupun tulisan yang telah dipaparkan di atas, aspek kebaharuan yang dibawa oleh tulisan ini terletak dari objek kajiannya yakni wilayah 3T yang belum pernah didudukkan sebagai objek kajian dalam diskursus keadilan restoratif sebelumnya, sehingga data dan analisis yang terdapat dalam penelitian ini dapat bermanfaat dalam memperkaya diskursus penerapan keadilan restoratif oleh penegak hukum secara nasional.
Metode penelitian hukum yang diterapkan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif-empiris. Penelitian hukum normatif berusaha untuk mempelajari fenomena hukum sebagai suatu disiplin yang bersifat preskriptif dari sudut pandang norma-norma hukumnya.16 Kemudian, metode penelitian hukum empiris adalah metode kajian hukum yang mengkonsepsikan hukum sebagai suatu gejala yang berada, bergerak dan beroperasi dalam interaksi sosial yang berlangsung ditengah masyarakat.17 Dengan menggunakan kerangka berpikir dari dua aliran penelitian hukum tersebut, maka dalam menjalankan proses penelitian, akan berpedoman pada menggunakan aspek-aspek yang terdapat baik dalam penelitian hukum normatif dan empiris.
Berdasarkan jenis penelitian yang telah disebutkan, penelitian ini melakukan analisis berdasarkan hasil wawancara dengan petugas dan Jaksa yang melakukan pendekatan keadilan restoratif dalam menangani perkara pidana di Kabupaten Maluku Tengah. Adapun data yang diperoleh tersebut nanti akan dikumpulkan melalui metode wawancara/korespondensi dan observasi terhadap kondisi di lapangan. Selanjutnya data tersebut akan ditelaah dengan melihat pada beberapa regulasi terkait dimulai dari undang-undang dan kebijakan di institusi penegak hukum terkait.
-
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Dominasi keadilan retributif telah menghantarkan hukum pada proses kontemplasi yang mempertanyakan tepat tidaknya penyelenggaraan peradilan pidana yang berorientasi pada pelaku, bukan pihak yang mengalami kerugian dan penderitaan yakni korban. Faktanya, terdapat ketimpangan dalam perlakuan hukum antara pelaku kejahatan dan korban kejahatan. 18 Secara keseluruhan, kondisi regulasi dan peraturan yang terdapat hukum pidana secara substansial atau hukum pidana materiil maupun aspek proseduralnya atau hukum acara atau yang diebut juga hukum pidana formil, nyatanya masih lebih berpihak kepada perlindungan hak-hak pelaku kejahatan dengan berbagai jaminan dan keistimewaan baik sebagai terpidana, terdakwa ataupun sebagai tersangka. Sementara itu, dampak dari kejahatan itu sendiri yakni korban sering kali diabaikan, bahkan kerap gagal memperoleh perlindungan atau jaminan yang memadai terhadap pemulihan kerugian dan pemenuhan hak-hak yang terciderai.19
Tidak hanya korban, masyarakat sebagai ruang berlangsungnya hukum juga menjadi salah satu komponen yang dikesampingkan dalam sistem peradilan pidana yang dikuasai oleh gagasan retributif. Padahal seperti yang diungkapkan oleh Setyo Utomo, yang menyatakan bahwa salah satu aspek khas dari pendekatan restoratif yakni kejahatan didudukkan sebagai dampak destruktif suatu tindakan sosial, sehingga hal tersebut tidak lagi dianggap sebagai pemenuhan delik pidana semata. Dalam pendekatan ini, kejahatan dianggap sebagai aksi yang mengurangi dan menciderai hak-hak orang, yang berdampak pada terdistrupsinya hubungan sosial, sehingga secara keseluruhan hal tersebut mengganggu tatanan masyarakat. 20 Perspektif tersebut berlainan dengan hukum pidana yang melihat tindak pidana sebagai permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah atau negara, oleh karena itu negara saja yang dianggap layak untuk memberikan hukuman. Minimnya akses yang disediakan oleh sistem peradilan pidana bagi masyarakat mengakibatkan luputnya perhatian akan kepentingan masyarakat yang terdapat dalam proses peradilan pidana yang tengah berlangsung.
Kondisi tersebut menjadi faktor pendorong reformasi terhadap konsep pencarian keadilan yang lebih berfokus pada pemulihan dan perbaikan atas dampak-dampak merugikan yang ditimbulkan oleh tindak pidana, atau yang disebut juga dengan istilah pendekatan restoratif/keadilan restoratif. Menurut Marshal, keadilan restoratif telah menjadi konsep yang mendorong adanya upaya kolektif seluruh pihak yang terlibat sebagai stakeholder atas kejahatan yang terjadi untuk bersama-sama mencari solusi dan mengatasi konsekuensi tindakan tersebut untuk masa depan.21 Definisi serupa juga dikemukakan oleh Dignan yang menyatakan bahwa: “Restorative justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the person harmed, the person causing ham and affected the community”.22 Selanjutnya, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) juga menawarkan penjelasan yang komperhensif sekaligus menyeluruh terhadap pendekatan restoratif yaitu sebagai “… a way of responding to criminal behaviour by balancing the needs of the community, the victims and the offenders. It brings together victims, offenders and the community to resolve collectively how to deal with matters arising from the crime, including the harm caused, and the implications for the future”.23 Sehingga dapat dipahami bahwa keadilan restoratif merupakan upaya mewujudkan keadilan yang bersikap holistik/menyeluruh dimana seluruh pihak dan komponen yang memiliki kepentingan diharuskan untuk berinteraksi dan berpartisipasi guna mencapai keadilan yang sifatnya menyeluruh juga.
Melihat dari aspek teleologis atau tujuannya, keadilan restoratif berupaya untuk mendorong partisipasi pelaku, korban, keluarga dan masyarakat umum untuk kemudian lebih berdaya dalam memulihkan dampak destruktif dan merugikan yang ditimbulkan oleh kejahatan. Keadilan restoratif memiliki tiga prinsip utama yaitu kebutuhan, kewajiban/tanggung jawab, dan keterikatan, yang harus diterapkan dalam
setiap aksi yang mengatasnamakan pendekatan restoratif. Jika penerapan keadilan restoratif tidak mengakomodir prinsip-prinsip tersebut, maka tidak dapat dianggap sebagai proses restoratif, dan kemungkinan besar tidak akan mencapai tujuannya, yaitu memulihkan hak-hak korban.24
Konsep keadilan restoratif yang telah berkembang menjadi bentuk baru yang mapan dalam menawarkan beberapa cara menghadapi dan menyelesaikan konflik. Dalam konsep ini, pihak yang berinteraksi atau terdampak langsung oleh suatu tindak kejahatan tidak terlepas dari proses yang berlangsung. Partisipasi masyarakat dalam proses ini menjadi lebih aktif, nyata dan konkrit, yang diterapkan melihat pada kondisi yang ada, sehingga setiap pihak yang terlibat memiliki kapasitas untuk berpartisipasi secara menyeluruh terhadap negosiasi, mediasi dan dialog yang berlangsung secara sukarela. Braithwaite menekankan dalam pandangannya terkait keadilan restoratif yakni sebagai gagasan akan keadilan yang berfokus pada program yang tidak hanya berkaitan dengan tindak pidana, namun juga dapat diimplementasikan dalam menangani konflik diberbagai sektor kehidupan lainnya seperti dunia pendidikan, profesi dan komunitas masyarakat.25
Tujuan dari praktik dan aksi restoratif adalah untuk menangani tindak pidana dengan tiga pendekatan utama. Pertama, menemukan, menentukan dan menjalankan tindakan-tindakan yang dapat memulihkan dampak kejahatan yang ditimbulkan. Kedua, mengikutsertakan seluruh komponen yang terlibat dalam kasus tersebut. Ketiga, melakukan transformasi pada hubungan tradisional antara masyarakat dan pemerintah dalam menanggapi kejahatan. Transformasi tersebut mengubah pola hubungan dari penerapan sanksi pidana terhadap pelaku ke dalam pola hubungan kooperatif antara pelaku, masyarakat, dan korban untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh kejahatan.26
Kemudian bentuk hasil akhir/output program keadilan restoratif tersebut antara lain: terwujudnya mediasi antara korban dan pelaku; dapat dipertemukannya kedua belah pihak untuk mencapai upaya pemulihan; terciptanya sikap saling mendukung atau suportif; dapat terbantunya korban dalam memulihkan hak-haknya yang terciderai; menciptakan suasana rekonsiliatif dengan resosialisasi dengan pelaku kejahata sehingga tidak terstigmatisasi; memberikan pelayanan atau services kepada masyarakat dalam mengakomodir pemulihan relasi sosial yang rusak akibat tindak pidana.27 Pedoman serta mekanisme yang ditawarkan oleh keadilan restoratif tersebut mengindikasikan keterlibatan berbagai macam pihak dalam proses penanganan korban kerugian yang ditimbulkan dari pada kejahatan tersebut. Keterlibatan seluruh pihak dengan berbagai pandangan akan kejahatan yang terjadi dan dampak yang ditimbulkan ini menjadikan output dari upaya keadilan restoratif besifat melingkupi segala aspek, menyeluruh atau holistik.
-
3.1.2. Hambatan dan Kendala dalam Pelaksaan Keadilan Restoratif di Kabupaten Maluku Tengah oleh Kejaksaan Negeri Maluku Tengah
Rendahnya jumlah penerapan keadilan restoratif ini disebabkan oleh sejumlah faktor, khususnya berkaitan dengan status Kabupaten Maluku Tengah sebagai Wilayah 3T (Terdepan, Tertinggal dan Terluar), antara lain:28
-
a) Faktor Geografis
Maluku Tengah adalah salah satu kabupaten yang menjadi bagian dari Provinsi Maluku dengan Masohi sebagai ibu kota Kabupaten dan luas wilayah total sebesar 11.596,57 km2. Wilayah hukum Kabupaten Maluku Tengah yang luas tersebut kemudian terpisah-pisah karena wilayahnya yang terdiri dari berbagai pulau-pulau dan tidak bisa diakses atau dijangkau dalam waktu satu hari. Minimnya fasilitas transportasi yang dapat mencapai biaya 1-2 Juta rupiah hanya untuk perjalanan ke ibu kota kabupaten mengakibatkan semakin sulit dan terbatasnya akses masyarakat untuk datang ke instansi-instansi penegak hukum. Dalam hasil observasi di lapangan dengan Kantor Kejari Maluku Tengah yang berada di Masohi untuk mencapai daerah berlangsungnya perkara di Desa Aketernate harus menempuh jarak 300 km (kilometer) dengan biaya tempuh untuk satu orang sekali jalan sebesar kurang lebih Rp. 400,000,00,- (empat ratus ribu rupiah).29 Kemudian mekanisme keadilan restoratif yang terdapat dalam Peraturan Kejaksaan tidak hanya melibatkan pelaku dan korban namun juga masyarakat dan tokoh setempat. Sementara itu anggaran yang disediakan dalam perkara pidana umum dimulai dari P16 (Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Peneliti Berkas) hingga eksekusi hanya sebesar Rp. 6.000.000,00- (enam juta rupiah). Sehingga yang menjadi permasalahan kemudian adalah ketika dilangsungkan mediasi dan memerlukan waktu tidak hanya 1 (satu) hari, maka petugas yang melaksanakan upaya restoratif akan memerlukan tempat penginapan maupun makanan dan biaya akaomodasi tersebut dipastikan melebihi anggaran dari Kejaksaan. Hal ini kemudian yang mengakibatkan hambatan dalam menjalankan keadilan restoratif karena sifat dari mekanisme ini sangat menekankan pada intergrasi kepentingan yang terus menerus harus mendapatkan pengawasan dari setiap komponen termasuk pelaku, korban, penegak hukum maupun masyarakat.
-
b) Faktor Fasilitas Komunikasi dan Infrastruktur
Salah satu elemen pokok dalam berlangsungnya upaya keadilan restoratif adalah fasilitas komunikasi yang mampu menunjang program-program keadilan restoratif terutama mediasi penal. Untuk melangsungkan proses persidangan di masa pandemi saja, Pengadilan dan Kejaksaan Kabupaten Maluku Tengah kerap mengalami gangguan akibat hilangnya sinyal internet dan telepon. Tercatat dalam satu minggu (21 Juli-30 Juli 2021) terjadi 8 kali gangguan sinyal yang mengakibatkan menurunnya kualitas Peradilan yang berlangsung.30 Kemudian situasi ini diperparah dengan seringnya pemadaman
listrik di daerah yang menyulitkan penegak hukum untuk membangun jaringan komunikasi dengan pelaku, korban dan masyarakat. Bahkan di wilayah Kecamatan Seram Utara (Wahai) dan Kecamatan Tehoru listrik hanya menyala pada pukul 17.30-08.00 WIT. Padahal dalam konsep keadilan restoratif komunikasi dengan para pihak sangatlah penting dan mekanisme pengawasan atas hasil keadilan restoratif yang dilakukan juga mengandalkan jaringan komunikasi yang baik. Tanpa adanya jalur komunikasi yang stabil, selain merugikan pihak yang terlibat karena sulitnya memenuhi kebutuhan informasi terkait, kondisi tersebut juga merugikan aparat penegak hukum dikarenakan terbatasnya jangka waktu penanganan perkara.
-
c) Faktor Sumber Daya Manusia
Kemudian hambatan lain dalam melaksanakan keadilan restoratif di wilayah 3T adalah tingginya tingkat buta huruf dan pendidikan ditengah masyarakat. Kondisi ini menjadi salah sau faktor yang mempersulit pelaksanaan keadilan restoratif karena masyarakat merupakan salah satu komponen dalam keadilan restoratif yang memiliki dua fungsi utama yakni terlibat dalam proses interaksi dengan korban, pelaku dan penegak hukum dalam mencapai kesepakatan-kesepakatan yang dapat memberikan rasa keadilan yang memulihkan.
-
d) Faktor Koordinasi antar Lembaga
Dikarenakan terbaginya pulau Ambon ke dalam dua wilayah administrasi yakni antara Kota Ambon dengan Maluku Tengah mengakibatkan tumpang tindih dalam penempatan tahanan dimana tahanan dari Maluku Tengah tidak diterima oleh Rumah Tahanan (Rutan) Kota Ambon sehingga Jaksa harus membawa tahanan ke Masohi yang berjarak kurang lebih 170 Km, kondisi ini akan mengakibatkan ketidakefektifan karena sidang akan dilangsungkan di Pengadilan Negeri Ambon. Dalam hal ini Jaksa dihadapkan pada dua pilihan yakni, Pertama, menitipkan tahan di Polsek dengan jaminan keamanan yang rendah dan keterbatasan ruang. Kedua, menyerahkan tahanan ke Rutan Masohi dengan melakukan perjalanan pulang-pergi 170 Km jalur darat dan 1 jam menggunakan kapal laut. Berkaitan dengan keadilan restoratif hal ini akan menyulitkan proses mediasi maupun upaya-upaya lain dikarenakan pelaku merupakan salah satu komponen vital dalam keberhasilan keadilan restoratif. Ketidakmampuan untuk mendudukkan pelaku, korban dan masyarakat dalam satu ruang untuk mencapai kesepakatan yang memulihkan korban dapat menghambat keadilan substantif yang akan dihasilkan.
-
e) Faktor Rumusan Kebijakan
Meskipun tidak langsung berkaitan dengan faktor-faktor 3T, namun sejumlah aspek formil dan teknis dalam kejaksaan berdampak pada menurunnya pelaksanaan keadilan restoratif. Salah satunya yakni terdapatnya kebijakan pelaporan keadilan restoratif yang berjenjang, dimana sebelum berlakunya Perja No. 15 Tahun 2020 pelaporan penerapan keadilan restoratif hanya sampai pada Kejati di wilayah hukum terkait, sedangkan setelah berlakunya kebijakan tersebut, keadilan restoratif diharuskan sampai ke pusat yakni sampai tingkatan Jaksa Muda Pidana Umum (Jampidum). Hal ini menjadikan proses birokrasi dan administrasi perkara menjadi lebih panjang dan kurang efektif maupun efisien.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan diatas, kiranya terdapat sejumlah solusi yang dapat dilakukan guna meningkatkan kualitas dan kuantitas pelaksanaan keadilan restoratif di wilayah Kabupaten Maluku Tengah, antara lain:
-
a) Memperbaiki fasilitas dan akses transportasi di daerah 3T (Kabupaten Maluku Tengah). Dalam hal tersebut, upaya yang mungkin dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Maluku Tengah yakni dengan memperbaiki transportasi darat di jalur utara31 yang mampu menghubungkan ibu kota Kabupaten Maluku Tengah yakni Masohi ke Kecamatan Seram Utara (Wahai) yang melintasi Taman Nasional Manusela atau jalur pegunungan. Fokus utama perbaikan di wilayah ini juga didasarkan pada kondisi jalur yang kerap mengalami longsor di beberapa titik sekaligus sehingga mengakibatkan akses jalan terputus. Selain itu, perlu pengadaan kendaraan dinas yang memadai karena hingga saat ini di Kejaksaan Maluku Tengah sampai saat ini belum ada kendaraan yang sesuai dengan kondisi medan. Lalu di jalur selatan32 tindakan yang harus dilakukan tidak jauh beberbeda dengan di jalur utara dimana perbaikan jalan yang melintasi daerah pegunungan Binaiya tepatnya di Kecamatan Tehoru.
-
b) Kemudian terkait transportasi laut diperlukan adanya penambahan jalur transportasi yang menghubungkan ibu kota kabupaten (Masohi) dengan beberapa pulau di wilayah selatan seperti Pulau Banda Neira, Pulau Haruku, Pulau Nusa Laut dan Pulau Saparua. Hal ini dikarenakan tidak adanya satupun akses langsung baik darat, laut maupun udara dari Masohi ke empat pulau tersebut.33
-
c) Memberikan insentif khusus untuk pelaksanaan keadilan restoratif di wilayah 3T. Hal tersebut didasarkan pada ketidakefektivan penyeragaman biaya perkara kurang lebih sebesar Rp. 6,000,000,00,- (enam juta rupiah). Jika dikaitkan dengan semangat keadilan dan proporsionalitas yang terdapat pada Perja No. 15 Tahun 2020 hal ini tentu menunjukkan perlunya perlakuan khusus bagi wilayah 3T khususnya Kabupaten Maluku Tengah dengan biaya transportasi dan akomodasi yang lebih tinggi dibandingkan wilayah Indonesia lainnya. Dalam hal ini Kejaksaan dapat mengeluarkan Petunjuk Teknis (Juknis) yang mampu memberikan pedoman terkait peningkatan biaya penyelesaian perkara khusus di wilayah 3T dengan melihat keadaan di lapangan.
-
d) Membuat Nota Kesepahaman/Memorandum of Understanding (MoU) antara Kejaksaaan Negeri Maluku Tengah dengan Rutan Kelas II A Ambon terkait penempatan tahanan Kejari Maluku Tengah di Rutan Ambon.
-
e) Mempersingkat dan meningkatkan efektivitas hukum prosedural yang mengatur terkait dengan prosedur pelaksanaan keadilan restoratif oleh Kejaksaan. Wewenang ekspos (gelar perkara) seharusnya dikembalikan lagi hanya sampai pada tingkatan Kejaksaan Tinggi. Gelara Perkara cukup dihadiri sampai pada Kepala Kejaksaan Tinggi tidak perlu sampai ke Jampidum. Hal tersebut dikarenakan yang memahami kondisi dan kendala di wilayah 3T (Kabupaten Maluku Tengah) adalah Kejaksaan Tinggi masing-masing wilayah. Kemudian pentingnya hasil dari gelar perkara ini juga karena sifatnya sangat menentukan dapat atau tidaknya keadilan restoratif diterima.
-
f) Menambah fasilitas komunikasi dan informasi di kabupaten Maluku Tengah dimulai dari internet hingga jaringan komunikasi konvensional yang mampu mendukung proses penegakan hukum khususnya pelaksanaan keadilan restoratif. Tambahan fasilitas komunikasi ini merupakan urgensi khususnya dalam bentuk jaringan internet maupun fasilitas penunjang sinyal komunikasi di wilayah-wilayah yang tidak terhubung oleh jaringan seperti Kecamatan Waipia, Pulau Nusa Laut, Kecamatan Elpaputih dan Kecamatan Tehoru. Mengingat situasi pandemi Covid-19 yang membatasi aktivitas tatap muka maka fasilitas komunikasi dua arah ini juga menjadi kebutuhan utama. Namun, upaya ini juga harus dilaksanakan dengan mengutamakan keberlanjutan atau kebersinambungan khususnya terkait pemeliharaan fasilitas komunikasi tersebut agar mampu digunakan tidak hanya pada waktu tertentu namun di waktu-waktu selanjutnya.
-
g) Memperbaiki dan meningkatan infrastruktur pengadaan listrik sebagai kebutuhan hakiki masyarakat dan menunjang pelaksanaan keadilan restoratif. Perbaikan dan penambahan ini diharapkan mampu untuk dilakukan untuk menunjang pelaksanaan keadilan restoratif tidak hanya di wilayah ibu kota kabupaten, namun juga daerah-daerah disekitarnya yang memiliki jumlah populasi penduduk cukup padat seperti Kecamatan Seram Utara dan Kecamatan Tehoru yang akses terhadap listriknya terbatas hanya pada pukul 17.00 WIT hingga 08.00 WIT. Fasilitas listrik ini memiliki hubungan timbal balik dengan fasilitas komunikasiyang sudah disebutkan diatas dikarenakan keduanya harus diakses oleh masyarakat secara bersamaan untuk dapat dimanfaatkan.
-
h) Meningkatkan fasilitas dan kualitas pendidikan di daerah 3T khususnya dalam hal ini adalah Kabupaten Maluku Tengah. Pengaruh tingkat pendidikan terhadap pelaksanaan mekanisme keadilan restoratif secara tidak langsung menjadi alasan perlunya penambahan fasilitas pendidikan baik fisik maupun sumber daya manusia yakni para pengajar dengan keterbatasan tertentu baik kualitas dan kuantitas yang terdapat di Kabupaten Maluku Tengah khususnya di daerah terpencil seperti Kecamatan Seram Utara Timur Kobi yang hanya memiliki satu guru PNS dan guru honorer dengan gaji Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah).
-
4. Kesimpulan
Dalam pelaksanaan keadilan restoratif di wilayah 3T, dalam hal ini di Kabupaten Maluku Tengah masih terdapat berbagai permasalahan yang dihadapi oleh penegak
hukum (Kejaksaan) yang berkaitan dengan karakteristik khas wilayah 3T. Permasalahan dan kendala tersebut antara lain adalah kendala dibidang komunikasi, transportasi, listrik (energi), pendidikan dan juga internal dari Kejaksaan yang berdampak pada menurunnya kualitas dan kuantitas keadilan restoratif yang dilaksanakan. Berdasarkan hal tersebut perbaikan terhadap fasilitas penunjang dan peningkatan efektivitas dari skema prosedural pengajuan keadilan restoratif ditubuh kejaksaan harus dilakukan dan diterapkan dengan memperhatikan keadaan dan karakteristik lingkungan dimana keadilan restoratif itu diterapkan.
Daftar Pustaka
Buku
Ness, D. W. V. & Strong, K.H. (2009). Restoring Justice, An Introduction to Keadilan restoratif. London: Andersen Publishing.
Hashoro, H.A., & Ambarwati, N. (2016). Analisis Sebaran guru Dikdasmen di Wilayah 3T (Terluar, terdepan dan tertinggal): Tinjauan Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan.
Dignan, J. (2005). Understanding Victims and Keadilan restoratif. United Kingdom: McGrawa-Hill Education.
Ptacek, J. (2010). Keadilan restoratif and Violence against Women. Oxford: Oxford University Press.
Braithwaite, J. (2002). Keadilan restoratif & Responsive Regulation. United Kingdom: Oxford University Press.
Suteki & Taufani, G. (2018). Metodologi Penelitian Hukum: Filsafat, Teoridan Praktik. Depok: Rajawali Press.
Soetandyo, W. (2002). Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HUMA).
Jurnal
Apong, H. (2004). Keadilan restoratif. Jurnal Kriminologi Indonesia, 3(3), 19-28.
Budiman, Maman. (2022). “Implementasi Prinsip Restorative Justice dalam Penghentian Penuntutan Perkara Korupsi Oleh Kejaksaan Republik Indonesia”, Syntax Literate, 7 (3): 1045-1053, DOI: https://doi.org/10.36418/syntax-
literate.v7i3.6405.
Chandra, S. (2013). Keadilan restoratif: Suatu Tinjauan terhadap Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Jurnal Rechts Vinding, 2(2), 263.
Fahik, Antonius De Andrade., Anak Ahung Sagung Laksmi Dewi & I Made Minggu Widyantara, (2022), “Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif”, Jurnal Konstruksi Hukum, 3 (2): 240-245, DOI:
https://doi.org/10.22225/jkh.3.2.4805.
Flora, H. S. (2018). Keadilan Restoratif sebagai Alternatif dalam Penyelesaian Tindak Pidana dan Pengaruhnya dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. University of Bengkulu Law Journal, 3(2), 142-158.
Kurniawan, Iwan., Rodiyah & Ufran, (2022), “Implementasi Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Studi di Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat)”, Jurnal Education and Development, 10 (1): 610-618, DOI: https://doi.org/10.37081/ed.v10i1.
McCold, & Wachtel. (2003). Restorative practices, The International Institute for Restorative Practices (IIRP). New Criminal Justice Press & Amsterdam: Kugler Publications Journal, 7, 85-101.
Sonata, D. L. (2014). Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris Karakteristik Khas dari Metode Meneliti Hukum. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, 8(1), 26.
Syafi, A. (2018). Perluasan dan Pemerataan Akses Kependidikan Daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Jurnal Manajemen dan Pendidikan Islam, 4(2), 156-157.
Tajuddin, M. A. & Tarsan, I. R. (2010). Mencari Format Ideal Keadilan Putusan dalam Peradilan. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 17(2), 217-232.
Umbreit, M. S. & Armour, M. P. (2011). Keadilan restoratif and Dialogue: Impact, Oppurtunities, and Challenges in the Global Community. Washington University Journal of Law and Policy, 36(1), 41.
Utomo, S. (2015). Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana yang Berbasis Keadilan restoratif. Mimbar Justitia Fakultas Hukum Universitas Suryakencana, 3(1), 86.
Wojtas, N. J. & Keenan, M. (2016). Is Keadilan restoratif for Sexual Crime Compatible with Various Criminal Justice System. Contemporary Justice Review, 19(1), 43.
Online/World Wide Web:
Kompas. (2020). Sanksi Adat untuk Tiga Pemerkosa Remaja di Sulbar Berlangsung Terbuka. Retrieved from
https://regional.kompas.com/read/2020/02/10/19402841/sanksi-adat-untuk-tiga-pemerkosa- remaja-di-sulbar-berlangsung-terbuka/ , diakses 20 Maret 2021.
Kontan. (2020). Jokowi Tetapkan 62 Kabupaten ini Sebagai Daerah Tertinggal Periode 2020-2024. Retrieved from. https://nasional.kontan.co.id/news/jokowi-tetapkan-62-kabupaten-ini-sebagai-daerah-tertinggal-periode-2020-2024 , diakses 2 Maret 2021.
Merdeka. (2013). Siswi SMP di NTT disetubuhi Gurunya Sendiri. Retrieved from https://www.merdeka.com/peristiwa/siswi-smp-di-ntb-disetubuhi-gurunya-sendiri.html , diakses tanggal 10 Maret 2021.
Tribunnews. (2016). Enam Korban Pencabulan BFN Diselesaikan Secara Adat, Tapi Yang Satu Pilih Lewat Hukum. Retrieved from
https://www.tribunnews.com/regional/2016/10/25um , diakses 22 Maret 2021.
Peraturan
SE Kapolri No. SE/8/VII/2018 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana
Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif
Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum MA RI No. 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif
Jurnal Kertha Patrika, Vol. 45, No. 1 April 2023, h. 64-78
Discussion and feedback